Cuanki, kuliner berkuah kaldu asli dari Garut |
Redupnya sinar sang surya menandai senja yang mulai menyelimuti Kawasan jalan Ahmad Yani, Kota Garut, Jawa Barat ketika saya dan beberapa teman baru saja keluar dari markas anak-anak muda kreatif Kota Garut yang tergabung dalam Garut Creatif Hub (GCH) untuk berdiskusi dengan berbagai elemen pemangku dan pelaku kreatifitas, khususnya dibidang kerajinan tangan di Kota Garut, termasuk pimpinan Dekranasda Kabupaten Garut.
Sesaat setelah menikmati lalu-lalang pengendara di sepanjang jalan Ahmad Yani berikut beberapa pedagang aneka kuliner bergerobak yang mulai mangkal di seberang atau di dekat pintu gerbang SMP Negeri 2 Garut, secara tidak sengaja saya melihat bapak-bapak dengan penampilan perangkat berjualan yang berbeda.
Senja di Kota Garut |
Jika pedagang milok alias mini cilok, juga pedagang risoles basah dan yang lainnya menggunakan gerobak dan diparkir di pinggir jalan, maka bapak yang satu ini memilih menjajakan kuliner jualannya dengan cara di pikul dengan sesekali memukul papan kayu kecil dengan tongkat gilig kecil dengan suara khas dan unik, sangat mirip dengan cara jualan Bakwan Malang alias Bakso khas Malang tempo dulu.
Baca Juga : Terbujuk Nostalgia, Bakwan Malang "Pikulan" Ini Sedapnya Unik
Karena penasaran dengan jualan si Bapak yang dipikul di kanan dan kiri plus sesekali terlihat memukulkan tongkat kecil pada seruas batang entah kayu atau bambu yang menghasilkan bunyi unik layaknya penjual bakwan Malang, langsung membawa imajinasi saya kepada sedapnya gurih kuah bakso Malang. Tapi ini di bumi priangan! Rasanya kecil kemungkinan ada penjual Bakwan Malang dengan cara dipikul.
Karenanya, saya langsung teringat dengan Cuanki, itu lho kuliner berkuah kaldu asli dari Garut yang lebih populer di Bandung dan oleh sebagian besar penikmatnya selalu dikait-kaitkan dengan bakwan/bakso malang, karena kemiripannya. Sebagai "penikmat berbagai kuliner bekuah kaldu" tentu kesempatan bertemu dengan pedagang Cuanki yang tidak terduga tidak boleh disia-siakan!
Apalagi ini Cuanki yang benar-benar asli, baik asli di kampung halaman asal-usulnya, yaitu Kota Garut maupun asli dari sisi filosofi makna dari Cuanki itu sendiri, yaitu cari uang jalan kaki, karena si Bapak jualannya memang masih dengan cara tradisonal, yaitu dengan jalan kaki.
Rombong Cuanki |
Benar dugaan saya, setelah si Bapak memiringkan badannya dan bagian samping gerobak pikulannya terlihat, disitu terdapat tulisan "Baso Sapi Asli - Nusasari" di bagian atas dan tulisan "Cuanki" dalam ukuran lebih besar dibangian bawah. Artinya, si Bapak memang penjual Cuanki!
Wooooow ini namanya "pucuk dicinta ulam pun tiba!" setelah beberapa kali mencoba meluangkan waktu untuk berburu kuliner khas Garut, termasuk Cuanki jadi gatot alias gagal total, karena padatnya jadwal writingthon, senja kali ini kami malah didatangi oleh pedagang Cuanki.
Tidak mau membuang-buang waktu, sambil si Bapak menyiapkan semua yang diperlukan untuk meracik Cuanki dalam mangkuk pesanan saya, disaat bersamaan saya coba mengamati detail rombong pikulan si Bapak sambil sesekali membuka pertanyaan aktual terkait Cuanki.
Saus Pelengkap |
Dua rombong pikulan si Bapak, ternyata sangat berbeda dengan rombong pikulan pedagang bakwan/bakso Malang yang ukurannya lebih besar. Sedang rombong Cuanki yang didominsi 0leh balutan seng tanpa warna atau berwarna metalik dan terlihat bersih kinclong ini relatif lebih kecil dan ringkas.
Di bagian atas gerobak pikulan sebelah kiri terlihat beberapa varian merk mie instan terkenal diikat pada kayu penopang pikulan, sedang di kotak sisi kanan, saya melihat ada tiga botol berwarna hitam dan kemerahan yang sepertinya berisi kecap, saus tomat dan sambal pedas.
Di mangkuk bergambar ayam jago merah yang legendaris itu, si Bapak meracik bumbu kering seperti serbuk layaknya meracik bumbu mi instan. Karena waktu saya relatif mepet, maka saya menolak tawaran memakai mie dari kemasan mie instan yang terlebih dulu harus direbus atau lebih tepatnya dimasukkan ke dandang tempat kuah di pikulan sebelah kanan yang menurut perkiraan saya perlu waktu lumayan lama untuk melunakkan mie-nya.
Disinilah letak perbedaan mendasar antara Bakwan/Bakso Malang dengan Cuanki yang paling mencolok selain kelengkapan isinya.
Bubu Dasar Cuanki |
Setelah semua bumbu dituangkan dalam mangkuk, si Bapak langsung membuka dandang kuah untuk mengambil isian Cuanki yang pada edisi "jalanan Garut" ini antara lain tiga pentol daging sapi, tahu goreng, siomay goreng, kerupuk kulit sapi dan terakhir kuah bening dengan asap mengepul tanda kuahnya memang sangat panas.
Khusus untuk isian kerupuk kulit sapi ini, mengingatkan saya pada sajian kerupuk dorokdok khas Garut yang rasanya gurih aduhai! Kerupuk kulit berbahan kulit sapi ini, diolah dan dibumbui dengan bumbu khas yang rasanya memang ngangeni! Terutama bagi penikmat kerupuk atau semua penikmat camilan gurih, dijamin tidak akan berhenti mengunyah dorokdok jika dipiring atau toples belum habis!
Sesuai dengan rekomendasi dari para Asgar alias asli Garut, teman-teman sekaligus guied yang menemani kami selama di Garut, Dorokdok memang pasangan yang paling pas untuk menikmati kuliner berkuah kaldu seperti Cuanki, Bakso, Soto atau apa saja asal berkuah kaldu.
Satu lagi keunikan penjual Cuanki yang baru saya sadari adalah, ruas kayu yang sesekali dipukul si Bapak untuk memanggil semua pelanggannya. Sekilas memang sangat mirip dengan ruas bambu yang biasa dipukul penjual Bakwan/Bakso Malang. Tapi ketika saya amati dari dekat, keduanya ternyata sangat jauh berbeda!
Jika pedagang Bakwan/Bakso Malang memakai ruas bambu yang bagian dalamnya (daging bambu) hanya di kerok tepat di bagian tengahnya, maka untuk pedagang Cuanki yang dipakai adalah batang kayu (bukan bambu) yang dibentuk agak pipih dan dilubangi bagian tengahnya memanjang seperti kentongan dalam ukuran mini.
Tertarik untuk menikmati keunikan budaya sekaligus citarasa menggoda khas dari Cuanki?
Yuk jalan-jalan ke Garut!
Semoga Bermanfaat!
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadan 1443 H
Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar