Minggu, 28 April 2024

Membedah Mantra "Bulikakan ka Wadahnya" dalam Tradisi Basasimpun ala Urang Banjar

Membedah Mantra "Bulikakan ka Wadahnya" dalam Tradisi Basasimpun ala Urang Banjar
Merapikan Tumpukan Sarung | @kaekaha

"Bulikakan ka Wadahnya" atau kalau dalam bahasa Indonesia, "mantra" ini bisa dimaknai sebagai "kembalikan ke tempat semula" atau bisa juga menjadi versi serupa tapi tak samanya "kembalikan seperti semula", merupakan mantra warisan dari keluarga istri yang secara ketat masih terus diamalkan sampai detik ini.

Kalau diperhatikan sungguh-sungguh, "mantra" ini sebenarnya tidak jauh beda dengan teori-teori yang diajarkan dalam housekeeping management modern yang biasanya diajarkan di kelas-kelas mewah dan mahal.

"Mantra" dalam wujud sebuah frasa diatas, aktual dimanfaatkan untuk "mengingatkan" sekaligus melatih tanggung jawab para pengakses "ruang publik berikut kelengkapannya" agar ikut peduli dan bertanggungjawab atas kenyamanan, kelengkapan dan kemungkinan juga keamanan fasilitas "ruang publik" dimaksud.

Mantra ini berlaku untuk semua barang atau benda yang karena keperluan atau kebutuhan kita, harus kita pindahkan tempatnya dan setelah selesai, maka wajib kita kembalikan ke tempat asal atau juga ke bentuk awal. Sekali lagi hukumnya wajib!

Contoh penerapan frasa "Kembalikan ke Tempat Semula" dalam internal keluarga antara lain, seperti mengembalikan sepatu yang baru saja dipakai ke rak sepatu asalnya.

Begitu juga setelah sendok makan, gelas, piring, mangkok dan peralatan makan juga dapur lainnya setelah dicuci, segera kembalikan ke tempat asal yang telah ditentukan.

Termasuk juga setelah kita memakai alat-alat bantu seperti gunting, cutter, penghapus, rautan, penggaris, termasuk lem kertas. Setelah selesai dipakai, "wajib" langsung dikembalikan ke tempat asalnya.  

Atau mungkin mengembalikan remote AC ataupun remote televisi ke tempat asalnya setelah selesai memakainya.

Sedangkan untuk frasa "Kembalikan Seperti Semula", bisa kita temukan di ruang-ruang ibadah, seperti setelah memakai mukena dan sajadah atau mungkin memakai sarung dan kopiah untuk shalat, termasuk juga setelah membaca mushaf Alquran.

Setelah selesai, semua perlengkapan sholat tersebut wajib dilipat seperti semula dan dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing, sesaat setelahnya dan tidak boleh ditunda-tunda.

 

Bisa juga mengembalikan posisi gorden penutup kamar ataupun jendela kamar seperti semula setelah selesai pemakaiannya.

Kalau diperhatikan model frasanya, pada "Kembalikan ke Tempat Semula" PoV-nya ada pada "tempat", yaitu tempat asalnya barang atau benda yang sengaja diambil untuk dimanfaatkan.

Sedangkan pada "Kembalikan Seperti Semula" PoV-ya pada bentuk dan atau kelengkapan asal dari benda yang sengaja kita manfaatkan fungsinya

Apa sih tujuannya penerapan mantra ini?


Tujuannya jelas, agar benda-benda yang sudah selesai kita manfaatkan, bisa segera tertata rapi kembali ditempatnya, tidak berserakan dan berhamburan yang bisa berakibat benda-benda tersebut tercecer dan tidak terdeteksi keberadaanya alias hilang, sekaligus meminimalisir kemungkinan kerusakannya, sehingga kelengkapannya juga lebih mudah di monitor.

Tidak hanya itu! Aktifitas ini juga bermanfaat untuk menjaga estetika ruangan, rak, lemari dan "wadah-wadah" lainnya agar tetap rapi dan enak dilihat, sehingga tidak saja mempermudah akses orang lain yang juga memerlukan, tapi juga bermanfaat untuk menjaga mood semua pengakses.

Begitu juga ketika kita mengembalikan seperti semula "lipatan" sekaligus mengembalikan ke tempat semula sarung, mukena, sajadah, kopiah bahkan Alquran setelah kita pakai, tentu akan membantu mempermudah orang lain untuk menemukan dan memanfaatkannya kembali, selain tetap menjaga kerapian dan juga estetika ruangan dalam mushalla atau masjid, sehingga tetap nyaman di pakai siapa saja untuk beribadah.

Poin utama dari mantra "bulikakan ka wadahnya" ini adalah konsistensi dari semua elemen dalam keluarga. Tanpa konsistensi, "penegakan" mantra "bulikakan ka wadahnya" tidak akan pernah bisa terwujud menjadi habitus.

Karena habitus dalam keluarga, termasuk pada anak-anak hanya akan terbentuk jika aktifitas pengulangan-demi pengulangan dalam rangka mematuhi mantra diatas, dilakukan secara konsisten, hingga terekam dalam alam bawah sadar hingga  lengket dengan kuat.

Apa manfaatnya bagi tradisi Basasimpun?

-Advertisement-

Tradisi Basasimpun merupakan tradisi turun-temurun Urang Banjar setiap akan mengahadapi hajatan besar, acara besar atau hari-hari besar dalam Islam, termasuk lebaran yang secara tradisional merupakan gabungan dari semua aktifitas yang berujung pada bersih-bersih (babarasih), merapikan, beres-beres (baberes), termasuk memperbaiki yang bisa diperbaiki dan lain-lainnya.

Jika mantra "bulikakan ka wadahnya" ini telah menjadi habitus dalam keluarga, maka tradisi Basasimpun di setiap menjelang hajatan-hajatan besar tidak akan terlalu merepotkan, bahkan bisa di skip sejak dini, karena semua sudah tertata rapi dan bersih. Termasuk untuk lebaran kali ini. Keren kan!?

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas !

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Pak Satir, Mudik Lebaran dan Kisah "Orang Baik" yang Akan Selalu Ada di Sekitar Kita

Unggahan Momen Para Penumpang PO BORLINDO Sedang Makan Siang di Rumah Mertua Pak Satir | IG/Lambe_turah

Perjalanan mudik di lebaran selalu menghadirkan beragam cerita yang menggugah perasaan, ada suka-duka, bahagia dan juga nestapa yang bisa saja hadir beriringan ataupun bergantian untuk menyapa si pemilik takdir.

Tak kurang, begitu banyak berita di berbagai media mengabarkan musibah kecelakaan di seputaran aktifitas mudik yang menelan banyak korban jiwa.

Termasuk kecelakaan maut di kawasan Pantai Hambawang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang menewaskan dua korban jiwa, salah satunya Noor Aina, seorang guru ngaji yang juga sepupu istri dalam perjalanan pulang dari Banjarmasin-Hulu Sungai Tengah, Kamis (11/4).

Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun. Selamat jalan Na! Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaik! Amin.

Uniknya, cerita mudik tahun ini juga dihiasi oleh berita-berita "ganjil", seperti anak dan isteri yang di usir suami dan mertua, juga orang tua diusir anak hingga keleleran dijalanan karena kehabisan ongkos dan lain-lainnya! Entahlah, sebenarnya apa yang sedang terjadi saat ini?

Tapi diantara berbagai berita seputar mudik yang mengharu biru dan memiriskan hati diatas, baru-baru ini dunia maya seperti mendapatkan "siraman rohani" yang begitu menyegarkan sekaligus menggugah kesadaran rasa kemanusiaan kita semua.

Ternyata orang baik memang benar-benar masih ada!

Begitulah komentar yang bertebaran di berbagai aplikasi media sosial yang mengunggah ulang kisah aksi heroik M Syatir Tajuddin atau M Satir (sesuai akun tik tok beliau), sopir bus antar kota antar propinsi PO. BORLINDO jurusan Palu-Makkasar yang mengajak 1 bis penumpangnya untuk "berlebaran", makan di rumah mertuanya.

Pak Satir yang pada hari lebaran tetap bertugas membawa penumpang mudik dari Palu (Sulawesi Tengah) menuju Makkasar (Sulawesi Selatan) sejauh sekitar 800-an km  dan bisa ditempuh dengan perjalanan hampir sehari semalam, tidak mendapati warung dan rumah makan buka.

Ungkapan Salah Satu Penumpang di Media Sosial yang Akhirnya Viral | Tik tok/@octavpietherdjumapny

Wajar jika, Pak Satir melihat kegelisahan para penumpangnya yang sedang kelaparan di sepanjang perjalanan. Menariknya, tanpa memberi tahu penumpangnya, saat memasuki kawasan Polewali, Mandar Sulawesi Barat, Pak Satir diam-diam mengarahkan bus yang dikemudikan ke rumah mertuanya.

Setelah sampai, semua penumpang diajak naik ke rumah panggung mertuanya dan langsung di suguhi beragam suguhan untuk makan siang.


@octavpietherdjumapny sehat selalu pak satir #tiktokpalu #fyppppppppppppppppppppppp #fypviral  suara asli - octavpietherdjumapny

Seperti dalam unggahan akun tiktok @octavpietherdjumapny yang pertama kali "membocorkan" kisah heroik Pak Satir dan keluarganya ke media sosial sesaat setelah kejadian atau empat hari yang lalu tepat di hari H lebaran.

Dalam video singkat tak sampai semenit tersebut, awalnya tampak pemandangan persawahan di pinggir jalan yang semakin menarik dengan catatan heroik yang ditulis pengunggahnya "Terima kasih sopir bus BORLINDO Palu Makkasar. 

Lebaran hari pertama, kami masih di jalan buat mudik. Jam 12 siang saya lapar. Warung pd tutup semua. Tp diam diam sopir bawa kami ke rumah mertua nya dan menyuguhkan makanan buat kami santap bersama di hari lebaran".

Pada potongan video selanjutnya terlihat semua penumpang bus yang entah berapa jumlahnya, sedang lesehan menikmati makan siang dengan menu olahan sepertinya daging, selayaknya olahan tradisional khas lebaran dalam piring-piring dan mangkuk dengan lahapnya.

Ungkapan Salah Satu Penumpang di Media Sosial yang Akhirnya Viral | Tik tok/@octavpietherdjumapny


Lagi, si pengunggah video memberikan "catatan yang mengandung bawang" dalam potongan lanjutan videonya. "Seluruh penumpang bus makan. Serasa rumah sendiri".

Luar biasanya, meskipun penumpang yang dibawa pulang untuk makan siang di rumah mertua Pak Satir cukup banyak, ternyata hidangan yang disajikan jauh lebih banyak! 

Tampak dalam video, ketika si perekam beranjak keluar rumah masih banyak sajian lauk dalam piring dan mangkuk yang belum tersentuh. Inilah definisi asli "memuliakan tamu!"

Sekali lagi, di momen video ini @octavpietherdjumapny memberikan catatan berupa doa kepada Pak Satir dan keluarganya yang disebutnya sebagai "orang baik" sambil keluar rumah sekaligus menuruni anak tangga yang semakin mempertegas rumah si "Orang Baik"ini rumah panggung berbahan kayu.

Terima kasih Orang Baik! | Tik tok/@octavpietherdjumapny

"Terima kasih Orang Baik semoga Allah melindungimu di setiap langkahmu".

Jujur, saat pertama kali bertemu dengan unggahan @octavpietherdjumapny setelah mendapatkan kiriman dari teman, saya benar-benar speechless dibuatnya! Masha Allah!

Lebaran tahun ini, jelas tidak akan pernah dilupakan oleh @octavpietherdjumapny dan semua penumpang bus BORLINDO lain yang diajak Pak Satir berlebaran di rumah mertuanya.

Jelas bukan hanya karena jamuan makannya saja, tapi juga kebersamaan, keramahan dan juga kehangatan yang begitu mudah terjalin, tanpa harus mencari tahu siapa dan apa saja latar belakang masing-masing! Apalagi situasinya di hari kemenangan yang sangat spesial!

Terima kasih "Orang baik"! Semoga Pak Satir dan keluarga selalu dalam perlindungan dan kasih sayang Allah SWT. Dimudahkan segala urusannya, dilancarkan rezekinya dan selalu dipertemukan dengan orang-orang baik juga! Amin.

Semoga kisah-kisah menginspirasi seperti ini yang kedepannya menghiasi hari-hari kita. Aman, damai dan sejahtera hidup di Nusantara.

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Pesan Cinta dari "Kiamat Kecil" Kedarnath

Mansoor Menggendong Peziarah Menuju Kerdanath | bollywoodhungama.in
Mansoor Menggendong Peziarah Menuju Kerdanath | bollywoodhungama.in

Jujur, saya bisa bertemu dengan Kedarnath, film drama romantis yang sarat dengan pesan cinta universal ini lebih karena pesona Sara Ali Khan, si cantik dan seksi pemilik "trah" kebintangan Bollywood dari para pendahulunya yang juga bintang-bintang layar lebar film India di eranya masing-masing, termasuk Amrita Singh, sang ibu yang garis kecantikanya sebelas-dua belas dengan Sara! Duh...

Tapi bukan film India namanya kalau tidak membuat penasaran penonton, hingga membuatnya duduk manis sampai filmnya habis! Eh, kadang-kadang sambil nangis-nangis...he...he...he...

Apalagi kalau spot-spot cantik di kaki pegunungan Himalaya plus budaya unik masyarakatnya yang diekspos disepanjang cerita film! Hayo siapa yang sanggup menolak untuk duduk manis?

Tidak hanya itu! Layaknya film-film India lainnya, film yang menjadi momen debut Sara Ali Khan di dunia layar lebar ini juga menyajikan tema percintaan. Tapi kerennya, percintaan di film ini berani beda! Sangat sensitif dan sangat berpotensi memicu kontroversi di masyarakat India, apa itu?

Kisah Percintaan dengan Latar Cantiknya Pegunungan Himalaya | bollywoodhungama.in
Kisah Percintaan dengan Latar Cantiknya Pegunungan Himalaya | bollywoodhungama.in


Apalagi kalau bukan kisah amor antara Mukku, putri bungsu "konglomerat" lokal di Uttarakhand berlatar keluarga Hindu kasta tertinggi yang diperankan oleh Sarah Ali Khan dengan seorang pemuda muslim sederhana bernama Mansoor yang diperankan oleh Sushant Singh Rajput.

Baca Juga : Satria Dewa Gatotkaca, "Jembatan" Millenial Kembali Nguri-uri Kearifan Budaya Pewayangan


Seperti kita pahami bersama, sejak lama konflik sektarian di negeri India layaknya bara api dalam sekam yang sangat mudah tersulut, hingga pecah menjadi kerusuhan-kerusuhan besar dengan ending yang mengerikan.

Karenanya, tidak heran jika film yang tergolong sangat berani inipun tidak luput dari protes dari beberapa kalangan yang merasa tidak nyaman dengan isi cerita dalam filmnya!

Serunya lagi, ternyata latar besar dari film ini merupakan kisah nyata dari tragedi bencana alam paling mengerikan dalam sejarah India, khususnya di wilayah India Utara di seputaran pegunungan Himalaya atau tepatnya di kawasan kaki gunung Uttarakhand yang terjadi pada tahun 2013 silam. 


Perjalanan cinta Mukku dengan Mansoor, pemuda muslim porter pengangkut barang-barang, termasuk menggendong para wisatawan dan peziarah yang menuju kuil Hindu di kaki gunung Uttarakhand yang dikenal sebagai Kedarnath, memang penuh liku-liku dan intrik khas film India yang suka menggemaskan.

Baca Juga : Menikmati Jelajah Rasa Nusantara Lewat Film

Berawal dari panah asmara Mukku yang dianggap jatuh di tempat terlarang, melahirkan berbagai konflik dan perseteruan yang tidak hanya melibatkan dua sejoli Mukku dan Mansoor saja, tapi juga keluarga, kerabat dan bahkan juga warga kampung dan dua komunitas agama berbeda di Uttarakhand. Naaaah ini yang seru eh...mengerikan!

Uniknya, ditengah-tengah drama percintaan dan perseteruan itu muncul aksi heroik Mukku yang berjiwa pemberontak, mengajak Mansoor untuk menggagalkan pembangunan hotel mewah di sekitar Kedarnath, karena dianggap mereka akan merusak kesakralan kuil Kendranath dan juga mengganggu keseimbangan alam di kawasan tersebut.

Tapi apa daya, kalau pejabat korup dengan kuasanya telah bekerja sama dengan pemodal kaya yang dengan uangnya bisa berbuat apa saja, terus rakyat kecil bisa apa?

Didukung oleh "oknum" pejabat korup yang ternyata juga berharap bisa mempersunting Mukku, berbagai cara dilakukan keluarga pendeta Briraaj, orang tua Mukku untuk memisahkan si cantik Mukku dengan Mansoor.

Sayangnya, upaya mereka lama kelamaan menjurus ke arah kriminal. Penganiayaan berat terhadap Mansoor dengan cara mengeroyok dan menyiksannya beramai-rama di depan rumah Mukku, menjadi klimaks dari perseteruan ini, sampai akhirnya kiamat kecil itu datang!

Semua drama sosial yang mengarah ke perselisihan sektarian ini akhirnya berhenti setelah banjir bandang terbesar dalam sejarah menyapu kawasan Uttarakhand di wilayah pegunungan Himalaya, termasuk Kerdanath dan juga kampungnya Mukku.

Konon, banjir besar tersebut disebabkan oleh runtuhnya gletser raksasa Himalaya yang menabrak bendungan pembangkit listrik tenaga air Uttarakhand. 

Baca Juga :  "Baik, Malihat Kemos, Bah!"

Dari momen bencana alam ini, munculah Mansoor layaknya "from zero to hero". Dikisahkan berhasil menyelamatkan banyak warga di kampungnya, termasuk keluarga Mukku dan orang-orang yang telah menganiayanya, Mansoor benar-benar hadir layaknya seorang pahlawan.

Sayang seribu sayang, Mansoor sendiri akhirnya justeru tidak bisa menyelamatkan diri dari ganasnya banjir ini.




Di akhir cerita, disebutkan ada 4300 korban jiwa dalam banjir bandang ini dan data ini berbeda dengan data dari relawan dan media yang menyebut lebih dari 10.000-an korban jiwa.

Selain 50.000-an jiwa yang diselamatkan oleh militer India dan sekitar 70.000-an lainnya yang dinyatakan hilang, tidak diketemukan. Ngeri?

Baca Juga: Jejak Diplomasi Film Religi Membumikan Islam yang Rahmatan Lil Alamin

Film Kedarnath ini memang hanya menggambarkan sebagian kecil saja dari bencana alam mematikan yang tidak akan mungkin dilupakan oleh masyarakat Uttarakhand, tapi dari film yang memilih mengakhiri ceritanya dengan sad ending ini, kita bisa belajar banyak bagaimana "cara kerja" cinta yang tulus menyelamatkan kehidupan. Begitu juga dengan kecintaan kita pada bumi dan alam seisinya! 

Jujur, saya sedih sekali menonton ending film ini. Bukan saja karena Mukku dan Mansoor yang tidak bisa bersatu, tapi juga konsistensi saya (atau mungkin kita?) yang sampai detik ini masih saja belum bisa mengejawantahkan rasa cinta kita kepada bumi kita dengan perilaku yang lebih konkrit. Masih membuang sampah di sungai atau masih membakarnya secara sembarangan? Masih suka menebang pohon dan tidak pernah tergerak untuk menanaminya? Belum juga mengendalikan penggunaan bahan bakar fosil? Sampai kapan!?

Jangan-jangan kita juga punya andil sebagai pemicu terjadinya tragedi banjir bandang di Uttarakhand pada 2013 silam! 

Kebiasaan-kebiasaan kita yang sama sekali tidak ramah lingkungan bisa jadi ikut menyebabkan global warming yang memicu pecah dan longsornya gletser-gletser raksasa di berbagai lokasi gunung-gunung atau padang-padang es yang sebelumnya kita anggap akan abadi, termasuk salah satunya di pegunungan Himalaya yang menyebabkan banjir bandang di Uttarakhand.

***

Semoga bermanfaat

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


Sabtu, 27 April 2024

Nggak Cuma Lucu, Menyatukan Dua Budaya dalam Satu Lebaran Itu Menggemaskan!

Nggak Cuma Lucu, Menyatukan Dua Budaya dalam Satu Lebaran Itu Menggemaskan!
Pedagang Pasar Terapung, Isteri-isteri Tangguh dan Pekerja keras yang Ulet  khas Urang Banjar | @kaekaha

Menikah dengan beda suku semestinya menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat nusantara yang secara faktual memang dibangun dari berbagai macam suku bangsa.

Tapi sayangnya, sejauh pengalaman saya, sepertinya kesadaran seperti yang saya maksudkan di atas memang masih belum benar-benar dijiwai olah masyarakat kita.

Atau jangan-jangan, circle saya saja ya yang masih begitu ya? Mudah-mudahan sih! He...he...he....

Buktinya, ketika saya yang asli Wong Jowo “ketahuan” menikahi gadis Banjar, asli Kalimantan Selatan, banyak sanak saudara, tetangga dan juga teman-teman saya mempertanyakan keputusan saya tersebut, apalagi mantan-mantan saya!

“Nggolek bojo kok adoh men to le le!?” Kata Simbah Kakung, bapaknya ibu saya. Sekedar informasi saja, padahal Simbah Kakung atau kakek saya ini, istri pertama beliau orang Dabo, salah satu  pulau kecil di gugusan pulau di kawasan Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Aduuuuh Mbah, adoh ...eh jauh lagi dari Banjarmasin!?

“Lhah... lha kok oleh bojo adoh men, kenal nengendi lur?” Tanya Jono, sahabatku sejak unyu-unyu yang sekarang jadi juragan bakso di kampungku, di kaki Gunung Lawu sana.

“Lha kuwi mengko budal lamaran Karo mantenan numpak montor mabur no le? Asyiiiik!” Tanya Bude saya, kakaknya ibu.

Lha yang paling serem itu ya pernyataan dan pertanyaan mantan-mantan saya, salah satunya yang paling sopan seperti “Koyok neng Jowo wis ora enek cah ayu wae!?” Serem kan? He...he...he...

Tapi ya itulah faktanya, kita memang tidak bisa memungkiri bahwa proses komunikasi antar anak bangsa di level akar rumput masih banyak terkendala oleh ruang dan waktu atau kalau dalam bahasa saya yang wong cilik begini ya terkendala biaya...he...he...he. Betul?

Beruntungnya saya, di usia muda sudah ditakdirkan Allah SWT bertemu dengan teman-teman dari 27 propinsi (jauh sebelum akhirnya di pecah jadi 33 dan sekarang jadi 38 propinsi), hingga akhirnya saya benar-benar semakin jatuh cinta dengan mereka, eh maksudnya dengan keragaman budayanya, termasuk sama gadis-gadisnya ya he...he...he...

2 Dunia dalam 1 Lebaran

Salah satu momentum tahunan yang paling saya tunggu sejak menikah dengan gadis Banjar adalah mudik lebaran. Kami yang diawal-awal pernikahan menetap di Sidoarjo, akhirnya memutuskan untuk menggilir secara bersalang-seling jadwal mudik tiap tahunnya.

Anehnya, saya selalu merasa lebih menikmati lebaran ketika mudik ke Banjar. Saya merasakan dunia yang berbeda. Begitu juga sebaliknya, isteri saya justeru lebih suka mudik ke kaki Gunung Lawu yang adem dan serba hijau segar view alamnya.

Tidak hanya itu, interaksi kami dengan lingkungan baru kami, masing-masing jelas menjadi semacam wahana dunia baru bagi kami. 

Terutama jika kita bertemu dengan kendala bahasa dan makanan tradisional masing-masing  yang biasanya tiap lebaran keluar semua. Ini yang seru dan menegangkan, sekaligus menyenangkan!

Pernah waktu kita berkunjung ke tempat Acil atau Bulik alias Tantenya istri saya, saya selalu dibuat tertawa oleh pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Banjar dialek Hulu Sungai atau pahuluan yang lebih cepat dan sudah pasti, kosakatanya serasa bahasa planet bagi saya saat itu.

Nanti ujung-ujungnya kalau ditanya ngerti nggak artinya? saya pasti geleng-geleng kepala. Berikut ilustrasi pertanyaannya khas lebaran di bumi Banjar.

“Barapa ikung  anak?” 

“Bagana dimana wahini?” 

“Bagawi dimana? 

“Pabila Bulik ka Jawa?”

Nah kalau ketemunya sama amang atau paman alias om-omnya isteri saya, pertanyaannya beda lagi, selalu berhubungan dengan naluri kelelakian, seperti  “handakkah babini pulang?”

Nah, diantara pertanyaan-pertanyaan khas lebaran diatas, saya paling suka kalau ditanya “barapa ikung anak?” atau punya anak berapa?

Karena pasti akan saya jawab, "ampat dan sulung samuaan!" yang artinya adalah empat dan semuanya anak sulung atau anak pertama. Tahu maksudnya? Biasanya kalau sudah sampai disitu, orang-orang yang mendengar pasti riuh dan heboh!

Punya empat anak dan sulung semua, itu artinya keempat anak itu lahir dari empat ibu berbeda dan jawaban itu sama saja dengan memberi tahu mereka kalau saya punya istri empat! Ngarep he...he...he...

Tahukan anda makna mempunyai isteri 4 dalam lingkungan budaya Urang Banjar?

Di lingkungan masyarakat Banjar dikenal tradisi humor unik terkait poligami ini, yaitu


Punya isteri satu itu baru belajar

Punya isteri dua itu wajar

Punya isteri tiga itu kurang ajar 

Dan punya isteri empat itu Urang Banjar! 


Pahamkan maknanya? Artinya saya sudah menjadi bagian dari Urang Banjar...he...he...he...


Semoga Menghibur!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha

 




Minggu, 07 April 2024

Bingka Barandam, Segarnya Berlebaran dengan Wadai Berkuah Peluruh Dendam

Input sumber gambar

Salah satu keunikan tradisi berlebaran di nusantara adalah munculnya beragam kuliner tradisional sebagai bagian dari jamuan bersantap bagi sanak saudara, handai tolan, tetangga dan tamu-tamu lainnya yang berkunjung ke rumah, terlebih di kediaman sosok-sosok yang biasanya di tuakan.

Begitu juga di Kota 1000 Sungai Banjarmasin nan Bungas! Di setiap rumah biasanya tidak akan ketinggalan untuk menyajikan beragam kuliner tradisional khas Banjar, baik berupa camilan atau wadai karing, kudapan atau beragam wadai, sampai menu-menu makanan berat.

Dari sekian banyak kuliner tradisional Banjar yang sering muncul saat lebaran, selain beragam kuliner berat berkuah kaldu kesukaan saya seperti sop dan soto Banjar, bistik ayam atau daging, lontong tampusing, katupat Kandangan, juga katupat batumis, Urang Banjar juga mempunyai kudapan kue unik yang selalu menjadi primadona di sepanjang bulan Ramadan hingga lebaran, yaitu Wadai Bingka Barandam.

Wadai atau kue yang sangat unik dan tentunya juga super nikmat ini langsung bisa membuat saya jatuh cinta, ketika pertama kali mencicipinya di akhir 90-an, ketika untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di mantan Ibu Kota Kalimantan Selatan ini.

Penampakan unik kue bolu berkuah dengan warna kuning telur segar ini selalu sukses membuat siapapun terpesona dan jatuh cinta pada pandangan pertama dan akan semakin jatuh hati ketika mulai mencicipi sesuap demi sesuap bolu lembut nan legit ini.

Bagaimana tidak? Keunikan wadai berkuah ini jelas menjadi pembeda sekaligus penyebab "lapar mata".

Apalagi begitu mengudap sepenggal-demi sepenggal perpaduan kue bolu super lembut yang hanya dibuat dari tepung dan kuning telur plus direndam dalam kuah kinca manis yang legitnya pas berpenyedap kayu manis, vanili dan daun pandan alami ini!

Tidak heran jika kelezatan wadai yang juga menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Pulau Kalimantan, termasuk masyarakat negeri jiran, Malaysia dan Brunei Darussalam ini selalu maulah karindangan alias ngangeni siapa saja yang pernah mencicipinya.

Asal nama bingka barandam jelas diambil dari cara penyajian kuenya yang direndam dalam kuah kinca manis nan menyegarkan tersebut. Kosa kata asalnya, “barandam atau berandam” dalam bahasa Indonesia berarti berendam.

Jika anda sebelumnya sudah familiar dengan beragam wadai bingka khas urang Banjar lainnya, seperti bingka kentang, bingka waluh, bingka telur, bingka pisang, bingka ubi dan lain-lainnya yang kesemuanya diolah dengan cara di bakar dan mempunyai citarasa manis lumer, maka bingka barandam ini beda 180 derajat dengan saudara-saudara sepupunya tersebut

Tekstur wadai bingka barandam jauh lebih lembut layaknya sponge atau spons, sehingga tidak memberi efek mengenyangkan apalagi bikin eneg, karena cita rasa manisnya yang pas sangat  menyegarkan apalagi setelah didinginkan beberapa saat dalam lemari pendingin.

Ini yang unik dan asyik! Biasanya, kudapan manis apalagi dipadu kuah manis, menyebabkan rasa eneg jika disantap berulang-ulang kali, terlebih bagi selain penikmat kuliner manis seperti saya. Nah, wadai bingka barandam berlaku sebaliknya! Justeru bikin ketagihan kalau disantap berulang-ulang he...he...he...

Ketika menyantap kue pertama, maka saat itu juga hasrat menyantap kue kedua menyeruak, begitu pula saat menyantap kue kedua dan begitu seterusnya, sampai kue dan kuah yang sama-sama berwarna kuning telur itu ludes tempat sajian.

Tidak hanya itu, kue yang konon “boros telur” ini juga menawarkan sensasi mengudap kue yang benar-benar berbeda dan tidak akan terlupakan sampai kapanpun!

Begitu masuk ke dalam mulut, bolunya akan pecah di lidah, maka saat itulah kuah manisnya yang lezat dan dingin menyegarkan mengguyur tenggorokan, memanjakan semua indera perasa kita. Suegaaaarnya Sedaaaap dan nikmaaaaat!

Sayang, wadai bingka barandam yang juga menu favorit buka puasanya Urang Banjar ini, hanya mudah ditemukan di seputaran Ramadan dan lebaran saja. Tidak di hari-hari biasa!

Khusus di seputaran bulan Ramadhan, varian rasa dan bentuk bolu bingka barandamnya lebih beragam. Tidak hanya versi original saja, tapi juga ada rasa tapai, pandan, nangka, kelapa muda, hingga yang kekinian seperti cokelat dan keju.

Begitu juga dengan bentuknya, tidak hanya bulat, tapi juga beragam ada bentuk bunga, hati, persegi dan lain-lainnya. Mau coba?

Nah, kalau mau mencoba otentiknya wadai nan unik ini, memang tidak ada cara lain selain harus terbang dan jalan-jalan ke Banjarmasin. Tapi kalau mau coba-coba pemanasan dulu, boleh juga tuh resep turun-temurun keluarga istri saya ini dicoba!

Selain bahan untuk membuatnya relatif murah dan mudah didapat, cara membuatnya juga tidak terlalu ribet kok! Yuk dicoba!

(Resep Keluarga) Wadai Bingka Barandam (untuk sekitar 8-10 porsi) :

Bahan :

200 gr tepung terigu

8 butir telur itik

1-2 sdm gula pasir

Cara Membuat :

Pertama, kocok telur itik dan gula pasir hingga mengembang yang ditandai dengan adonan berwarna agak kepucatan dan bila mixer diangkat, adonan tidak menetes lagi.

Kedua, masukan tepung terigu ke adonan secara perlahan, lalu aduk sampai merata.

Ketiga, siapkan cetakan bingka dengan mengoleskan margarin, lanjut panaskan dengan api kecil.

Keempat, setelah cetakan panas, tuang adonan ke dalam cetakan dan biarkan sampai matang.

Kelima, Angkat dan sisihkan dulu.


Bahan kuah:

500 ml air

300 gr Gula pasir

3 lembar daun pandan

Kayu manis secukupnya

Vanili secukupnya

Cara Pembuatan:

Pertama, masukkan air, gula, daun pandan, bubuk vanili dan kayu manis secukupnya, lalu panaskan semuanya hingga mendidih dan gulanya larut.

Kedua, angkat dan dinginkan.

Ketiga, saring kuah, ambil kuahnya kincanya.

Keempat, siram dan rendam bolu dengan kuah kinca sampai beberapa saat, sampai kuah meresap ke dalam bolu yang ditandai dengan bentuk bolu yang mengembang dan terlihat basah layaknya sponge

Kelima, Siap dinikmati dengan keluarga!

Semoga bermanfaat! 

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN













 

Kamis, 04 April 2024

Pengalamanku Berhadapan dengan Komplotan Maling Musuh dalam Selimut

Rumah Kunci | @kaekaha

Pengalaman pertama saya berhadap-hadapan langsung dengan komplotan maling yang serasa musuh dalam selimut ini, terjadi di awal tahun 2000-an ketika saya baru saja menikah dan tinggal di rumah baru di pinggiran Kota Sidoarjo, Jawa Timur.

Komplek perumahan yang saya tempati sebenarnya termasuk komplek perumahan yang sudah lumayan lama berdiri, hanya saja blok yang saya tempati, memang blok baru dan lokasinya agak jauh dari pusat perumahan, tepat di pinggir areal persawahan.

Awal mulanya, saya kehilangan mesin pompa air yang  sore sehari sebelumnya baru dipasang di “dalam kamar mandi yang terkunci”, berikut peralatan tukang yang sengaja ditinggal di dalam. Tapi anehnya kunci pintunya tidak rusak.

Desain rumah minimalis yang saat kejadian belum saya tempati tersebut, memang agak unik. Khusus kamar mandi, lokasinya ada di luar bangunan utama dan posisinya di belakang rumah yang berhadapan langsung dengan area persawahan terbuka yang sangat luas dan saat itu saya juga belum sanggup untuk memagarinya dengan pagar permanen.

Keanehan raibnya mesin air ini, atas dukungan RT dan semua tetangga yang saat itu rata-rata juga penghuni baru, sebenarnya akan kami laporkan ke polisi, karena kami mencium adanya ketidakberesan dari kejadian ini.

Tapi setelah mediasi dengan pengembang akhirnya tidak jadi, karena pengembang bersedia mengganti mesin air yang raib dengan unit yang baru, setelah melalui perdebatan yang panjang dengan ketua RT dan warga kami yang belum begitu banyak saat itu.

Kecurigaan kami akhirnya terbukti sekitar  sebulan berikutnya.

Sudah menjadi tradisi di komplek yang saya tinggali, setiap akhir pekan apalagi kalau ada long weekend, komplek kami akan sepi seperti tidak ada penghuninya sama sekali. Sebagian besar penghuni blok kami yang keluarga muda, lebih memilih pulang kampung yang memang masih di seputaran Gerbangkertosusilo. Tahu kan dengan kawasan strategisnya Jawa Timur ini?

Kebetulan malam minggu saat itu, beberapa hari sebelumnya saya baru mengalami kecelakaan dan kaki saya masih bengkak sehingga nggak bisa kemana-mana, termasuk saat diajak istri untuk hadir di pernikahan sepupunya di Jember.

Malam itu, akhirnya saya benar-benar sendirian. Kebiasaan saya, lebih suka mematikan lampu dalam ruangan dan menyalakan lampu diluar ketika saya tidur atau sekedar bersantai saat nonton TV.

Kira-kira sekitar jam 03.00 lepas tengah malam, setelah nonton Liga Italia kesukaan saya saat itu, saya yang bermaksud mau tidur, tiba-tiba kok berhasrat untuk menengok ke jendela belakang yang mengarah langsung ke kamar mandi dan areal persawahan yang luas.

Saat itulah jantung saya serasa mau copot, karena dari jarak sekitar 10 meter, saya melihat sesosok orang  dengan kepala berkelubut sarung berjalan menuju ke arah pintu rumah saya.

Beruntung lampu yang saya pasang di atas pintu yang mengarah ke belakang lumayan membantu saya mengidentifikasi sosok tersebut dan saya mengenalinya sebagai kru tukang dari pengembang yang memang sering terlihat bekerja di proyek perumahan yang sedang digarap.

Setelah berusaha mengintip ke dalam rumah melalui jendela dan dari lubang pintu bagian bawah, tiba-tiba si bapak ini mengeluarkan beberapa bundel berisi ratusan anak kunci pintu dan obeng besar yang di bawanya.

Dari sinilah misteri hilangnya pompa air saya dari dalam kamar mandi yang terkunci semuanya terbongkar!

Si oknum tukang ini mencoba membuka pintu belakang rumah saya dengan beberapa anak kunci yang di bawahnya dan memang berhasil membuka kunci pintu, tapi tidak dengan pintunya, karena saya sudah menambahkan pengaman berupa grendel di bagian atas dan juga di bagian bawah pintu.

Karena tidak bisa membuka pintu dan sepertinya mulai frustasi, dia mencoba mencongkel pintu dengan obeng besar, mendorong dan sesekali menendang dengan kakinya, tapi pintu tetap tidak bergeming. Dia tidak menyasar ke jendela, mungkin karena dia melihat ada teralis yang terpasang menghalangi.

Modus ini saya yakin sama persis  dengan yang dilakukannya saat  mencuri pompa air dari dalam kamar mandi saya yang terkunci dan kuncinya masih utuh sebulan sebelumnya!

Pertanyaannya, darimana si tukang ini dapat beberapa bundel anak kunci yang saya yakin jumlahnya ratusan!?

Kali ini si maling sepertinya salah perhitungan atau mungkin memang tidak survey dulu sebelum beraksi! Hingga gagal total.

Dikiranya rumah dalam keadaan kosong dan dikiranya juga pintu masih dalam keadaan original, belum ada tambahan pengaman.

Saat itu, saya sebenarnya sudah bersiap untuk segala kemungkinan!

Saya sudah mengenggam Mandau asli dari Kalimantan warisan mertua saya yang siap untuk saya “bidikkan” kapan saja, termasuk waktu si maling mengintip di tempat yang sama saat saya juga mengintipnya, yaitu di jendela belakang.

Saat sama-sama mengintip itu, jarak muka kami hanya sekitar 5 cm dan hanya terhalang kaca jendela kaca polos dan relatif tipis. Saya bisa melihat wajah berikut ekspresi si maling dengan jelas, tapi tidak dengan dia, dia hanya melihat kegelapan dari balik jendela.

Beruntungnya, saya tidak tega melakukan itu! Saya hanya menggebrak pintu sekeras-kerasnya hingga membuatnya terkejut sampai terjengkang, hingga akhirnya kabur dengan lari tunggang langgang.

Paginya, saya koordinasi dengan warga,  Pak RT dan juga Kepala Satpam yang warga asli kampung untuk langsung menuju bedeng atau mess tukang dan sayangnya kami terlambat!

Menurut teman-temannya, si oknum tukang yang ternyata pemegang proyek khusus pemasangan pintu berikut kuncinya ini, bersama temannya subuh tadi pamit pulang, katanya ada musibah di kampung.

Dari hasil pertemuan dan mediasi dengan pihak pengembang, akhirnya terungkap beberapa fakta mengejutkan!

Untuk pengerjaan beberapa elemen rumah, pengembang memang menyerahkannya kepada pemborong yang berbeda-beda, termasuk pengerjaan semua panel pintu dan jendela. Cerobohnya, pengembang tidak menyadari potensi kriminal dari aktifitas ini. Terbukti, pihak pengembang benar-benar kecolongan!

Celakanya, baik pihak pengembang dan juga bosnya pemborong, mengaku sama sekali tidak mempunyai data personil dari para pemborong kerja yang mengerjakan beberapa pekerjaan di komplek kami. Waduh!

Ini yang paling unik sekaligus ngeselin! Ada fakta baru yang krusial sekaligus sangat mencengangkan yang akhirnya terungkap saat kami ke lapangan!

Berbekal anak kunci dari rumah saya, ternyata saya juga bisa membuka beberapa rumah tetangga, baik yang masih kosong maupun yang sudah berpenghuni tanpa harus merusak kunci dan pintunya. Whalaaaah!

Anehnya, pihak pengembang benar-benar baru mengetahui masalah ini. Kok bisa?

Akhirnya, pihak pengembang berniat mengganti semua perangkat kunci semua rumah di blok kami yang totalnya sekitar seratusan rumah, khususnya pintu depan dan belakang yang punya akses dari dan ke luar.

Tapi kami sepakat menolak dan lebih memilih minta uang cash untuk beli sendiri perangkat rumah kuncinya. Karena khawatir semua seragam lagi seperti sebelumnya!

Jadi, sebagai bentuk antisipasi, kalau anda membeli rumah di perumahan, baik bekas atau baru ada baiknya mengganti perangkat kuncinya, syukur-syukur secara berkala.

Terkhusus, kunci pintu yang berhubungan dengan akses keluar. Apalagi jika sering ditinggal mudik, pulang kampung atau liburan dalam jangka waktu yang relatif lumayan agak lama.

Segera diganti dengan yang baru, agar kejadian yang saya alami tidak akan terulang kepada anda!

Semoga Bermanfaat! 

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


 

Selasa, 02 April 2024

Hampers Bakul Purun, Berbagi Berkah Ramadan Unik dan Ramah Lingkungan

Bingkisan Lebaran Bakul Purun | @kaekaha

Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan mempunyai produk kantongan tradisional serbaguna berbahan “rerumputan” yang unik, cantik, tahan lama dan pastinya ramah lingkungan yang biasa disebut sebagai bakul Purun.

Sesuai namanya “bakul purun”, bahan untuk membuat kantongan atau tas tradisional ini adalah purun atau ada juga yang menyebutnya sebagai purun danau, tumbuhan sejenis rerumputan yang masih keluarga dari rumput teki-tekian yang berhabitat di rawa-rawa dan juga di tepian danau.

Sebagai salah satu produk kerajinan tradisional khas Banjar,  kantongan serbaguna ini sangat lekat dengan aktifitas sehari-hari Urang Banjar, jauh sebelum kantongan plastik yang terlanjur menjadi bagian dari budaya pop masa kini hadir dan begitu kuat mencengkeram peradaban kehidupan kita semua.

Hampers untuk Bingkisan Lebaran Sederhana tapi Kena | @kaekaha

Selain dibuat menjadi bakul purun di lingkungan masyarakat Banjar, tanaman purun juga bisa diolah menjadi berbagai macam kerajinan tangan cantik full estetik dan pastinya bernilai ekonomi cukup tinggi, seperti tikar, topi, hiasan dinding, kotak tisu, bahkan juga sedotan.

Beruntung, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian alam, terutama terkait penggunaan kantongan plastik, sejauh ini berangsur membaik dan sebagai gantinya, Urang Banjar sekarang sudah banyak yang memulai untuk  kembali memanfaatkan kearifan lokal warisan leluhur yang tidak kalah ekonomis, praktis dan tentunya tetap bisa dipakai untuk ngeksis ini!

Bakul Purun Tradisional Banjar | @kaekaha

Sejak beberapa tahun terakhir, bakul purun kembali populer setelah acara-acara besar seperti pembagian daging kurban dan juga bingkisan lebaran dari instansi dan juga perusahaan-perusahaan di Kalimantan Selatan kembali menggunakan kantongan tradisional tahan lama ini.

Kerennya lagi, sejak itu juga banyak penjual hampers yang mengemas barang-barangnya dalam bakul purun, baik yang original maupun yang costumize alias pesanan khusus dengan dimensi ukuran dan juga bentuk yang biasanya lebih khusus dan personal, sehingga menjadi jauh lebih ekslusif, tanpa harus meninggalkan ciri unik dan estetik khas  kerajinan tangan tradisional.

Bakul Purun Berhias Pita | Tokopedia.net

Karena itu juga, karena ingin juga ikut menjaga kelestarian alam sekaligus melestarikan kearifan lokal,  budaya luhur asli warisan leluhur, sejak beberapa tahun terakhir juga, setiap berkesempatan berbagi rejeki dengan orang lain di hari raya, warga komplek tempat tinggal  kami juga mengemasnya dengan bakul purun.

Tahukah anda, ternyata multiplayer effect dari kembalinya kita-kita menggunakan bakul purun dalam berbagai aktifitas sehari-hari, tidak hanya sekedar melestarikan keberadaan kantongan alias tas tradisional super keren itu saja lho! 

Tapi juga ikut memberdayakan perekonomian masyarakat lokal plus melestarikan ekosistem tanaman purun di sekitar rawa-rawa Lebak disekitar rumah yang ternyata juga menjadi "kandangnya" ikan untuk berkembang biak. Keren kan!?

Semoga Bermanfaat! 

Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @KOMBATAN