Minggu, 27 Agustus 2023

Mengenal dan Memahami Uniknya Tradisi Kulineran Urang Banjar di Seputar Lebaran

Mengenal dan Memahami Uniknya Tradisi Kulineran Urang Banjar di Seputar Lebaran
Ragam Hidangan Lebaran di Banjar | @kaekaha

 

Salah satu tradisi berlebaran Urang Banjar yang sepertinya akan terus eksis adalah kulineran alias makan-makan. Setiap menjelang lebaran, umumnya masing-masing keluarga sudah menyusun list jenis masakan tradisional khas Banjar yang akan dimasak untuk dihidangkan kepada teman, sahabat, dingsanak dan tamu-tamu lainnya yang datang berlebaran ke rumah.

Semua tidak lepas dari tradisi bailang atau tradisi saling mengunjungi yang telah menjadi tradisi turun temurun Urang Banjar sebagai pengejawantahan ketaatan kepada Rasulullah SAW, terkait keutamaan sunnah menjalin silaturahmi.

Katupat Batumis | @kaekaha
Katupat Batumis | @kaekaha

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,

"Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)."

 (HR. Bukhari no. 5983)

Menariknya, tradisi saling mengunjungi yang semakin menemukan momentumnya saat lebaran tiba ini, pada gilirannya juga menuntun hadirnya tradisi Urang Banjar lainnya yang juga bersumber dari sunnah Rasulullah, yaitu tradisi untuk memuliakan tamu (dalam konteks ini diterjemahkan sebagai memberi makan), sebuah tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah sejak 14 abad silam.  

Laksa Banjar | @kaekaha
Laksa Banjar | @kaekaha

Jadi, alasan Urang Banjar terus melestarikan tradisi kulineran di saat lebaran, selain untuk merayakan hari kemenangan, sejatinya berangkat dari niat untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW dengan menghidupkan silaturahmi, sekaligus memuliakan tamu, dua buah tradisi yang berakar dari tuntunnan Rasulullah SAW yang tentunya, Insha Allah ada nilai pahalanya di sisi Allah SWT. 

Uniknya, mungkin karena sejarah tradisi bailang pada awalnya hanya melibatkan elemen keluarga saja atau lingkaran dalam dingsanak yang tentunya bubuhan Urang Banjar jugamaka wajar jika secara tradisi juga, ragam kuliner yang biasa dihidangkan selama lebaran umumnya juga kuliner tradisional khas Banjar saja dan itu tetap berlaku sampai sekarang.

Lontong Tampusing | @kaekaha
Lontong Tampusing | @kaekaha

Memang, "globalisasi" tetap memaksakan adanya perubahan, tapi syukurnya untuk urusan kuliner, Urang Banjar termasuk  entitas budaya yang tidak mudah baliuran alias mudah tergoda untuk pindah kelain selera. Untuk yang satu ini, mereka bahkan layak disebut mempunyai "militansi" yang cukup kuat untuk mempertahanakan selera "tradisi". 

Jangan heran jika, anda bertemu dengan Urang Banjar yang tengah merantau, entah untuk sekolah, kerja, naik haji, umrah atau apa saja, selalu membawa bekal beras, cabai merah kering, iwak wadi, iwak karing dan lain-lannya atau masih saja minta kiriman dari kampung di Kalimantan Selatan!

Salada Banjar | @kaekaha
Salada Banjar | @kaekaha

Bersyukurnya, sekarang semua menyadari! Jika pada awalnya, semua berangkat dari niat baik untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW, ternyata berkah yang dibawa mengalir kemana-mana dan salah satunya adalah tetap terjaganya beragam tradisi di seputar lebaran dan tentunya beragam kuliner banjar juga tetap eksis.

Beruntungnya lagi, lebaran kali ini situasinya jauh lebih kondusif jika dibanding dengan dua edisi lebaran sebelumnya. Situasi yang berangsur normal, memungkinkan umat Islam di Kota 1000 Sungai kembali saling bailang. 

Itu artinya, kita semua akan bertemu dengan aneka menu kuliner saraba nyaman (serba nyaman : bhs Banjar) seperti Soto Banjar, Katupat Kandangan, Rawon, Lontong Tampusing, Katupat Batumis, Itik Panggang, Laksa Banjar, Iwak Babanam, Salada Banjar dan beragam wadai karing (kue kering : bhs Banjar) serta minuman-minuman segar berkhasiat khas Kalimantan.

Jadi kapan anda semua bailang, berlebaran di Banjarmasin?

Semoga bermanfaat!

"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H"


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




Melepaskan Kerinduan Kampung Halaman di Gerobak "Tahu Campur Cak Di"

Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin
Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin | @kaekaha

Pernah makan Tahu Campur, Lamongan dan Lontong Balap, Surabaya? Itu lho, kuliner sedap bercitarasa khas daerah pesisir yang berbumbu dasar petis udang!?. 

Di berbagai kota di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur. 2 (dua) kuliner ini relatf masih mudah dijumpai. Baik yang sudah manggon (menetap) maupun yang menjajakan dengan cara berkeliling pakai gerobak. 

2 (dua) kuliner dari Jawa Timur ini berasal dari daerah yang berbeda, tahu campur dari Lamongan dan lontong balap dari Surabaya. Dua daerah ini sama-sama berada di pesisir utara Jawa Timur. Jadi wajar kalau kedua kuliner tersebut mempunyai citarasa dan kelezatan yang kampir serupa, karena sama-sama menggunakan bumbu utama petis udang, salah satu hasil olahan hasil laut khas masyarakat pesisir.

Meskipun mempunyai beberapa kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan bumbu utama petis udang dan sama-sama berasal daerah pesisir utara Jawa Timur, tapi karena berasal dari dua daerah yang berbeda, Tahu Campur dari Lamongan dan Lontong Balap dari Surabaya, maka 2 (dua) kuliner ini mempunyai cirikhas bahan pelengkap dan citarasa yang berbeda, dijual oleh penjual yang berbeda dan dilokasi yang berbeda juga. Tidak ada yang satu lokasi.

Dandang khas penjual Tahu Campur
Gerobak dan Dandang khas penjual Tahu Campur | @kaekaha


Biasanya 2 (dua) kuliner ini dijual secara single fighter. Artinya pedagang hanya menjual satu jenis kuliner saja Tahu Campur atau Lontong Balap saja, terutama untuk pedagang keliling. Sedangkan untuk pedagang yang manggon, kadang-kadang (walaupun sangat jarang) ada juga yang menyelipkan kuliner lainnya yang biasanya berasal dari daerah yang sama. 

Misalkan,Tahu Campur dengan Soto Ayam yang sama-sama dari Lamongan, sedangkan Lontong Balap dengan Kupang Lontong, kuliner berbumbu dasar petis udang dan berbahan dasar biota laut yang oleh warga setempat disebut kupang, kuliner dari Kota Sidoarjo yang kebetulan juga kota pesisir utara Jawa Timur, bertetangga dengan Surabaya.

Khusus pedagang yang menjajakan 2 (dua) kuliner ini dengan berkeliling, masing-masing mempunyai keunikan dan kehasan sendiri-sendiri. Untuk pedagang Tahu Campur, mudah dikenali dari model gerobak dan bentuk dandang yang dipakai untuk wadah kuah kaldu tetelan/urat daging sapi yang ditaruh di ruas bagian depan gerobak. 

Biasanya, penjaja keliling ini menulis identitasnya dengan sticker warna ngejreng kuning/merah dengan huruf ukuran besar ditempel pada kaca atau lambung gerobak, bertuliskan "Tahu Campur Lamongan". Mereka masih mudah dijumpai, terutama di daerah Surabaya dan sekitarnya serta daerah tapal kuda yang dimulai dari Kota Pasuruan kearah timur sampai Kota Jember dan sekitarnya.

Sementara untuk pedagang Lontong Balap, biasanya tidak memakai gerobak dorong untuk keliling menjajakan dagangannya tapi menggunakan pikulan. Hanya saja, sepertinya sekarang sudah sangat langka bahkan mungkin memang sudah tidak ada yang berjualan Lontong Balap dengan cara berkeliling, bahkan di kota asalnya Surabaya.

Tahu Campur + Sate Cingur
Tahu Campur + Sate Cingur | @kaekaha

Tentang Tahu Campur dan Lontong Balap yang Sedapnya Melegenda!

Bagi masyarakat Jawa Timur atau paling tidak masyarakat yang pernah tinggal di Jawa Timur, khususnya daerah Surabaya kearah timur, kuliner Tahu Campur tentu sudah tidak asing lagi. Kuliner khas dari Kota Lamongan ini dibuat dari beberapa campuran bahan, seperti tetelan daging sapi, tahu goreng, perkedel singkong (sebagian menyebutnya lentho), taoge atau kecambah mentah, selada air mentah, mi kuning dan kerupuk udang yang ditaruh diatas bumbu petis, bawang goreng yang di lumatkan dan sambal (jika suka pedas), sebagian lagi ada yang menambahkan irisan lontong didalamnya.

Konon, asal muasal kuliner tahu campur tak lepas dari saudara tuanya kuliner soto, yang kebetulan sudah lebih dulu dikenal sebagai kuliner khas Kota Lamongan. Singkat cerita, ketika merasa lapar dan ingin makan sepulang dari berdagang soto dengan gerobaknya, ternyata yang tersisa di gerobak tinggal kuahnya saja. Kebetulan didapur adanya cuma petis (biasanya masyarakat pesisir utara Jawa Timur memang selalu siap sedia di dapur, seperti halnya kerupuk udang) daun slada, tahu dan mie. Akhirnya bahan seadanya ini di yang di santap.... Eh ternyata keenakan! Jadi deh cikal bakal kuliner tahu campur.... (diolah dari berbagai sumber)

Memperhatikan secara langsung penyajian Tahu Campur sampai siap untuk dihidangkan, ternyata semakin membuat gairah ber-tahu campur semakin menggebu lho...... beda bila kita cuma duduk manis di meja menunggu hidangan datang! 

Pertama-tama, bawang putih goreng dilumatkan diatas piring dengan menggunakan sendok, setelah itu diatas piring dituang petis udang secukupnya (wujud fisiknya seperti pasta berwarna hitam kecoklatan dengan bau khas menggugah selera yang merupakan inti dari bumbu Tahu Campur). Selanjutnya adonan diberi sedikit kuah kaldu untuk mengencerkan dengan cara diaduk-aduk menggunakan sendok.

Kalau menginginkan citarasa pedas, pada adonan bisa langsung ditambah dengan sambal sesuai selera. Setelah adonan bumbu siap, bahan pelengkap berupa mie kuning basah/matang, taoge/kecambah segar/mentah, irisan besar daun selada mentah/segar, irisan tahu goreng dan perkedel singkong/lentho ditambahkan kedalam piring. Kemudian disiram dengan kuah kaldu tetelan/urat daging sapi berikut tetelannya, baru diatasnya diberi kerupuk udang. Hmmmmm baunya yang khas dijamin membuat liur menetes...... tes...tes....

Lontong Balap + Sate kerang bumbu kecap
Lontong Balap + Sate kerang bumbu kecap | @kaekaha


Legenda Lontong Balap, Berawal dari Stasiun Wonokromo

Menurut teman yang asli Surabaya, semasa tinggal di Sidoarjo antara tahun 2000-2005, sejarah asal-muasal penamaan kuliner "Lontong Balap" berasal dari perilaku pedagang kuliner ini ketika menyongsong penumpang kereta api yang baru turun di Stasiun Wonokromo Surabaya yang saling berlari/balapan dengan sesama pedagang lainnya lengkap dengan dagangan yang dipikul. 

Karena saat itu pedagangnya sendiri belum mempunyai nama definitif untuk kuliner yang dijajakannya, lama-kelamaan akhirnya masyarakat memberi nama kuliner yang mereka jajakan dengan nama Lontong Balap, merujuk dari perilaku pedagangnya yang balapan menyongsong pembeli.

Kuliner Lontong balap sedikit berbeda dengan Tahu Campur. Meskipun sama-sama berkuah kaldu berbahan daging sapi dan tambahan bumbu utama petis udang, Bahan pelengkap kuliner Lontong balap tidak seramai Tahu Campur. 

Bahan pelengkap menyajikan Lontong Balap relatif sederhana, hanya terdiri dari lontong, irisan tahu pong goreng, taoge segar, lentho singkong/kacang tolo yang digoreng kering dan taburan kerupuk udang, biasanya untuk menyantapnya akan lebih nikmat jika ditemani dengan sate kerang bumbu kecap. Hmmmmm... pasti menetes liur!


Tahu Campur di Banjarmasin

Di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan secara umum, ada 2 (dua) versi atau jenis tahu campur yang di jual oleh pedagang. 

Pertama tahu campur versi Lamongan yang kebetulan relatif lebih susah mencarinya dan yang kedua adalah tahu campur versi Jawa Gambut (komunitas orang Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan. Meskipun rata-rata berbudaya Jawa, biasanya mereka belum pernah menginjakkan kaki ke Pulau Jawa). Untuk kuliner tahu campur versi Jawa Gambut ini lebih mirip dengan kuliner tahu lontong dengan bumbu pecel di daerah Madiun dan sekitarnya.  

Memang, biasanya untuk kuliner tahu campur versi kedua ini tidak menambahkan embel-embel kata Lamongan/Surabaya sebagai penanda, tapi dijamin kedua jenis tahu campur ini sama-sama enaknya! Tapi bagi anda yang berkesempatan jalan-jalan ke Banjarmasin dan ingin berburu kuliner Jawa Timuran, khususnya tahu campur ada baiknya tanya dulu biar tidak salah!

Sate cingur dan sate kerang
Sate cingur dan sate kerang | @kaekaha


Berbeda dengan di daerah asalnya Jawa Timur, bukan perkara mudah untuk mendapatkan kuliner Tahu campur Lamongan di Kalimantan Selatan, bahkan di ibu kota propinsi seperti Kota Banjarmasin sekalipun yang selama ini dikenal banyak masyarakat pendatang dari Pulau Jawa, termasuk dari Jawa Timur.

Sejauh ini, saya menemukan ada 2 (dua) titik penjaja kuliner Tahu Campur di Kota Banjarmasin yang masih eksis, yaitu di Jalan Jafri Zam-Zam daerah Teluk Dalam dan "Tahu Campur Cak di" yang biasa mangkal di dua tempat berbeda tiap harinya. Pagi antara jam 10.00-14.00 WITA mangkal di seberang Masjid Asy Syafaat di Jalan Kuripan dan setelahnya antara jam 14.00-22.00 WITA mangkal di Jalan A.Yani Km. 2,5 atau di depan gang SD Muhammadiyah 9 dekat kantor PDAM Bandarmasih, Banjarmasin. 

Sebenarnya, dulu sekitar 4 (tiga) tahun yang lalu ada satu lagi penjaja kuliner Tahu Campur Lamongan di daerah bundaran Kamboja, Kota Banjarmasin. Sayangnya sejak lahan Kamboja disterilkan dari pedagang kaki lima karena proyek pembangunan kawasan terbuka hijau Kamboja beberapa tahun yang lalu, pedagang kaki lima yang yang biasanya mangkal di sekitar Kamboja akhirnya terdiaspora ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, termasuk si pedagang kuliner Tahu Campur.

Berbeda dengan penjaja kuliner Tahu Campur di Surabaya dan Jawa Timur umumnya yang biasa menulis "Tahu Campur Lamongan" sebagai identitas, Cak Di lebih memilih menuliskan "Tahu Campur dan Lontong Balap Surabaya ". Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini.

Pertama, Cak di memang tidak hanya menjajakan Tahu Campur saja layaknya penjaja Tahu Campur di daerah asalnya, tapi juga menjual beberapa sajian kuliner asli Jawa Timur lainnya yang kebetulan khas dari Surabaya, yaitu "Lontong Balap", sate cingur (blbir sapi) dan sate kerang. Khusus untuk sate cingur dan sate kerang, posisinya sebagai pelengkap atau teman menyantap tahu campur atau lontong balap. Karena alasan itulah label "Lamongan" sengaja diganti dengan label "Surabaya". "Biar lebih luas cakupan makna wilayahnya" kata Cak Di.

Kedua, menurut Cak Di dengan menulis "Surabaya" beliau beranggapan akan mewakili Jawa Timur yang lebih luas (Majas Sinekdok pars pro toto). Beliau yakin dengan strategi ini, segmen kuliner Tahu Campur dan Lontong Balap yang dijualnya akan semakin luas mengikat batin dan selera rasa semua masyarakat Banjarmasin, terutama yang pernah berhubungan dengan Jawa Timur, bukan hanya orang Lamongan dan Surabaya saja.

Gerobak Cak Di di Jl. Kuripan, Banjarmasin

Hipotesa Cak Muradi, nama lengkap pria asli kelahiran Tulangan, Sidoarjo yang besar di daerah Darmo Surabaya ini sangat beralasan dan terbukti tepat, maklum sudah berjualan Tahu Campur di Banjarmasin lebih dari 15 tahun dengan lokasi berpindah-pindah. 80% pelanggan yang menyambangi gerobaknya memang masyarakat Banjarmasin dengan latar belakang dari berbagai daerah di Jawa Timur atau paling tidak orang yang pernah berhubungan dengan Jawa Timur, seperti pernah sekolah/kuliah di Jawa Timur, tugas kerja/dinas di Jawa Timur ada pula karena suami/istri orang Jawa Timur sehingga ikut-ikutan kesengsem dengan kuliner dari Jawa Timur.

Seperti sore kemarin, saya yang kebetulan sedang asyik menikmati racikan Tahu Campur, melihat pasangan suami istri yang masih memakai seragam dinas duduk di kursi kayu sederhana dihadapan saya. Dari bahasa komunikasi yang dipakai jelas terlihat si Bapak yang medok Jawanya (dari logatnya terlihat dari daerah Jawa Timur bagian barat seperti Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo atau Pacitan) dan si Ibu yang kental logat Banjar pahuluan (Logat Bahasa Banjar Hulu/Daerah Banua Lima, yaitu lima daerah di utara Kalimantan Selatan yang meliputi Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong dan Balangan) mereka memesan masing-masing sepiring Tahu Campur dan sepiring Lontong Balap. Usut punya usut setelah ngobrol dengan mereka, benar juga dugaan saya si Bapak asli dari Ponorogo kota reog sedangkan si Ibu asli dari Alabio, Hulu Sungai Utara. Mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Universitas Jember Jawa Timur dan akhirnya menetap di Banjarmasin sejak diterima sebagai PNS di Kalimantan Selatan.

Cakdi meracik tahu campur pesanan pelanggan
Cakdi meracik tahu campur pesanan pelanggan | @kaekaha



Menurut Cak Di, menjual kuliner khas Jawa Timur yang sekarang menjadi "sawah dan ladangnya" sejak merantau ke Banjarmasin, memberinya banyak pengalaman menakjubkan yang tak terduga. Gerobak jalanan beserta seperangkat meja kursi kayu sederhana yang selama ini menjadi teman sekaligus rekan kerjanya berjualan Kuliner Tahu Campur dan Lontong Balap telah memberinya penghasilan cukup untuk keluarga dan  mempertemukannya dengan banyak saudara dan keluarga baru di tanah rantau, tanah seberang Kalimantan Selatan. Tidak hanya itu, bahkan tidak terhitung sudah berapa jumlah kawan lama, saudara jauh bahkan "mantan" lama yang dipertemukan lagi di meja dan kursi kayunya yang sederhana itu..... so sweeeet!

Jadi untuk saudara-saudara dan teman-teman masyarakat Jawa Timur atau siapa saja yang ingin merasakan sensasi travelling ke Kalimantan Selatan berikut sajian wisata kulinernya, jangan kuatir tidak ada kuliner nikmat "bercita rasa" khas Jawa Timur dengan harga merakyat, karena gerobak Kuliner "Tahu Campur dan Lontong Balap Surabaya-nya" Cak Di siap menuntun anda menjelajahi sensasi menikmati kuliner jalanan bercita rasa khas Jawa Timur ala Kota Banjarmasin yang pasti ngangeni.

Monggo pinarak!


Semua foto : Koleksi pribadi

Sebagian konten tulisan di ambil dari Blog pribadi saya "Kalbuning Manah Hati"

 

Sabtu, 26 Agustus 2023

Kronik 2 Lebaran, Lorong Waktu Mengabadikan Kuliner Tradisional Nusantara

 
Soto Kampung Kami | @kaekaha
Soto Kampung Kami | @kaekaha

Tahun 2023 ini kita kembali berlebaran 2 kali. Fenomena  ini mengingatkan saya pada beberapa kali lebaran di era 90-an, yaitu hatrick "lebaran ganda" tahun 1992, 1993 dan 1998 yang ditakdirkan Allah SWT juga mengalami perbedaan penetapan tanggal 1 syawal, hingga setidaknya umat Islam saat itu juga bertemu dengan 2 jawal lebaran yang berbeda.
Serasa Deja Vu!

Diantara ketiga edisi "lebaran ganda" era 90-an diatas, lebaran edisi 1992 atau 1412 H, menjadi momen berlebaran saya yang paling spesial! Saat itu, saya duduk di bangku SMA dan baru saja melewati momentum sweet seventeen yang artinya, sudah dewasa dan sah "memegang" KTP dan SIM. Naaaaah ini dia salah satu clue-nya!

Saat itu, pemerintah menetapkan  Idul Fitri jatuh pada 4 April, sedangkan sebagian umat Islam berlebaran sehari sebelumnya, 3 April berbarengan lebaran di Arab Saudi. Persis lebaran tahun ini! Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 22 April, sedangkan sebagian umat Islam lainnya berlebaran sehari sebelumnya, berbarengan juga dengan lebaran di Saudi Arabia tanggal 21 April 2023. Inikah yang dimaksud sejarawan Inggris Arnold Joseph Toynbee yang menyebut "sejarah pasti akan terulang!?"
 
 
Shalat Ied | @kaekaha
Shalat Ied | @kaekaha

 
Kronik Lebaran 1992

Pada lebaran 1992, saya dan keluarga berlebaran tanggal 23 Maret 1992, begitu juga sebagian warga di kampung saya, di kaki Gunung Lawu. Sayang, karena lebaran tidak serentak dan sebagian keluarga, juga tetangga di kampung masih ada yang berpuasa, maka lebaran di kampung saat itu juga sedikit berbeda.

Biasanya, setelah shalat Ied di tanah lapang yang biasa kami pakai main bola, anak-anak kecil dan para remaja langsung keliling kampung, mendatangi rumah warga satu per-satu untuk bermaaf-maafan. Umumnya, ada jamuan dari tuan rumah untuk setiap tamu yang datang dan khusus untuk anak-anak biasanya ada "sangu" bisa berupa uang layaknya angpau atau juga bingkisan untuk dibawa pulang. Nah ini yang membuat kita semangat he...he...he...!

    Ada banyak kudapan khas lebaran yang menjadi jamuan atau suguhan lebaran di kampung kami, seperti tape ketan putih yang dibungkus daun jambu air, madu mongso yang dibungkus kertas warna-warni, wajik gula merah, jadah, ampyang atau rengginang manis dan gurih, emping blinjo, keripik gadung, kembang goyang, kue semprong atau gapit, semprit dan aneka biskuit yang biasanya ditemani teh manis dalam "gelas belimbing" yang legendaris.


Khusus di keluarga Bude (kakaknya ibu saya yang paling tua) dan juga di rumah mbah atau kakek-nenek saya, ada menu lebaran spesial khas kampung kami yang sejak lama selalu menjadi buruan para tetangga dan tamu lainnya yang datang. Di tempat Mbah, ada kuliner tradisional tepo pecel (sejenis lontong dengan toping pecel khas kampung kami), bongko pecel dan kerupuk gapit sejenis sandwich kerupuk pasir yang bagian tengahnya diisi salad pecel yang biasanya menjadi menu khusus untuk anak-anak.

Sedangkan di tempat Bude menu sajiannya berbeda lagi, yaitu soto ayam khas kampung kami yang menurut catatan gastronomi  populer Jawa Timuran, konon masuk dalam golongan soto-sotoan khas karesidenan Madiun yang secara spesifik dicirikan dengan adanya  ganteng atau kecambah segar, kentang goreng tipis-tipis, kacang tanah goreng dan kuah yang segar layaknya sup ayam.

Jadi mohon maaf, lebaran di kampung kami nemang tidak mengenal opor ayam, tapi kami punya tradisi kuliner yang masih sodaraan dengan opor ayam, yaitu jangan lombok atau sayur cabai, sejenis lodeh pedas yang isiannya sayuran seperti kentang, wortel, buncis, tahu, tempe dan tentunya lombok atau cabe.

Biasanya, sayur ini dihidangkan dengan tepo pas bodo kupat atau ba'da kupat yang di kampung kami perhitungannya jatuh setelah sepasar (5 hari pasar dalam kalender Jawa) dari penetapan 1 syawal. Kuliner yang kemudian lebih dikenal sebagai tepo jangan ini, memang lumayan pedas, tapi ya itu tadi pedesnya lombok memang selalu ngangeni! Ada yang pernah  mencobanya?
Separuh Bentang Jawa Timur

Setelah shalat Ied dan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga sekitar, biasanya kami mudik ke tempat mbah dari pihak Bapak yang tinggal di Mojokerto atau Malang yang biasanya tiap tahun secara bergantian kita kunjungi. Trip inilah yang biasa kami sebut  sebagai "trip Separuh Bentang Jawa Timur", karena menurut bapak yang sudah biasa motoran di dua rute ini sejak masih remaja, perjalanan ini memang menempuh jarak separuhnya total panjang wilayah Jawa Timur! Kata bapak sih, kalau nggak percaya silakan ukur sendiri...he...he...he...

Bagi saya, Trip "separuh bentang Jawa timur" edisi 1992 yang kebetulan jadwalnya ke Mojokerto ini menjadi sangat spesial, karena menjadi momen pertama saya bisa lepas dari rombongan besar keluarga dan bisa "motoran" sendiri di sepanjang perjalanan dengan ditemani adik. Sehingga bisa melipir ke berbagai destinasi kuliner kesukaan saya, kapan saja di sepanjang perjalanan. Asyik kan!? Hitung-hitung sebagai tasyakuran sweet seventeen eh... SIM dan KTP maksudnya.

Pada lebaran 1992, keluarga Mbah di Mojokerto berlebaran tanggal 4 April, sehari setelah kami lebaran, makanya ketika Vespa PS 150 tahun 1980-an milik bapak yang saya kendarai, memasuki  halaman rumah Mbah di Mojokerto, suasana nampak adem ayem belum terasa atmosfir lebaran.

    Setelah Maghrib, barulah atmosfir lebaran mulai berasa. Ini yang unik! Sekali lagi, kami merasakan dan menikmati syahdunya kumandang takbir, sampai keesokan paginya.

Tapi untuk shalat Ied besok paginya, kami tidak ikut, karena tadi pagi kami sudah melaksanakannya di kampung. Besok pagi kami tinggal kulineran menu khas Jawa Timuran seperti rawon, rujak cingur dan tentunya minuman tradisional kesukaan saya, es blewah dan sinom yang disiapkan Mbah sama bulik, adik-adiknya bapak.

Tidak hanya itu, tentu banyak juga camilan yang lain dan salah satunya yang selalu bikin kangen Mojokerto, apalagi kalau bukan onde-onde dan adik kecilnya si-keciput atau onde-onde ceplus! Ada  pernah mencoba!?

Shalat Ied | @kaekaha
Shalat Ied | @kaekaha



"Perantau Kuadrat"

Seperti mengulang edisi lebaran 1992 atau 1412 H, lebaran tahun 2023 ini juga tidak kalah spesialnya bagi saya dan keluarga! Selain "lebaran ganda" yang kembali terulang, predikat sebagai "perantau kuadrat" menjadikan lebaran saya di Pulau Kalimantan, "rumah" saya sekarang, semakin seru!

Sejak awal merantau ke Pulau Kalimantan lebih dari dua dekade silam, saya dan keluarga memang stay di Kota Banjarmasin, tapi karena pekerjaan, saya jadi sering jalan-jalan ke berbagai kota di Indonesia, terutama yang menjadi lokasi cabang usaha perusahaan consumer goods tempat saya bekerja. Sejak itulah, saya mempunyai predikat sebagai "perantau kuadrat" alias perantau yang kembali merantau di perantauan! He...he...he...mudahan nggak bingung ya!

Beberapa tahun belakangan saya membuka usaha sendiri yang juga mengharuskan saya sering menetap di luar kota, terutama di 3 kota kawasan hulu sungai, Kalimantan Selatan, yaitu Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Barabai (Hulu Sungai Tengah) dan Amuntai (Hulu Sungai Utara). Inilah yang dikenal sebagai daerahnya pemangku adat istiadat Banjar Pahuluan. Karena itu juga, akhirnya saya juga harus sering wira-wiri Banjarmasin-Hulu Sungai untuk keperluan tersebut dan itu artinya, sampai saat ini saya masih menjadi "perantau kuadrat".
Kronik 2 Lebaran di Banua Banjar

Lebaran tahun 2023 ini, saya ber-Idul Fitri pada tanggal 21 April dan itu artinya sehari lebih dulu dari lebaran saudara-saudara kita yang lain. Ini identik dengan lebaran saya pada 1992 silam.

    Di malam takbiran, warga komplek tempat saya tinggal memilih memanggang itik, kuliner khas dan legendaris di kota ini.

Bagi yang sudah takbiran, itik panggang ini bisa untuk makan malam, bahkan untuk sarapan besok pagi sebelum berangkat shalat Ied. Sedangkan bagi yang besok masih berpuasa, bisa untuk lauk makan sahur. Akur kan! Paginya, saya shalat Ied di Lapangan tenis di salah satu sudut kota yang terkenal dengan landmark patung itiknya ini. Hayo ada yang tahu nggak, kira-kira Kota mana yang saya maksud?

Siangnya, saya mudik ke Banjarmasin naik taksi, sebutan untuk angkot dan angkutan umum sejenis minibus di Kalimantan Selatan. Taksi langganan saya ini bisa antar jemput sampai ke rumah, setiap saya pulang ke Banjarmasin atau sebaliknya. Menariknya mudik siang itu, di sepanjang perjalanan sekitar 5 jam, kami ditemani Radja, band yang didirikan duo kakak beradik Urang Banjar  Ian Kasela dan Moldy. Uniknya, Mang Adul si sopir taksi lebih suka dengan lagu-lagu Radja yang berbahasa Banjar, seperti Paris Barantai, Uma Abah, Ampar-ampar Pisang dan lainnya. Ada yang pernah dengar lagunya?


Dalam perjalanan yang akan melewati 6 kota dan kabupaten ini, biasanya Mang Adul juga mengajak kita untuk mampir di rumah makan dan pusat oleh-oleh untuk mengisi perut dan juga berburu buah tangan untuk keluarga. Keluarga saya suka dengan camilan asli dari Hulu Sungai seperti  pisang rimpi Binuang, apam Barabai dan juga dodol Kandangan. Sedangkan untuk mengisi perut, saya pasti memilih kuliner berkuah kaldu kesukaan saya, seperti Katupat Kandangan atau Soto Banjar.

Menjelang Maghrib, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Senyum manis istri saya dan keriuhan anak-anak yang berebut mencium tangan saya plus aroma khas Soto Kuin yang menguar dari dalam rumah saat pintu terbuka benar-benar sanggup meluruhkan semua lelah dan letih saya.


Apalagi ketika di dalam rumah, terlihat betapa cantik dan harumnya aneka olahan wadai Banjar kesukaan saya sudah terhampar diatas meja makan, ada bingka barandam, kue lam, sari India dan lain-lainnya. Alhamdulillah!

Istri saya memang paling tahu makanan kesukaan saya he...he...he...! Tidak itu saja, untuk menu lebaran ke-2 besok, ternyata istri saya sudah mempersiapkan beberapa pilihan kuliner Banjar yang wajib saya pilih salah satunya untuk dimasak. Sambal-nya, sebutan bumbu ala Urang Banjar sudah dibeli di Pasar Gambut, seperti bistik daging, lontong tampusing, Selada Banjar dan Katupat Batumis. Pilih yang mana ya?

Semoga bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 10 Mei 2023  jam  20:22 WIB (klik disini untuk membaca)


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

Legenda Hantu Lampu dan Kisah "Pak Juril", Hulu Keselamatan Perjalanan Kereta Api

PPJ "Hulu Keselamatan" Perjalanan Kereta Api | @kaekaha

Legenda Hantu Lampu

Dulu, waktu saya masih kanak-kanak di awal-awal dekade 80-an, ada semacam legenda yang begitu masyhur dalam budaya tutur yang berkembang di lingkungan masyarakat kampung kami, khususnya di lingkungan yang tidak jauh dari jalur rel kereta api lintas Pulau Jawa, Jakarta-Banyuwangi yang memang melintas tepat di tengah-tengah kampung kami.

Legenda tentang sosok yang disebut-sebut sebagai hantu yang selalu membawa lampu ini, konon sering muncul menjelang tengah malam sampai  menjelang pagi di sepanjang jalur rel  di waktu-waktu yang seingat saya memang sangat jarang ada kereta api yang lewat.

Didukung oleh suasana kampung yang saat itu masih gelap gulita, karena memang belum ada listrik, menjadikan legenda ini  seperti menemukan panggung.

Saat itu, legenda ini menjadi senjata mujarab para orang tua untuk menenangkan anak-anak yang rewel, anak-anak yang tidak mau segera masuk rumah untuk belajar selepas shalat Isya di langgar atau mushalla dan juga bagi anak-anak yang nekat masih main-main di lingkungan stasiun kecil peninggalan pemerintahan penjajahan Belanda yang biasa kami sebut sebagai Stasiun Barat, meskipun hari sudah gelap gulita.


Bangunan Tua di Stasiun Barat | @kaekaha

Rahasia yang Terbongkar

Uniknya, seiring dengan masuknya jaringan listrik di desa kami pada pertengahan dekade 80-an yang menjadikan kampung kami terang-benderang dan bertumbuhnya usia serta logika anak-anak seusia saya saat itu, mungkin karena pergaulan yang semakin luas seiring dengan jenjang sekolah yang juga semakin tinggi, "legenda hantu lampu" yang bisa jadi telah ada sejak jalur kereta api di kampung saya di bangun sekitar 1930-an itu, secara perlahan "hilang dari peredaran". Terlebih lagi setelah misteri dan kontroversinya pelan-pelan  juga terbongkar oleh kami, anak-anak terakhir yang pernah dihantui oleh Si Hantu Lampu.

Ternyata oh ternyata yang disebut-sebut  sebagai hantu lampu itu sebenarnya petugas PJKA (nama PT KAI saat itu) yang tugasnya memang menyusuri jalur rel pada tengah malam dengan berbekal lampu untuk memastikan jalur aktif rel yang di pantau benar-benar layak dilintasi rangkaian kereta api yang di kampung kami, beliau dikenal sebagai "Pak Juril" alias Juru Ril atau Juru Rel versi dialek kampung kami.

Mungkin karena waktu pekerjaannya yang tengah malam, apalagi di kampung yang belum berlistrik, sehingga sosok orangnya samasekali tidak terlihat kecuali sinar lampu yang dibawanya, maka seolah-olah lampu itu berjalan sendiri menyusuri sepanjang jalur rel, menjadikan orang yang melhatnya mengira itu sosok hantu. 

Atau jangan-jangan, memang ada konspirasi dari para orang tua di kampung kami yang sengaja mengarang cerita sosok hantu lampu untuk menakut-nakuti kami agar kami tidak sembarangan bermain diluar rumah di malam hari!? He...he...he...tapi entahlah!?


Pak Juril alias PPJ Sedang Bertugas Siang Hari | kai.id

Kenalan Sama Pak Juril yuk! 

Sebutan "Pak Juril" atau Pak Juru Ril yang pada dasarnya mengacu pada sebuah jabatan, jadi bukan nama orang atau seseorang ini, bisa jadi hanya sebutan lokal yang hanya familiar di kampung kami saja, khususnya lagi di lingkungan sekitar Stasiun Barat, stasiun kecil peninggalan Belanda yang dibangun persis ditengah-tengah kampung kami.

Baca Juga :  Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya 

Nama "Pak Juril" ini juga akrab ditelinga kami, anak-anak saat itu, salah satunya karena kebetulan pada periode tertentu ada juga "Pak Juril" yang anaknya seumuran dengan kami, sehingga menjadi teman sekolah sekaligus teman sepermainan kami saat itu.


PPJ dengan Troli Pengangkut Alat Kerja | kompas.com

Dari sini juga awal mula terbongkarnya sosok "hantu lampu" yang sebenarnya, sekaligus awal mula kami mengenal pekerjaan Pak Juril atau sekarang secara resmi kita kenal sebagai petugas pemeriksa jalur (PPJ) kereta api  yang ternyata tugasnya tidak hanya berat saja, tapi juga berbahaya dan sepertinya cukup horor!

Bagaimana tidak! Seorang PPJ  dalam rutinitas kerjanya yang terjadwal, termasuk titik ruas kerja yang sudah ditentukan, harus berjalan kaki sendirian sampai puluhan kilometer dalam situasi yang tidak bisa dipilih untuk memeriksa kelayakan jalur rel kereta api secara visual.

Mau hujan badai dengan petir menggelegar, panas terik yang menyengat di siang bolong atau bahkan tengah malam yang sunyi senyap hingga keheningannya sering membuat bulu kuduk berdiri, kalau memang sudah masuk waktu kerjanya, maka petugas PPJ harus segera bergegas memulai tugasnya memeriksa jalur rel kereta api yang memang sudah ditentukan menjadi  ruas kerjanya hari itu secara detail dan teliti. 

Rangkaian Wesel | @kaekaha

Tugas PPJ KA tidak hanya sekedar memeriksa kelayakan rel aktif yang setiap saat menjadi "jalan" bagi kereta api semata, tapi juga melakukan maintenance alias perawatan dan juga perbaikan-perbaikan skala ringan pada rel dan kelengkapannya, seperti mengencangkan baut rel yang kendor, memeriksa wesel atau wissel (bahasa Belanda) percabangan rel untuk merubah jalur, termasuk kelengkapan dan volume batu ballast di seputaran bantalan rel dan lain-lainnya.

Baca Juga :  Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik

Saya masih ingat, dulu waktu saya kecil pernah juga marak pencurian baut rel kereta api di sepanjang jalur kereta api di kampung saya. Harga jual per-kilonya yang lumayan mahal, menjadikan banyak orang-orang tak bertanggung jawab menjadi gelap mata untuk mencurinya. 

Tidak hanya itu, dulu bantalan rel kereta yang  berbahan "kayu jati kelas 1" dan pastinya berharga sangat mahal per-batangnya, juga tidak luput menjadi obyek pencurian, begitu juga batu-batu ballast atau batu kricak di seputar rel yang juga punya nilai ekonomi cukup lumayan.  Jadi bisa dibayangkan apa saja dan siapa saja yang kemungkinan dihadapi Pak Juril (waktu itu) atau PPJ dalam tugas kerjanya!? Berikut bahaya yang mengintainya!

batu-batu ballast | @kaekaha

Tapi tidak hanya itu! Alam di perkampungan kami yang masih termasuk bagian kaki gunung, tidak hanya  memberikan panorama alam yang mempesona tapi juga kontur alam yang tidak rata. Selain sawah, ladang dan perkebunan tebu yang luas dan menghijau, di kampung kami juga terdapat sungai-sungai  dengan intensitas kedalaman dan juga lebar bervariasi yang diatasnya juga terdapat jembatan perlintasan rel kereta api. 

Berada di tempat-tempat berbahaya seperti ini di tengah malam yang gelap gulita, apalagi saat cuaca ekstrim jelas memerlukan keberanian, kesungguhan, kewaspadaan dan tentunya konsentrasi serta kehati-hatian pada level tertinggi. Belum lagi ancaman binatang-binatang liar nocturnal (aktif di malam hari) disekitar kampung kami yang sebagian masih berupa hutan jelas tidak bisa diabaikan begitu saja!

Baca Juga :  "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun

Biasanya, jalur rel kereta api cenderung lebih menghindari kawasan pemukiman apalagi yang padat penduduk, guna mengantisipasi lebih banyak konflik dengan masyarakat, karenanya jalur kereta api lebih banyak melewati lahan-lahan kosong tidak berpenghuni, termasuk sawah, ladang, tepian hutan bahkan tepian tanah kubur dan tempat-tempat sepi lain yang pastinya jarang dilewati oleh manusia. 

Nah kalau sudah begini, siapa dong yang suka lewat ditempat-tempat seperti ini? Sudah menjadi rahasia umum, jalur rel kereta api yang rata-rata jauh dari pemukiman dan ruang-ruang interaksi komunal masyarakat pada umumnya, juga sangat minim penerangan, sehingga sering menghadirkan suasana hening dan sunyi yang cenderung horor. 

Rangkaian Wesel | @kaekaha


Karenanya, sering kita dengar kawasan rel kereta api menjadi lokasi kejahatan, termasuk pembuangan mayat hingga banyak sekali muncul kisah-kisah scary yang beredar di masyarakat terkait jalur rel kereta api dan ini jelas menjadi tantangan tersendiri bagi PPJ, orang-orang hebat yang sejatinya merupakan "hulu" atau sebuah awal dari keselamatan perjalanan rangakaian kereta api.

Karena itu, setiap dalam tugasnya PPJ wajib patuh pada standar operasional pekerjaan atau SOP yang berlaku dan wajib  melengkapi diri dengan kelengkapan APD atau alat pelindung diri seperti helm, rompi oranye, jas hujan, sepatu safety, lampu handsign dan tentunya alat kerja standar seperti senter, kunci inggris, palu berukuran besar, spidol putih, buku pas jalan,  bendera merah dan kuning yang tidak boleh ketinggalanserta handy talkie alias HT plus harus tetap fokus, selalu waspada dan tidak boleh lengah dalam situasi apapun. Satu lagi harus banyak-banyak berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Jadi selain "memastikan" keamanan dan keselamatan perjalanan kereta api sesuai dengan kapasitasnya, PPJ juga wajib menjaga keamanan dan keselamatan dirinya sendiri saat bertugas. 

Memang, layaknya organ-organ dalam tubuh kita! Semua elemen dalam organisasi perkeretaapian pasti punya tugas dan peran pentingnya masing-masing dan mereka semua adalah pahlawan di bidang tugasnya masing-masing, begitu juga dengan PPJ atau petugas pemeriksa jalur kereta api yang dengan tugas spesialisasinya juga sangat  layak disebut sebagai pahlawan, karena sejatinya merekalah "hulu" atau titik awal dari keselamatan perjalanan kereta api.


Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 21 Agustus 2023  jam  21:21 WIB (klik disini untuk membaca)

Commuter Line Community Kompasiana | CLICKompasiana




Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

 

Selasa, 22 Agustus 2023

Saya Pernah Digelari "Pretty Boys" dan Dipanggil "Cah Ayu"!

Mrs. KARTIKA EKA H | @kaekaha
Mrs. KARTIKA EKA H | @kaekaha




Tradisi Frasa "Cah Ayu"

Frasa "Cah Ayu" dalam bahasa Jawa yang berarti anak cantik, menurut fungsi leksikalnya sebenarnya merupakan ungkapan pujian untuk makhluk bernama perempuan yang tentunya dianggap cantik, tapi dalam tradisi sebagian besar masyarakat Jawa pada umumnya, frasa "Cah Ayu" dalam perjalanannya juga difungsikan sebagai frasa pengganti kata yang bermakna perempuan untuk memanggil, seperti nduk.

Frasa "Cah Ayu" biasa kita dengar dipakai para orang tua untuk memanggil anak perempuannya, kalau untuk bayi dan batita sampai balita, umumnya disebut ngudang, sejenis babytalk atau teknik berkomunikasi dengan bayi khas masyarakat Jawa, sedangkan  untuk usia setelahnya bisa jadi sebagai pujian, bentuk ekspresi kasih sayang para orang tua kepada anak perempuan atau putrinya.

    "Bener ora cah ayu?"

Bagi anak perempuan, dipanggil dengan panggilan "cah ayu" oleh orang tua atau siapa saja, tentu sangat senang sekali!  Lhaaa kalau yang dipanggil "cah ayu" itu anak laki-laki, hayo menurut anda bagaimana?

Itulah yang dulu saya alami saat mulai bersekolah di bangku TK sampai SD. Jujur, saat itu saya sendiri juga tidak tahu/tidak paham alasan semua orang disekitar saya (kaka kelas dan teman-teman seangkatan), khususnya saat di lingkungan sekolah memanggil saya dengan "cah ayu" dan menjuluki saya sebagai pretty boys, termasuk manfaat dan mudharat-nya bagi saya yang laki-laki tulen!

Mungkin karena sifat kekanakan saya yang saat itu yang masih dominan (masih polos dan belum paham dengan banyak hal ), saya sama sekali tidak merasa tertekan atau terganggu dengan anomali panggilan "cah ayu" dari sebagian besar masyarakat di lingkungan sekolah saya saat itu. Saat itu saya enjoy saja dan sama sekali tidak terganggu.  

Bahkan, saat itu saya sama sekali tidak menganggap anomali panggilan "cah ayu" itu sebagai masalah, problem atau hal-hal semakna lainnya. Toh, meskipun menurut teman-teman sekolah saya yang perempuan, fisik saya saat itu memang lebih mirip perempuan ketimbang laki-laki, tapi tetap saja saya merasa sebagai laki-laki tulen dan itu semua sama sekali tidak mengganggu "jiwa dan selera kelelakian" saya.

Saya tetap paling jago main bola di sekolah dan dikampung, tetap paling jago main layang-layang, termasuk mengejarnya ketika kalah beradu dengan kawan lainnya dan yang terpenting, tetap menjadi imam sholat saat berjamaah dengan teman-teman sebaya jika mengaji di surau kampung di kaki sebelah timur laut, Gunung Lawu.

Sadar Berbeda Pada Waktunya!

Waktu terus berlalu, ketika duduk di kelas empat atau kelas lima, saya sering mewakili sekolah dalam beberapa lomba seperti lomba mengarang, lomba baca puisi, lomba pidato, dokter cilik,  juga lomba sepakbola dan bulutangkis di ajang PORSENI.

Dari sinilah awal mula saya menyadari adanya perbedaan dalam diri saya dengan teman-teman peserta lain dari sekolah lainnya,  mulai di level wilayah kecamatan, kabupaten sampai propinsi.

    "Kamu laki-laki? Kok cantik!? Kok bulu matamu lentik!? Kok pakai bedak!? Kok pakai gelang!? dan yang paling repot menjawabnya adalah petanyaan kok pakai anting sebelah?"  Mungkin, kalau saat itu istilah transgender sudah populer dan familiar, mungkin mereka juga akan bertanya "kamu transgender ya!?" He...he...he...

Awalnya saya agak terkejut mendapatkan pertanyaan dan juga pernyataan dari teman-teman baru tersebut, karena teman-teman saya di sekolah yang semuanya memang teman bermain sejak lahir di kampung, sama sekali tidak pernah mempertanyakan itu semua!

Saat itu, saya berusaha untuk biasa saja dan tidak terlalu menaggapi secara serius pernyataan dan juga pertanyaan teman-teman baru tersebut, karena saya beranggapan mereka belum terbiasa saja dengan saya, "cah ayu". Tapi karena intensitas perlomban yang saya ikuti semakin sering,  artinya saya juga akan semakin sering mendapat pernyataan dan juga pertanyaan serupa. Lama kelamaan, akhirnya saya merasa risih juga!

Mrs. KARTIKA EKA H | @kaekaha
Mrs. KARTIKA EKA H | @kaekaha


Rahasia yang Terbongkar

Akhirnya, saya menyampaikan semua yang saya alami  kepada orang tua saya dan jawaban mengejutkan yang selama ini menjadi rahasia besar dalam keluarga, khususnya bagi kedua orang tua saya, akhirnya terbongkar!

Menurut penjelasan beliau berdua dengan bahasa ilustratif yang saat itu relatif mudah saya pahami, beliau memang terobsesi mempunyai anak pertama seorang perempuan! (Sayang sampai sekarang, saya tetap tidak mendapatkan jawaban alasannya).

Bukti otentiknya menurut beliau adalah nama depan saya "Kartika", sebuah kosakata dari bahasa Jawa kuno/Kawi yang berarti bintang dan umumnya disematkan untuk nama bayi perempuan, sedangkan untuk bayi laki-laki, dalam tradisi penamaan masyarakat Jawa, umumnya huruf vokal terakhirnya adalah huruf "O". Kalau kosakata "Kartika" akan menjadi "Kartiko".

Baca Juga  :   Penting, Kenali Dulu "Jenis Kelamin Nama" untuk Calon Putera-Puteri Anda!                        

Untuk fisik, khususnya wajah dan postur saya yang saat itu lebih mirip perempuan, beliau berdua mengaku tidak memahaminya, hanya saja beliau mengatakan mungkin Allah SWT mengabulkan doa-doa beliau sebatas itu. Maksudnya, beliau memohon dikaruniakan anak pertama bayi perempuan, tapi dikabulkan Allah SWT hanya sebatas "mirip" perempuan, khususnya pada wajah dan fisik (saat itu/saat kanak-kanak)

Sedangkan untuk "aksesoris perempuan" yang beliau sematkan pada tubuh saya, menurut beliau semuanya juga bagian dari obsesi awal beliau untuk memiliki anak perempuan. Uniknya, meskipun begitu beliau tidak mengenalkan dan membiasakan saya untuk memakai pakaian perempuan, walaupun tetap memperkenalkan saya pada aktifitas atau pekerjaan-pekerjaan yang lebih identik  sebagai domain perempuan seperti memasak, mencuci dan menyeterika baju dan lain-lainnya sejak dini.
Balada Kartika Oh Kartika!

Bersyukurnya, drama terkait label "Cah Ayu" dan "Pretty Boys" yang menempel pada diri saya akhirnya terputus ketika saya lulus SD dan melanjutkan sekolah ke level SMP di kota Kecamatan yang scope area rumah tinggal murid-muridnya jauh lebih luas.

Uniknya, dilevel sekolah yang lebih tinggi sampai dilevel dunia kerja , justeru nama unik saya yang lebih identik sebagai nama murid, mahasiswa dan juga karyawan perempuan ini yang mengantarkan saya pada berbagai pengalaman unik, menarik dan menggelitik yang tentunya tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.   

Untuk memngetahui kisah serunya silahkan baca artikel saya yang berjudul Penting, Kenali Dulu "Jenis Kelamin Nama" untuk Calon Putera-Puteri Anda! yang sepertinya perlu juga sebagai referensi untuk semua kompasianer yang sebentar lagi mau mendapatkan karunia berupa momongan!

Semoga bermanfaat!

Salam dari  Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 24 Oktober 2020  jam  23:53 WIB (klik disini untuk membaca)
 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
 









 

3 Treatment Tradisional "Galuh Banjar" Untuk Kulit Sehat dan Segar

3 Treatment Tradisional "Galuh Banjar" Untuk Kulit Sehat dan Segar
Pedagang Pasar  Terapung Menggunakan Pupur Dingin | @kaekaha

 Masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan, khususnya para galuh Banjar (gadis Banjar) dan  ibu-ibunya mempunyai sebuah tradisi kecantikan warisan leluhur yang sampai sekarang masih dijaga dan dipertahankan dengan baik, hingga menjadi salah satu rahasia terpenting kecantikan alami kulit para Galuh Banjar dari jaman ke jaman, termasuk disaat menjalani ritual  puasa selama Ramadan.

Sudah menjadi rahasia umum, kawasan Kota 1000 Sungai dan Kalimantan Selatan secara umum, banyak di dominasi oleh dataran rendah, terutama daerah-daerah yang menjadi DAS Barito yang berhulu di perbatasan Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sampai ke muaranya di Muara Barito dekat Kota Banjarmasin.

Baca Juga :  Sedapnya "Lempeng Mie Karih Daging" Khas Urang Banjar, Mau?

Tidak heran jika kawasan DAS Barito menjadi kawasan-kawasan dataran rendah yang mempunyai suhu udara rata-rata sangat panas. Sebagai bentuk adaptasi masyarakatnya terhadap suhu panas inilah, akhirnya memicu berbagai kreatifitas masyarakat untuk bisa survive, salah satunya adalah dengan munculnya pupur dingin atau ada juga yang menyebutnya sebagai pupur Bangkal, karena bahan baku utamanya dari beras dan pohon Bangkal.

Pupur Dingin Khas Banjar | @kaekaha
Pupur Dingin Khas Banjar | @kaekaha

Pupur dingin atau bedak dingin telah lama menjadi produk perawatan kulit (skin care) tradisional banjar. Hebatnya, karena terbuat dengan bahan-bahan alami, seperti beras dan rempah menjadikan bedak dingin minim efek samping, kecuali jika penggunanya memiliki riwayat alergi terhadap salah satu bahan yang terdapat di dalamnya.

Walaupun disebut bedak, tapi cara pemakaiannya lebih mirip seperti masker dan akan memberikan rasa sejuk atau dingin di kulit, sehingga menambah efek relaksasi ke kulit. Manfaat bedak dingin antara lan, mengatasi Jerawat, mengurangi minyak, mencerahkan kulit, mencegah kerusakan oleh Sinar matahari, meredakan iritasi kulit, melembutkan kulit, mengecilkan Pori-pori

Baca Juga :  Terpesona Desain Unik dan Nyentrik Masjid Bambu Kiram di Kalimantan Selatan

Selain pupur dingin, Galuh Banjar juga mempunyai tradisi lanjutan untuk perawatan kulit yang biasa disebut sebagai Bekasai. Hanya saja, Bekasai yang mirip aktifitas luluran tapi dengan bahan lulur tradisional yang khas Banjar ini umumnya di lakukan oleh para Galuh Banjar ketika akan melaksanakan pesta pernikahan dan hajatan-hajatan sejenis agar tubuh sang mempelai wanita lebih bersih, segar, halus, bercahaya dan cantik berseri saat bersanding dipelaminan.

Bahan alami Bekasai antara lain daun kayu sapat, serai wangi, daun nilam, daun pandan, daun kenanga dan rempah pilihan lainnya yang menghasilkan aroma therapy yang khas untuk merelaksasikan tubuh. Secara umum Bekasai bisa  membuat kulit lebih sehat, lebih cerah, lebih halus licin dan kenyal , kelembaban dan elastisitasnya terjaga, menghilangkan bau badan yg tidak sedap, melembapkan serta memberikan keharuman sepanjang hari tanpa efek samping.

 

Batimung yuk! | @kaekaha
Batimung yuk! | @kaekaha

Setelah pupur dingin dan Bekasai, perawatan kulit khas Banjar selanjutnya adalah tradisi Batimung. Sebuah tradisi solus per Aqua atau spa tradisional khas Banjar yang sangat bermanfaat untuk kecantikan kulit, melancarkan darah dan juga memperbaiki metabolisme dalam tubuh.

Batimung biasa dilakukan calon mempelai pengantin, agar tubuh lebih harum, kulit lebih cerah berseri-seri, halus, sehat dan segar saat acara resepsi pernikahan digelar.

Bahan-bahan tradisional untuk diuapkan antara lain pulasari, akar wangi, temulawak, ginseng, pucuk ganti, kayu manis, mesoyi, bunga sisir, kapulaga, adas, jeruk purut, temugiring, cengkeh, lada, biji klabet dan lain-lain.

Sebenarnya, Batimung ini merupakan versi lengkap dari perawatan kulit dan tubuh ala Urang Banjar, karena didalamnya sudah termasuk maskeran pupur dingin dan juga Bekasai. 

Berikut tahapan proses Batimung, dimulai dari  barandam batis atau merendam kaki dalam air rendaman jeruk dan sereh, setelah itu dilanjut dengan cengkaruk atau luluran dengan bahan beras ketan, bunga mawar, temugiring, buah dan daun jeruk, bunga kenanga dan cempaka. Prosesi ini bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah dan mengangkat kulit mati.

Setelahnya ada prosesi baurut atau pijat dengan menggunakan minyak lala'an atau minyak kelapa dan dilanjut dengan proses bakasai sejenis cengkaruk tapi manfaatnya untuk mengharumkan dan melembabkan kulit. Barulah setelah itu Batimung dimulai dengan menguapi sekujur badan bahan-bahan herbal bermanfaat.

Baca Juga :  Romansa Anak-anak Langgar 80-an Menghidupkan Ramadan

Setelah prosesi Batimung, dilanjut dengan barandam awak atau merendam badan dalam air yang telah dicampur dengan wewangian herbal sesuai selera dan prosesi terakhir adalah maskeran dengan pupur dingin atau pupur bangkal agar tubuh sang mempelai wanita lebih sehat, bersih, segar, halus, bercahaya dan cantik berseri saat bersanding dipelaminan.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 April 2023  jam  23:19 WIB (klik disini untuk membaca) 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

 


Minggu, 13 Agustus 2023

Wadai Ipau, "Pemersatu Tulang Berserak" Saat Lebaran

 

Wadai Ipau | @kaekaha



Pernah mendengar nama "wadai ipau"?

Yah, wadai merupakan sebutan masyarakat Suku Banjar alias Urang Banjar di Kalimantan Selatan untuk kue. Kue apa saja, bisa kue basah, kue kering atau apa saja selama itu masih disebut sebagai kue, maka sebutannya dalam Bahasa Banjar adalah wadai.

Khusus untuk wadai ipau, kue yang satu ini memang sangat unik! Cita rasanya yang dianggap anomali dari tradisi kuliner khas Banjar lainnya yang pada umumnya bercitarasa manis legit, maka wadai ipau yang menjadi buruan Urang Banjar selama bulan Ramadan dan juga saat lebaran ini justeru bercitarasa gurih-asin dan pedas, tentu jika ditambahkan dengan saus pedas saat menikmatinya! 

Secara umum, dikenal ada dua jenis wadai ipau, yaitu wadai ipau karing dan wadai ipau siram santan. Untuk wadai ipau karing (kering: Bahasa Banjar) biasanya penyajiannya lebih simple dan sederhana, disajikan dengan bawang goreng dan abon. Sedangkan wadai ipau siram santan, ditambah dengan siraman saus santan yang dicampur dengan susu, taburan daun seledri atau daun Sop dan bawang goreng.

Baca Juga: Sedapnya "Lempeng Mie Karih Daging" Khas Urang Banjar, Mau?

Umumnya, wadai ipau bentuknya bulat berlapis-lapis seperti lempeng yang ditumpuk-tumpuk. Di antara tumpukan lempeng-lempeng itulah ada isian berupa telur, wortel, bawang bombay, sayur, kentang dan daging yang kesemuanya dimasak dalam loyang yang disumab atau di kukus dengan bumbu-bumbu tradisional dengan aroma rempah khas perpaduan kuliner Banjar-Arab yang cukup kuat.

 

Wadai Ipau, isinya daging, sayur dan ragam rempah | @kaekaha

Memang, wadai ipau yang tumbuh dan berkembang di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas ini, memang lebih dikenal sebagai kuliner tradisional khas Kampung Antasan Kecil Barat alias kampung Arab di Banjarmasin yang sejak dulu secara turun-temurun juga dikenal dengan beragam olahan daging kambingnya yang termasyhur!

Uniknya, meskipun dikenal sebagai kuliner Arab dari kampung Arab di Banjarmasin, tapi konon tidak ada satupun bentuk kuliner asli dari Arab yang bisa dijadikan referensi rujukan asal-usul wadai ipau ini. Begitu juga dengan misteri nama "ipau"-nya sendiri yang sudah begitu melekat. Belum ada yang mengenali, dari mana asal-usul nama tersebut!? Unik bukan?

Bahkan menurut budayawan Banjar yang juga Kompasianer, Zulfaisal Putera, penamaan wadai ipau ini tidak berciri khas tradisi Banjar yang umum. Seperti kita pahami bersama, ada empat hal yang mendasari penamaan Wadai Banjar, yaitu

 

Wadai Ipau | @kaekaha

Pertama, berdasar bahan dasar kue, seperti, Tapai Lakatan yang dibuat dari lekatan (ketan). Kedua, berdasar cara membuatanya, seperti Pisang Basanga atau pisang goreng (Bahasa banjar: digoreng). Ketiga, berdasar bentuk kuenya, seperti Wadai Cincin. Keempat, berdasar warna sajiannya, seperti Apam Habang (merah). Nah sepertinya penamaan wadai ipau tidak dan satupun yang sesuai dengan kriteria di atas! Nah lho?

Apalah arti sebuah nama!? Begitulah kira-kira Shakespeare memaknai sebuah nama dan sepertinya memang relevan sih! Apapun asal-usul penamaan nama wadai ipau, itu tidak kan mengurangi sedikitpun esensi cita rasa menggoda wadai ipau yang melegenda!

Wadai Ipau sampai detik ini masih saja menjadi magnet terkuat untuk "menarik" perhatian sekaligus kehadiran Urang Banjar di berbagai acara, apalagi di acara-acara buka bersama dan lebaran! Wajar karenanya jika kemudian wadai ipau juga disebut-sebut sebagai pemersatu bangsa, pemersatu tulang berserak saat lebaran. Wallahu a'lam Bish-shawabi.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


Sabtu, 12 Agustus 2023

Menikmati "Citarasa Pulang Kampung" di Mie Ayam Solo Mas Sidik

Menikmati Racikan Mie Ayam Solo Mas Sidik | @kaekaha 

Ada banyak alasan, penikmat kuliner pada akhirnya mempercayakan pleasure lidahnya kepada jenis kuliner-kuliner tertentu dan atau juga pada destinasi atau warung-warung makan dan juga kedai-kedai yang tertentu juga untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan berkuliner yang paripurna.

Begitu juga sebaliknya dengan rumah makan, kedai dan warung-warung destinasi kulineran, mereka tentunya juga punya sejuta cara untuk bisa memberikan pengalaman berkuliner yang paripurna kepada semua penikmat sajiannya. Kalau belum punya, coba simak artikel ini sampai habis ya...

Baca Juga :  Transformasi Bakso di Tangan-tangan Kreatif Masyarakat Nusantara (1)

Sebagai penikmat kuliner dengan "spesifikasi khusus", berkuah kaldu plus citarasa khas gurih cenderung asin, sudah pasti saya juga mempunyai pilihan jenis-jenis kuliner tertentu, baik sekedar sebagai mood booster atau memang sengaja, (sesekali) memanjakan lidah untuk pleasure mencecap citarasa-citarasa kuliner sedap yang bisa memberi kepuasan lahir dan batin saya.


Mie Ayam Solo Racikan Mas Sidik | @kaekaha

Ada dua jenis kuliner berkuah kaldu yang mempunyai intensitas paling tinggi dalam hal memanjakan sekaligus menghibur lidah saya, yaitu "kuliner sejuta penikmat" berharga relatif murah tapi tentu saja tidak serta merta berasa murahan yang juga sering disebut-sebut sebagai kuliner kembar siam, karena keduanya biasa dijual di waktu dan tempat yang sama secara bersamaan oleh pedagang yang sama, yaitu bakso dan mie ayam.

Diantara sekian banyak kedai bakso dan mie ayam yang tersebar di seantero Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas dan juga di sekitarnya yang sudah pasti mempunyai cirikhasnya masing-masing, saya paling sering menikmati kuliner yang berakar dari budaya kuliner Tiongkok ini di kedai "Mie Ayam Solo Mas Sidik" di belakang Pasar Ahad, Pal 7 atau ada yang menyebutnya sebagai kawasan Pemurus Pal 7.


Kedai Mie Ayam Solo Mas Sidik Tampak Samping | @kaekaha



Awalnya, saya tertarik mencoba olahan mie ayam Mas Sidik ini karena terpaksa lho!

Soalnya, di pinggiran Kota Banjarmasin yang ke arah Kota Banjarbaru, khususnya di seputaran A. Yani km. 7 ini memang tidak ada penjual mie ayam "manggon" atau menetap yang mulai jualan dari pagi atau setidaknya mulai jam 9-an untuk mood booster saya di pagi hari, selain kedai Mie Ayam Solo-nya Mas Sidik. Selain itu, lokasinya yang strategis di belakang pasar Ahad Pal 7 juga menjadikan akses dan jaraknya paling mudah dan dekat untuk diakses dari rumah.

Selain itu, label "Mie Ayam Solo" yang menjadi identitas kedai ini, sebenarnya di awal-awal juga seperti mengintimidasi saya, sehingga membuat saya semakin merasa terpaksa untuk datang ke kedai Mas Sidik ini. Bagaimana tidak, keumuman kuliner khas Solo terlanjur terkenal dengan kecenderungan citarasanya yang manis, padahal saya kan penikmat kuliner bercitarasa gurih-asin garis keras! Wis...wis...wis piye Iki?


Mas Sidik in action | @kaekaha

Beruntungnya, gaya Mas Sidik berjualan mie ayam cukup asyik!

Memasuki kedai mungilnya yang kira-kira hanya bisa menampung kurang lebih 8 pengunjung dewasa saja, pengunjung otomatis akan dihibur oleh rengeng-rengeng musik campursari-an dari musisi-musisi lagu Jawa kondang seperti alm. Manthous, alm. Didi Kempot, Koko Thole dan kadang-kadang musisi-musisi muda seperti Denny Caknan dan lain-lainnya.

Lagu-lagunya yang sudah pasti familiar ditelinga, Javanese vibes-nya jelas akan mengantarkan semua pengunjung dan  pendengarnya pada beragam kenangan, termasuk memori tentang tanah seberang, kampung halamannya hingga tanpa sadar biasanya ikut berdendang, setidaknya di dalam hati.

Dari titik inilah, biasanya interaksi antara pembeli dengan Mas Sidik yang asli Klaten, Jawa Tengah semakin intensif dan intim, layaknya bertemu saudara yang lama terpisah jarak dan waktu, begitu juga dengan pembeli lain.


Suasana Pagi di Kedai Mie Ayam  Solo Mas Sidik | @kaekaha

Meskipun sebenarnya Mas Sidik tidak memilih-memilah pelanggan dan selalu welcome kepada siapa saja yang ingin merasakan racikan mie ayamnya, tapi dari "prejengan" kedainya yang relatif njawani,  tentu saja dengan sendirinya akan mengundang lebih banyak pembeli atau pelanggan yang mempunyai hubungan dengan Pulau Jawa. 

Ada yang memang perantau dari Jawa alias diaspora Jawa, bisa juga entitas Jawa Gambut alias keturunan suku Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan Selatan dan tidak sedikit juga yang sudah mix alias campuran dari berbagai suku. Mereka-mereka inilah pelanggan setia Mas Sidik, hingga menjadikan kedai Mas Sidik layaknya "markas" untuk reunian.

Uniknya, meskipun sebagian banyak pelanggan Mas Sidik memang masih berhubungan dengan Pulau Jawa, tapi tetap saja latar belakang taste influence masing-masing pelanggan tetap berbeda-beda. Apalagi kalau ketemu dengan pelanggan dari daerah lain, pasti deh lidahnya punya komposisi favoritnya masing-masing.


Racikan Mie Ayam Solo untuk Take Away | @kaekaha

Tidak usah jauh-jauh mencari sampling-nya, menurut Mas Sidik sendiri, diawal-awal belajar mengolah mie ayam dari resep kakak sendiri, citarasa orisinilnya lebih cenderung ke gurih-asin, tapi karena Mas Sidiknya sendiri lebih suka dengan olahan kuliner berbasis rasa gurih-manis, maka mie ayam Solo miliknya juga dimodif menjadi lebih gurih-manis, kembali ke selera awal khas kuliner Solo dan pastinya berbeda dengan resep dari "sang guru". Nah iya kan!

Baca Juga :  Mengenal Entitas Budaya "Jawa Gambut" di Kalimantan Selatan

Menyadari keniscayaan ini, Mas Sidik tidak kurang akal dan dia mempunyai strategi jitu untuk memberi kepuasan sekaligus experience menikmati mie ayam Solo "manis" olahannya dengan kenikmatan universal kepada semua pelanggannya.

Kalau umumnya pembeli biasa menerima saja sajian mie ayam yang dibuat oleh penjualnya, maka Mas Sidik mempersilahkan semua pelanggannya untuk "mengintervensi" racikan olahan mie ayam karyanya sebelum disajikan. Pembeli bisa menambahkan sendiri bumbu bawang, garam, penyedap dan ubarampe bumbu rahasia lainnya sesuai selera. 


Topping Olahan Ayam, Sumber Citarasa Manis | @kaekaha

Tapi uniknya, yang melakukan ini biasanya justeru pelanggan baru, karena untuk pelanggan lama Mas Sidik biasanya sudah hafal diluar kepala komposisi favorit masing-masing pelanggannya. Tidak hanya racikan bumbunya saja, tapi juga tingkat kematangan mie-nya dan juga pilihan serta kuantiti topping-toopingnya berupa bakso, telur rebus, ceker, kepala sampai ampadal alias ati ampela juga. Asyik bukan!?

Tidak hanya itu asyiknya kedai mie ayam Solo Mas Sidik. Ini yang orisinil! "Sepertinya hanya di kedai ini deh, saya menemukan sumpit untuk makan mie dan separuh porsi mie ayam harganya benar-benar separuhnnya juga"! Hayooo pernah ga nemu yang begini?

Bisa kan membayangkan rasanya menikmati mie ayam dengan racikan paten yang sesuai dengan selera kita sendiri!? Ini tidak hanya sekedar enak dan sedap semata, tapi juga nikmat kawaaaaan! Inilah sebab, akhirnya saya bisa berkompromi dengan "manisnya" citarasa dasar mie ayam Solo-nya Mas Sidik. 

Mie Ayam Solo Mas Sidik, Pal 7 Banjarmasin | @kaekaha

Jika datang kepagian untuk sarapan, menikmati rengeng-rengeng lagu-lagu Jawa campursari yang bisanya bisa juga di request, sepertinya sudah cukup menjadi teman asyik untuk melahap semangkuk mie ayam dengan citarasa otentik sesuai selera plus segelas teh es manis (sebutan Urang Banjar untuk es teh) dengan aroma khas yang di datangkan dari Jawa. Duuuuuuh sedapnya benar-benar bisa menjadi mood booster yang efektif lho!

Baca Juga :  Berburu "Bebek Kaki Lima", Menikmati Romantisme Kuliner Jalanan Legendaris Nusantara

Nanti menjelang siang dan puncaknya di sekitar tengah hari atau sekitar shalat Dhuhur saat pelanggan sedang penuh-penuhnya, berada di kedai Mas Sidik tak ubahnya seperti reuni dengan keluarga atau teman-teman lama yang lamaaaaaa sekali tak bertemu. Disini, kita seperti menikmati sedapnya pulang kampung, ya citarasa pulang kampung ala Mie Ayam Solo Mas Sidik, Pal 7 Banjarmasin. Mau!?

Semoga Bermanfaat.

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 12 Agustus 2023  jam  09:00 WIB (klik disini untuk membaca)

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN