Senin, 09 Oktober 2023

“Terbang Pagi Buta” Menuju Writingthon Jelajahi Sumedang

 
Mentari Pagi Membayang Landasan Pacu Bandara Syamsoedin Noor yang Basah | @kaekaha
 
 
Cuaca “Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas” dalam beberapa hari di pertengahan bulan Desember ini lumayan agak dingin bila dibanding hari-hari biasanya, karena di sepanjang hari, terutama sejak sore sampai pagi keesokan harinya, sering diguyur hujan dengan intensitas yang rata-rata cukup lebat. 
 
Bahkan pagi buta kali ini (17/12), dalam perjalanan saya dari rumah di Km.7 A. Yani atau kawasan Kertakhanyar menuju ke arah ke Kota Banjarbaru, menuju ke akses terminal baru Bandar Udara Internasional Syamsoedin Noor yang berjarak sekitar 20-an km masih juga dikawani oleh gerimis, bahkan di beberapa lokasi setelah shalat Subuh di Masjid Mujahidin, Gambut, banyak titik yang hujannya lumayan lebat. Alhamdulillah, berkahNya di pagi ini, udara jadi lebih beraihan sueeeegeeeer!!! 
 
Jaga Jarak Saat "Boarding" di Masa Pandemi Covid-19 | @kaekaha
 
Oya, karena ini penerbangan pertama saya di masa Pandemi covid-19 yang “naga-naganya” akan sedikit lebih ribet bila dibandingkan dengan penerbangan di masa aman, makanya saya memilih berangkat lebih awal menuju bandara. 
 
Mungkin karena memang musim penghujan ya kawan! Makanya dalam “aturan main” yang dikirim panitia Writingthon Jelajahi Sumedang kemarin lusa, kita para peserta juga disarankan untuk membawa perlengkapan jas hujan, payung atau mantel/jaket anti air guna mengantisipasi cuaca musim penghujan selama even berlangsung yang basah banget! 
 
Apalagi kita semua tahu, geografi Sumedang yang didominasi oleh dataran tinggi, juga punya curah hujan lumayan tinggi. Nah lho! Sudah gitu, menurut spil dari panitia, lokasi even Writingthon Jelajahi Sumedang ini berada di kawasan Sumedang Selatan. 
 
Lokasinya lumayan ekstrim, di penginapan bergaya resort keren di punggung gunung yang masih dikelilingi hutan dan relatif jauh dari perkampungan penduduk. Pastinya, sering banget hujaaaaaaan dan dingin banget! Hi...hi...hi... 
 
Batik Air Take Off | @kaekaha

Bismillah. Tepat pukul 08.00 WITA, pesawat Batik Air yang menerbangkan saya ke Sumedang via Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, take off juga dengan mulus dari landasan pacu Bandara Syamsoedin Noor meski gerimis pagi masih saja membasahi bumi Banjar, hingga akhirnya setelah sekitar 1,5 jam atau 90 menitan di udara, pesawat akhirnya landing dengan mulus juga di bandar udara terbesar di Indonesia ini. 
 
Setelah keluar dari pesawat dan singgah sebentar di terminal kedatangan, smartphone saya yang baru saja aktif kembali langsung diserbu oleh notif yang masuk dan dua diantaranya dari Mas Mustaqim (sesama alumni Writingthon Asian Games, 2018) dan Mbak Yeni , crew dari Bitread yang selalu bertugas menjemput peserta Writingthon dari luar daerah via Bandara Soetta. 
 
Reunian Sama Mas Mustaqim dari Metro, Lampung | @kaekaha
 
 Setelah konfirm sejenak dengan mereka berdua akhirnya saya langsung keluar terminal untuk bertemu mereka berdua yang sudah saya kenal sejak saya terlibat di dua even Writingthon sebelumnya dan Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ketemu lagi dengan Mas Mustaqim yang landing dari Metro-Lampung beberapa jam sebelum saya. Tapi kok nggak ada Mbak Yeni ya!? Malah yang tampak peserta terpilih dari Pasuruan, Neng Darma Anggat yang juga landing beberapa saat sebelumnya.
 
Ternyata Mbak Yeni lagi belanja perlengkapan “jalan” menuju ke Sumedang di minimarket. Excited banget bisa ngobrol ngalor-ngidul melepas kangen lagi dengan mereka semua, nggak lama landing juga Mas Asrul Rizky, dosen berprestasi dari Aceh, peserta terakhir yang kita tungguin sebelum let’s go ke Sumedang. 
 
Eiiiiits...tunggu dulu, kita masih ada Mas Deta Arya Intifada, Kompasianer senior yang juga jurnalis, tapi dia tinggal di Jakarta dan sepertinya tempat tinggalnya satu jalur dengan rute penjemputan dari Bandara, makanya dia nungguin kita di jalanan rute menuju Sumedang. 
 
Makan Siang dan Ishoma di Rest Area | @kaekaha
 
Perjalanan menuju Sumedang via tol lancar jaya! Kita menyempatkan Ishoma alias istirahat sambil sholat dan makan di rest area tol km ... ah saya lupa…di km berapa, api lumayanlah, punggung bisa kembali tegak setelah perut diisi bensin eh... maksudnya diisi nasi! 
 
He...he...he... kalau isi bensin untuk mobil, kita stop sekalian antri di toilet POM bensin ketika hari sudah mulai senja selepas melewati kampus-kampus terkenal di Jatinangor, pintu masuk Sumedang dari arah Bandung dan Jakarta.
 
Isi Bensin. Ada yang Tahu Lokasi SPBU ini!? | @kaekaha
  

Setelahnya, kami langsung menuju penginapan “Kampung Karuhun” di Sumedang Selatan. Sempat Melawati Kota Sumedang yang kami kenali dari tulisan besar “Alun-alun Sumedang” di sudut alun-alun. Ternyata dari sini kami masih terus dan terus menjauh dari kota. 
 
Kami terus menyusuri jalanan perkampungan yang relatif sempit tapi beraspal dengan kombinasi rumah penduduk yang relatif jarang, sawah, hutan dan kadang-kadang tampak jurang dengan sungai-sungai  berair mengalir deras.
 
Aliran Sungai Cihonje | @kaekaha
 
Diiringi senja yang basah oleh rintik hujan, mobil kami masih terus menyusuri tepian hutan dan sepertinya malah menjauh dari keramaian. Bukan lagi menjauh dari keramaian Kota Sumedang, tapi kita menjauh dari keramaian kampung terdekat! 
 
Nah lho... kecurigaan saya dan mungkin teman-teman alumni Writingthon lainnya mulai terjawab. Sepertinya ini jawaban misteri “aturan main” disuruh membawa perlengkapan mandi sendiri. Jangan-jangan...?
 
Hutan di Sekitar Penginapan Tampak Hijau Menyejukkan | @kaekaha
 
Memang diluar kebiasaan dalam even Writingthon, kita peserta diwajibkan membawa peralatan mandi sendiri. Bukannya peralatan ini sudah disiapkan oleh penginapan. Lah pasti ada apa-apanya ini!?

Senja benar-benar hampir berganti malam ketika kami sampai di Kampung Karuhun, resort bergaya villa di punggung gunung yang masih dikelilingi hutan lebat dengan bunyi gareng pung alias tonggeret yang bersaut-sautan dan juga kawanan monyet yang terlihat masih cukup banyak bergelantungan di pepohonan sekitar. Selebihnya sunyi dan sepiiiiiii.
 
Registrasi Peserta Writingthon Jelajahi Sumedang 2020 | @kaekaha

Begitu memasuki area Kampung Karuhun, kami langsung disambut oleh panitia dan diminta langsung untuk registrasi dan mengambil semua kelengkapan atribut yang dikemas dalam totte bag cantik dengan ilustrasi Writingthon Jelajahi Sumedang 2020 dan juga mengisi berkas-berkas yang diperlukan untuk kepentingan akomodasi dan lain-lainnya.
 

Dari sini kami baru mengetahui, kalau rombongan kami ternyata menjadi yang paling akhir sampai di lokasi. Untuk peserta dari kawasan Sumedang dan sekitarnya sudah masuk camp sejak siang, sedangkan peserta dengan titik jemput di Jakarta tapi non pesawat terbang sudah tiba di lokasi sejak sebelum waktu Ashar tiba.
 
 
Kampung Karuhun | @kaekaha

Bersabung ke artikel ke-tiga "Malam Pertama" di Writingthon Jelajahi Sumedang

Terima kasih, Semoga bermanfaat

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan KOMBATAN

  

 

 

 





 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 
 
 
 
 
 

Minggu, 01 Oktober 2023

Jar Nini, Kalau Mau Nabung Jangan Nunggu Ada Uang Sisa!



Yuk Nabung.... (Foto : Koleksi Pribadi)

Kalimat petuah diatas sebenarnya saya terjemahkan dari petuah Bahasa Banjar Bahari (Petuah Bahasa Banjar Jaman dulu) yang lengkapnya sebagai berikut "Jar Nini, Kalaunya handak manabung, jangan mahadangi ada uang labihan!" Secara umum terjemahannya kurang lebih sama dengan judul tulisan diatas. 

Intinya kalau mau menabung jangan menunggu ada duit sisa dan ungkapan paninian (Bhs. Banjar ; Nenek) tersebut secara tersirat memberi petunjuk agar kita merencanakannya dari awal bukan menunggu sisa di akhir (periode) dan menurut saya petuah paninian tersebut selaras dengan logika sederhana teori ekonomi makro (tertutup) Keynes Y = C + S dimana Y = Pendapatan (income)seharusnya secara teori ekuivalen dengan C = Konsumsi (consumption)ditambah S = Simpanan (Saving). 

Jadi petuah bahari (Bhs. Banjar ; lama/kuno) paninian diatas masih mempunyai relevansi dengan budaya saat ini, khususnya sebagai metode dasar bagi logika kita untuk menggerakkan alam sadar kita untuk peduli pada perencanaan keuangan (menabung) sejak dari awal atau bisa juga diterjemahkan sejak dari muda, sejak ada uang dan atau sejak masih produktif.

Memang, logika petuah paninian dan rumus keynes diatas sebagai dasar dari pola pikir perencanaan keuangan, relatif sangat sederhana dan menyederhanakan simpul kompleksitas elemen riil perekonomian (dalam keluarga) saat ini, karena fakta dilapangan memang tidak sesederhana itu. Banyaknya faktor yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat urban sekarang ini menuntut kecerdasan sikap, mental dan perilaku efektif guna mendapatkan pola perencanaan keuangan yang lebih dinamis, efektif dan efisien. Tapi setidaknya, seperti yang saya sebutkan diatas, konsep logika petuah paninianyang selaras dengan teori keynes diatas masih mempunyai relevansi sebagai dasar pijakan kita masyarakat urban dalam upaya mengelola keuangan. Sederhananya begini,

Teori Keynes (grafis : kelasx.blogspot.co.id)

Konsep Pendapatan = Konsumsi + Menabung, merupakan sebuah rumusan untuk kondisi ideal, karena faktanya masih banyak masyarakat kita yang polanya Pendapatan = Konsumsi atau tidak bisa menabung. Lantas bagaimana solusinya agar elemen S (menabung) bisa muncul? Menurut saya, orang tidak bisa menabung ada 2 (dua) penyebabnya, yaitu

A. Karena memang benar-benar pendapatannya sangat minim atau dibawah/sama dengan kebutuhan konsumsi.

Cara uji sederhana untuk mengetahui perimbangan antara pendapatan (Y), konsumsi (C) dan tabungan (S) bisa dicoba metode atau sistem amplop, caranya sediakan amplop sebanyak jenis rincian kebutuhan. Beri identitas amplop sesuai nama jenis kebutuhannya. Setelah itu, bagi yang berpenghasilan bulanan, bisa langsung membagi penghasilannya sesuai kebutuhan masing-masing pos/amplop. Hasilnya? Tentu ada tiga kemungkinan kurang, cukup/pas dan lebih. 

B. Karena gaya dan pola hidup tanpa konsep perencanaan keuangan. 

Dari kedua penyebab gagal menabung diatas, tentu membutuhkan cara yang berbeda untuk mendapatkan threatment-nya agar bisa move onuntuk menabung. Berikut logika threatment sederhananya,

Untuk kondisi A :

1. Pada keluarga dengan pola pendapatan ini, yang pertama harus dibenahi adalah mindset atau pola pikir tentang konsep menabung. Ikuti petuah paninian diatas, maksudnya jika kita diposisi ini buang jauh-jauh pola menabung menunggu ada sisa atau kelebihan uang, karena pasti tidak akan pernah mungkin terjadi. Jadi pola pikirnya harus dibalik, kita rencanakan semua  dari awal. Kita desain ulang semuanya dengan mengidentifikasikan prioritas kebutuhan kita. Karena inti keberhasilan kita menabung bukan berapa jumlah yang kita punya, tapi sejauh mana kita cermat dan bijaksana dalam mengdentifikasi prioritas kebutuhan kita. Dengan begitu, berapapun yang kita tabung asal konsisten Insha Allah akan menuntun kita pada pola kehidupan yang lebih teratur, berimbang dan memberi manfaat.

2. Bila mindset sudah bisa dikendalikan dan diajak kompromi, tapi konsep menabung dan tabungan masih belum maksimal teraplikasi. Bisa jadi penghasilan kita memang pas, atau Y = C. Kalau ini yang terjadi, berarti kita harus segera melangkah pada threatment berikutnya. Dari skala prioritas yang sudah kita susun tentu kita bisa melihat pos-pos mana yang mungkin tidak telalu urgentsehingga bisa dikurangi atau justeru di hilangkan. Sehingga alokasi dananya bisa dialihkan sebagian atau seluruhnya untuk simpanan.

Misalkan :

Diantara pos kebutuhan kita ada pos untuk entertaint seperti jalan-jalan atau berlibur, mungkin karena pos ini kurang urgent bisa dikurangi frekuensinya, sehingga anggaran pos-nya bisa dialihkan untuk tabungan.

3. Jika strategi pada point 2 diatas tetap tidak bisa memberikan kontribusi pada elemen S (tabungan) atau ada tapi tidak terlalu signifikan, berarti  harus segera melangkah pada threatment berikutnya, yaitu dengan mencari penghasilan tambahan.

Misalkan :

Di Banjarmasin banyak pencari ikan atau biasa disebut bubuhan paunjunan(Kelompok Pemancing), yang setelah mendapatkan ikan haruan (ikan gabus/kutuk) berbagai ukuran langsung dijual ke pengepul, mungkin polanya harus dirubah. Bila hasil melimpah jangan dijual semua, sebagian di keringkan dan yang masih kecil-kecil bisa dibesarkan dalam keramba. Bagus lagi, jika ikan haruan yang didapat dijual dalam bentuk olahan jadi atau masak, sehingga memberi nilai/harga yang lebih tinggi.

Untuk kondisi B :

Sebenarnya kurang lebih sama diawalnya, mungkin akan berbeda pada threatment lanjutannya. Berikut deskripsinya

1. Pada tahap awal, mindset atau pola pikir tentang konsep hidup, khususnya perencanaan keuangan (menabung) harus di setting ulang. Logika umumnya, sebagai manusia normal, untuk menjalankan sunatullah sebagai manusia tentu kita harus berpikir lebih jauh dari langkah kita sekarang. Kita harus menata dan mempersiapkan masa depan kita dengan perencanaan sebaik mungkin sebagai bagian dari ikhtiar kita. Selebihnya biar Tuhan yang memberikan jalan takdirnya.

Perencanaan keuangan metode amplop (Foto : Koleksi Pribadi)

2. Setelah mindset sudah bisa dikendalikan, coba ikuti petuah paninian diatas dan lanjutkan dengan mengaplikasikan perencanaan keuangan metode amplop seperti diatas, tapi dengan tujuan berbeda. Kalau contoh diatas tujuannya untuk memetakan posisi keuangan kita terhadap berbagai kebutuhan, disini tujuannya lebih kepada mengikuti pola perencanaan di awal atau secara sengaja memang mengalokasikan dana untuk ditabung dari awal, bukan menabung karena ada sisa.     

Kalau metode amplop sudah berjalan secara konsisten dan dalam periode tertentu mulai terlihat ada hasil apalagi hasil yang signifikan, biasanya akan memberikan kepuasan dan biasanya lagi akan memacu untuk lebih efektif dan efisien dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sampai pada tahap ini, lebih bagus lagi jika dana tabungan yang ada dikembangkan lagi melalui berbagai instrument investasi atau bisa juga untuk berwirausaha sesuai dengan minat, keahlian atau kemampuan yang dimiliki.


Tabungan Bank Syariah (Foto ; Koleksi Pribadi)


Pernak-pernik Perencanaan di Era Modern

Menabung, dalam bentuk uang, emas atau barang dan bahan pokok sejatinya sudah menjadi kebiasaan atau budaya masyarakat kita sejak dulu. Salah satu buktinya adalah adanya petuah dari paniniandiatas. Bukti lebih konkrit kita bisa melihat keberadaan lumbung padi di desa-desa yang sampai sekarang masih banyak yang eksis atau juga kotak perhiasan untuk menyimpan emas bagi para saudagar-saudagar jaman dulu dan mungkin yang paling sering kita lihat adalah berbagai bentuk celengan yang sejak kecil tentu sudah akrab dengan kita. Ada yang berbentuk ayam jago, burung, buah-buahan, bahkan ada juga yang berbentuk rumah-rumahan. Celengan jaman dulu selain bentuknya yang unik, bahan pembuatnya juga macam-macam, mulai dari keramik kaolin, tanah liat, seng, plastic sampai kayu atau bambu. Unik ya….!?

Tradisi menabung bahan pokok di lumbung padi (Foto : lps.go.id)

Menabung, merupakan salah satu aplikasi dari perencanaan keuangan yang paling umum di terapkan oleh masyarakat. Untuk secara tradisional, biasanya masyarakat menabung uang dengan memakai media celengan, dibawah kasur, di dalam bumbung tiang rumah dari bamboo dll. Sedangkan untuk cara yang lebih modern, lembaga perbankan merupakan institusi yang paling tepat untuk menabung.

Tapi inilah fakta unik masyaraklat Indonesia! Meskipun budaya menabung pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tradisi turun temurun, tapi uniknya untuk tabungan yang sifatnya formal di lembaga perbankan sepertinya masyarakat masih belum begitu antusias. Terbukti, dari publikasi data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di tahun 2015 dari total hampir 250 juta penduduk Indonesia baru sekitar 60 juta orang yang menjadi nasabah perbankan. Artinya prosentase penduduk Indonesia yang mau menabung di lembaga perbankan baru sekitar 25%.

Memang harus diakui, sejauh ini pemahaman masyarakat terhadap institusi perbankan masih relatif terbatas. Terutama di daerah pedesaan yang minim akses, baik edukasi (pendidikan), transportasi,  teknologi maupun komunikasi. Masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang konsep legalitas, teknis perbankan apalagi perkembangan aplikasi teknologi perbankan yang semakin maju pesat.  

Kebakaran, salah satu resiko menyimpan uang di rumah (Foto : lps.go.id)

Seperti di daerah saya, sampai sekarang masih ada saja seorang juragan itik yang tidak percaya dengan keamanan menyimpan uang di bank. Boleh percaya boleh tidak! Konon menurut keluarganya, uang yang jumlahnya ratusan juta, bahkan bisa jadi sampai milyaran hanya di taruh dalam lemari brankas saja, tanpa memperhitungkan resiko keamanannya, seperti bahaya kebakaran atau perampokan. Sementara di sisi masyarakat yang lain masih muncul berbagai ironi, bank masih dianggap sebagai “rumah uang”, jadi keberadaannya dianggap hanya untuk kalangan beruang (baca : mempunyai uang) saja!

Selain minimnya akses informasi tentang dunia perbankan, penyebab lain rendahnya minat masyarakat menabubg di bank ditengarai karena sebagian besar masyarakat pada dasarnya masih belum memahami konsep menabung ala petuah paniniandiatas. Sebagian besar masyarakat masih menganggap menabung adalah menyimpan uang sisa  atau uang labihan dari biaya kebutuhan hidup dalam periode tertentu.

Disinilah, mungkin tantangan kedepan yang paling nyata bagi perbankan dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan produktifitas dunia keuangan seperti OJK dan LPS! Sosialisasi dan edukasi berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia masih sangat diperlukan.

Logo LPS (grafis : lps.go.id)

Inilah fakta ironi yang harus segera dicarikan solusinya. Masyarakat harus tahu, keberadaan berbagai produk hukum termasuk lembaga yang mengatur dan menjamin sekaligus mengawasi transaksi perbankan di Indonesia, sehingga masyarakat akan lebih terbuka dengan akses dunia perbankan, karena aspek kemanan, legalitas dan kepastian pelaksanaan hak dan kewajiban antara keduanya lebih terjamin.

Salah satu contoh lembaga yang perlu disosialisaikan kepada masyarakat lebih intensif dan berkesinambungan adalah, keberadaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebagai lembaga mandiri yang berdiri berdasar UU No. 24/2004 dengan tugas utama menjamin simpanan nasabah di bank sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.

Infografis tentang LPS (Grafis : lps.go.id)

Masyarakat harus tahu prinsip kerja LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah pada seluruh bank konvensional dan bank syariah yang memiliki izin beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maksimal sebesar Rp. 2 Miliar/nasabah/bank [pokok simpanan + bunga (bank konvensional) atau bagi hasil (bank syariah)]. Artinya, masyarakat atau nasabah tidak perlu khawatir uang tabungan akan hilang jika kebetulan bank tempat menabung sedang bermasalah atau bahkan berhenti beroperasi, karena LPS akan membayar simpanan tersebut dalam waktu 5 hari setelah simpanan dinyatakan layak bayar  dengan memenuhi tiga persyaratan (3T), yaitu

Syarat simpanan nasabah yang dijamin LPS (grafis : lps.go.id)

  1. Tercatat dalam pembukuan bank.
  2. Tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga yang ditetapkan LPS.
  3. Tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, seperti memiliki kredit macet.

Anda sudah tahu?

Mempunyai akses dengan dunia perbankan di jaman sekarang sepertinya buka sebuah kewajiban lagi! Tapi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Selain fungsi utama sebagai lembaga yang akan membantu mengelola perencanaan keuangan masyarakat, baik sebagai individu maupun organisasi/kelompok dalam bentuk tabungan dengan berbagai variasi jenis dan model perencanaan didalamnya, berbagai fitur layanan perbankan seperti jasa transfer/pengiriman uang, fasilitas kredit dan produk-produk lainnya sepertinya akan semakin mempermudah proses kerja dan kinerja kita, termasuk strategi jitu kita untuk merencanakan keuangan dalam menjalani kehidupan yang penuh  dinamika kedepannya. Jadi tunggu apa lagi? Yuk menabung di Bank terbaik pilihan anda!!

 

Semoga bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 16 Mei 2016  jam  22:08 WIB (klik disini untuk membaca)


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

 

 

Senin, 04 September 2023

Merindukan Kerlap-kerlip Lampu Rumah Lanting di Sungai Martapura, Banjarmasin

Pemukiman Rumah Rumah Lanting di Tepian Sungai Barito | Republika

LANTING NINI 

Di atas sungai maapung rumah kayu
Bahatap daun, dinding basusun sirih
Palindung, panaduh pacang hidup, pang hidup
Jukung di higa bajarat pintang tanjak

Ta'ilan malam balantak baisukan
Nini saurangan manggatar kadinginan
Tabungkuk-bungkuk kaluar matan lawang lanting, batiti
Suluh di tangan panarang kajajakan

Di atas lanting, nini pang guring, nini pang makan
 Di atas lanting, nini sumbahyang, nini pang hidup

Basah bahalai limbah mambangkit lukah
Di sala batang ada jua kolehan
Balenggang lanting diayun galumbang, calap
Manyalau hari banyu mara ka hulu

Lagu berlirik bahasa Banjar dengan judul Lanting Nini, salah satu karya emas dari Alm. Ennos Karli yang juga tercatat sebagai  salah satu maestro lagu-lagu Banjar diatas menceritakan tentang rumah lanting, salah satu warisan kearifan tradisi dan budaya sungai, khas Urang Banjar berikut aktifitas paninian (nenek-nenek ; bhs Banjar) yang menediaminya.

Selain lagu legendaris Lanting Nini diatas, setidaknya ada beberapa lagi lagu banjar yang bakisah (bercerita ; bhs Banjar) tentang eloknya tradisi budaya rumah lanting yang tak kalah legend-nya, salah satunya yang paling saya suka adalah lagu dengan sound klasik nan unik yang kadang-kadang memunculkan kesan mistis dan juga misterius, berjudul  singgah di lanting karya S. Hendro. 




 

Apa Itu Rumah Lanting?

Dari wikipedia, rumah lanting  diartikan sebagai rumah rakit tradisional dengan pondasi rakit mengapung terdiri dari susunan tiga buah batang pohon kayu yang besar. 

Rumah lanting merupakan desain rumah portabel semi permanen khas masyarakat Banjar sebagai bentuk adaptasi terhadap fakta geografis wilayahnya sebagai kawasan dataran rendah yang didominasi perairan darat permanen, dimana rumah dibangun diatas permukaan air di tepian sungai dengan pondasi apung berupa kayu log atau batang kayu gelondongan utuh dengan kuantitas sesuai kebutuhan yang bisa berpindah dan juga dipindahkan kapan saja dengan menggunakan tenaga arus sungai.

Sejenis dengan rumah lanting menurut wikipedia juga terdapat di sepanjang DAS Musi di Palembang, Sumatera Selatan yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai rumah rakit. Sedangkan di Pulau Kalimantan sendiri, rumah lanting  selain ditemukan di sepanjang DAS Barito yang memanjang dari pedalaman Kalimantan Tengah di daerah hulu Barito sampai ke Kalimantan Selatan, khususnya di Kota Banjarmasin, juga ditemukan di berbagai DAS di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.  

Untuk menjaga pergerakan akibat arus sungai, seperti jukung, kelotok dan alat transportasi khas sungai lainnya, rumah lanting juga harus ditambatkan dengan cara mengaitkan tali tambang dari bangunan rumah lanting ke tihang pancang (tiang pancang;bhs Banjar) dari besi ataupun kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) di tepian sungai. 


Miniatur Model Rumah Lanting Sederhana | Koleksi TROPENMUSEUM, Belanda

Bangunan rumah diatas pondasi "pengapung" tersebut semuanya berbahan dasar kayu, khusus untuk pondasi pengapung, karena sekarang untuk mendapatkan kayu log utuh sangat sulit, maka untk merenovasi rumah lanting, rata-rata menggantinya dengan paring alias bambu dengan cara menyatukan beberapa ruas sesuai kebutuhan.

Untuk bahan tawing (dinding;bhs banjar) dan lantai, seperti layaknya rumah tradisional Banjar pada umumnya, biasanya menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri)tapi karena kayu ulin semakin mahal, khusus untuk bagian tawing inimasyarakat telah banyak yang menggunakan jenis kayu lain yang lebih murah, tapi tetap mempunyai kekuatan yang raltif tahan lama. Itulah sebabnya, rumah lanting jadul dapat bertahan hingga 50 tahun atau setengah abad. 

Sedangkan untuk bagian atap, sebagian besar menggunakan atap rumbia dan sebagian saja yang menggunakan atap sirap. Tapi, dari sekian banyak rumah lanting yang masih eksis di seputaran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Seperti di kawasan kampung Pasar Lama, Seberang Mesjid, Sei Jingah, Sei Lulut, Sei Alalak, Pengambangan dan juga di Banua Anyar semuanya sudah beralih menggunakan atap dari bahan seng.

Rumah lanting yang pada umumnya dibangun sederhana dengan konsep minimalis dengan mengadopsi layaknya bangun persegipanjang dengan komposisi melebar kebagian kiri atau kanan dengan ukuran umum antara 4 x 3 meter hingga 5 x 4 meter saja, juga dilengkapi layaknya elemen bangunan rumah pada umumnya, seperti lawang (pintu), lalungkang (jendela) dan juga beberapa fungsi ruangan, seperti ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Sedangkan untuk toilet dan kamar mandi umumnya dibangun secara terpisah dari bangunan induk.

Untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan daratan yang umumnya berjarak sekitar 2 sampai 3 meter , biasanya disekitar pemukiman rumah-rumah lanting juga dibangun titian atau semacam jembatan kecil penghubung ke daratan yang biasanya terbuat dari kayu ulin atau ada juga yang menggunakan material dari bahan pohon kelapa (Cocos nucifera) tua yang juga sangat kuat.


Barisan Rumah Lanting | didimeka.blogspot.com

Keunikan Rumah Lanting

Jika memperhatikan kawasan pemukiman rumah lanting yang tersisa di Kota 1000 Sungai seperti tersebut diatas, kawasan-kawasan tersebut dulunya merupakan jalur lalulintas transportasi sungai dan juga perdagangan masyarakat dari dan menuju pedalaman DAS Martapura yang juga menginduk ke DAS Barito  yang pada masanya tidak pernah sepi dari keramaian dan juga hiruk pikuk tranksaksi perdagangan lintas daerah. 

Tidak heran jika beragam alat transportasi sungai, baik yang masih tradisional maupun modern, dari yang paling kecil seperti jukung, kelotok dan speedboat sampai yang paling besar seperti bus air biasa hilir mudik di kawasan ini baik untuk mengantarkan penumpang maupun barang-barang logistik keperluan masyarakat, termasuk sembako. 

Inilah sensasi unik tinggal di rumah lanting! Selain desain arsitekturnya yang unik,  juga fisik bangunannya yang terus mengapung mengikuti ketinggian permukaan air sungai, sehingga bisa memungkinkan untuk pindah tempat kapan saja dan pastinya tidak akan mungkin untuk kebanjiran, sensasi tinggal di rumah lanting juga tidak kalah seru! 

Tidak jauh berbeda dengan tinggal diatas kapal, berdiam di dalam rumah lanting juga bisa merasakan "goyangan" riak permukaan sungai akibat adanya aktifitas lalu lintas transportasi sungai yang intensitas dan juga kekuatannya tergantung dari jenis dan juga kerapatan lalulintas alat transportasi yang lalu-lalang. Asyik kan?

Barisan Rumah Lanting | didimeka.blogspot.com

Rumah lanting khas Suku Banjar di aliran Sungai Martapura, Kota Banjarmasin yang masih bertahan | Donny Muslim/banjarhits.id 

Fakta Terkini Rumah Lanting

Rumah Lanting sebagai salah satu kearifan lokal budaya sungai khas masyarakat Banjar yang telah berusia ratusan tahun, sekaligus salah satu jenis hunian tradisional khas Suku Banjar, eksistensinya terus meredup tergilas modernisasi dan juga pragmatisme zaman. Khusus di Kota Banjarmasin, populasinya saat ini bisa dibilang tinggal hitungan jari saja.

Pemandangan ini sangat kontras dengan medio 2000-an atau sekitar dua dekade silam. Tidak usah jauh-jauh, di kawasan kampung ketupat di Sungai Baru yang merupakan anak sungai dari DAS Martapura yang berada tepat di jantung Kota 1000 Sungai, saat itu masih banyak rumah lanting yang berdiri di tepian sungai yang sebenarnya relatif tidak terlalu lebar dan hanya biasa dilewati jukung atau kelotok itu.

Uniknya, fakta kontradiktif lenyapnya salah satu ikon budaya sungai khas Urang Banjar ini terjadi dan berlangsung secara masif, justeru sejak pemerintah Kota berniat untuk merevitalisasi sungai-sungai yang membelah wilayah daratan Kota Banjarmasin , kira-kira sejak tahun 2015. Kebijakan  pemerintah Kota merelokasi dan merehabilitasi rumah lanting tidak berjalan seperti yang diharapkan dan justeru terkesan "menghapus" keberadaan rumah lanting di tepian sungai-sungai yang ada di Banjarmasin.


Suasana Pemukiman di Tepian Sungai Kota Banjarmasin | apahabar.com

Memang harus diakui, revitalisasi berbagai sungai yang dilakukan oleh pemerintah Kota sejauh ini memang memberikan dampak signifikan bagi ekosistem sungai dan juga pariwisata di Kota Banjarmasin yang memang terus terus berusaha bertransformasi menjadi kota wisata sungai terbaik di dunia, tapi kebijakan yang juga berdampak "terhapusnya" salah satu elemen tradisi budaya sungai tetap saja bukan opsi terbaik!

Karena  rumah lanting bukan hanya sekedar rumah tinggal mengapung di tepian sungai semata, tapi didalamnya juga menyimpan khazanah kearifan tradisi dan budaya unik dan khas masyarakat Banjar yang begitu otentik dan tak ternilai, mulai dari keunikan arsitektur, teknologi ramah lingkungan, kecerdasan adaptif pada alam dan lingkungan, fleksibilitasnya yang luar biasa dan lain-lain. 

Artinya, ada banyak elemen yang sangat berharga dalam sebuah bangunan rumah lanting yang akhirnya ikut lenyap dan terkubur oleh waktu ketika pemerintah justeru merelokasi dan merehabilitasi pemukiman terapung tanpa ada upaya untuk melestarikannya. 


Memindahkan Rumah Lanting Zaman Sekarang dengan Bantuan Kelotok atau Perahu Bermesin Tempel | wikipedia

Pandangan ini senada dengan pernyataan Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan, Mansyur yang menyatakan bahawa "Eksistensi lanting dalam masyarakat Banjar memiliki salah satu nilai penting sebagai pelestarian kebudayaan yang dimiliki. Begitu juga dengan pandangan dosen Arsitektur Universitas Lambung Mangkurat, Ira Mentayani,.

Menurutnya, Kota Banjarmasin tidak perlu meniru negara-negara lain dalam mendesain revitalisasi kebermanfaatan potensi sungai, karena karakteristik budaya asli Suku Banjar yang identik sekaligus otentik sungainya, memang sangat menarik dan mempunyai nilai-nilai estetika mumpuni sekaligus bernilai tinggi jika benar-benar dikelola dan dikembangkan dengan baik secara maksimal. Salah satunya, ya dengan merevitalisasi berbagai kearifan rumah lanting yang berdiri tepian berbagai sungai. 

Memang, secara faktual bangunan rumah lanting yang masih tersisa banyak yang terlihat tidak sedap dipandang mata, sehingga memberi kesan kumuh, kotor dan jorok. Ya wajar saja, karena sebagian besar bangunan rumah lanting yang masih tersisa memang hanya difungsikan sekedar sebagai rumah tinggal pribadi yang sepertinya samasekali tanpa sentuhan pembinaan yang memadai dari berbagai pihak yang berkepentingan, khsusnya untuk urusan estetika apalagi untuk perawatannya dan itu semua masih sangat bisa untuk disempurnakan


Barisan Rumah Lanting | didimeka.blogspot.com

Sayangnya, sampai hari ini sepertinya memang belum ada niatan pemerintah untuk melestarikan keberadaan bangunan rumah lanting di sungai-sungai yang membelah Kota Banjarmasin tersebut, atau setidaknya memberdayakannya dengan cara membinanya sebagai bagian dari pelestarian budaya  atau syukur-syukur sekaligus membedahnya agar menjadi lebih layak dan menarik, sehingga juga bisa menjadi daya tarik bagi pelancong yang datang ke Banjarmasin.

Syukurnya, ditengah-tengah menghilangnya penampakan sebagian besar rumah lanting, juga memunculkan banyak ide cemerlang dari masyarakat yang sejatinya juga tidak rela budaya unik khas Urang Banjar ini kelak hanya menjadi dongeng bagi anak cucu, termasuk saya yang terus merindukan kerlap-kerlip lampunya di malam hari yang begitu indah dan selalu membuat karindangan (rindu berat;bhs Banjar).

Buktinya, banyak sekali bermunculan ide-ide segar untuk melestarikan rumah lanting, bahkan tidak hanya ide dari segi arsitektur dan materi fisik bangunannya saja, tapi juga dari segi pemanfaatannya, seperti dijadikan rumah makan apung, perpustakaan, juga hotel atau penginapan dan banyak lagi yang lainnya.


Semoga bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Minggu, 27 Agustus 2023

Mengenal dan Memahami Uniknya Tradisi Kulineran Urang Banjar di Seputar Lebaran

Mengenal dan Memahami Uniknya Tradisi Kulineran Urang Banjar di Seputar Lebaran
Ragam Hidangan Lebaran di Banjar | @kaekaha

 

Salah satu tradisi berlebaran Urang Banjar yang sepertinya akan terus eksis adalah kulineran alias makan-makan. Setiap menjelang lebaran, umumnya masing-masing keluarga sudah menyusun list jenis masakan tradisional khas Banjar yang akan dimasak untuk dihidangkan kepada teman, sahabat, dingsanak dan tamu-tamu lainnya yang datang berlebaran ke rumah.

Semua tidak lepas dari tradisi bailang atau tradisi saling mengunjungi yang telah menjadi tradisi turun temurun Urang Banjar sebagai pengejawantahan ketaatan kepada Rasulullah SAW, terkait keutamaan sunnah menjalin silaturahmi.

Katupat Batumis | @kaekaha
Katupat Batumis | @kaekaha

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,

"Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)."

 (HR. Bukhari no. 5983)

Menariknya, tradisi saling mengunjungi yang semakin menemukan momentumnya saat lebaran tiba ini, pada gilirannya juga menuntun hadirnya tradisi Urang Banjar lainnya yang juga bersumber dari sunnah Rasulullah, yaitu tradisi untuk memuliakan tamu (dalam konteks ini diterjemahkan sebagai memberi makan), sebuah tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah sejak 14 abad silam.  

Laksa Banjar | @kaekaha
Laksa Banjar | @kaekaha

Jadi, alasan Urang Banjar terus melestarikan tradisi kulineran di saat lebaran, selain untuk merayakan hari kemenangan, sejatinya berangkat dari niat untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW dengan menghidupkan silaturahmi, sekaligus memuliakan tamu, dua buah tradisi yang berakar dari tuntunnan Rasulullah SAW yang tentunya, Insha Allah ada nilai pahalanya di sisi Allah SWT. 

Uniknya, mungkin karena sejarah tradisi bailang pada awalnya hanya melibatkan elemen keluarga saja atau lingkaran dalam dingsanak yang tentunya bubuhan Urang Banjar jugamaka wajar jika secara tradisi juga, ragam kuliner yang biasa dihidangkan selama lebaran umumnya juga kuliner tradisional khas Banjar saja dan itu tetap berlaku sampai sekarang.

Lontong Tampusing | @kaekaha
Lontong Tampusing | @kaekaha

Memang, "globalisasi" tetap memaksakan adanya perubahan, tapi syukurnya untuk urusan kuliner, Urang Banjar termasuk  entitas budaya yang tidak mudah baliuran alias mudah tergoda untuk pindah kelain selera. Untuk yang satu ini, mereka bahkan layak disebut mempunyai "militansi" yang cukup kuat untuk mempertahanakan selera "tradisi". 

Jangan heran jika, anda bertemu dengan Urang Banjar yang tengah merantau, entah untuk sekolah, kerja, naik haji, umrah atau apa saja, selalu membawa bekal beras, cabai merah kering, iwak wadi, iwak karing dan lain-lannya atau masih saja minta kiriman dari kampung di Kalimantan Selatan!

Salada Banjar | @kaekaha
Salada Banjar | @kaekaha

Bersyukurnya, sekarang semua menyadari! Jika pada awalnya, semua berangkat dari niat baik untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW, ternyata berkah yang dibawa mengalir kemana-mana dan salah satunya adalah tetap terjaganya beragam tradisi di seputar lebaran dan tentunya beragam kuliner banjar juga tetap eksis.

Beruntungnya lagi, lebaran kali ini situasinya jauh lebih kondusif jika dibanding dengan dua edisi lebaran sebelumnya. Situasi yang berangsur normal, memungkinkan umat Islam di Kota 1000 Sungai kembali saling bailang. 

Itu artinya, kita semua akan bertemu dengan aneka menu kuliner saraba nyaman (serba nyaman : bhs Banjar) seperti Soto Banjar, Katupat Kandangan, Rawon, Lontong Tampusing, Katupat Batumis, Itik Panggang, Laksa Banjar, Iwak Babanam, Salada Banjar dan beragam wadai karing (kue kering : bhs Banjar) serta minuman-minuman segar berkhasiat khas Kalimantan.

Jadi kapan anda semua bailang, berlebaran di Banjarmasin?

Semoga bermanfaat!

"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H"


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




Melepaskan Kerinduan Kampung Halaman di Gerobak "Tahu Campur Cak Di"

Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin
Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin | @kaekaha

Pernah makan Tahu Campur, Lamongan dan Lontong Balap, Surabaya? Itu lho, kuliner sedap bercitarasa khas daerah pesisir yang berbumbu dasar petis udang!?. 

Di berbagai kota di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur. 2 (dua) kuliner ini relatf masih mudah dijumpai. Baik yang sudah manggon (menetap) maupun yang menjajakan dengan cara berkeliling pakai gerobak. 

2 (dua) kuliner dari Jawa Timur ini berasal dari daerah yang berbeda, tahu campur dari Lamongan dan lontong balap dari Surabaya. Dua daerah ini sama-sama berada di pesisir utara Jawa Timur. Jadi wajar kalau kedua kuliner tersebut mempunyai citarasa dan kelezatan yang kampir serupa, karena sama-sama menggunakan bumbu utama petis udang, salah satu hasil olahan hasil laut khas masyarakat pesisir.

Meskipun mempunyai beberapa kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan bumbu utama petis udang dan sama-sama berasal daerah pesisir utara Jawa Timur, tapi karena berasal dari dua daerah yang berbeda, Tahu Campur dari Lamongan dan Lontong Balap dari Surabaya, maka 2 (dua) kuliner ini mempunyai cirikhas bahan pelengkap dan citarasa yang berbeda, dijual oleh penjual yang berbeda dan dilokasi yang berbeda juga. Tidak ada yang satu lokasi.

Dandang khas penjual Tahu Campur
Gerobak dan Dandang khas penjual Tahu Campur | @kaekaha


Biasanya 2 (dua) kuliner ini dijual secara single fighter. Artinya pedagang hanya menjual satu jenis kuliner saja Tahu Campur atau Lontong Balap saja, terutama untuk pedagang keliling. Sedangkan untuk pedagang yang manggon, kadang-kadang (walaupun sangat jarang) ada juga yang menyelipkan kuliner lainnya yang biasanya berasal dari daerah yang sama. 

Misalkan,Tahu Campur dengan Soto Ayam yang sama-sama dari Lamongan, sedangkan Lontong Balap dengan Kupang Lontong, kuliner berbumbu dasar petis udang dan berbahan dasar biota laut yang oleh warga setempat disebut kupang, kuliner dari Kota Sidoarjo yang kebetulan juga kota pesisir utara Jawa Timur, bertetangga dengan Surabaya.

Khusus pedagang yang menjajakan 2 (dua) kuliner ini dengan berkeliling, masing-masing mempunyai keunikan dan kehasan sendiri-sendiri. Untuk pedagang Tahu Campur, mudah dikenali dari model gerobak dan bentuk dandang yang dipakai untuk wadah kuah kaldu tetelan/urat daging sapi yang ditaruh di ruas bagian depan gerobak. 

Biasanya, penjaja keliling ini menulis identitasnya dengan sticker warna ngejreng kuning/merah dengan huruf ukuran besar ditempel pada kaca atau lambung gerobak, bertuliskan "Tahu Campur Lamongan". Mereka masih mudah dijumpai, terutama di daerah Surabaya dan sekitarnya serta daerah tapal kuda yang dimulai dari Kota Pasuruan kearah timur sampai Kota Jember dan sekitarnya.

Sementara untuk pedagang Lontong Balap, biasanya tidak memakai gerobak dorong untuk keliling menjajakan dagangannya tapi menggunakan pikulan. Hanya saja, sepertinya sekarang sudah sangat langka bahkan mungkin memang sudah tidak ada yang berjualan Lontong Balap dengan cara berkeliling, bahkan di kota asalnya Surabaya.

Tahu Campur + Sate Cingur
Tahu Campur + Sate Cingur | @kaekaha

Tentang Tahu Campur dan Lontong Balap yang Sedapnya Melegenda!

Bagi masyarakat Jawa Timur atau paling tidak masyarakat yang pernah tinggal di Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya kearah timur, kuliner Tahu Campur tentu sudah tidak asing lagi. Kuliner khas dari Kota Lamongan ini dibuat dari beberapa campuran bahan, seperti tetelan daging sapi, tahu goreng, perkedel singkong (sebagian menyebutnya lentho), taoge atau kecambah mentah, selada air mentah, mi kuning dan kerupuk udang yang ditaruh diatas bumbu petis, bawang goreng yang di lumatkan dan sambal (jika suka pedas), sebagian lagi ada yang menambahkan irisan lontong didalamnya.

Konon, asal muasal kuliner tahu campur tak lepas dari saudara tuanya kuliner soto, yang kebetulan sudah lebih dulu dikenal sebagai kuliner khas Kota Lamongan. Singkat cerita, ketika merasa lapar dan ingin makan sepulang dari berdagang soto dengan gerobaknya, ternyata yang tersisa di gerobak tinggal kuahnya saja. Kebetulan didapur adanya cuma petis (biasanya masyarakat pesisir utara Jawa Timur memang selalu siap sedia di dapur, seperti halnya kerupuk udang) daun slada, tahu dan mie. Akhirnya bahan seadanya ini di yang di santap.... Eh ternyata keenakan! Jadi deh cikal bakal kuliner tahu campur.... (diolah dari berbagai sumber)

Memperhatikan secara langsung penyajian Tahu Campur sampai siap untuk dihidangkan, ternyata semakin membuat gairah ber-tahu campur semakin menggebu lho...... beda bila kita cuma duduk manis di meja menunggu hidangan datang! 

Pertama-tama, bawang putih goreng dilumatkan diatas piring dengan menggunakan sendok, setelah itu diatas piring dituang petis udang secukupnya (wujud fisiknya seperti pasta berwarna hitam kecoklatan dengan bau khas menggugah selera yang merupakan inti dari bumbu Tahu Campur). Selanjutnya adonan diberi sedikit kuah kaldu untuk mengencerkan dengan cara diaduk-aduk menggunakan sendok.

Kalau menginginkan citarasa pedas, pada adonan bisa langsung ditambah dengan sambal sesuai selera. Setelah adonan bumbu siap, bahan pelengkap berupa mie kuning basah/matang, taoge/kecambah segar/mentah, irisan besar daun selada mentah/segar, irisan tahu goreng dan perkedel singkong/lentho ditambahkan kedalam piring. Kemudian disiram dengan kuah kaldu tetelan/urat daging sapi berikut tetelannya, baru diatasnya diberi kerupuk udang. Hmmmmm baunya yang khas dijamin membuat liur menetes...... tes...tes....

Lontong Balap + Sate kerang bumbu kecap
Lontong Balap + Sate kerang bumbu kecap | @kaekaha


Legenda Lontong Balap, Berawal dari Stasiun Wonokromo

Menurut teman yang asli Surabaya, semasa tinggal di Sidoarjo antara tahun 2000-2005, sejarah asal-muasal penamaan kuliner "Lontong Balap" berasal dari perilaku pedagang kuliner ini ketika menyongsong penumpang kereta api yang baru turun di Stasiun Wonokromo Surabaya yang saling berlari/balapan dengan sesama pedagang lainnya lengkap dengan dagangan yang dipikul. 

Karena saat itu pedagangnya sendiri belum mempunyai nama definitif untuk kuliner yang dijajakannya, lama-kelamaan akhirnya masyarakat memberi nama kuliner yang mereka jajakan dengan nama Lontong Balap, merujuk dari perilaku pedagangnya yang balapan menyongsong pembeli.

Kuliner Lontong balap sedikit berbeda dengan Tahu Campur. Meskipun sama-sama berkuah kaldu berbahan daging sapi dan tambahan bumbu utama petis udang, Bahan pelengkap kuliner Lontong balap tidak seramai Tahu Campur. 

Bahan pelengkap menyajikan Lontong Balap relatif sederhana, hanya terdiri dari lontong, irisan tahu pong goreng, taoge segar, lentho singkong/kacang tolo yang digoreng kering dan taburan kerupuk udang, biasanya untuk menyantapnya akan lebih nikmat jika ditemani dengan sate kerang bumbu kecap. Hmmmmm... pasti menetes liur!


Tahu Campur di Banjarmasin

Di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan secara umum, ada 2 (dua) versi atau jenis tahu campur yang di jual oleh pedagang. 

Pertama tahu campur versi Lamongan yang kebetulan relatif lebih susah mencarinya dan yang kedua adalah tahu campur versi Jawa Gambut (komunitas orang Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan. Meskipun rata-rata berbudaya Jawa, biasanya mereka belum pernah menginjakkan kaki ke Pulau Jawa). Untuk kuliner tahu campur versi Jawa Gambut ini lebih mirip dengan kuliner tahu lontong dengan bumbu pecel di daerah Madiun dan sekitarnya.  

Memang, biasanya untuk kuliner tahu campur versi kedua ini tidak menambahkan embel-embel kata Lamongan/Surabaya sebagai penanda, tapi dijamin kedua jenis tahu campur ini sama-sama enaknya! Tapi bagi anda yang berkesempatan jalan-jalan ke Banjarmasin dan ingin berburu kuliner Jawa Timuran, khususnya tahu campur ada baiknya tanya dulu biar tidak salah!

Sate cingur dan sate kerang
Sate cingur dan sate kerang | @kaekaha


Berbeda dengan di daerah asalnya Jawa Timur, bukan perkara mudah untuk mendapatkan kuliner Tahu campur Lamongan di Kalimantan Selatan, bahkan di ibu kota propinsi seperti Kota Banjarmasin sekalipun yang selama ini dikenal banyak masyarakat pendatang dari Pulau Jawa, termasuk dari Jawa Timur.

Sejauh ini, saya menemukan ada 2 (dua) titik penjaja kuliner Tahu Campur di Kota Banjarmasin yang masih eksis, yaitu di Jalan Jafri Zam-Zam daerah Teluk Dalam dan "Tahu Campur Cak di" yang biasa mangkal di dua tempat berbeda tiap harinya. Pagi antara jam 10.00-14.00 WITA mangkal di seberang Masjid Asy Syafaat di Jalan Kuripan dan setelahnya antara jam 14.00-22.00 WITA mangkal di Jalan A.Yani Km. 2,5 atau di depan gang SD Muhammadiyah 9 dekat kantor PDAM Bandarmasih, Banjarmasin. 

Sebenarnya, dulu sekitar 4 (tiga) tahun yang lalu ada satu lagi penjaja kuliner Tahu Campur Lamongan di daerah bundaran Kamboja, Kota Banjarmasin. Sayangnya sejak lahan Kamboja disterilkan dari pedagang kaki lima karena proyek pembangunan kawasan terbuka hijau Kamboja beberapa tahun yang lalu, pedagang kaki lima yang yang biasanya mangkal di sekitar Kamboja akhirnya terdiaspora ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, termasuk si pedagang kuliner Tahu Campur.

Berbeda dengan penjaja kuliner Tahu Campur di Surabaya dan Jawa Timur umumnya yang biasa menulis "Tahu Campur Lamongan" sebagai identitas, Cak Di lebih memilih menuliskan "Tahu Campur dan Lontong Balap Surabaya ". Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini.

Pertama, Cak di memang tidak hanya menjajakan Tahu Campur saja layaknya penjaja Tahu Campur di daerah asalnya, tapi juga menjual beberapa sajian kuliner asli Jawa Timur lainnya yang kebetulan khas dari Surabaya, yaitu "Lontong Balap", sate cingur (blbir sapi) dan sate kerang. Khusus untuk sate cingur dan sate kerang, posisinya sebagai pelengkap atau teman menyantap tahu campur atau lontong balap. Karena alasan itulah label "Lamongan" sengaja diganti dengan label "Surabaya". "Biar lebih luas cakupan makna wilayahnya" kata Cak Di.

Kedua, menurut Cak Di dengan menulis "Surabaya" beliau beranggapan akan mewakili Jawa Timur yang lebih luas (Majas Sinekdok pars pro toto). Beliau yakin dengan strategi ini, segmen kuliner Tahu Campur dan Lontong Balap yang dijualnya akan semakin luas mengikat batin dan selera rasa semua masyarakat Banjarmasin, terutama yang pernah berhubungan dengan Jawa Timur, bukan hanya orang Lamongan dan Surabaya saja.

Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin

Hipotesa Cak Muradi, nama lengkap pria asli kelahiran Tulangan, Sidoarjo yang besar di daerah Darmo Surabaya ini sangat beralasan dan terbukti tepat, maklum sudah berjualan Tahu Campur di Banjarmasin lebih dari 15 tahun dengan lokasi berpindah-pindah. 80% pelanggan yang menyambangi gerobaknya memang masyarakat Banjarmasin dengan latar belakang dari berbagai daerah di Jawa Timur atau paling tidak orang yang pernah berhubungan dengan Jawa Timur, seperti pernah sekolah/kuliah di Jawa Timur, tugas kerja/dinas di Jawa Timur ada pula karena suami/istri orang Jawa Timur sehingga ikut-ikutan kesengsem dengan kuliner dari Jawa Timur.

Seperti sore kemarin, saya yang kebetulan sedang asyik menikmati racikan Tahu Campur, melihat pasangan suami istri yang masih memakai seragam dinas duduk di kursi kayu sederhana dihadapan saya. Dari bahasa komunikasi yang dipakai jelas terlihat si Bapak yang medok Jawanya (dari logatnya terlihat dari daerah Jawa Timur bagian barat seperti Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo atau Pacitan) dan si Ibu yang kental logat Banjar pahuluan (Logat Bahasa Banjar Hulu/Daerah Banua Lima, yaitu lima daerah di utara Kalimantan Selatan yang meliputi Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong dan Balangan) mereka memesan masing-masing sepiring Tahu Campur dan sepiring Lontong Balap. Usut punya usut setelah ngobrol dengan mereka, benar juga dugaan saya si Bapak asli dari Ponorogo kota reog sedangkan si Ibu asli dari Alabio, Hulu Sungai Utara. Mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Universitas Jember Jawa Timur dan akhirnya menetap di Banjarmasin sejak diterima sebagai PNS di Kalimantan Selatan.

Cakdi meracik tahu campur pesanan pelanggan
Cakdi meracik tahu campur pesanan pelanggan | @kaekaha



Menurut Cak Di, menjual kuliner khas Jawa Timur yang sekarang menjadi "sawah dan ladangnya" sejak merantau ke Banjarmasin, memberinya banyak pengalaman menakjubkan yang tak terduga. Gerobak jalanan beserta seperangkat meja kursi kayu sederhana yang selama ini menjadi teman sekaligus rekan kerjanya berjualan Kuliner Tahu Campur dan Lontong Balap telah memberinya penghasilan cukup untuk keluarga dan  mempertemukannya dengan banyak saudara dan keluarga baru di tanah rantau, tanah seberang Kalimantan Selatan. Tidak hanya itu, bahkan tidak terhitung sudah berapa jumlah kawan lama, saudara jauh bahkan "mantan" lama yang dipertemukan lagi di meja dan kursi kayunya yang sederhana itu..... so sweeeet!

Jadi untuk saudara-saudara dan teman-teman masyarakat Jawa Timur atau siapa saja yang ingin merasakan sensasi travelling ke Kalimantan Selatan berikut sajian wisata kulinernya, jangan kuatir tidak ada kuliner nikmat "bercita rasa" khas Jawa Timur dengan harga merakyat, karena gerobak Kuliner "Tahu Campur dan Lontong Balap Surabaya-nya" Cak Di siap menuntun anda menjelajahi sensasi menikmati kuliner jalanan bercita rasa khas Jawa Timur ala Kota Banjarmasin yang pasti ngangeni.

Monggo pinarak!


Semua foto : Koleksi pribadi

Sebagian konten tulisan di ambil dari Blog pribadi saya "Kalbuning Manah Hati"