Kamis, 25 Juli 2024

Oedipus Complex, Ketika Cinta Tidak Lagi Buta (Warna)

Berdua | IG @rizalthok_ / bangnalar.com
Berdua | IG @rizalthok_ / bangnalar.com

"Katakan, pada mama!

Cinta bukan hanya harta dan tahta

Pastikan, pada semua!


Hanya cinta yang sej...


"Itu lagu terbaru Dewa 19 ya?" Ce Netty yang entah sejak kapan duduk di sebelahku, tiba-tiba mengagetkanku dengan aroma harum sepiring pisang goreng dan teh melati panas yang terlihat masih mengepulkan asap ke udara.

"Eh Cece! Ngagetin aja!" Jawabku sekenanya.

"Menghayati banget sama lagunya, sampai merem-merem gitu mata!?" Sambil senyum-senyum menggoda, sepertinya sudah dari tadi Ce Netty memperhatikan caraku menghayati bait-bait lirik berikut ngebeatnya kocokan gitarku saat memainkan refrain part-nya lagu hits terbaru Dewa 19 yang baru saja rilis, Cukup Siti Nurbaya.

"Ah, biasa aja ce! Lagi suka sama beat-nya,  fresh!" Aku mencoba ngeles dari jebakan obrolan Ce Netty biar fokusnya nggak kemana-mana. Maklum Cece dan teman-teman di kelompokku KKN yang biasa aku panggil "kakak-kakak", karena memang pada lebih tua dariku, orangnya pada suka jail kepadaku.

 Mungkin hanya di kelompokku, kordesnya di jahilin terus sama anak buah kelampoknya sendiri. Adaaa aja pokoknya! Nasib-nasib jadi yang paling muda dalam kelompok!

Aku hanya ingin, Minggu pagi pertamaku di Kabuaran kali ini bisa meluruhkan lelahnya fisik, psikis dan mentalku yang seminggu sebelumnya benar-benar lelah terforsir. Maklum masih di awal-awal pengabdian, jadi aku harus mobile kesana-kemari!

Sebelum bareng-bareng masak Soto Betawi ala Bang Ihsan si anak Jaksel, Minggu pagi ini, aku hanya ingin rileks, duduk-duduk santai di teras posko sambil ngopi nashitel alias ngopi panas, pahit dan kentel kopi Arabika panenan Bang Zul, bungsu Haji Hasan pemilik rumah yang kami jadikan posko.

Kopi tubruk seduhan air mendidih dengan sedikit gula, jadilah kopi pahit dan kentel kesukaanku. Ditemani tingwe si-Tambeng, rajanya tembakau Kabuaran, tentu komposisi pagi yang sempurna untuk menikmati hijau segarnya alam desa Kabuaran dengan latar puncak gunung piramid di kejauhan.

Apalagi sambil mendendangkan lagu-lagu kesukaan dengan gitar bolong kesayangan, ditemani Cece pula..."Duh, Nikmatnyaaaaaaa...!

Diantara "kakak-kakak" di kelompok KKN-ku, Ce Netty memang sosok yang paling mudah connect kalau ngobrol denganku. Karena ini juga sepertinya, Ce Netty jadi terlihat lebih sering didekatku daripada dengan teman-teman yang lain.

Memang sih, Ce Netty juga yang paling perhatian kepadaku. Darinya, aku merasakan perhatian seorang kakak perempuan kepada adik laki-lakinya, bukan kepada ketua kelompok alias kordes, seperti seharusnya!

"Sejak kecil, aku nggak punya teman! Kakak-kakakku terlalu tua untuk bermain denganku. Makanya aku pengen banget punya adik laki-laki, tapi sayangnya nggak pernah kesampaian". Dalam sebuah obrolan, memang sih Ce Netty pernah menyebut-nyebut terobsesi punya adik laki-laki.

"Lho kok mirip aku Ce!? Sebagai anak sulung, sejak kecil aku sering iri sama teman-temanku yang punya kakak, terutama kakak perempuan yang bisa dijadikan tempat bermanja-manja, berkeluh kesah, berdiskusi dan juga minta duit ...he...he...he...!"  Mungkin kesamaan psikis  sama-sama perlu "teman  idaman" sejak dari masa lalu itulah, akupun juga merasa nyaman di dekat Ce Netty.

Atau jangan-jangan, ada benarnya guyonan Mas Agus, calon "tukang insinyur" penggila lele yang asli Jogja itu, saat dulu kita saling kenalan di awal pertemuan!? Aku dan Ce Netty disebutnya, tumbu oleh tutup!?

"Di kelompok kita ini ada yang berpotensi menjadi pasangan pemimpin hebat! Bintang anak sulung, Netty anak bungsu. Dalam budaya Jawa, komposisi seperti ini disebut sebagai 'tumbu oleh tutup' yang bisa dimaknai berjodoh karena saling melengkapi". Katanya saat itu, ketika kita akan memilih ketua dan pengurus kelompok, walaupun sebenarnya aku tahu itu "akal bulus" dia, agar nggak dipilih jadi  ketua.

"Bintang kordes, Netty wakordes atau nanti bisa juga diteruskan, Bintang kepala rumah tangga, Netty ibu rumah tangga! Tapi itu nanti setelah KKN selesai ya...he...he...he..." Kelakar Mas Agus yang saat itu disambut cuitan-cuitan genit teman-teman yang lain.

Jujur, meskipun hanya sekilas sebenarnya aku juga sempat kepikiran atau jangan-jangan malah terobsesi ya dengan candaan Mas Agus itu. "Masa iya aku nggak ada rasa ke Ce Netty!? Udah orangnya baik, supel, pinter, calon dokter gigi, cantik jelita bak bidadari pula! Memang sih, dia lebih tua setahun dariku!?"

Seperti pagi ini, tanpa kuminta Ce Netty membuatkanku secangkir teh panas melati dengan sedikit gula kesukaanya, untukku juga dan ini sudah jamak dilakukannya sejak awal kita mengabdi di Kabuaran, khususnya setiap kita ngobrol!

Biasanya, kalau sudah begitu kita akan keterusan untuk ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja! Terutama musik, buku dan dunia nulis yang ternyata sama-sama kita  gandrungi.

Bedanya, kalau aku lebih suka menulis artikel tentang tematik sosial dan budaya yang biasanya kukirim ke media cetak, maka Ce Netty paling jago nulis fiksi, seperti cerpen, puisi, juga naskah skenario. Kerennya, novel karyanya sudah ada beberapa yang diterbitkan oleh penerbit mayor. Cakeeeeep kan!?

Nah, khusus untuk musik, Ce Netty sama sepertiku, suka ngeband dan menguasai beberapa alat musik sekaligus, tapi Ce Netty memulainya dari jalur formal dengan sekolah musik atau kita biasa menyebutnya sebagai "musisi sekolahan", beda banget denganku yang bermusik karena naluri, bakat dan bonek alias bondo nekat saja!

Tidak heran jika dengan kepiawaian bermusiknya Ce Netty juga sering  menjadi pemenang beberapa kali titel individu di ajang festival musik lokal, termasuk sebagai frontwoman alias vokalis utama di band bentukannya di tepian Sungai Musi, Palembang sana.

    Baca Juga Yuk! Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran

Sinar pagi sang surya masih belum begitu sempurna menyapa aktifitas pagi masyarakat Kabuaran yang sebagian sepertinya masih terbuai mimpi oleh selimut kabut yang lumayan pekat, hingga menjadikan langit temaram dengan udara gunung yang begitu dingin.

Tapi sepagi itu, aku, Ce Netty, Bang Taufik dan Kak Rina, sudah harus bergegas menuju Kota Bondowoso untuk presentasi proposal program kerja kelompok KKN kami di hadapan beberapa pengusaha swasta yang tertarik untuk mendukung aktifitas pengabdian kita di Kabuaran.

Dengan 2 sepeda motor sewaan milik tukang ojek, kami berempat berangkat menuju pusat kota Bondowoso, si-Kota Tape yang selalu adem ayem.

Kami sengaja berangkat pagi, selain karena ingin menikmati cantiknya landscape Kota Bondowoso di pagi hari yang katanya romantis...tis...tis, sepeda motor yang kami pakai juga hanya bisa disewa sampai tengah hari saja. Kasihaaaaaaan!

Sebelum menuju ke tempat acara pertemuan, kami berempat sudah janjian untuk singgah dulu di warung soto legendarisnya Kota Bondowoso, yaitu Soto Blindungan di pojok jalan Agus Salim yang sudah ada sejak tahun 50-an!

Tapi kenapa Bang Taufik sama Kak Rina jalannya lelet banget ya! Atau... jangan-jangan motornya mogok, maklum motor tua!? Sudah ditunggu-tunggu dari tadi, belum juga kelihatan batang hidungnya!?

Karena nggak tahan lagi dengan godaan aroma kuah soto yang menguar dari kuali tanah di atas tungku yang terlihat mengepulkan asap tipis, kami langsung memesan dua porsi dulu plus dua gelas teh panas sekaligus dan langsung saja menyantapnya ketika hidangan sampai di meja kami tanpa menunggu Bang Taufik dan Kak Rina lagi.

Sambil menyeruput kuah Soto berbahan santan dengan isi jeroan sapi itu, aku dan Ce Netty kembali ngobrol ngalor-ngidul sambil terus celingukan ke arah jalanan, kalau-kalau Bang Taufik dan Kak Rina bablas terlewat jalan.

"Bintang, apa sih motivasi terbesarmu main musik!?" Sambil terus menikmati soto yang sedapnya ngangeni itu, tiba-tiba Ce Netty memberiku pertanyaan menyelidiknya!

"Awalnya sih hobi, tapi selanjutnya lebih ke pelampiasan sih ce! Biar nggak stres!" Datar saja aku memulai cerita, sambil menyeruput kuah soto yang gurih-gurih sedapnya mengingatkanku pada soto Betawi yang dimasak Bang Ihsan di hari Minggu pertama yang lalu.

"Sebenarnya, di awal kuliah dulu, aku nggak di ekonomi Ce, tapi di Kedokteran, sama seperti Mbak Nina". Aku melanjutkan ceritaku.

"Haaaah serius Tang!?" Tiba-tiba dari arah belakang kami terdengar suara Kak Rina dan Bang Taufik ikutan nimbrung.

"Eh, ini ngagetin aja! Dari tadi ditungguin nggak nongol-nongol!?" Kata Ce Netty ke Kak Rina sama Bang Taufik, sambil menarik tangan keduanya untuk duduk di sebelah kami.

"Nggak ngganggu orang pacaran kan?" Sela Bang Taufik, sambil nyengir kuda.

"Lanjutin Tang! Jangan dengerin gosip. Eh Kok bisa gitu, dari FKU bisa nyasar ke FE!?" Tanya Ce Netty serius dan penasaran.

"Sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi dokter Ce dan Alhamdulillahnya kesampaian! Aku tembus Kedokteran lewat  PMDK".

"Sayang, mimpi indahku menjadi dokter harus kukubur dalam-dalam. Aku buta warna ce!

"Konsekuensinya, pihak universitas memberi dua pilihan sulit yang sebenarnya sama sekali bukan pilihan!"

"Otomatis mundur atau tetap melanjutkan kuliah, tapi wajib pindah ke jalur non eksakta alias  ilmu sosial, bebas memilih jurusan dari fakultas apa saja yang diminati, tanpa tes lagi!" Kuuraikan kenangan pahitku beberapa tahun silam.

"Ooooo gitu! Baru tahu aku kalau ada aturan seperti itu". Kata Kak Rina sambil manggut-manggut.

"Ini pukulan mematikan, bahkan teramat mematikan buatku, mendadak pula! Hingga sempat membuatku hampir gila, hilang akal! Bahkan linglung untuk beberapa waktu".   

"Tapi karena takdir ini tidak bisa dirubah dengan cara apapun dan aku wajib terus melangkah, meskipun dengan berat hati, akhirnya aku memilih opsi terakhir".


"Masalahnya, jangankan minat pada jurusan ilmu sosial, sedikitpun aku tidak mengenal sama sekali jurusan kuliah di fakultas ilmu sosial. Bisa kan membayangkan kebingunganku saat itu?"

"Tapi setelah memilih dan memilah, termasuk minta masukan sana-sini dan juga shalat Istikharah untuk meminta petunjukNya, akhirnya aku memilih manajemen di Ekonomi, hingga sekarang aku KKN mewakilinya".

"Terus apa dong hubungannya sama musik?"
Tanya Ce Netty lagi mempertegas.

"Iya, apa dong!?" Kak Rina ikut memaksaku.

"Aku melampiaskan semua kekesalanku, kekecewaanku, frustasiku dan juga kesedihanku lewat musik. Alhamdulillah, dengan berjuang setengah mati akhirnya aku berhasil juga melewati masa kritisku saat itu".

"Menariknya, karena di musik ternyata ada duitnya, akhirnya keterusan!"

"Mungkin karena musik kami otentik dan aktual saat main di berbagai jambore dan festival, bandku "no color no cry" jadi banyak mendapat tawaran manggung reguler di kafe & resto, juga di acara-acara radio, pesta sekolahan atau kampus dan sejak itu, Alhamdulillah aku dan teman-teman band bisa menghidupi diri sendiri".

"Jadi si-KK, gitaris dan vokalisnya no color no cry itu kamu?" Sambil memelototkan mata orientalnya yang semakin membuatnya tampak cantik, Ce Netty kali ini mulai berani mencubitku, bahkan beberapa kali.

"Asyeeeeeeek" Gumam dalam hatiku.

"...dan ini  yang paling keren ce! Kak! Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba 2 bos  radio di Jember memberiku job sebagai music director, sekaligus pengasuh beberapa acara musik reguler yang menurutnya cocok banget kalau aku yang pegang, salah satunya ya 'alternatif nation' yang sedang nge-hits itu!" Kali ini aku yang nyengir kuda dan siap-siap kabur kalau dicubit lagi.

"Keren...keren...keren, ternyata ini pemilik suara yang tiap malam kudengar di radio!" Sambil bertepuk tangan, Bang Taufik yang juga rocker dari Banjarmasin itu langsung menyalami tanganku dan menggoyangkan dengan penuh semangat.

    Oh...memang dunia

    Buramkan satu logika

    Dengarkan manusia yang terasah falsafah

    Sesaat katanya itu bukan dogma


Sejak dari Soto Blindungan itulah, komunikasiku dengan "kakak-kakak" di posko semakin cair dan chemistry-nya menjadi lebih baik dan lebih asyik. Ternyata mereka tidak seseram dan sesadis yang aku bayangkan sebelumnya. Bahkan diantara mereka ada juga lho yang lebih childish dariku, si bungsu ini!

Tapi meski begitu, bukan berarti mereka berhenti memploncoku! Meskipun lama-kelamaan aku justeru menikmati beragam ploncoan mereka.

Sekarang, aku justeru menemukan power yang lebih berenergi untuk menjalankan peranku sebagai kordes, hingga aku bisa mengendalikan manajemen "rumah tangga" kelompok KKN-ku yang berisi para senior dengan cara yang lebih baik dari yang kuperkirakan sebelumnya. Kok bisa?

Clue-nya, siapa yang nggak tahu "kekuatan dan kekuasaan" anak bungsu di rumah? Itulah senjatanya!

Senengnya lagi, aku merasa Ce Netty sekarang juga jauh lebih perhatian lagi dari sebelumnya dan aku suka itu! Ada satu hal yang paling membuatku bahagia, sekarang Ce Netty sering mengingatkanku jangan telat atau lupa makan, bahkan belakangan juga mengingatkan jangan lupa shalat. Lhah kok bisa...!? Rahasia...aaah! He...he...he...

    "Poooos...poooos...poooos!"

Kami baru saja selesai makan siang spesial dengan menu nusantara yang kita jadwalkan setidaknya sekali sepekan, yaitu Sop Kaledo alias Sop Kaki Lembu Donggala olahan Bang Denny dan kakak-kakak cantik kelompok KKN-ku, ketika tiba-tiba ada petugas pos yang berteriak dari luar.

"Telegram untuk Netty Elyana Irawati, sama wesel untuk  Bintang Satu Bersinar!" Teriaknya dari kejauhan.

Bang Ihsan yang sudah bersiap ngaso sambil memancing di sungai sebelah posko, langsung menghampiri pak pos untuk mengambil keduanya dan langsung berlari ke arah kami.

"Horeeee Bintang sama Netty mau dinikahkan di Palembang!" Teriak Bang Ihsan sambil cengar-cengir menyerahkan wesel kepadaku, sama telegram ke Ce Netty. Terang saja kami berdua senyum-senyum saja mendapati tingkah tengil Bang Ihsan dan teman-teman di posko. Walaupun sebenarnya juga berharap jadi doa...he...he...he! Aminkan saja ya...

"Alhamdulillah, ternyata honor nulis di media nasional yang kukirim seminggu sebelum KKN. Bisa sampai juga ya weselnya, padahal alamatnya masih di lokasi desa KKN yang dibatalkan loh!?"

"Ini memang rejekinya tujuh belasan! Lumayanlah, duitnya bisa buat nambah kuota daging untuk masak Rawon tetelan, sama buat beli hadiah lomba-lomba untuk anak-anak sekitar posko nanti!" Gumamku dalam hati.

Sementara Ce Netty, ternyata mendapat pesan sangat singkat dalam telegramnya, "Telp pa2 Kngen!"

Nggak berlama-lama, khawatir di Palembang terjadi ada apa-apa, Ce Netty langsung memintaku untuk menemaninya ke wartel di kota kecamatan yang jaraknya 20-an kilo dengan motor Cak Muni.

Inilah momentum kedekatanku dengan Ce Netty, bahkan juga dengan keluarganya di Palembang yang ternyata semuanya dokter. Kerennya, kecuali Bang Dio yang lagi mengambil spesialisasi mata, papa, mama dan dua kakaknya yang lain sudah lebih dulu menyandang spesialis di bidangnya masing-masing.

Hingga akhirnya, di pagi hari Minggu ke-4  yang berkabut tebal dan berudara dingin, ditemani gemericik air sungai yang bening, diatas batu raksasa tempat kami berdua duduk bersama, aku dan Ce Netty berkomitmen untuk bersama-sama meluruhkan perbedaan, menyatukan persamaan dan terus berusaha merubah kemustahilan menjadi ruang optimisme yang akan terus berproses dan bertumbuh. Kami jadian!

Meskipun agar terlambat, akhirnya teman-teman mencium juga gelagat kami jadian, hingga akhirnya mereka "menodong" untuk menjadikan perayaan tujuh belasan di posko nanti, sebagai pesta jadian kami.

Tidak hanya itu, mereka juga mewajibkan kami berdua memasak rawon spesial tetelan dengan tangan kami sendiri untuk menjamu mereka berdelapan. Nggak boleh ada yang bantu!

"Yaaaaaah anggap saja sedang belajaran jadi orang tua yang baik, menyiapkan makan siang untuk 8 anak-anaknya, bosku!" Kata Bang Deni sambil ngacir menuju sungai sebelah posko untuk memancing ikan.

"Harus otentik seperti Rawon Nguling yang legendaris yak!" Kata Kak Hani.

"Jangan pedas kaya rawon setan ya Mas Kordes Ganteng!" Bang Ihsan si-anti cabe  mewanti-wanti.

"Seperti rawon Madura yang merah menyala tanpa kluwek boleh juga tuh!" Canda Mbak Nina.

Sejak saat itu, hari-hari pengabdian kami di Kabuaran serasa lebih bergairah. Lebih bersemangat! Usut punya usut, ternyata aku dan Ce Netty yang kurang tanggap dan kurang update! Ternyata, pasca kami jadian, ada 3 lagi pasangan cinlok. Ayooo ketangkap hansip ya!?

Senin pagi juga menjadi hari yang sibuk bagi kami di posko. Selain harus menyiapkan menu sarapan lebih pagi dari pada biasanya, setiap Senin kami  juga wajib ikut upacara bendera di dua SD yang ada.

Senin kali ini, aku, Kak Hani, Bang Denny, Bang Ihsan dan Mbak Wahyu giliran ikut upacara sekaligus mengajar di SD Kabuaran 2 yang lokasinya diatas, di lereng gunung.

Diperlukan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan dengan jalan kaki untuk sampai kesana. Sedangkan sisanya kebagian mengajar di SD Kabuaran 1 yang lokasinya hanya beberapa puluh meter saja dari posko.

Biasanya, kami mengajar full time sampai anak-anak pulang di tengah hari atau sekitar jam 12-an siang, Setelahnya kita pulang ke posko dengan jalan kaki lagi. Nah, untuk perjalanan pulang, mungkin karena turunan, biasanya jauh lebih cepat dari pada waktu tempuh saat berangkat yang serasa mendaki.

Sesampainya di posko, kami bisa langsung makan siang tanpa harus ikut masak bareng-bareng, karena khusus hari Senin, tugas memasak menjadi tanggung jawab tim yang mengajar di SD Kabuaran Bawah yang beberapa jam sebelumnya lebih dulu pulang.

"Tapi kenapa view di posko siang ini tampak ganjil ya!? Nggak biasanya Ce Netty nggak nampak!?" Batinku dalam hati.

"Tang, Netty tadi pamit ke sungai nyuci ikan. Tapi sepertinya ada sesuatu deh!" Kata Kak Rina, begitu melihatku muncul di dapur.

"Cepet, ndang disusul! Sepertinya lagi galau dia, khawatir ada apa-apa! Tadi, sepertinya baru dapat surat dari Palembang!"  Giliran Mbak Nina memberi info aktual.

"Nggak biasanya, Cece jadi sentimentil begini. Setahuku mental Cece ni tahan banting dan paling anti memperlihatkan suasana hatinya ke orang lain! Ada apa ya!?" Batinku lagi.

"Ok! Terima kasih banyak infonya kakak-kakakku cantik!" Sambil kuacungkan dua jempolku ke mereka, aku langsung berlari menuju ke sungai berbatu tempat favorit keduaku untuk meluangkan waktu bersama Ce Netty, selain teras posko.

"Ce!" Sapaku kepada Ce Netty yang membelakangiku dan tampak lagi asyik mencuci ikan Tenggiri yang sepertinya akan diolahnya menjadi makanan-makanan enak khas Palembang. Kalau jadwalnya sih, hari ini waktunya bikin model.

Pantas saja dari tadi sapaanku tidak dihiraukannya, ternyata ada seperangkat headset bando dari walkman yang ujungnya bertengger di kedua telinganya. Barulah setelah kusentuh bahunya, dengan sedikit terkejut Ce Netty baru membalikkan badannya.

"Eh, Bintang! Sudah lama!?" Tanyanya kepadaku sambil melepaskan perangkat headset walkman-nya dari telinga dan  mengalungkannya ke leher.

Setelah membereskan ikan tenggirinya yang sudah bersih ke dalam panci, Ce Netty langsung menarik tanganku, membawaku ke gundukan batu terbesar tempat kita dulu pernah berucap janji, berkomitmen untuk bersama-sama membangun hubungan sebagai sepasang kekasih.

"Bintang, maafkan aku ya!" Dengan menitikkan air mata yang aku tahu memang sedari tadi sudah ditahannya, Ce Netty menyerahkan kepadaku dua lembar kertas bertuliskan tangan yang sangat rapi selayaknya hasil "tulisan halus" semasa SD dulu.

"Apa ini!?" Tanyaku sambil membolak-balik kertas itu.

"Itu surat papa yang tulis, katanya hasil musyawarah keluarga beberapa hari yang lalu. Baru aja nyampe. Bacalah!" Dengan masih menahan tetesan air mata yang kini berubah menjadi isak tangis yang tertahan, Ce Netty memintaku untuk membaca sendiri surat dari papanya.

"Ha... Rapat keluarga?" Batinku penasaran, sambil berusaha membaca tulisan klasik khas orang tua itu pelan-pelan.

...setelah kami mendengar sendiri dari ceritamu, kalau Bintang, pujaan hatimu ternyata menyandang kelainan buta warna, maka atas inisiatif kakak-kakakmu kita sekeluarga langsung berkumpul untuk bermusyawarah.

Hasilnya, demi kebaikan masa depan anak cucumu, anak keturunanmu yang berarti keturunan papa juga, alangkah bijaksananya jika hubunganmu dengan Bintang, lebih baik disudahi sampai disini saja, selagi masih baru dan belum terlalu jauh.

Papa tidak perlu menjelaskan lagi alasannya! Sebagai calon dokter yang di besarkan dalam pendidikan berbasis eksakta, tentu kamu sudah tahu "rumus resiko" yang akan ditanggung anak cucumu kelak, jika seorang perempuan menikah dengan lelaki penyandang buta warna


Tapi keputusan tetap papa serahkan kepadamu, putri papa tersayang! Karena kamulah yang menjalani. Salam buat Bintang...

"Oh... ini lagi, terus maunya Cece gimana!?" Tanyaku dengan berbisik ke telinga kanannya yang hampir tertutup lengan bajuku, karena kepalanya yang nyandar di bahu kiriku, masih dengan terisak.

    "Oh, cukup Siti Nurbaya yang mengalami, pahitnya dunia

    Hidupku, kamu, dan mereka semua

Takkan ada yang bisa memaksakan jalan

Hidup yang 'kan tertempuh




Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN











Rabu, 24 Juli 2024

Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran

Puncak Piramid Si Punggung Naga, Bondowoso | IG/Adisusanto10-bukalapak.com

Entahlah, mimpi apa aku semalam! Kekhawatiran yang kupendam beberapa bulan terakhir, pagi ini benar-benar menjadi kenyataan!

Seperti yang aku khawatirkan sejak awal! Mereka benar-benar memilihku untuk melanjutkan tradisi "horor" legendarisnya anak-anak KKN di kampusku!

Mereka, teman-teman satu kelompok KKN-ku yang kesemuanya memang lebih senior setahun alias angkatan satu tingkat diatasku secara aklamasi memilihku menjadi koordinator desa alias kordes.

"Duuuuuh! Pasti bakalan repot ini!!! Lagian darimana juga mereka tahu aku paling junior diantara mereka?" Gumamku dalam batin sambil memasang muka sewot, saat teman-temanku menyalamiku sambil mengucapkan selamat.

Padahal aku sudah mati-matian menolak jabatan itu, termasuk dengan membiarkan rambut panjangku tergerai melebihi bahu, biar muncul kesan "nakal" dan nggak layak jadi kordes apalagi korcam!

Karena konon, memang belum ada si-gondrong yang didaulat menjadi kordes apalagi korcam dalam sejarah KKN di kampusku! Tapi sayangnya, itu tidak juga membantuku terbebas dari tradisi lama itu!

    Ini yang bikin kesel! Meskipun rambutku gondrong, mereka menyebut nggak ada kesan nakal dan serem-seremnya sama sekali, apalagi sangar-sangarnya, blass nggak ada! Malah semakin imut kata mereka... Jadi yaaaaa nggak ada yang perlu dikhawatirkan! "Ah, kenapa jadi begini ya!?"

Tradisi ini memang sudah sejak lama ada! Bahkan menurut rektor dalam beberapa artikel lamanya saat masih menjadi mahasiswa dan dosen yang pernah kubaca di arsip majalah kampus dan selalu diulanginya di setiap pidato pelepasan, termasuk saat melepas rombongan kami di halaman rektorat, konon tradisi yang menurutnya baik dan unik ini, merupakan cirikhas KKN kita dan memang sudah sejak lama eksis, bahkan jauh sebelum beliau sendiri menjalani KKN.

"Siapa saja yang 'kepagian' mengambil SKS KKN, wajib bersiap-siap untuk 'diplonco' menjadi kordes alias koordinator desa, bahkan sampai korcam alias koordinator kecamatan, jangan takut atau minder, tapi ya yang nggak gondrong rambutnya!" Kata Pak Rektor dalam sambutannya.

"Nah, yang nggak gondrong kan!!!" Seketika aku protes kepada teman-teman kelompokku dengan menatapnya satu per satu. Tapi dasar sudah pada sekongkol, mereka hanya nyengir kuda dan sebagian lagi malah nekat mengerlingkan mata sambil tersenyum genit!

Aduuuuh mana tahaaaaan kalau begini!?

Sudah menjadi rahasia umum di kampus kami, kalau "jabatan" kordes atau ketua kelompok KKN di setiap desa yang sebenarnya cukup prestisius ini, justeru dilabeli horor. Tidak hanya karena tugasnya yang seabrek-abrek, tapi juga urusannya yang sering aneh-aneh bahkan ajaib yang pastinya juga tidak mudah di sepanjang 70 hari pengabdian.

Iya juga sih! Kalau memenej urusan aktifitas pengabdian, termasuk membuat program kerja aktual untuk masyarakat yang mengharuskan bekerjasama dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, itu sih kita-kita Insha Allah bisa aja!

Tapi memenej dinamika "rumah tangga" dalam kelompok KKN, termasuk persentuhannya dengan alam, lingkungan, masyarakat sekitar berikut adat istiadat dan budayanya yang serba baru, jelas bukan perkara mudah apalagi sepele! Ini yang sering menghantuiku, hingga membuatku ragu!

    Apalagi, belum apa-apa kordesnya yang berlatar "si-bungsu" ini sudah dibilang imut-imut! Hadeeeeeh, apa nggak bikin deg-deg plas jadinya!?

Bagaiamana tidak!? Bisa membayangkan bukan, beban mental dan psikologis si "anak bungsu" ketika harus mengomando 9 orang kakak-kakak seniornya yang pasti punya ego dan rasa-rasa senioritas? Apalagi sebelumnya sama sekali tidak saling mengenal tabiat dan kebiasaan "nyentriknya" masing-masing!?

Terlebih lagi, ini dramanya di lokasi KKN yang pastinya bukanlah zona nyaman bagi semuanya, sehingga sangat berpotensi memicu beragam konflik! Nah ...lho!

Ah sudahlah! The show must go on! Yuk kita kemon sajalah! Lagian, semuanya kan memang sudah aku niatkan.

    Bismillah!

Oh iya hampir lupa! Kenalkan, namaku Bintang Satu, biasa dipanggil bintang! Aku kordes di kelompok KKN Desa Kabuaran, Bondowoso. Selain aku yang mewakili FE alias Fakultas Ekonomi, di kelompok KKN-ku ada 9 mahasiswa lain lagi yang berasal dari 9 fakultas berbeda dengan rincian 5 cewek dan 5 cowok.

Ada Ce Netty dari FKG, Kak Rina dari FH, Mbak Wahyu dari FSB, Mbak Nina dari FKU dan Kak Hani dari FMIPA. Juga ada Bang Ihsan dari Fisipol, Bang Taufik dari FKIP, Mas Agus dari Faperta dan Bang Deni dari Teknik

Kerennya! Berawal dari sebuah challenge yang aku gagas diawal pertemuan untuk menyusun menu masakan beragam yang tetap full nutrisi selama pengabdian, maksudnya sih biar kita-kitannya nggak bosan! Eh, justeru menguak sebuah fenomena unik dan luar biasa keren dalam kelompok KKN-ku. Apa itu?

    Ternyata, bukan hanya asal fakultas kita saja yang berbeda-beda, tapi juga asal-usul kampung halamannya yang ternyata se Indonesia Raya! Bisa kebayang kan bagaimana kira-kira potensi kekacauan... eh keseruannya!? He...he...he...

"Jangan lupa Soto Betawi dan sayur asam Jakarta masuk list ya!" Wanti-wanti Bang Ihsan yang asli Jaksel, agar menu kuliner  kampung halamannya nggak kelewatan dalam silabus kita

Ada juga Mas Agus, Wong Jogja yang ngelist gudeg ceker dan mangut lele, juga Bang Deni dari Donggala, Sulawesi Tengah yang merekomendasikan sup Kaledo-nya. Kebetulan di Kabuaran banyak sekali ternak domba.

"Mudah-mudahan, nanti ada juragan domba baik hati yang menyumbangkan seekor saja buat kita...he...he...he...", kata Bang Deni sambil menengadahkan tangan dan kita aminkan bareng-bareng.

Setelah itu, Mbak Nina yang dari Lamongan ngasih referensi tahu campur dan juga soto Lamongan yang memang favorit siapa saja, sedang Bang Taufik yang merantau dari Kalimantan Selatan sudah siap membawa bumbu asli Soto "Kuin" khas Banjar yang full rempah untuk obat karindangan alias obat kangen kampung halamannya di Kuin Selatan, Kota Banjarmasin.

Sementara Ce Netty yang dari Palembang dan kebetulan kebagian sebagai "manajer" logistik sudah jauh-jauh hari berjanji siap memasak tekwan dan model!

Sedangkan Kak Hani yang berdarah Minang tapi lahir dan besar di Ambon, Maluku malah sudah siap dengan berbagai olahan kuliner khas Sulawesi yang menjadi usaha keluarga besarnya di Ambon dan Mbak Wahyu yang blasteran Jawa-Sunda, merekomendasikan empal gentong khas Cirebonan, kampung halamannya.

"Kordes nggak ada rekomendasinya?!" Tanya Kak Rina "si-Manajer keuangan" alias bendahara kelompok yang sebelumnya sudah merekomendasikan untuk mencoba kuliner jagung Bose khas NTT yang pernah menjadi bagian dari masa kecilnya. "Lagian di Kabuaran jagungnya melimpah!" Katanya beralasan.

"Kordes kita ni pemakan segala, asalkan berkuah kaldu, pasti disikatnya!" Mas Agus membuka rahasia yang aku sampaikan beberapa hari lalu sebelum kita berangkat ke lokasi KKN.

Jujur, sebagai penikmat kuliner, terutama yang berbasis kuah kaldu khas nusantara, aku benar-benar terkejut sekaligus bangga dan terharu, bisa tergabung dengan kelompok KKN yang selayaknya miniatur nusantara ini. Aku sama sekali nggak pernah kepikiran bakal bertemu mereka, termasuk nantinya bisa merasakan beragam kuliner enak dari hampir seluruh pelosok Nusantara!

Tapi jujur saja, fakta ini juga semakin membuatku galau segalau-galaunya! Apa iya, aku nanti bisa jadi "Gajah Mada", mempersatukan keragaman berikut ego dari "kakak-kakak senior" yang menurutku semakin tampak nyata di depan mata, selama 70 hari di Kabuaran?

"Baiklah, aku masak Rawon spesial tetelan, buat kita semua pas 17 Agustusan nanti, mau?" Jawabku sambil menatap satu persatu semua "kakak-kakakku" yang duduk melingkar untuk meminta persetujuan mereka.

"Siap, Merdekaaaaaaaa!". Jawab mereka serempak sambil bertepuk tangan, entah apa maksudnya.

Beruntungnya, Desa Kabuaran yang berada di ketinggian khas pegunungan, mempunyai bentang alam yang luar biasa cantik! Benar-benar secantik Cece dan kakak-kakak anggota KKN-ku yang rerata memang pada mirip artis sinetron di tipi, hingga aku serasa healing saja sehari-harinya. Suer!

Padahal jujur saja, sebelumnya kami sempat under estimate dan ilfill lho dengan Desa Kabuaran ini, karena kami benar-benar tidak mempunyai informasi sedikitpun tentang desa ini!

Lho kok bisa!? Lokasi KKN kami yang ditetapkan sejak awal dan sudah kami survey sebelumnya, mendadak diganti tanpa alasan dan pemberitahuan, tepat di hari H, pas rombongan kami sudah berada di kantor Kecamatan untuk pelepasan oleh Pak Camat!



Celakanya, Desa Kabuaran sebagai pengganti, sepertinya saat itu juga tidak siap menerima kedatangan rombongan kami. Terbukti, beberapa kali lokasi posko kami dipindah, juga dengan alasan yang tidak jelas, sebelum akhirnya kami ditempatkan di rumah tamu sederhana milik keluarga Haji Hasan.

Jadinya bisa ditebak! Plan program kerja dan segala tetek bengek yang sudah kami persiapkan jauh-jauh hari benar-benar tidak terpakai! Duuuuh apa kabar komandan...!? Eh, si anak bungsu!?

    Beruntungnya, lingkungan di posko kami, milik juragan sapi dan tembakau ini, sungguh memanjakan kami dengan view sekitar yang selayaknya villa untuk berlibur.

Selain dikelilingi kebun tembakau dan jagung dengan kontur berundak berlatar hutan pinus yang hijau menyegarkan, view sungai berbatu-batu raksasa di samping rumah dengan gemericik airnya yang jernih menenangkan, benar-benar sangat memanjakan dan ini sangat membantu psikis kami, terutama aku untuk lebih rileks dan fokus.

Belum lagi keunikan-keunikan alam Kabuaran yang hijau dan asri yang semakin membuatku tidak bisa melupakan kebesaranNya, hingga akhirnya aku dan teman-teman merasa lebih nyaman dan tenang mengabdi.

Salah satu keunikan Kabuaran yang jarang dimiliki tempat lain adalah banyaknya sumber mata air yang tersebar di sembarang tempat dan dimanfaatkan warga untuk berbagai kebutuhan.

Upsss! Ini juga yang awalnya membuat kami terkaget-kaget dan kegelian sendiri, ketika nggak sengaja sering terlihat orang mandi di balik rumpun bambu atau di balik pepohonan, bahkan di balik bebatuan raksasa di berbagai titik saluran air yang mengalirkan air begitu jernih, dingin dan segar.

Memang, masih menjadi tradisi banyak warga masyarakat di Kabuaran yang memanfaatkan kesegaran dan kebersihan air yang serasa keluar dari kulkas ini langsung dari sumber mata airnya. "Lebih fresh" katanya, he...he...he...!

Awalnya sih kami risih juga dengan cara mandi di sumber air apalagi di sungai terbuka yang jika pagi dan sore lebih mirip pemandian umum itu, tapi setelah menemukan tips dan triknya, kami semua justeru ketagihan dengan sensasinya...he...he...he...

    Satu lagi! Kalau pagi hari atau sorenya cerah tanpa kabut, puncak gunung piramid, bagian dari Gunung Argopuro di Bondowoso yang juga dikenal sebagai punggung naga itu akan terlihat jelas eksotisnya dari teras posko.

Pemandangan romantisnya nggak bakalan habis meskipun setiap pagi dan sore dinikmati terus sambil nyeruput teh hangat atau kopi nashitel, juga pisang goreng kesukaanku. Apalagi ditemani sama wajah-wajah segar Cece dan kakak-kakak yang sebelas-dua belas saja sama bidadari. Duh... speechless dah si bungsu!



Tapi sedihnya, kami lebih speechless lagi ketika harus bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan sayangnya, baru saja kami menyadari hal krusial ini ketika Haji Hasan, pemilik rumah untuk posko menyapa kami untuk pertama kalinya, "dherremma kabarra?"

Kami lupa! Tidak satupun diantara kami yang bisa, apalagi fasih berbahasa Madura, bahasa ibu masyarakat Kabuaran. Memang, secara umum kita masih bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa isyarat, tapi faktanya seringkali terjadi mis komunikasi.

Kami khawatir situasi ini akan menimbulkan kesalahpahaman dan menjadikan niatan kami untuk selalu berusaha menjujung langit Kabuaran, ketika memijak buminya menjadi kacau balau.

Terbukti! Gara-gara masalah bahasa ini, belum apa-apa Kak Nina yang wajahnya mirip artis Vonny Cornelia itu sudah "ketiban sampur", mendapatkan tanda cinta dari penggemar rahasianya yang tiba-tiba datang melamar dengan membawa mas kawin beberapa ekor sapi jenis Brahman, hanya beberapa hari setelah kami tinggal di posko.

Deg! Kami bersepuluh, terutama saya, serasa meriang tiba-tiba, ketika mendapati situasi ini. Terlebih ketika Kak Nina yang awalnya cengar-cengir mempunyai penggemar rahasia, akhirnya merasa ketakutan juga mendapatkan "apresiasi" mendadak begini.

Beruntung, semuanya berakhir baik setelah Pak Kades, Pak Camat, Pak Kapolsek bahkan sampai Kepala KUA setempat turun tangan untuk rembugan bersama. Hingga akhirnya, kami semua juga sepakat untuk memperbaiki bahasa Madura kami dengan berbagai cara yang kita bisa secara intensif.

Sejak itu, kami tidak hanya mengirim perwakilan saja untuk bersilaturahmi ke masyarakat, termasuk saat menghadiri setiap ada acara kampung, seperti pengajian rutin di masjid, yasinan, rapat RT, ronda malam, sampai hajatan warga, tapi full team!

"Khusus untuk ronda malam, saya minta perwakilan adik-adik KKN yang laki-laki saja yang ikut, itupun nanti jaganya di pos Kantor desa saja" Begitu Pak Amsari, Kades Kabuaran membuka pembicaraan dengan kita, terkait keinginan kami terlibat dalam aktifitas warga di malam hari tersebut.

"Karena ronda malam di desa kita ini berpotensi bahaya, bukan ronda seperti di tivi yang hanya keliling-keliling kampung. Ini karena masih maraknya sindikat maling sapi bersenjata yang masih saja menargetkan aksi di Kabuaran". Lanjut Pak Kades, masih dengan campuran bahasa Madura dan Indonesia yang terdengar cukup unik di telinga saya.

"Itu juga sebabnya, aktifitas adik-adik KKN di sini saya batasi, maksimal sampai jam 9 malam saja dan setelahnya tidak boleh keluar dari posko, apapun yang terjadi, kecuali ada hal darurat. Kalau semua berjalan dengan baik, Insha Allah semua aman dan akan baik-baik saja". Begitulah, satu persatu akhirnya Pak Amsari membuka kotak Pandora Kabuaran.

Waaaaah, ini yang namanya KKN versi ngeri-ngeri sedap mas bro! Akankah nanti Kabuaran berbagi pengalaman-pengalaman seru lainnya kepada kami?



Berada di ketinggian Kabuaran pada musim kemarau antara April sampai September merupakan waktu terbaik untuk mengabdi, sekaligus menikmati alam yang sedang dingin dan bagus-bagusnya.

    Jadi, pengabdian kami mulai akhir bulan Juli sampai September, momentumnya pas! Terutama jika ingin lebih banyak mengeksplor dan mengabdi di kampung-kampung di bagian atas Kabuaran yang mempunyai pemandangan super keren dan memang lebih didominasi oleh perkebunan tembakau dan jagung, juga peternakan sapi, kambing dan domba daripada pemukiman warga.

Meskipun begitu, di kampung atas ini juga ada fasilitas sekolah dasar negeri yang masih aktif dimanfaatkan untuk belajar mengajar, hanya saja tradisi masyarakat di lingkungan kampung atas ini lumayan unik, kalau musim panen tembakau tiba, biasanya anak-anak akan meliburkan diri untuk membantu orangtuanya panen tembakau, hingga sekolahnya tutup total. Lhaaah!?

Tidak hanya itu saja! Uniknya lagi, panen tembakau dan jagung yang saat ini tinggal menghitung hari, akan menjadikan 4 kampung di Kabuaran, termasuk di kampung atas semuanya lebih hidup dari biasanya.

Bila malam tiba, selain tetap waspada pada aktifitas maling sapi yang masih saja merajalela dan meresahkan masyarakat, warga juga wajib terus berjaga di kebun-kebun mereka dari serangan koloni babi hutan yang tidak kalah mengerikannya.

Semalaman suntuk, bunyi-bunyian harus dibunyikan terus-menerus untuk menghalau koloni babi hutan yang jika kita lengah tidak membunyikan bunyi-bunyiannya sesaat saja, mereka bisa datang dan menyerbu beramai-ramai untuk menghabiskan sehektar kebun jagung, hanya dalam hitungan menit saja. Ngeri kan!?

    Menariknya, meskipun begitu, masyarakat Kabuaran sama sekali tidak berniat untuk melukai apalagi membunuh kawanan babi hutan ini, karena menurut keyakinan komunal mereka, jika ada babi yang terluka apalagi terbunuh, maka koloni mereka akan semakin besar dan beringas menyerang apa saja sampai ke rumah-rumah di kampung.

Karenanya, untuk bisa menjaga kebun jagung secara efektif, diperlukan kerjasama yang baik antar masyarakat, terutama antar pemilik kebun jagung dan tradisi tua yang telah dilestarikan secara turun temurun ini telah terbukti bermanfaat, tidak hanya untuk menghalau sekaligus mengusir babi hutan semata, tapi juga menjadi media silaturahmi antar warga secara intensif dan efektif.

Nah, salah satu "senjata" paling ampuh untuk mempererat silaturahmi warga saat jaga malam di kebun, masyarakat Kabuaran mempunyai tradisi hidangan khas, unik dan ikonik yang sepertinya sulit untuk di temukan di tempat lain, yaitu kopi tubruk pahit yang ada asem-asem-nya khas kopi Arabika Kabuaran, pisang goreng, jagung rebus dan tembakau tambeng. Khusus di malam Jumat, Bu Haji Hasan membekali kami ayam bakar pedas dan sebakul nasi.

"Kopi kita ini jenis Arabika yang kita tanam di diatas" kata Bang Zul, bungsu Haji Hasan yang hampir tiap malam mengajak kami, anak-anak KKN yang gentle secara bergantian untuk begadang di kebun jagung miliknya bersama beberapa warga lainnya.

"Nah, kalau si-Tambeng, ini yang paling spesial dari Kabuaran! Kalau sudah nyicip yang ini, dijamin nggak bakalan lagi mau beli sigaret merek pabrikan yang harganya mahal-mahal itu", promosi Bang Zul sambil menunjukkan komoditi tembakau rajang super paling mahal dan paling dicari ini dengan bahasa Indonesia campur Madura.


Memang sih, produk tembakau rajang yang beraroma madu ini bisa dibilang istimewa dari awalnya!

Bagaimana tidak!? Menurut Bang Zul, konon untuk mendapatkan tembakau tambeng yang artinya bandel ini, bibit tanaman tembakau super ini sudah harus mendapatkan treatment khusus sejak dari kecil. Salah satunya "diinjeksi" dengan cairan madu murni secara berkala, begitu juga pada saat penanganan pasca panen, hingga citarasa manis madu tembakaunya yang benar-benar spesial menjadi buruan penikmatnya dari segala penjuru dunia.

"Ngok...ngok, ngok...ngok!" Tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh terdengar koloni babi yang mulai mendekat diikuti suara berisik langkah kaki-kaki mereka.

Tidak mau mengambil resiko, saya dan Bang Taufik yang kali ini menemani Bang Zul di kebun, langsung menarik tali kekang di tiang pondok yang seketika mengeluarkan bunyi-bunyian riuh dan berisik, hingga membuat koloni babi hutan yang mendekat langsung terkaget dan lari tunggang langgang menjauh tak karuan arah.

Mendengar suara khas kawanan babi hutan yang panik berikut gemuruh suara larinya, ternyata memicu reaksi adrenalin tubuh kami, hingga kami semakin segar dan tidak lagi terkantuk-kantuk.

"Itu masih biasa! Tadi yang datang hanya beberapa babi yunior yang baru belajar saja". Kata Bang Dzul santai sambil menikmati tingwe si-Tambeng dalam-dalam.

"Serius Bang, sebanyak itu baru yuniornya saja!? Dari mana abang tahu!?" Tanyaku penasaran.

"Suara mereka! Kalau Babi senior yang sudah pengalaman, mereka lebih tenang dan tidak terlalu ribut, tapi tiba-tiba habis saja jagung sekebun!" Kata Bang Dzul sambil nyengir memperlihatkan giginya, masih sambil menikmati tingwe si-Tambeng dalam-dalam.

"Baru tahu, ternyata babipun juga perlu belajar, bahkan perlu juga praktek lapangan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya", Bang Taufik menggumam sendiri sambil geleng-geleng kepala dan senyum-senyum sendiri pula, tanda keheranan dan ketakjubannya pada pengalaman pertamanya di serang babi yang baru belajar mencari kehidupan!

    "Oiya, aku baru ingat! Jangan-jangan, kawanan beberapa babi muda yang malam-malam sering nampak dan terdengar riuh di pinggir sungai, samping posko kami juga dalam tahapan belajar!? Luar biasa babi-babi ini, rajin juga mereka belajar ...he...he...he...".

Mengenang  Abang, Mas, Cece dan Kakak-kakak Kelompok KKN "Bhinneka Tunggal Ika" Desa Kabuaran, Bondowoso di Medio 90-an.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN












Jumat, 19 Juli 2024

Kongsi Dukun Lintrik

Kartu Lintrik |  via blogspot.com

Tiga hari sudah aku nggak doyan makan apapun. Setiap si Bambang, Budi dan juga siBagus, sahabat-sahabatku memancing selera makanku, bahkan sampai menyuapiku  makanan-makanan enak favoritku seperti soto daging "Jombangan", Rawon "Suroboyoan", sampai tahu campur juga Soto ayam khas Lamongan yang sedepnya nggak ketulungan itu, semuanya aku muntahkan!

Tadi malam! Bu Haji Udin, ibu kosku yang sudah seperti ibuku sendiri itu, sepulang dari Bangkalan juga membawakanku oleh-oleh Bebek Sinjay, kuliner kesukaanku. Sayang, ini juga tidak membantu! Bahkan baru mencium baunya saja, kepalaku langsung pusing!

Kata Mas Bayu, mantri puskesmas yang di kamar sebelah, aku stres dan asam lambungku meresponnya hingga over dosis!

"Gus, kita bawa Bintang ke ustad Burhan aja yuk! Kasihan seperti ini terus." Bambang, sahabatku  sekampung itu mencoba memberi solusi untuk keadaanku yang tidak juga membaik meskipun sudah minum obat dan dirawat Mas Bayu.

"Kok ke Ustad Burhan!? Memangnya dibawa kesana si-Nina bisa balik lagi?" Si-Budi sahabatku yang paling pragmatis ini selalu mempunyai cara berbeda untuk menyelesaikan masalah!

"Lha terus, yok opo Iki!?" Giliran si-Bagus bertanya.

"Kita bawa ke Bi' Ikah aja gimana?" Ide pragmatis Budi keluar kagi.

"Bi' Ikah sopo?" Tanya Bagus lagi.

"Itu, dukun lintrik di kampung sebelah" Jawab Si Budi, enteng saja!

Mendengar jawaban si Budi, tidak hanya Bagus dan Bambang saja yang terkejut dan melongo berbarengan, aku yang lemaspun juga ikutan melongo dibuatnya!

"Lintrik!?" Tanya Bambang dan Budi hampir berbarengan.

"Lintrik pelet!?" Tanyaku mempertegas.

"Syaratnya gampang kok! Bi' Ikah hanya perlu foto Nina, sama duit 20 ribu saja, dijamin dia akan nangis bombay tergila-gila lagi sama Bintang!" Budi berusaha meyakinkan idenya untuk mengembalikan kehidupanku  yang menurutnya sedang tidak baik-baik saja, gara-gara Nina!

Ya, Nina kekasihku, eh mantan kekasihku yang tidak ada angin dan tak ada hujan tiba-tiba minta bubaran!

Konon, menurut Briana teman sekelas si-Budi yang juga teman sekosan si-Nina, mantanku itu lagi bermain api dengan anak ibu kosnya yang baru saja lulus dari luar negeri.

"Aaaaah pantas saja!" Gumamku dalam hati. Nggak ada alasan untuk mikir panjang lagi, aku terima saja ide si-Budi, mengembalikan Nina ke pelukanku dengan lintrik!

Ya, dengan lintrik! Ilmu pengasihan kuno yang konon akan melibatkan setan sekuburan untuk membuat Nina kembali bertekuk lutut, bahkan tergila-gila yang segila-gilanya kepadaku. Puaaaaaaaas! Tahu aja setan-setan itu yang kumau!

Karenanya, meski badanku masih lemas, menanggung pening dan perut yang masih saja mual, aku tetap bergegas mencari foto-foto Nina di tumpukan baju dalam lemari untuk kubawa ke Bi' Ikah nanti malam.

Adzan Isya baru saja membahana di angkasa, tapi lingkungan rumah Bi'Ikah di ujung kampung ini sudah serasa di tengah malam, sunyi-senyap dan hanya menyisakan sesekali derik serangga di kejauhan yang bikin bulu kuduk suka berdiri sendiri.

Di ruangan praktik khususnya, kami berempat plus Bi' Ikah, terlibat langsung detik-detik ritual yang sebelumnya hanya kulihat dalam film dan sinetron-sinetron itu.

Bi' Ikah terus melafalkan mantra-mantra asing yang hanya samar terdengar, saat jari-jari di kedua tangannya memainkan kartu-kartu ceki itu. Sambil sesekali memeriksa pesan yang muncul dari lembar-lembar kartu yang terjatuh di meja, sorot tajam mata Bi' Ikah tidak lepas dari menatap foto Nina. "Ah, kok jadi serem ya!?"

Sepulang dari Bi'Ikah, kami tidak langsung pulang ke kos-kosan. Budi mengajak kami bertiga refreshing dulu,  cangkru'an dulu di warung Cak Badar, kedai langganan kita berempat yang lokasinya hanya sepelemparan batu saja dari kosan kita, ngopi!  

Budi mentraktir kami angsle panas atau susu putih hangat campur madu, dua menu malam andalan warungnya Cak Badar yang katanya baik untuk menghangatkan perut, sekaligus menetralisir asam lambungku. Waaah sedaaaaap betul ini!

Tapi belum lagi aku menikmati angsle panasku, tiba-tiba datang si Hasan anaknya ibu kos yang katanya sudah mencariku kemana-mana sedari tadi.

"Mas Bintang, disuruh pulang ibu sekarang! Ada Mbak Nina di kosan!" Ujar Hasan.

Mendengar ucapan Hasan, kami berempat hanya bisa saling pandang dan segera bergegas pulang menuju kosan, kecuali Budi.

"Tok cer!" Teriak Budi sambil mengacungkan jempolnya.

Begitu melihat kami datang, Bu haji Udin langsung menjewer kupingku dan menjauh dari teman-temanku.

"Habis kau apakan Nina, bisa gila begitu!?" Bisik beliau.

"Memangnya kenapa Bu Haji!?" Tanyaku, penasaran juga.

"Nina telanjang bulat dikamar tamu, ngigau kamu! Kenapa begitu...?" Tanya Bu haji, masih dengan menjewer telingaku.


Banjarmasin nan Bungas! 090724


Kongsi | dok. Kompasiana

Kongsi | dok. Kompasiana

Cek even Kongsi disini!

https://bit.ly/KONGSIVolume1


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 9 Juli 2024 jam  14:46 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka mengikuti lomba menulis dari Kumpulan Pecinta Cerpen Kompasiana atau Pulpen Kompasiana dalam rangka even KONGSI alias Kongkow Fiksi Kompasiana dan Alhamdulillah menjadi "pemenang ketiga" dengan reward keren! Ada Voucher Premium Kompasiana 6 Bulan, Merchandise Resmi Kompasiana dan saldo Gopay 50 ribu!  


 


 


Sabtu, 13 Juli 2024

Tragedi Buta Warna dan Dendam Kesumatku untuk Masa Depan Anak-anak Nusantara

Cara Kreatif Memperkenalkan Kelainan Buta Warna | @kaekaha 

"Maaf saudara Eka! Dari hasil tes dan pemeriksaan kesehatan anda, terdeteksi adanya kelainan "buta warna" pada mata anda dan konsekuensinya, anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran"

Kronik Penyintas Buta Warna

Anda sudah membaca kisah drama romantis di kanal KKN yang saya tulis dengan judul Oedipus Complex, Ketika Cinta Tidak Lagi Buta (Warna), beberapa hari yang lalu?

Saya tidak akan menceritakan kembali isi cerita dari kisah dramatis berlatar KKN itu di sini, tapi hanya mau mengatakan saja, kalau kisah itu baru salah satu saja dari sekian banyak "drama" dalam hidup saya dengan latar buta warna.

Baca Dulu Yuk! Penting, Sebaiknya Tes Buta Warna Dulu Sebelum Memilih Sekolah/Kampus Impianmu!

Sungguh, fragmentasi dramatis yang menjadi pembuka artikel ini, tidak akan saya lupakan sampai kapanpun, tahu kenapa? Karena sudah sejak lama momen itu saya jadikan sebagai pemupuk dendam!

Gara-gara buta warna bisa menjadi sedramatis itu? Jawabannya, sangat-sangat bisa! Karena selayaknya cerita kehidupan lainnya, penyintas buta warna juga tetap berpeluang menikmati hangatnya cinta, kasih dan sayang, tapi juga sangat berpotensi merasakan diskriminasi, pembodohan, pemerasan, pengkhianatan, perselingkuhan, bahkan juga perampokan! Sangat menyedihkan bukan!?

Karenanya, sampai sekarang, setelah 3 dekade berlalu, dendam itu masih tetap membara dan sepertinya akan terus membara selama hayat masih dikandung badan! Karena saya akan terus meniup baranya dan akan menjadikannya dendam kesumat yang tidak akan pernah berkesudahan sampai kapanpun!

Bagaimana tidak!? Gara-gara buta warna, mimpi dan cita-cita besar saya untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada orangtua, mimpi terindah yang selalu saya jaga spirit-nya di sepanjang waktu, cita-cita yang sudah saya bangun dan perjuangkan sejak kecil, harus berakhir justru ketika sebelah kaki saya sudah menapaknya!

Duuuuuuh sakitnyaaaaa!

Sedihnya lagi, semua game over oleh sebab-musabab yang sama sekali tidak saya pahami hal ihwalnya sejak awal, buta warna!

Tidak adanya mekanisme dan prosedur tes buta warna sejak dini dalam dunia pendidikan atau kesehatan kita, juga informasi komprehensif tentang buta warna berikut dampak riilnya terhadap kehidupan penyintas atau pengidapnya, menjadikan saya dan saya yakin banyak penyintas lainnya di luar sana yang akhirnya salah memetakan potensi diri, hingga berakibat salah pula memilih cita-cita, sekaligus roadmap untuk mewujudkannya.

Akibatnya saya terlambat mengetahui fakta sebagai penyintas buta warna, hingga harus membayarnya dengan ongkos yang sangat mahal untuk menanggung semua akibatnya. Tidak hanya rugi secara materi saja yang harus saya dan keluarga tanggung, tapi juga energi, waktu dan juga momentum.

Seandainya sejak kecil saya tahu sebagai penyintas buta warna, sepintar, secerdas dan sehebat apapun, saya pasti "tahu diri" dan tidak akan nekat bertindak konyol, memilih jadi dokter sebagai cita-cita!

Tidak memaksakan diri mengejar sesuatu yang memang tidak akan pernah bisa dikejar! Dengan begitu, saya dan orang tua bisa lebih fokus, efektif dan efisien memanfaatkan biaya, energi dan waktu saya untuk membangun dan merengkuh mimpi yang lain, cita-cita besar lainnya sesuai dengan kenyataan saya sebagai penyintas buta warna.

Piring Test Ishihara Klasik, Angka Berapa Saja yang Anda Lihat? | idntimes.com

Ironi "Sebelah Mata" untuk Buta Warna

Kelainan bawaan atau terpaut sex "buta warna" memang unik! Teramat unik malah! Tidak adanya tanda atau ciri fisik yang secara visual mudah dikenali, menjadikan penyintasnya sendiripun banyak yang tidak menyadari kalau dirinya penyintas buta warna, persis seperti yang saya alami sendiri.

Sedangkan satu-satunya cara untuk mengetahui dan mengenalinya, secara resmi harus melalui serangkaian tes medis yang umumnya menggunakan alat tes yang dikenal sebagai Ishihara plate oleh dokter spesalis mata.

Memang, kalau sekedar untuk mengetahui kita buta warna atau tidak, kita bisa melakukan tes mandiri, karena alat tes Ishihara relatif bebas dan mudah digunakan, tapi tetap saja untuk menganalisa kelainan buta warnanya lebih mendalam, khususnya pada buta warna parsial, hanya dokter spesialis mata saja yang bisa menganalisa parsial di warna apa.

Ribet juga kan ternyata urusan buta warna!?

Tapi anehnya, meskipun label "tidak buta warna" menjadi persyaratan wajib di banyak pendidikan tinggi, khususnya di jurusan eksakta (teknik, kedokteran dll) dan program kedinasan milik pemerintah, bahkan juga pada banyak bidang pekerjaan yang berbasis eksakta, termasuk TNI-Polri, tapi sampai detik ini tidak ada mekanisme atau prosedur resmi untuk mendeteksi kemungkinan buta warna kepada anak-anak Indonesia sejak dini!

Apalagi memberi edukasi kepada masyarakat agar sejak dini prepare, memahami pentingnya tes buta warna, termasuk melakukan tes buta warna sejak dini kepada anak-anaknya!?

Kenapa harus sejak dini?

Tes buta warna sangat penting untuk membantu orang tua, anak-anak, sekolah dan tentunya juga pemerintah untuk memetakan blueprint potensi besar anak-anak Indonesia, agar bisa meraih gemilangnya masa depan dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Sehingga pengalaman saya salah memilih cita-cita tidak akan terulang kepada anak-anak kita lagi!

Coba bayangkan! Seandainya dalam 1 angkatan kelas kedoteran, teknik kimia, farmasi atau apa saja jurusan eksakta, 5 persen saja terdeteksi sebagai penyintas buta warna, betapa ruginya Indonesia telah menyia-nyiakan generasi emas sebegitu banyaknya!

Inilah dendam saya! Saya tidak ingin generasi emas anak-anak Indonesia tersia-siakan karena salah memilih cita-cita gara-gara masalah buta warna yang terlambat terdeteksi.

Tes Buta Warna Sejak Dini di Rumah | @kaekaha

Mengedukasi Buta Warna

"Dunia tidak akan berhenti berputar, karena kamu buta warna dan gagal menjadi dokter, karena gagal menjadi dokter juga bukan akhir segalanya! Lanjutkan hidupmu, karena sejatinya hidup memberi banyak pilihan jalan suksesmu!"

Begitulah kira-kira ringkasan nasihat bijak bapak saya, ketika beliau tahu saya gagal melanjutkan di FKU karena buta warna (carrier dari jalur ibu). 

Nasihat inilah yang pertama kali mengembalikan kesadaran dan semangat hidup saya. Hingga bertahap bisa keluar dari belenggu keterpurukan dan kembali bermimpi mengantungkan cita-cita setinggi langit!

Dari sini, setelah saya merasakan "hidup kembali" di dunia yang baru! Selain memutuskan untuk mengambil jurusan kuliah di ilmu sosial untuk melanjutkan studi, saya juga terus berusaha berpikir positif dan berupaya semaksimal mungkin untuk terus menggali semua potensi kreatif yang saya miliki agar bisa survive dan syukur-syukur bisa membalaskan dendam kesumat saya kepada masa depan emas anak-anak Indonesia!

Saya ingin sekali bisa memberdayakan adik-adik dan anak-anak penyintas buta warna, agar tidak "rugi besar" seperti yang pernah saya alami dulu. Inilah dendam kesumat saya!

Alhamdulillah, akhirnya saya menemukan passion saya di dunia musik, radio dan tulis menulis. Diawali dengan aktif bermusik hingga bisa membantu saya benar-benar keluar dari dunia yang lama, hingga akhirnya musik juga yang mengantarkan saya pada keseruan dunia radio.

Awalnya masih berhubungan dengan musik, yaitu sebagai music director sampai akhirnya juga tertarik cuap-cuap sebagai penyiar radio hingga pernah pegang beberapa acara sekaligus, dari acara campursari, rock & alternatif, sampai curhat-curhatan ala anak muda sampai keluarga.

Nah disinilah buta warna mulai sering menjadi tematik pembahasan yang terangkat.

Artikel start up Buta Warna Menang di Ajang Digital Heroes | Liputan6.com

Di saat bersamaan, saya juga mencoba menyalurkan lagi hobi menulis saya yang lama terpendam dengan ngonten artikel dan "kebetulan" sering dimuat di beberapa media cetak lokal dan nasional, hingga akhirnya saya berkenalan dengan dunia blog hingga bertemu Kompasiana.

Dari sini, saya menyadari dahsyatnya potensi artikel online berbasis internet. Bahkan, ketika artikel saya tentang edukasi buta warna, khususnya niat saya membangun startup tentang test buta warna berikut konsultasi gratis secara online dan booming, ketika dimuat jaringan media online yang berinduk pada jaringan TV swasta nasional, tidak menunggu lama banyak sekali respons yang masuk via email, bisa ratusan hingga ribuan yang masuk per minggunya.

Tidak hanya masyarakat umum yang ingin berdiskusi tentang kelainan buta warna yang disandang oleh anggota keluarganya saja, tapi juga dari media-media mainstream negeri ini, bahkan beberapa stasiun TV nasional sampai rela mengirimkan produser sama kameramennya untuk terbang ke Banjarmasin meliput aktivitas ngonten edukasi buta warna saya.

Sayang, saya hanya menemukan jejak tayangannya pada channel Narasi TV-nya Najwa Shihab dan TRANS 7 saja, yang lain entah raib ke mana.


Jika konten Channel Narasi TV lebih menyoroti proses perjalanan saya dari momen gagal total sampai bisa bangkit lagi, maka konten TRANS TV lebih menyoroti kreativitas dan jatuh bangun saya mengembangkan usaha kerajinan tangan dengan bendera "pernik Banua" sebagai bentuk aktualisasi dari upaya saya untuk menggali potensi kreatif guna move on dari belenggu kegagalan akibat menyandang buta warna yang dianggap unik dan menginspirasi.

Tapi saya tetap bersyukur dan layak berterima kasih, semoga cara saya berdamai dengan kelainan buta warna dengan pendekatan menggali potensi kreatif yang saya miliki bisa bermanfaat dan menginspirasi, sekaligus bisa membalaskan dendam saya!

Sampai detik ini, mimpi saya untuk mendirikan startup berisi berbagai hal terkait edukasi buta warna secara lengkap yang diasuh dan diawasi oleh dokter spesialis mata tanpa dipungut biaya alias gratis...tis masih tetap menyala abangku!

Di dalamnya, seluruh pengakses dari seluruh pelosok Nusantara, bahkan dunia bisa melakukan tes buta warna secara mandiri dari rumah atau dari mana saja, kapan saja selama 24 jam full non stop yang hasilnya bisa detail, termasuk kalau buta warna parsial, parsialnya di warna apa, secara real time dan hasilnya bisa dicetak jarak jauh.

Selain itu juga bisa berkonsultasi dengan dokter mata baik melalui pesan maupun on call.

Yuk siapa berminat membantu saya membalaskan dendam kesumat!? Balasannya Insha Allah surga lho!

Semoga bermanfaat!

***

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | @kaekaha

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 24 Juni 2024 jam  22:54 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka mengikuti lomba menulis dari komunitas KPB di Kompasiana dan Alhamdulillah menjadi "pemenang pertama" dengan reward berupa saldo pulsa Rp.150.000 dan 1 novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal. 



novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal

  
lomba menulis dari komunitas KPB



Selasa, 14 Mei 2024

Terpesona Keasrian Taman Permana, "Padang Penggembalaan Sapi" yang Sedang Viral

Salah Satu Sudut Taman Permana yang Asri | @kaekaha

Taman Permana, itulah nama destinasi wisata yang sekarang sedang nge-hits sekaligus menjadi buah bibir masyarakat di seantero Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Destinasi wisata alam yang secara administratif masih termasuk dalam wilayah kecamatan Kota Pelaihari (sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Banjarmasin, arah ke Kabupaten Kotabaru atau Tanah Bumbu), Ibu Kota Kabupaten Tanah laut ini, lokasinya persis di pinggir akses jalan menuju destinasi andalan Kabupten Tanah Laut lainnya, yaitu wisata Pantai Takisung.


Papan Nama "Darurat nan Sederhana" yang tampak dari Jalan Raya | @kaekaha


Konon, para pelancong yang pulang dari Pantai Takisung juga yang pertama kali "menemukan" eksotisnya kombinasi hamparan hijau dedaunan beraneka ragam jenis pepohonan dan juga padang rumput yang tumbuh subur pada tanah dengan kontur berbukit-bukit yang tadinya memang difungsikan oleh pemiliknya sebagai padang penggembalaan sapi-sapi peliharaan tersebut.

Baca Juga :  Menjelajah Banua Hujung Tanah, Titik Paling Selatan Pulau Kalimantan

Jika dari arah Kota Pelaihari, lokasi destinasi Taman Permana yang terletak di Desa Telaga ini berjarak sekitar 4 km saja dan terletak di posisi sebelah kanan jalan menuju ke Pantai Takisung. Begitupun sebaliknya, jika dari arah Pantai Takisung menuju ke Kota Pelaihari atau ke Kota Banjarmasin atau Kota-kota lain di Kalimantan Selatan.


Perpaduan Hutan dan Savana yang Menyegarkan | @kaekaha

Relatif mudah untuk menemukan destinasi wisata yang dikelola oleh keluarga Bapak Edi Permana ini, selain dari lokasinya yang tepat di pinggir jalan, Taman Permana yang sekarang sedang menjadi buah bibir sekaligus viral di medsos masyarakat Kalsel dan Kalteng, pengunjungnya sedang membludak, hingga lokasinya mudah dikenali karena banyaknya mobil yang parkir di lokasi.

Bahkan khusus untuk akhir pekan, dari pantauan di lokasi wisata yang tampak berbukit-bukit dengan latar "hijau menyegarkan" ini, selain kendaraan roda dua dan roda tiga, masyarakat dari berbagai penjuru Kalimantan Selatan dan Tengah yang ingin menikmati kesegaran udara kawasan yang begitu asri ini juga tampak menggunakan moda transportasi bus dan truk, bahkan tampak juga beberapa armada dump truk yang terparkir. 

Hamparan Rumput Hijau yang Begitu Rapi | @kaekaha

Akhir pekan, hari Sabtu-Minggu plus hari libur tanggal merah, tampaknya menjadi peak seasson-nya destinasi wisata yang menawarkan uniknya konfigurasi alam khas bumi tuntung pandang, Kabupaten Tanah Laut yang memadukan keasrian hutan hujan khas Kalimantan yang juga dikenal sebagai paru-paru dunia dengan padang savana hijau-segar, berupa hamparan rerumputan yang tumbuh subur, memanjakan mata.

Baca Juga :  Kegundahan di Balik Nikmatnya Nasi Kuning Dendeng Rusa, Khas Banjarmasin

Lahan destinasi wisata dengan latar alam yang ijo royo-royo ini, menurut crew kebersihan yang tampak terus mobile "panen daun" di antara keluarga-keluarga pengunjung yang tengah bersantai dengan menggelar tikar atau alas duduk "massal" lainnya itu, luasnya sekitar 4 hektar dari total sekitar 40 hektar yang di kelola oleh keluarga.

Pintu Masuk Sederhana | @kaekaha

Selain taman yang sekarang sedang viral, meskipun sebenarnya relatif belum mendapat "sentuhan" apa-apa alias masih mengandalkan konfigurasi alam secara alamiah semata, lahan seluas itu konon kedepannya akan diproyeksikan menjadi semacam destinasi wisata murah terpadu untuk rakyat, jadi semacam kebun raya plus .

Selain akan terus ditanam berbagai pohon buah-buahan dan pohon-pohon langka lainnya sebagai sarana edukasi sekaligus konservasi, kedepannya lahan sawit yang tidak terlalu jauh dari lokasi taman juga akan diberdayakan lebih maksimal dengan beberapa penambahan fasilitas seperti kolam pemancingan berikut infrastrukturnya.

Jembatan Kayu di Antara Dua Puncak Bukit Kecil | @kaekaha

Sejauh ini, selain asrinya kawasan taman yang ditumbuhi beragam pohon buah-buahan dan pepohonan hutan lainnya bisa me-refresh fisik dan psikis pengunjung, taman Permana ini juga dilengkapi dengan banyak spot instagramable buatan, seperti jembatan yang menghubungkan beberapa puncak bukit dari sekian banyak bukit kecil di kawasan taman.

Tidak hanya itu, beberapa pondok berdesain panggung dari bahan kayu yang juga bisa berfungsi sebagai menara pandang turut memperindah landscape taman yang bisa membuat pengunjung bisa betah dan bertahan lebih lama di lingkungan taman yang hamparan rumputnya mirip lapangan golf tersebut. 


Pondok Berdesain Panggung | @kaekaha

Oya, untuk savana alias padang rumput yang rapinya mirip lapangan golf tersebut, konon bukan karena jenis rumputnya ataupun karena perawatan atau tepatnya pemangkasan rutin layaknya padang rumput lainnya lho! Tapi karena padang rumput ini memang lahan penggembalaan ternak sapi. Jadi sapi-sapi itulah yang memangkas rumput-rumput tersebut secara rutin tiap harinya, hingga terlihat rapi seperti sekarang.

Uniknya, sejak pengunjung taman terus membludak, akhirnya lahan pengembalaan sapi justeru dipindah di lokasi lain, anehnya meskipun tidak ada lagi yang secara kontinyu "merapikan-nya", rumput di padang tersebut tetap rapi seperti saat masih menjadi padang penggembalaan sapi-sapi ternak tersebut. 

Mungkin karena diinjak-injak sama pengunjung, kali ya? He...he...he...

Cantiknya Savana dengan View Hijau Segar | @kaekaha

Harapan kedepannya,  karena pengunjung yang datang secara faktual mempunyai maksud dan tujuan yang beragam, ada yang sekedar ingin menikmati segarnya udara di lingkungan taman atau juga segarnya pemandangan alam yang hijau di seputar taman, ada juga yang memang ingin camping atau berkemah, bahkan ada juga yang ingin outbound, masak-masak dan lain-lainnya, maka ada baiknya, kedepan di buatkan semacam zonasi kawasan yang disesuaikan dengan peruntukan. 

Sehingga beragam aktifitas pengunjung tidak hanya bisa dipetakan lokasinya dengan jelas sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya, tapi pengunjung juga bisa memaksimalkan masing-masing aktifitasnya tanpa saling mengganggu. 

Semisal dibuatkan zona untuk camping dan bermalam baik perorangan maupun komunitas, zona outbound, zona pemancingan, zona untuk jalan-jalan atau bisa juga untuk jogging, zona kuliner, zona mainan anak-anak dan lain-lainnya.

Arena Permainan Trampolin | @kaekaha

Memang saat ini, di dekat pintu masuk yang sepertinya memang disetting menjadi satu blok cluster khusus untuk area permainan anak-anak, sudah mulai ada yang masuk dan mengoperasikan beberapa fasilitasnya, seperti arena ketangkasan trampolin, mandi bola, mobil-mobilan remote control dan lain-lain, juga arena melukis, memasak, memancing. 

Tapi karena unit permainan dan juga ragamnya yang relatif masih terbatas, sepertinya "pe er"  pengelola masih belum selesai untuk bisa semaksimal mungkin memberikan fasilitas tambahan agar pengunjung lebih betah untuk berlama-lama dan suatu saat nanti merasa "harus kembali" ke Taman Permana.

Tidak hanya itu, penyediaan fasilitas umum  seperti mushalla dan toilet yang cukup dan representatif, sepertinya menjadi pe er lanjutan bagi pengelola agar eksistensi taman yang mudah-mudahan tetap bisa menghadirkan nuansa hijau di tengah terik mentari dan kering-kerontang-nya alam di bulan kemarau nanti.

Pedagang Kuliner Darurat | @kaekaha

Begitu juga dengan zona parkir yang masih belum terorganisir dengan baik dan yang tidak kalah penting adalah zona kuliner! Keduanya, sejauh ini masih terlihat ala kadarnya alias darurat. Terlebih untuk urusan kuliner yang sementara ini hanya "buka" di akhir pekan saja!

Seperti kita pahami bersama, jalan-jalan ke destinasi wisata pasti kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan kulineran,. Betul nggak? 

Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 



Galianan

Galianan (Grafis : Banjarmasin Pos)


Galianan merupakan Bahasa Banjar yang berarti geli jika diartikan dalam bahasa Indonesia.Setiap orang pasti mempunyai titik geli atau titik sensitif yang paling mudah merasakan rasa geli jika mendapatkan stimulasi yang lokasinya pada tubuh pasti berbeda-beda satu sama lain. Walaupun secara umum, titik geli paling umum pada tubuh manusia adalah pada telapak kaki, pinggang kiri dan kanan, ketiak dan leher. Dimana titik geli ditubuhmu?

Kenapa bagian tubuh tertentu bisa merasakan geli?

Menurut David J. Linden, profesor ahli saraf  di Johns Hopkins University School of Medicine menjelaskan, pada dasarnya rasa geli adalah pertahanan pertama (reflek) dari tubuh terhadap serangan/stimulasi.

Menurutnya, rasa geli punya fungsi sama dengan rasa gatal sebagai petunjuk bagi otak untuk waspada agar tidak terjadi serangan/stimulasi berikutnya. Tapi, ini tidak berlaku jika serangan/stimulasi berasal dari diri sendiri. Sebagai contoh, ketika tangan kita menggerayangi bagian tubuh kita yang merupakan kawasan titik geli kita, maka tidak ada perasaan menggelitik yang muncul. Berbeda jika orang lain atau binatang yang melakukannya kepada kita!

Kok bisa?

Menurut Sarah-Jayne Blakemore, peneliti di Universitas College London mengungkapkan bahwa ketika kita mencoba menggelitik diri sendiri, cerebellum (otak kecil ) yang terlibat dalam pemantauan gerakan tubuh kita, akan memprediksi sensasi yang akan ditimbulkan oleh gerakan tubuh kita sendiri (tetapi tidak jika stimulasi  itu dilakukan oleh stimulan selain kita) dan prediksi tersebut digunakan untuk membatalkan respon dari daerah otak lainnya.

Merasa Geli (hellosehat.com)

Ada dua area dalam otak yang terlibat dalam proses munculnya rasa geli, yaitu korteks somatosensori yang memproses sentuhan dan korteks singulat anterior yang memproses informasi yang menyenangkan (perasaan nyaman). Kedua area ini kurang aktif saat kita menggelitik diri sendiri dan lebih aktif jika digelitik oleh orang lain.

Jika stimulasi dari luar, maka secara reflek otak akan mengatur untuk menimbulkan sensasi geli. Menurut Linden, sensasi geli akan berkurang setiap bertambahnya usia, karena kehilangan sekitar satu persen dari ujung saraf kulit yang berperan mengatur rasa geli.  Tapi kehilangan ujung saraf tidak sepenuhnya menyebabkan rasa geli berkurang.

Rasa geli dua jenis, 

  1. Knismesis, yaitu rasa geli yang (cenderung) ringan seperti sensasi bulu yang disentuhkan pada kulit. Jenis rasa geli ini, biasanya bisa kita lakukan pada diri sendiri.  
  2. Gargalesis, yaitu rasa geli yang (cenderung) lebih agresif, dimana efek dari stimulasi pada bagian tubuh yang sensitif bisa membuat tertawa lepas, bahkan hingga kehabisan napas. Ahli kesehatan menyebutkan, ketika ujung saraf pada bawah kulit terstimulasi, maka korteks akan segera menganalisa stimulasi tersebut dan mengirimnya ke dua bagian otak yang akan memberikan sinyal untuk tertawa dan merasa senang. Jadi, jika Anda termasuk orang yang merasa geli saat disentuh, jangan khawatir! Ini normal dan sehat.

Mitos Seputar Rasa Geli

Beberapa daerah di Indonesia ada yang meyakini kitos terkait rasa geli ini. Ada yang meyakini, jika seorang anak muda laki-laki seoarng yang penggeli  maka istrinya kelak biasanya cantik paras dan hatinya, begitu pula sebaliknya!

Bagaimana dengan di daerahmu? Adakah mitos terkait rasa geli ?

Oya, apa bahasa daerahmu untuk geli?

Kombatan