Senin, 09 Oktober 2023

“Terbang Pagi Buta” Menuju Writingthon Jelajahi Sumedang

 
Mentari Pagi Membayang Landasan Pacu Bandara Syamsoedin Noor yang Basah | @kaekaha
 
 
Cuaca “Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas” dalam beberapa hari di pertengahan bulan Desember ini lumayan agak dingin bila dibanding hari-hari biasanya, karena di sepanjang hari, terutama sejak sore sampai pagi keesokan harinya, sering diguyur hujan dengan intensitas yang rata-rata cukup lebat. 
 
Bahkan pagi buta kali ini (17/12), dalam perjalanan saya dari rumah di Km.7 A. Yani atau kawasan Kertakhanyar menuju ke arah ke Kota Banjarbaru, menuju ke akses terminal baru Bandar Udara Internasional Syamsoedin Noor yang berjarak sekitar 20-an km masih juga dikawani oleh gerimis, bahkan di beberapa lokasi setelah shalat Subuh di Masjid Mujahidin, Gambut, banyak titik yang hujannya lumayan lebat. Alhamdulillah, berkahNya di pagi ini, udara jadi lebih beraihan sueeeegeeeer!!! 
 
Jaga Jarak Saat "Boarding" di Masa Pandemi Covid-19 | @kaekaha
 
Oya, karena ini penerbangan pertama saya di masa Pandemi covid-19 yang “naga-naganya” akan sedikit lebih ribet bila dibandingkan dengan penerbangan di masa aman, makanya saya memilih berangkat lebih awal menuju bandara. 
 
Mungkin karena memang musim penghujan ya kawan! Makanya dalam “aturan main” yang dikirim panitia Writingthon Jelajahi Sumedang kemarin lusa, kita para peserta juga disarankan untuk membawa perlengkapan jas hujan, payung atau mantel/jaket anti air guna mengantisipasi cuaca musim penghujan selama even berlangsung yang basah banget! 
 
Apalagi kita semua tahu, geografi Sumedang yang didominasi oleh dataran tinggi, juga punya curah hujan lumayan tinggi. Nah lho! Sudah gitu, menurut spil dari panitia, lokasi even Writingthon Jelajahi Sumedang ini berada di kawasan Sumedang Selatan. 
 
Lokasinya lumayan ekstrim, di penginapan bergaya resort keren di punggung gunung yang masih dikelilingi hutan dan relatif jauh dari perkampungan penduduk. Pastinya, sering banget hujaaaaaaan dan dingin banget! Hi...hi...hi... 
 
Batik Air Take Off | @kaekaha

Bismillah. Tepat pukul 08.00 WITA, pesawat Batik Air yang menerbangkan saya ke Sumedang via Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, take off juga dengan mulus dari landasan pacu Bandara Syamsoedin Noor meski gerimis pagi masih saja membasahi bumi Banjar, hingga akhirnya setelah sekitar 1,5 jam atau 90 menitan di udara, pesawat akhirnya landing dengan mulus juga di bandar udara terbesar di Indonesia ini. 
 
Setelah keluar dari pesawat dan singgah sebentar di terminal kedatangan, smartphone saya yang baru saja aktif kembali langsung diserbu oleh notif yang masuk dan dua diantaranya dari Mas Mustaqim (sesama alumni Writingthon Asian Games, 2018) dan Mbak Yeni , crew dari Bitread yang selalu bertugas menjemput peserta Writingthon dari luar daerah via Bandara Soetta. 
 
Reunian Sama Mas Mustaqim dari Metro, Lampung | @kaekaha
 
 Setelah konfirm sejenak dengan mereka berdua akhirnya saya langsung keluar terminal untuk bertemu mereka berdua yang sudah saya kenal sejak saya terlibat di dua even Writingthon sebelumnya dan Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ketemu lagi dengan Mas Mustaqim yang landing dari Metro-Lampung beberapa jam sebelum saya. Tapi kok nggak ada Mbak Yeni ya!? Malah yang tampak peserta terpilih dari Pasuruan, Neng Darma Anggat yang juga landing beberapa saat sebelumnya.
 
Ternyata Mbak Yeni lagi belanja perlengkapan “jalan” menuju ke Sumedang di minimarket. Excited banget bisa ngobrol ngalor-ngidul melepas kangen lagi dengan mereka semua, nggak lama landing juga Mas Asrul Rizky, dosen berprestasi dari Aceh, peserta terakhir yang kita tungguin sebelum let’s go ke Sumedang. 
 
Eiiiiits...tunggu dulu, kita masih ada Mas Deta Arya Intifada, Kompasianer senior yang juga jurnalis, tapi dia tinggal di Jakarta dan sepertinya tempat tinggalnya satu jalur dengan rute penjemputan dari Bandara, makanya dia nungguin kita di jalanan rute menuju Sumedang. 
 
Makan Siang dan Ishoma di Rest Area | @kaekaha
 
Perjalanan menuju Sumedang via tol lancar jaya! Kita menyempatkan Ishoma alias istirahat sambil sholat dan makan di rest area tol km ... ah saya lupa…di km berapa, api lumayanlah, punggung bisa kembali tegak setelah perut diisi bensin eh... maksudnya diisi nasi! 
 
He...he...he... kalau isi bensin untuk mobil, kita stop sekalian antri di toilet POM bensin ketika hari sudah mulai senja selepas melewati kampus-kampus terkenal di Jatinangor, pintu masuk Sumedang dari arah Bandung dan Jakarta.
 
Isi Bensin. Ada yang Tahu Lokasi SPBU ini!? | @kaekaha
  

Setelahnya, kami langsung menuju penginapan “Kampung Karuhun” di Sumedang Selatan. Sempat Melawati Kota Sumedang yang kami kenali dari tulisan besar “Alun-alun Sumedang” di sudut alun-alun. Ternyata dari sini kami masih terus dan terus menjauh dari kota. 
 
Kami terus menyusuri jalanan perkampungan yang relatif sempit tapi beraspal dengan kombinasi rumah penduduk yang relatif jarang, sawah, hutan dan kadang-kadang tampak jurang dengan sungai-sungai  berair mengalir deras.
 
Aliran Sungai Cihonje | @kaekaha
 
Diiringi senja yang basah oleh rintik hujan, mobil kami masih terus menyusuri tepian hutan dan sepertinya malah menjauh dari keramaian. Bukan lagi menjauh dari keramaian Kota Sumedang, tapi kita menjauh dari keramaian kampung terdekat! 
 
Nah lho... kecurigaan saya dan mungkin teman-teman alumni Writingthon lainnya mulai terjawab. Sepertinya ini jawaban misteri “aturan main” disuruh membawa perlengkapan mandi sendiri. Jangan-jangan...?
 
Hutan di Sekitar Penginapan Tampak Hijau Menyejukkan | @kaekaha
 
Memang diluar kebiasaan dalam even Writingthon, kita peserta diwajibkan membawa peralatan mandi sendiri. Bukannya peralatan ini sudah disiapkan oleh penginapan. Lah pasti ada apa-apanya ini!?

Senja benar-benar hampir berganti malam ketika kami sampai di Kampung Karuhun, resort bergaya villa di punggung gunung yang masih dikelilingi hutan lebat dengan bunyi gareng pung alias tonggeret yang bersaut-sautan dan juga kawanan monyet yang terlihat masih cukup banyak bergelantungan di pepohonan sekitar. Selebihnya sunyi dan sepiiiiiii.
 
Registrasi Peserta Writingthon Jelajahi Sumedang 2020 | @kaekaha

Begitu memasuki area Kampung Karuhun, kami langsung disambut oleh panitia dan diminta langsung untuk registrasi dan mengambil semua kelengkapan atribut yang dikemas dalam totte bag cantik dengan ilustrasi Writingthon Jelajahi Sumedang 2020 dan juga mengisi berkas-berkas yang diperlukan untuk kepentingan akomodasi dan lain-lainnya.
 

Dari sini kami baru mengetahui, kalau rombongan kami ternyata menjadi yang paling akhir sampai di lokasi. Untuk peserta dari kawasan Sumedang dan sekitarnya sudah masuk camp sejak siang, sedangkan peserta dengan titik jemput di Jakarta tapi non pesawat terbang sudah tiba di lokasi sejak sebelum waktu Ashar tiba.
 
 
Kampung Karuhun | @kaekaha

Bersabung ke artikel ke-tiga "Malam Pertama" di Writingthon Jelajahi Sumedang

Terima kasih, Semoga bermanfaat

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan KOMBATAN

  

 

 

 





 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
 
 
 
 
 
 

Minggu, 01 Oktober 2023

Jar Nini, Kalau Mau Nabung Jangan Nunggu Ada Uang Sisa!



Yuk Nabung.... (Foto : Koleksi Pribadi)

Kalimat petuah diatas sebenarnya saya terjemahkan dari petuah Bahasa Banjar Bahari (Petuah Bahasa Banjar Jaman dulu) yang lengkapnya sebagai berikut "Jar Nini, Kalaunya handak manabung, jangan mahadangi ada uang labihan!" Secara umum terjemahannya kurang lebih sama dengan judul tulisan diatas. 

Intinya kalau mau menabung jangan menunggu ada duit sisa dan ungkapan paninian (Bhs. Banjar ; Nenek) tersebut secara tersirat memberi petunjuk agar kita merencanakannya dari awal bukan menunggu sisa di akhir (periode) dan menurut saya petuah paninian tersebut selaras dengan logika sederhana teori ekonomi makro (tertutup) Keynes Y = C + S dimana Y = Pendapatan (income)seharusnya secara teori ekuivalen dengan C = Konsumsi (consumption)ditambah S = Simpanan (Saving). 

Jadi petuah bahari (Bhs. Banjar ; lama/kuno) paninian diatas masih mempunyai relevansi dengan budaya saat ini, khususnya sebagai metode dasar bagi logika kita untuk menggerakkan alam sadar kita untuk peduli pada perencanaan keuangan (menabung) sejak dari awal atau bisa juga diterjemahkan sejak dari muda, sejak ada uang dan atau sejak masih produktif.

Memang, logika petuah paninian dan rumus keynes diatas sebagai dasar dari pola pikir perencanaan keuangan, relatif sangat sederhana dan menyederhanakan simpul kompleksitas elemen riil perekonomian (dalam keluarga) saat ini, karena fakta dilapangan memang tidak sesederhana itu. Banyaknya faktor yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat urban sekarang ini menuntut kecerdasan sikap, mental dan perilaku efektif guna mendapatkan pola perencanaan keuangan yang lebih dinamis, efektif dan efisien. Tapi setidaknya, seperti yang saya sebutkan diatas, konsep logika petuah paninianyang selaras dengan teori keynes diatas masih mempunyai relevansi sebagai dasar pijakan kita masyarakat urban dalam upaya mengelola keuangan. Sederhananya begini,

Teori Keynes (grafis : kelasx.blogspot.co.id)

Konsep Pendapatan = Konsumsi + Menabung, merupakan sebuah rumusan untuk kondisi ideal, karena faktanya masih banyak masyarakat kita yang polanya Pendapatan = Konsumsi atau tidak bisa menabung. Lantas bagaimana solusinya agar elemen S (menabung) bisa muncul? Menurut saya, orang tidak bisa menabung ada 2 (dua) penyebabnya, yaitu

A. Karena memang benar-benar pendapatannya sangat minim atau dibawah/sama dengan kebutuhan konsumsi.

Cara uji sederhana untuk mengetahui perimbangan antara pendapatan (Y), konsumsi (C) dan tabungan (S) bisa dicoba metode atau sistem amplop, caranya sediakan amplop sebanyak jenis rincian kebutuhan. Beri identitas amplop sesuai nama jenis kebutuhannya. Setelah itu, bagi yang berpenghasilan bulanan, bisa langsung membagi penghasilannya sesuai kebutuhan masing-masing pos/amplop. Hasilnya? Tentu ada tiga kemungkinan kurang, cukup/pas dan lebih. 

B. Karena gaya dan pola hidup tanpa konsep perencanaan keuangan. 

Dari kedua penyebab gagal menabung diatas, tentu membutuhkan cara yang berbeda untuk mendapatkan threatment-nya agar bisa move onuntuk menabung. Berikut logika threatment sederhananya,

Untuk kondisi A :

1. Pada keluarga dengan pola pendapatan ini, yang pertama harus dibenahi adalah mindset atau pola pikir tentang konsep menabung. Ikuti petuah paninian diatas, maksudnya jika kita diposisi ini buang jauh-jauh pola menabung menunggu ada sisa atau kelebihan uang, karena pasti tidak akan pernah mungkin terjadi. Jadi pola pikirnya harus dibalik, kita rencanakan semua  dari awal. Kita desain ulang semuanya dengan mengidentifikasikan prioritas kebutuhan kita. Karena inti keberhasilan kita menabung bukan berapa jumlah yang kita punya, tapi sejauh mana kita cermat dan bijaksana dalam mengdentifikasi prioritas kebutuhan kita. Dengan begitu, berapapun yang kita tabung asal konsisten Insha Allah akan menuntun kita pada pola kehidupan yang lebih teratur, berimbang dan memberi manfaat.

2. Bila mindset sudah bisa dikendalikan dan diajak kompromi, tapi konsep menabung dan tabungan masih belum maksimal teraplikasi. Bisa jadi penghasilan kita memang pas, atau Y = C. Kalau ini yang terjadi, berarti kita harus segera melangkah pada threatment berikutnya. Dari skala prioritas yang sudah kita susun tentu kita bisa melihat pos-pos mana yang mungkin tidak telalu urgentsehingga bisa dikurangi atau justeru di hilangkan. Sehingga alokasi dananya bisa dialihkan sebagian atau seluruhnya untuk simpanan.

Misalkan :

Diantara pos kebutuhan kita ada pos untuk entertaint seperti jalan-jalan atau berlibur, mungkin karena pos ini kurang urgent bisa dikurangi frekuensinya, sehingga anggaran pos-nya bisa dialihkan untuk tabungan.

3. Jika strategi pada point 2 diatas tetap tidak bisa memberikan kontribusi pada elemen S (tabungan) atau ada tapi tidak terlalu signifikan, berarti  harus segera melangkah pada threatment berikutnya, yaitu dengan mencari penghasilan tambahan.

Misalkan :

Di Banjarmasin banyak pencari ikan atau biasa disebut bubuhan paunjunan(Kelompok Pemancing), yang setelah mendapatkan ikan haruan (ikan gabus/kutuk) berbagai ukuran langsung dijual ke pengepul, mungkin polanya harus dirubah. Bila hasil melimpah jangan dijual semua, sebagian di keringkan dan yang masih kecil-kecil bisa dibesarkan dalam keramba. Bagus lagi, jika ikan haruan yang didapat dijual dalam bentuk olahan jadi atau masak, sehingga memberi nilai/harga yang lebih tinggi.

Untuk kondisi B :

Sebenarnya kurang lebih sama diawalnya, mungkin akan berbeda pada threatment lanjutannya. Berikut deskripsinya

1. Pada tahap awal, mindset atau pola pikir tentang konsep hidup, khususnya perencanaan keuangan (menabung) harus di setting ulang. Logika umumnya, sebagai manusia normal, untuk menjalankan sunatullah sebagai manusia tentu kita harus berpikir lebih jauh dari langkah kita sekarang. Kita harus menata dan mempersiapkan masa depan kita dengan perencanaan sebaik mungkin sebagai bagian dari ikhtiar kita. Selebihnya biar Tuhan yang memberikan jalan takdirnya.

Perencanaan keuangan metode amplop (Foto : Koleksi Pribadi)

2. Setelah mindset sudah bisa dikendalikan, coba ikuti petuah paninian diatas dan lanjutkan dengan mengaplikasikan perencanaan keuangan metode amplop seperti diatas, tapi dengan tujuan berbeda. Kalau contoh diatas tujuannya untuk memetakan posisi keuangan kita terhadap berbagai kebutuhan, disini tujuannya lebih kepada mengikuti pola perencanaan di awal atau secara sengaja memang mengalokasikan dana untuk ditabung dari awal, bukan menabung karena ada sisa.     

Kalau metode amplop sudah berjalan secara konsisten dan dalam periode tertentu mulai terlihat ada hasil apalagi hasil yang signifikan, biasanya akan memberikan kepuasan dan biasanya lagi akan memacu untuk lebih efektif dan efisien dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sampai pada tahap ini, lebih bagus lagi jika dana tabungan yang ada dikembangkan lagi melalui berbagai instrument investasi atau bisa juga untuk berwirausaha sesuai dengan minat, keahlian atau kemampuan yang dimiliki.


Tabungan Bank Syariah (Foto ; Koleksi Pribadi)


Pernak-pernik Perencanaan di Era Modern

Menabung, dalam bentuk uang, emas atau barang dan bahan pokok sejatinya sudah menjadi kebiasaan atau budaya masyarakat kita sejak dulu. Salah satu buktinya adalah adanya petuah dari paniniandiatas. Bukti lebih konkrit kita bisa melihat keberadaan lumbung padi di desa-desa yang sampai sekarang masih banyak yang eksis atau juga kotak perhiasan untuk menyimpan emas bagi para saudagar-saudagar jaman dulu dan mungkin yang paling sering kita lihat adalah berbagai bentuk celengan yang sejak kecil tentu sudah akrab dengan kita. Ada yang berbentuk ayam jago, burung, buah-buahan, bahkan ada juga yang berbentuk rumah-rumahan. Celengan jaman dulu selain bentuknya yang unik, bahan pembuatnya juga macam-macam, mulai dari keramik kaolin, tanah liat, seng, plastic sampai kayu atau bambu. Unik ya….!?

Tradisi menabung bahan pokok di lumbung padi (Foto : lps.go.id)

Menabung, merupakan salah satu aplikasi dari perencanaan keuangan yang paling umum di terapkan oleh masyarakat. Untuk secara tradisional, biasanya masyarakat menabung uang dengan memakai media celengan, dibawah kasur, di dalam bumbung tiang rumah dari bamboo dll. Sedangkan untuk cara yang lebih modern, lembaga perbankan merupakan institusi yang paling tepat untuk menabung.

Tapi inilah fakta unik masyaraklat Indonesia! Meskipun budaya menabung pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tradisi turun temurun, tapi uniknya untuk tabungan yang sifatnya formal di lembaga perbankan sepertinya masyarakat masih belum begitu antusias. Terbukti, dari publikasi data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di tahun 2015 dari total hampir 250 juta penduduk Indonesia baru sekitar 60 juta orang yang menjadi nasabah perbankan. Artinya prosentase penduduk Indonesia yang mau menabung di lembaga perbankan baru sekitar 25%.

Memang harus diakui, sejauh ini pemahaman masyarakat terhadap institusi perbankan masih relatif terbatas. Terutama di daerah pedesaan yang minim akses, baik edukasi (pendidikan), transportasi,  teknologi maupun komunikasi. Masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang konsep legalitas, teknis perbankan apalagi perkembangan aplikasi teknologi perbankan yang semakin maju pesat.  

Kebakaran, salah satu resiko menyimpan uang di rumah (Foto : lps.go.id)

Seperti di daerah saya, sampai sekarang masih ada saja seorang juragan itik yang tidak percaya dengan keamanan menyimpan uang di bank. Boleh percaya boleh tidak! Konon menurut keluarganya, uang yang jumlahnya ratusan juta, bahkan bisa jadi sampai milyaran hanya di taruh dalam lemari brankas saja, tanpa memperhitungkan resiko keamanannya, seperti bahaya kebakaran atau perampokan. Sementara di sisi masyarakat yang lain masih muncul berbagai ironi, bank masih dianggap sebagai “rumah uang”, jadi keberadaannya dianggap hanya untuk kalangan beruang (baca : mempunyai uang) saja!

Selain minimnya akses informasi tentang dunia perbankan, penyebab lain rendahnya minat masyarakat menabubg di bank ditengarai karena sebagian besar masyarakat pada dasarnya masih belum memahami konsep menabung ala petuah paniniandiatas. Sebagian besar masyarakat masih menganggap menabung adalah menyimpan uang sisa  atau uang labihan dari biaya kebutuhan hidup dalam periode tertentu.

Disinilah, mungkin tantangan kedepan yang paling nyata bagi perbankan dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan produktifitas dunia keuangan seperti OJK dan LPS! Sosialisasi dan edukasi berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia masih sangat diperlukan.

Logo LPS (grafis : lps.go.id)

Inilah fakta ironi yang harus segera dicarikan solusinya. Masyarakat harus tahu, keberadaan berbagai produk hukum termasuk lembaga yang mengatur dan menjamin sekaligus mengawasi transaksi perbankan di Indonesia, sehingga masyarakat akan lebih terbuka dengan akses dunia perbankan, karena aspek kemanan, legalitas dan kepastian pelaksanaan hak dan kewajiban antara keduanya lebih terjamin.

Salah satu contoh lembaga yang perlu disosialisaikan kepada masyarakat lebih intensif dan berkesinambungan adalah, keberadaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebagai lembaga mandiri yang berdiri berdasar UU No. 24/2004 dengan tugas utama menjamin simpanan nasabah di bank sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.

Infografis tentang LPS (Grafis : lps.go.id)

Masyarakat harus tahu prinsip kerja LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah pada seluruh bank konvensional dan bank syariah yang memiliki izin beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maksimal sebesar Rp. 2 Miliar/nasabah/bank [pokok simpanan + bunga (bank konvensional) atau bagi hasil (bank syariah)]. Artinya, masyarakat atau nasabah tidak perlu khawatir uang tabungan akan hilang jika kebetulan bank tempat menabung sedang bermasalah atau bahkan berhenti beroperasi, karena LPS akan membayar simpanan tersebut dalam waktu 5 hari setelah simpanan dinyatakan layak bayar  dengan memenuhi tiga persyaratan (3T), yaitu

Syarat simpanan nasabah yang dijamin LPS (grafis : lps.go.id)

  1. Tercatat dalam pembukuan bank.
  2. Tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga yang ditetapkan LPS.
  3. Tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, seperti memiliki kredit macet.

Anda sudah tahu?

Mempunyai akses dengan dunia perbankan di jaman sekarang sepertinya buka sebuah kewajiban lagi! Tapi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Selain fungsi utama sebagai lembaga yang akan membantu mengelola perencanaan keuangan masyarakat, baik sebagai individu maupun organisasi/kelompok dalam bentuk tabungan dengan berbagai variasi jenis dan model perencanaan didalamnya, berbagai fitur layanan perbankan seperti jasa transfer/pengiriman uang, fasilitas kredit dan produk-produk lainnya sepertinya akan semakin mempermudah proses kerja dan kinerja kita, termasuk strategi jitu kita untuk merencanakan keuangan dalam menjalani kehidupan yang penuh  dinamika kedepannya. Jadi tunggu apa lagi? Yuk menabung di Bank terbaik pilihan anda!!

 

Semoga bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 16 Mei 2016  jam  22:08 WIB (klik disini untuk membaca)


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN