Minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal!
Begitulah tradisi unik yang sering terdengar dari percakapan dengan teman, sahabat, tetangga, keluarga, juga istri saya sendiri ketika mereka (Urang Banjar), bertemu dengan seseorang yang kebetulan lama tidak bertemu atau kebetulan ada interaksi lebih spesifik sebelumnya.
Interaksi spesifik yang saya maksudkan disini bisa benar-benar interaksi atau komunikasi (muamallah) biasa yang karena sesuatu sebab menjadi terputus baik disengaja maupun tidak untuk waktu sebentar maupun lama.
Misalkan ketemu tetangga yang sudah lama pindah rumah, biasanya setelah puas kangen-kangenan dan mau berpisah, sebelum saling mengucap salam pasti sama-sama mengucap minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal! secara bergantian dengan maksud diantara mereka tidak ada lagi beban dan tanggungan dosa menggantung.
Selain
itu, bisa juga interaksi yang diawali dengan transaksi jual-beli atau
juga pinjam meminjam. Biasanya, setelah mengucapkan akad (jual beli, tukar-jual khas Urang Banjar) selalu diakhiri dengan ucapan saling minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal! Maksudnya kurang lebih sama, sama-sama ikhlas dan mengikhlaskan barang yang dijual/dibeli atau sama-sama mengikhlaskan barang yang dipinjam/dipinjamkan.
Tidak
hanya itu, bahkan para pengemis atau peminta-minta yang diberi sedekah,
setelah mengucapkan terima kasih, biasanya mereka juga menambahkan
ucapan minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal! Maksudnya kurang lebih juga sama, uang/barang yang diterima/diberikan semakin benar-benar dikhlaskan bulat-bulat agar semakin berkah dan bermanfaat.
Memang, tradisi bertuah ini layaknya tradisi-tradisi tua khas nusantara lainnya yang tergolong spesies "hidup segan mati tak mau", mulai terseok-seok dan ditinggalkan oleh pemakai, pengguna dan penikmatnya.
Kalau saya amati, pengguna dan penikmatnya relatif tinggal para tetuha dan masyarakat di kampung-kampung di daerah pahuluan atau
daerah hulu sungai di bagian utara Kalimantan Selatan dan juga
komunitas masyarakat Banjar di perkampungan pesisir sungai, termasuk di
Pasar Terapung Lok Baintan yang diantara pedagang, juga masih sering
bertransaksi secara tradisional, barter yang biasanya juga diakhiri dengan menguncapkan minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal!
Jadi kalau dicermati, keunikan tradisi permintaan maaf khas Urang Banjar ini sifatnya "realtime" atau setiap saat dan saat itu juga serta tidak harus diawali dengan sebuah kesalahan atau sekedar perasaaan bersalah, tapi sebuah kesadaran kolektif yang dibangun sebagai sikap kehati-hatian untuk menjaga diri dari kesalahan termasuk perbuatan dosa kepada orang lain yang tidak disadari atau tidak disengaja.
Kesadaran diri yang bersifat kolektif ala Urang Banjar berupa tradisi meminta maaf dengan kelengkapan kalimat yang relatif panjang tersebut, sepertinya tidak lepas dari konsep waktu ala Urang Banjar yang tidak kalah unik dan inspiratifnya, yaitu ungkapan "Umur tidak berbau" (teks asli bahasa Banjar "Umur Kada Babau"), yaitu ungkapan bahari (tua) yang secara umum bisa dimaknai sebagai ajal atau maut bisa datang kapan saja.
Sebuah ungkapan sugestif paling populer di kalangan masyarakat Banjar setelah Lafaz Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un ketika ada kabar kematian yang menurut para tetuha (orang tua/yang dituakan/pemuka agama), terinspirasi dari hadist nabi HR. Ibnu Majah no. 4259 (Hasan menurut Syaikh Al Albani).
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
Ungkapan bertuah ini, sejak lama menjadi sugesti Urang Banjar "untuk selalu ingat mati", maksudnya menyadari bahwa malaikat maut bisa datang kapan saja! Dengan begitu diyakini bisa melembutkan hati, qana’ah, mendorong selalu husnudzan dan terpenting lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah (Hablumminannas maupun Hablumminallah).
Dengan begitu, selain terus berusaha dan berinisiatif untuk selalu menyegerakan/mendahulukan semua niat dan amalan baik, terutama dalam urusan ibadah seperti sholat, naik haji dan umrah (sepertinya konsep waktu ini juga yang menyebabkan antrian haji di Kalimantan Selatan menjadi yang terlama di Indonesia, lebih dari 30 tahun), Urang Banjar juga tersugesti untuk sesering dan sesegera mungkin meminta minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal sebelum ajal menjemput.
Urang Banjar dan Islam
Sudah menjadi rahasia umum, bila Urang Banjar penduduk mayoritas Propinsi Kalimantan Selatan, mempunyai kedekatan historis dan budaya yang begitu kuat dengan Islam.
Bahkan saking dekat dan kuatnya, relatif susah untuk sekadar mendapatkan garis "pemisah" di antara keduanya. Ini yang mendasari sebagian besar tradisi budaya Urang Banjar banyak dipengaruhi oleh syariat Islam berikut tradisi budaya yang dibawanya.
Bahkan, kedekatan Islam dengan Urang Banjar ini, diilustrasikan dengan cantik oleh antropolog Judith Nagata, sebagai salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, "Agama ya suku, suku ya agama"
Maka tidak heran jika dalam keseharian masyarakat Banjar, sampai saat ini relatif tetap terjaga berbagai tradisi lokal nan unik yang konstruksinya dibangun dengan mengambil sekaligus memanfaatkan simbol-simbol ritual agama Islam, baik diambil sebagian maupun secara keseluruhan, termasuk panjangnya kalimat permintaan maaf di atas yang Insha Allah, selalu meluncur disaat yang tepat. Wallahu A’lamu bis Shawab.
Jadi, saya minta maaf, minta ikhlas, minta ridha, minta halal ya!
Taqabbalallahu minna wa minkum
Selamat Idul Fitri 1441 H
Semoga Bermanfaat!
Salam Matan Kota 1000 Sungai
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar