Senin, 12 September 2022

Tradisi Poligami dan Kawin "Badadiaman" dalam Budaya Masyarakat Banjar

Pengantin Adat Banjar | Dokumentasi pribadi
Pengantin Adat Banjar | @kaekaha

Pertama kali menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai dua dekade silam, menjadi adab sekaligus tekad saya sebagai pendatang merasa wajib untuk menjunjung semangat dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung

Caranya!? Ketertarikan saya pada tema sosial, seni, dan budaya secara naluriah mengantarkan saya untuk bersentuhan dengan berbagai fakta sosial budaya masyarakat Banjar yang notabene memang penduduk asli sekaligus mayoritas di Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.

Gayung bersambut, niat saya untuk terus menggali berbabagi kearifan lokal dalam budaya masyarakat Banjar secara perlahan tapi pasti semakin mendekatkan saya pada banyak momentum yang memberi saya ruang reperesentattif untuk lebih intens mengeksplor budaya Banjar.

Dari para budayawan Banjar yang akhirnya banyak menjadi sahabat sekaligus mentor saya, akhirnya budaya Banjar yang sangat unik benar-benar mulai mendarah daging dalam metamorfosa kehidupan saya. 

Di kantor, lingkungan pertama saya bersentuhan dengan masyarakat Banjar, suasananya juga begitu kondusif untuk belajar mengaplikasikan teori budaya yang saya dapatkan dari para mentor, budayawan Banjar.

Salah satu guyonan atau semacam humor dalam masyarakat Banjar yang pertama kali saya kenal, sekaligus paling menarik perhatian saya sampai sekarang adalah adagium kocak yang sedikit satire berikut.

Babini saikung nitu wajar (Beristri satu itu wajar), 

Babini dua ikung hanyar balajar (Beristri dua itu baru belajar), 

Babini tiga ikung kurang ajar (Beristri tiga itu 'kurang ajar) dan... 

Babini ampat ikung hanyar urang Banjar (Beristri empat itu baru 'Urang Banjar'.)

Awalnya, adagium di atas saya kira hanya ungkapan bagayaan atau bercanda ala urang Banjar semata yang memang dikenal jagau (jago ;bhs Banjar) membuat pantun dengan rima yang rapi secara spontan. 

Ternyata, saya salah sangka! Lama kelamaan, setelah pergaulan dan juga persentuhan saya dengan masyarakat Banjar semakin luas, saya baru menyadari adagium di atas ternyata memang benar-benar gambaran faktual dari lingkungan sosial masyarakat Banjar.

Woooow, Istri empat?

Bukan masalah istri empatnya yang menarik perhatian saya, tapi lebih pada konsep poligami yang ternyata telah lama dianggap biasa dalam kultur masyarakat Banjar, sehingga respon masyarakat umumnya juga terlihat biasa-biasa saja ketika harus bersentuhan dan berinteraksi dengan fakta poligami di sekitar mereka.

Menariknya lagi, konsep poligami yang telah dianggap lumrah dalam kultur masyarakat Banjar tersebut ternyata juga membawa budaya baru yang dikenal masyarakat sebagai kawin badadiaman atau mungkin ada yang mengenalnya sebagai nikah siri atau nikah bawah tangan, yaitu nikah yang dalam terminologi Arab dimaknai sebagai nikah rahasia atau sesuatu yang tidak banyak diketahui khalayak dan biasanya tidak tercatat secara resmi.

Tidak heran jika kemudian budaya kawin badadiaman dan poligami seakan menjadi bagian dari kultur masyarakat Banjar.

Pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana bisa poligami dan kawin badadiaman menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap biasa bahkan berakar kuat dalam kultur masyarakat Banjar?"

Menurut peneliti senior sekaligus pemerhati budaya Banjar yang juga dosen Fakultas Tarbiyah, UIN Antasari Banjarmasin, Humaidy yang lebih dikenal dengan nama pena Ibnu Sami ini, "Khusus untuk budaya poligami, dari catatan sejarah menunjukkan sudah tertanam begitu kuat dalam tradisi masyarakat Banjar dan sampai sekarang sepertinya susah untuk dicabut."

Faktanya, Kesultanan Banjar sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Kalimantan, hampir semua sultannya (raja) dan pangeran berpoligami, seperti Pangeran Abdurrahman yang mempunyai istri berdarah Banjar yang melahirkan Sultan Hidayatullah dan istri yang berdarah Cina melahirkan Sultan Tamjidillah. 

Begitu juga dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, ulama besar Kesultanan Banjar yang dikenal sebagai Matahari Islam tercatat mempunyai istri lebih dari satu.

Sudah menjadi rahasia umum jika dalam kultur masyarakat Banjar, tuan guru atau ulama merupakan panutan paling berpengaruh, bahkan jauh lebih berpengaruh dibandingkan kelompok umara atau yang lainnya.

Jadi, wajar saja jika kemudian praktik poligami menjadi sesuatu yang biasa bahkan tumbuh dan berkembang tidak saja pada kelas elite (ulama, bangsawan, dan para saudagar), tapi juga berkembang secara luas di level arus bawah dalam masyarakat Banjar. 

Apalagi poligami diyakini tidak bertentangan dengan konsep syariah Islam, agama resmi sekaligus agama mayoritas kesultanan Banjar sampai era Banjar modern, asal syarat-syaratnya terpenuhi.

Dalam perjalanannya, poligami bagi kaum pria atau Lakian Banjar tidak sekedar maumpati atau mengikuti para panutan di atas, tapi berkembang lagi untuk melengkapi kesempurnaan, yaitu kesugihan, kehebatan, keilmuan dan ibadah. Misalnya, ada orang sugih atau kaya raya, belum sempurna kesugihannya kalau belum beristri lebih dari satu. 

Para jagau (preman) kurang harat (hebat), jika hanya babini saikung haja (beristri satu), begitupula para ulama atau tuan guru, kurang lengkap atau mungkin kurang mantab keilmuan, kealiman serta ibadahnya jika babini saikung haja (beristri satu).

Tentang Kawin Badadiaman
Khusus untuk kawin badadiaman menurut Humaidy, “Pada awalnya masyarakat Banjar tidak mengenal istilah kawin badadiam atau kawin siri. Yang ada adalah kawin lari atau kawin tajun yang biasanya karena tak direstui orangtua.

Kawin siri baru dikenal dan marak dilakukan masyarakat Banjar, sejak Orde Baru menerbitkan PP Nomor 10 Tahun 1983 atau lebih dikenal dengan PP 10 yang melarang pegawai negeri menambah istri lebih dari satu, plus lahirnya UU Perkawinan yang memberi syarat ketat bagi mereka yang ingin berpoligami.

Lebih lanjut, dari hasil riset peneliti senior LK3 Banjarmasin ini juga terungkap, ada perbedaan mendasar dalam konsep nikah badadiam atau nikah siri pada masyarakat Banjar dengan tradisi nikah siri di Jawa atau daerah lainnya yang pada umumnya diniatkan untuk menjaga diri dari terjatuh kepada perilaku zina. 

Selain itu, nikah siri biasanya akan menuju kepada pernikahan resmi di KUA dalam waktu yang tak ditentukan.

Maka dalam tradisi kawin badadiaman, kebanyakan laki-laki yang melakukan nikah siri sudah beristri atau masih punya istri. Jadi, yang dinikahi secara siri adalah calon istri kedua, ketiga dan keempat dengan motif beragam, seperti takut pada istri pertama, ekonomi, pemenuhan seksual, gengsi, birokrasi yang bertele-tele, mencari keturunan dan lain-lain.

Kalau diurutkan secara kuantitatif, pelaku nikah badadiaman paling banyak diurutan pertama adalah urang sugih atau orang kaya yang biasanya adalah pengusaha (pedagang, penambang) dan pejabat negara. 

Disusul di urutan kedua, Bubuhan (kelompok) Tuan Guru/ulama yang sudah kondang dan mungkin belum berani berterus terang. Diurutan ketiga ada bubuhan para jagau alias preman yang kebetulan terkenal jago, tapi takut para istrinya akan bertengkar,” kata Humaidy.

Kesimpulannya, hasil dari penelitian peneliti senior budaya Banjar Humaidy di atas, semakin memperjelas posisi dan hubungan “tradisi” kawin badadiaman yang mulai dikenal masyarakat Banjar di era 80-an dengan poligami yang masih melekat dalam budaya masyarakat Banjar sampai sekarang.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 27 September 2019  jam  10:20 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Utama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar