Minggu, 05 Maret 2023

"Kembalikan ke Tempat Semula" Mantra Sakti Merapikan Barang Apa Saja dan di Mana Saja!

Ilustrasi menerapkan prinsip "Kembalikan ke tempat semula" niscaya merapikan rumah akan lebih efisien dan mudah. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

"Kembalikan ke Tempat Semula" atau ada juga versi serupa tapi tak samanya "Kembalikan Seperti Semula" dan beberapa variasi frasa lainnya, tentu sudah sangat familiar bagi individu maupun organisasi/perusahaan yang telah akrab dengan housekeeping management.

Frasa diatas, seringkali dimanfaatkan untuk "mengingatkan" sekaligus melatih tanggung jawab pengakses "ruang publik" dalam internal organisasi/perusahaan agar ikut peduli dan bertanggungjawab atas kenyamanan dan kemungkinan keamanan "ruang publik" dimaksud.

Salah satu contoh pemanfaatan dan juga penerapan frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula"  dalam internal organisasi/perusahaan, antara lain pada ruang baca, mushala atau masjid, area workshop dan atau bengkel.

Baca Juga :  Mubaadalah, Konsep "Bapak Rumah Tangga" ala Rasulullah SAW

Jika mengurai makna frasanya, pada "Kembalikan ke Tempat Semula" jelas menitik beratkan pada "tempat", yaitu tempat asalnya barang atau benda yang sengaja diambil untuk dimanfaatkan. Sedangkan pada "Kembalikan Seperti Semula" menitik beratkan pada bentuk dan atau kelengkapan asal dari benda yang sengaja kita manfaatkan fungsinya.

Merapikan Buku |aliexpress.com

Pada ruang baca, aplikasi frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" mengarah pada buku-buku atau obyek dalam ruang baca lainnya, mungkin perangkat audio, video atau lainnya yang telah diambil dari rak buku untuk tempat asalnya untuk berbagai keperluan. Bisa untuk  dilihat, dibaca, dicatat isinya atau untuk keperluan lainnya.

Tujuannya jelas, agar buku atau obyek produk ruang baca lainnya segera dikembalikan ke tempat asalnya setelah dimanfaatkan, hingga segera tertata rapi kembali ditempatnya, tidak  menumpuk dan berserakan di meja baca, meja tulis atau tempat-tempat tidak semestinya yang tidak menutup kemungkinan bisa menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan.

Baca Juga :  Estetika "Seni Menjemur Baju" dan Manfaatnya yang Tak Terduga

Dengan begitu, selain menjaga estetika ruangan agar tetap rapi dan enak dilihat, sehingga bermanfaat juga untuk menjaga mood pengakses lainnya, juga sekaligus meminimalisir kemungkinan kerusakan dan yang pasti juga akan mempermudah akses orang lain yang juga memerlukannya.

Sedangkan untuk frasa "Kembalikan Seperti Semula" bisa jadi aplikasinya pada perlengkapan pendukung, seperti lampu, gorden penutup agar tidak silau, perangkat audio-vodeo, bahkan bisa jadi fasilitas pendingin ruangan atau AC, exhaust fan dan juga gelas untuk minum dan juga pemanfaatan kran di toilet/kamar mandi.

Tumpukan Sarung | @kaekaha

Di mushalla atau masjid, biasanya frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" mengarah pada-pada obyek yang bisa dimanfaatkan secara publik seperti Alquran, mukena, sarung, tasbih atau bahkan sajadah. 

Dengan mengembalikan seperti semula "lipatan" sarung, mukena dan juga sajadah setelah kita pakai, tentu akan membantu menjaga kerapian dan juga estetika ruangan dalam mushalla atau masjid, sehingga tetap nyaman di pakai siapa saja untuk beribadah. 

Syukur-syukur, "disempurnakan" dengan tindakan selanjutnya! Mengembalikan semua perangkat ibadah yang telah dilipat seperti bentuk semula ke tempat asal atau ke tempat semula, setelah kita selesai memakainya. 

Sarung dikembalikan ke rak/lemari tempatnya sarung, begitu juga dengan mukena, sajadah atau mungkin tasbih dan juga Alquran yang selesai kita baca.

Alat Bengkel yang Rapi | bukuwarung.com

Di antara tempat atau area yang terbiasa memasang himbauan dalam bentuk frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula", area workshop dan atau bengkel sepertinya menjadi area yang paling signifikan merasakan manfaatnya, dibanding area lainnya.

Umumnya, ruang kerja area workshop dan atau bengkel selain menyediakan peralatan bengkel berukuran besar yang tidak bisa digeser apalagi dipindah-pindah, juga menyediakan kelengkapan alat kerja (tools) dengan ukuran yang jauh lebih kecil dengan bentuk dan fungsi yang pastinya juga beragam.

Baca Juga :  Esai Foto | Para Penjemput Rizki di Pasar (Tradisional) Ahad, Banjarmasin

Dengan jumlah personil yang tentunya juga lebih dari satu dengan gaya dan kepribadian yang berbeda-beda pula, tentu pemanfaatan  frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula", di area workshop dan atau bengkel akan sangat membantu menyeragamkan persepsi, dalam rangka pemeliharaan dan perawatan beragam tools dan inventaris lainnya.

Mengembalikan ke Tempat Semula | tekiro.com

Dengan begitu, keberadaan serta kelengkapan beragam tools milik workshop dan atau bengkel bisa lebih mudah dimonitor dan dikontrol. Cepat ditemukan ketika akan diperlukan, segera terdeteksi jika tidak ada dalam formasi tempat standarnya, hingga perawatan lebih mudah dan intensif, plus pastinya akan menghemat banyak pos pengeluaran akibat lost-nya beragam tools.

Belajar dari penerapan himbauan "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula" di perusahaan atau organisasi yang telah lebih dulu familiar dengan housekeeping management, sejatinya kita juga bisa mengaplikasikannya dimana saja! Termasuk di lingkungan sosial, apalagi dalam lingkungan rumah tangga.

Untuk pemanfaatan dalam rumah tangga, frasa di atas juga tidak kalah bermanfaatnya lho! Satu hal terpenting untuk menciptakan habitus "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula" dalam rumah tangga adalah konsistensi yang konsisten.

Merapikan Peraltan Dapur | rumah.com

Tanpa konsistensi yang konsisten, "penegakan" himbauan "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula" dimana saja, apalagi dalam keluarga tidak akan pernah bisa terwujud.

Godaan untuk memberi toleransi kepada anggota keluarga yang tidak konsisten pada himbauan "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula" jelas menjadi ancaman utama yang harus dieliminir sebijaksana mungkin.

Untuk output maksimal, semua anggota keluarga wajib terlibat dan dilibatkan dalam membentuk habitus "Kembalikan ke Tempat Semula" dan atau "Kembalikan Seperti Semula ini, termasuk anak-anak! 

Karena jika sejak dini telah dilibatkan, maka aktifitas pengulangan-demi pengulangan dalam rangka mematuhi himbauan dari kedua frasa diatas, dengan sendirinya akan terekam dalam alam bawah sadar anak hingga lengket lebih kuat, sehingga dengan sendirinya akan membentuk habitusnya.


Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 28 Juni 2021  jam  14:02 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Utama.

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN







 

Sabtu, 04 Maret 2023

Kosakata Banjar (2) | Hintalu

Hintalu Jaruk alias Telur asin | @kaekaha


Hintalu merupakan kosakata baku dalam bahasa Banjar untuk menyebut kata "telur" (bahasa Indonesia) atau egg (Inggris). 

Uniknya, di masyarakat Banjar yang juga mempunyai beberapa sub suku, seperti Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala, juga menyebabkan munculnya beragam rumpun dialek, hingga menyebabkan banyak kosakata yang secara tulisan sama tapi berbeda dalam menyambatnya atau menyebutnya, termasuk dalam menyebut kata hintalu.

Dalam praktik berkomunikasi masyarakat, kata hintalu  menjadi banyak versi yang kemudian bisa saja digolongkan ke bagian kosakata tidak bakunya. Ada yang menyebut intalu, antalu, hantalu bahkan ada juga yang hanya menyabut dengan talu saja.

Baca Juga :  "Hintalu Tambak", Penguasa Hajat Hidup Urang Banjar yang Semakin Langka 

Saat ini, kosakata hintalu sedang menjadi trending topic di banua Banjar. Apalagi di grup emek-emak, terlebih di lingkungan para pawadaian alias para tukang wadai atau pembuat kue, khususnya kue-kue yang didalamnya mengandung hintalu.

Sudah menjadi rahasia umum kan, wadai Banjar atau kue khas Banjar yang terkenal manis dan legit, sebagian besar mengandung hintalu, bahkan beberapa diantaranya bisa dibilang berbahan hintalu melulu, baik hintalu hayam atau telur ayam, maupun hintalu itik alias telur itik.

Sebabnya bukan hanya karena, hintalu menjadi salah satu komponen sembilan bahan pokok semata, tapi karena harga eceran hintalu ayam di Kota 1000 Sungai yang di akhir tahun 2021 ini melejit melangit hingga menyentuh angka Rp. 30.000/kg. Wadouuuuuw bisa dibayangkan bukan gimana pandiran  eh ... obrolan emak-emak kalau sudah begitu?

Hintalu Karuang yang sama sekali tidak ada telurnya | @kaekaha

Layaknya kata dalam bahasa-bahasa lain yang digunakan di dunia, kosakata hintalu  juga banyak ditemukan dalam bentuk frasa baru yang mempunyai arti dan makna berbeda dengan makna asalnya (leksikal).  

Salah satunya yang paling banyak dikenal orang adalah hintalu karuang, sejenis olahan bubur khas Banjar benbentuk bulat-bulat sebesar biji keleker alias kelereng terbuat dari beras ketan dengan kuah kinca manis legit.

Baca Juga :  Sarapan Lontong Tampusing Ma Haji, Kuliner "Bahari" Khas Banjarmasin

Memang sih, istilah bubur hintalu karuang yang komponen utamanya bola-bola dari ketan yang relatif mirip dengan telur burung ini, penamaanya juga merujuk pada telur burung karuang, khususnya untuk ukuran besarnya bola-bola ketan yang diidentikkan dengan besarnya telur si burung  cucak-cucakan (Pycnonotidae) yang sangat hobi bernyanyi dan konon dulunya banyak hidup di banua Banjar tersebut.

Tapi ada juga frasa baru yang masih berhubungan dengan telur juga, seperti hintalu jaruk yang artinya telur asin, walaupun kosakata jaruk sendiri dalam arti sebenarnya adalah asinan atau proses mengasinkan dengan ujuan untuk pengawetan makanan. Ada juga hintalu tambak yang maksudnya adalah telur itik yang didapat dari indukan itik yang cara memeliharanya balapasan  atau dilepaskan, bukan yang dikandangkan.

Hintalu dalam Kamus Bahasa Banjar | @kaekaha

 Tidak hanya itu, dalam peribahasa Banjar, juga ditemukan beberapa diantaraya yang menggunakan kosakata hintalu sebagai inti dari tematik ungkapannya, salah satunya yang berbunyi "baik mambuang hintalu sabuku daripada rusak sakataraan".

Baca Juga : "Bebek Hungang" dan Uniknya Stratifikasi Level Kebodohan pada Bahasa Banjar

Arti umum dari peribahasa diatas adalah lebih baik membuang telur sebutir daripada rusak telur satu sangkar. Untuk maknanya, sepertinya semua bisa memahaminya kan? 


Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!



Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 01 Januari 2022  jam  08:10 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

Transformasi Bakso di Tangan-tangan Kreatif Masyarakat Nusantara (1)


Bakso Rombong Becak | @kaekaha

Bagi masyarakat nusantara, kuliner berkuah kaldu dengan isian utama bola-bola daging, mie, bihun atau soun dan biasanya dikasih topping bawang goreng dan rajangan daun sop (seledri) atau daun bawang  (kucay) yang biasa disebut sebagai bakso, baso, bakwan atau sebutan lainnya yang bisa jadi di tiap daerah bisa berbeda-beda, tentu sudah sangat familiar.

Bagaimana tidak, kuliner  yang  paling nikmat disantap saat  panas ini, sekarang layaknya "koloni jamur di musim penghujan", ada dimana-mana dan "penampakannya"  beraneka rupa pula, pun cita rasanya!

Sepertinya hanya warung bakso yang persebarannya bisa benar-benar merata ke seluruh Nusantara dengan beragam variannya, head to head dengan kedai masakan Padang dan juga warung seafood-lalapan khas Lamongan, dua kuliner khas nusantara yang lebih dulu dikenal begitu aktif melebarkan sayap ke seluruh pelosok nusantara.

Kedai Bakso Terpal Pinggir Jalan | @kaekaha

Dari level warung atau kedai bakso yang sifatnya manggon atau menetap alias tidak mobile saja, di kota seperti Banjarmasin nan Bungas yang dulu dikenal sebagai ibu kota propinsi dengan wilayah terkecil di level Pulau Kalimantan dan mungkin juga di Indonesia ini, hampir di tiap gang mulai dari kampung sampai komplek perumahan, ada saja warung bakso dengan beragam cirikhas serta variannya sebagai pembeda sekaligus daya tarik masing-masing.

Baca Juga :  Berburu "Bebek Kaki Lima", Menikmati Romantisme Kuliner Jalanan Legendaris Nusantara

Uniknya, kalau diperhatikan lebih serius, ternyata eksistensi warung bakso itu identik dengan klub-klub sepakbola lho! Jika anda penggemar berat liga Inggris, tentu tidak asing dengan eksistensi 7 klub Liga Inggris yang sama-sama berasal dari Kota London, sebut saja Arsenal, Chelsea, Cristal Palace, Fulham dan lain-lainnya. 

Seperti mereka, warung bakso tenyata juga mempunyai basis penggemar masing-masing dan untuk menjaga loyalitas fans berat masing-masing, ternyata mereka juga harus merawat komunikasi dan wajib "berprestasi", setidaknya dengan konsisten menjaga kualitas sajiannya.

Bakso & Mie Ayam Wonogiri | @kaekaha

Sebenarnya, ada keasyikan tersendiri lho, ketika memperhatikan detail keragaman bentuk maupun model rombong bakso nusantara, berikut kompartemen-nya masing-masing yang sudah pasti sangat tergantung dengan kebutuhan dan tentunya kecerdasan plus kreatifitas masing-masing pemiliknya.

Ada yang hanya menggunakan rombong saja tanpa roda yang beberapa diantaranya juga menambahkan tenda portable, ada juga outlet yang lebih serius dan modern dengan memanfaatkan rombong outlet berbahan seng layaknya rombong kaki lima lainnya dan tentu saja warung atau kedai yang memang sudah memanfaatkan bangunan semi permanen maupun yang permanen di lokasi-lokasi strategis. 

Bahkan sekarang, tidak sedikit  outlet bakso yang sengaja mendesain kedai baksonya "lebih serius" layaknya rumah makan atau bahkan restaurant-restaurant kekinian yang tentunya tidak hanya sekedar  menawarkan "acara makan bakso" semata, tapi biasanya juga menambahkan beragam inovasi kekinian, hingga memberikan pengalaman "ngebakso"  yang berbeda, salah satunya yang  mungkin sedang rame dan ngetren adalah ngebakso dengan konsep prasmanan dan all you can eat yang dulu sepertinya tidak pernah terpikirkan.

Fragmentasi di Kedai Bakso|@kaekaha

Memang sih, "restaurant" bakso yang model begini memang tidak banyak dan biasanya memilih segmen pasar kelas premium atau setidaknya, segmen-segmen tertentu yang memang loyal dengan bakso hingga bisa dilabeli sebagai bakso mania. Tidak heran jika, semua konsep berjualan baksonya juga relatif berbeda dengan kedai-kedai bakso pada umumnya. 

Tidak hanya sekedar urusan seputar masakan bakso berikut keragaman isiannya saja yang menjadi perhatian, tapi juga kenyamanan ekstra bagi pelanggannya, seperti konsep penyajian, lay out interior-eksterior, sampai hiburan dan juga pilihan lokasinya tidak bisa asal-asalan, bahkan  banyak diantaranya yang didahului dengan proses riset.

Restoran Bakso Pak Min dengan Hiburan Musik | @kaekaha

Tapi uniknya, apapun model, gaya atau bahkan level kedai-restoran bakso yang ada di sekitar kita, ternyata tidak otomatis berbanding lurus alias tidak  berhubungan secara langsung dengan kualitas citarasa baksonya. 

Jadi "penampakan" fisik kedai-restoran bakso bukanlah parameter terbaik untuk "menilai" citra kualitas olahan bakso yang dijajakannya. Betul!?

Baca Juga : Terbujuk Nostalgia, Bakwan Malang "Pikulan" Ini Sedapnya Unik

Bukan rahasia lagi, banyak sekali kita temukan di sekitar kita, destinasi kuliner "bakso-bakso rakyat" yang dijajakan di tempat-tempat yang sangat sederhana, bahkan dengan cara seadanya pula, tapi karena citarasa olahannya memang maknyus, maka pembeli dari manapun dan latar belakang apapun tidak akan segan-segan untuk datang memburu kenikmatannya. 

Cak Mat dengan "Rombong Pikul" Bakwan Malang | @kaekaha

Itu baru bakso-bakso versi manggon, belum termasuk tukang bakso yang jualan ider alias jualan dengan cara menjaja secara keliling khas masyarakat nusantara yang pastinya jauh lebih epik, heroik dan tentunya juga tak kalah unik

Kita semua tahu, bagaimana karakter dan etiket kuat para "pedagang-pedagang" nusantara yang identik dengan keuletan dan juga kerja kerasnya. Begitu juga dengan orang-orang kreatif di belakang gerobak-gerobak bakso yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini, tidak hanya cerdas dan kreatif saja, mereka semua pekerja keras! 

 


Rombong Cuankie di Kota Garut | @kaekaha

Tidak heran jika di Tangan-tangan kreatif mereka, kuliner yang mempunyai akar sejarah sangat panjang dari negeri China dan diperkirakan telah ada sejak abad ke-17 ini, seperti termuliakan!

Baca Juga :  Tergoda Sajian "Cuanki Jalanan" Asli dari Kota Garut

 Seperti berjodoh, simbiosis mutualisme diantara keduanya menjadikan transformasi bakso di tangan masyarakat Nusantara menjadi jauh lebih massive hingga naik kelas dan populer seperti sekarang, sehingga pada gilirannya menjadi sebuah komoditi perekonomian yang sangat menjanjikan bagi para pelaku usahannya.

Gerobak Dorongnya Imut ya!? | @kaekaha

Tidak heran jika di Kota Banjarmasin dan sepertinya juga kota-kota lain di nusantara, sudah banyak para pedagang bakso yang sebagian besar merupakan perantau dari Pulau Jawa sejak era 70-an, sekarang telah menikmati hasil jerih payahnya yang benar-benar dimulai dari nol, menjadi saudagar-saudagar mapan dari usaha kuliner bakso. 

Menurut para saudagar bakso yang juga generasi pertama perantau dari Jawa yang juga tergabung dalam beberapa organisasi persaudaraan perantau dari Jawa di Kalimantan ini, bakso manggon yang sudah mapan dengan nama besar yang sudah dikenal di Banjarmasin, semuanya diawali dengan jualan keliling atau ider dengan menggunakan gerobak. Woooow!


Bakso Dorongan Favorit Ibu-ibu di Kampung | @kaekaha

Tradisi menjajakan makanan dengan cara berkeliling atau ider dalam budaya masyarakat nusantara, khususnya di Pulau Jawa, sebenarnya mempunyai perjalanan sejarah yang juga tidak kalah panjang. Salah satunya yang paling  ikonik tentu seni menjajakan kuliner paling "tradisional", yaitu dengan cara dipikul.

Baca Juga :  Ayam Masak Bom, Lezatnya Olahan Ayam "Berpenyedap" Arang Membara

Dulu di Pulau Jawa, cara menjual makanan dengan cara dipikul keliling kampung pada malam hari yang tentunya sangat menguras tenaga ini, biasa dilakukan oleh para pedagang Soto Ayam dan Sate-gule  kambing yang teriakan ataupun bunyi-bunyian tanda kehadirannya selalu memberi "hiburan" tersendiri, karena kekhasannya yang unik dan ikonik.  Sayangnya, cara ini sepertinya mulai punah  pada dekade akhir 80-an.

Bakso Rombong Becak Tanpa Atap | @kaekaha

Bersyukurnya, seperti ingin membangkitkan memori, di awal 90-an mulai muncul para pedagang bakso, khususnya Bakwan Malang alias bakso khas dari Malang yang menggunakan pikulan, tapi tentunya setelah dilakukan modifikasi, sehingga rombong baksonya lebih compact, tidak sebesar dan seberat rombong soto atau Sate-gule legendaris di era sebelumnya.

Baca Juga :  Sedapnya Soto Banjar Ayam Bapukah/Bapulas Khas Haji Anang

Pada episode berikutnya, di Jawa Barat atau tepatnya di Garut, lahir kuliner baru yang populer dengan nama Cuanki, varian baru dari keluarga bakso-baksoan yang tentunya juga mempunyai cirikhas dan keunikannya sendiri yang menjadikannya juga istimewa.

Bakso Rombong Becak Motor | @kaekaha

Uniknya, nama Cuanki merupakan akronim dari "cari uang jalan kaki", sebuah istilah yang  merujuk pada cara penjual varian bakso yang isiannya sangat beragam ini saat menjual dagangannya, yaitu dengan menjajakannya dengan cara dipikul dan berjalan kaki keliling kampung sampai saat ini.

Sayangnya, mungkin karena model jualan pakai pikulan ini sepertinya kurang efesien, meskipun sebagian ada yang menyebutnya unik dan estetis, menjadikan model jualan bakso pikulan tidak begitu populer, sehingga secara perlahan mulai menghilang tergantikan oleh model-model lain yang jauh lebih simple, praktis, efektif dan efisien.

Bakso Rombong Sepeda Motor | @kaekaha

Diawali dengan transformasi model gerobak ke arah yang lebih "pintar" dengan menambahkan sepasang roda sehingga bisa lebih mudah untuk berpindah tempat dengan cara di dorong, selanjutnya dari waktu ke waktu  "rombong bakso bergerak" juga terus berubah mengikuti tuntutan jaman yang memang terus bergerak cepat.

Luar biasanya, pada fase ini gerobak bakso tidak hanya menjadi lebih fleksibel, bisa dipindah kemana saja dengan coverage area yang tentunya jauh lebih luas, tapi juga mempunyai ruang yang lebih besar, meskipun tetap jauh lebih hemat tenaga. 

Bakso Kota Harga "Endeso" | @kaekaha

Situasi ini menjadikan kreatifitas para pedagang bakso semakin tertantang untuk terus berinovasi, salah satunya dengan melakukan diversifikasi dagangan dengan menambahkan menu baru, seperti mie ayam dan bahkan juga minuman, seperti es teh, es kelapa, es campur dan lain-lainnya dengan 

Sepertinya, mulai dari titik ini juga para pedagang bakso dari Pulau Jawa akhirnya semakin masive melebarkan sayap ke seluruh pelosok nusantara, termasuk ke Kota Banjarmasin hingga menjadi saudagar-saudagar bakso

Setelah era gerobak dorong mulai dianggap tidak lagi efektif, sehingga mulai jarang terlihat dijalanan, kecerdasan dan kreativitas para pedagang bakso kembali dituntut untuk menciptakan alat berjualan baru yang lebih praktis, efektif dan efisien, memang prosesnya juga tidak cepat dan mudah, hingga akhirnya beberapa dekade berikutnya mulai bermunculan rombong bakso yang berjualan dengan menggunakan sepeda motor bahkan juga mobil.

Uniknya rombong bakso sepeda motor inipun bentuk dan model modifikasinya juga sangat beragam, dari yang relatif sederhana sampai yang cukup canggih.

Ada yang model becak, dimana gerobak bakso di tempatkan di bagian depan, layaknya penumpang becak pada umumnya. Ada juga yang gerobak baksonya ditempatkan di bagian belakang dengan kelengkapan kompartemen yang semakin banyak untuk berbagai keperluan yang tentunya bergantung pada kebutuhan penjual bakso ya. Keren kan kreatifitas masyarakat nusantara!?

(Bersambung)

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 19 Pebruari 2023  jam  22:42 WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN