Senin, 12 September 2022

Misteri "Kapuhunan", Pamali Banjar Seputar Makanan yang Diyakini Bisa Berujung Maut

Kapuhunan dalam Kamus Bahasa Banjar | @kaekaha

Kosakata Kapuhunan
Istilah Kapuhunan tidak hanya dikenal oleh masyarakat Banjar berikut diasporanya, tapi juga sebagian besar masyarakat Dayak. Dalam kamus bahasa Banjar yang disusun oleh Almarhum Prof. Haji Abdul Djebar Hapip, cetakan kelima yang diterbitkan pada tahun 2006 oleh PT. Grafika Wangi Kalimantan, kosakata kapuhunan diartikan sebagai dapat celaka; dapat bencana

Uniknya, entah ada hubungannya atau tidak dengan kosakata kapuhunan, dari kronologi fase penterjemahannnya dalam kamus tersebut terdapat kosakata yang relatif identik sebagai kata pembentuk, yaitu kosakata kapuhun yang diartikan penyakit akibat masuk angin atau penyakit akibat masuk angin. 

Saya menyebut unik sekaligus ragu terhadap korelasi atau hubungan dari kedua kosa kata diatas, karena keduanya dari segi susunan aksara dan juga fonetisnya seperti berhubungan, tapi kalau dilihat dari artinya masing-masing jelas tidak nyambung alias tidak ada hubungan, tapi uniknya masing-masing artinya jika disambung atau digabung justeru mempunyai makna yang segaris atau linier. 

Coba perhatikan, jika arti atau makna dari kapuhunan dan kapuhun digabung arti dan maknanya menjadi dapat celaka; dapat bencana akibat penyakit masuk angin.

Terlepas dari korelasi kosakata kapuhun dan kapuhunan yang menurut saya masih berada di wilayah abu-abu, dalam kosakata bahasa Banjar juga dikenal istilah puhun yang dalam bahasa Indonesia berarti pohon. 

Sekali lagi, kalau dilihat arti dari masing-masing kosakatanya, antara puhun, kapuhun dan kapuhunan sepertinya tidak ada hubungan atau korelasi diantara ketiganya. Puhun artinya pohon, kapuhun artinya peny akibat masuk angin atau penyakit akibat masuk angin dan kapuhunan artinya dapat celaka ; dapat bencana.

Entah kebetulan atau memang tidak ada korelasi diantara ketiganya, Almarhum Prof. Haji Abdul Djebar Hapip juga sama sekali tidak menyinggung kemungkinan tersebut dalam kamus yang beliau susun.

Kapuhunan Sebagai Pamali
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, sampai saat ini masih mempunyai banyak sekali pingkutan (pegangan) produk tradisi dan budaya ulahan Urang bahari atau buatan orangtua zaman dulu yang sampai sekarang masih eksis, walaupun seiring perjalanan waktu tetap saja sebagian diantaranya mulai melemah denyut pengaruhnya. 

Penjabaran lengkap silahkan baca artikel saya berjudul Eksistensi "Pamali Banjar", Produk "Urang Bahari" di Era Modern.

"Salah satu produk tradisi dan budaya ulahan Urang bahari atau buatan orang tua zaman dulu yang masih eksis adalah Pamali Banjar, yaitu ungkapan-ungkapan yang mengandung semacam larangan atau pantangan untuk dilakukan, yang memiliki posisi sekaligus berfungsi sebagai control social bagi Urang Banjar dalam berkata, bertindak, atau melakukan suatu kegiatan" (Jamali dan Dalle, 2013)

Salah satu pamali Banjar yang sampai di milenium baru sekarang ini masih eksis dan diyakini sebagian besar masyarakat Banjar adalah perihal Kapuhunan!

Seperti halnya bentuk-bentuk pamali Banjar pada umumnya yang selalu menuntut kepatuhan masyarakat kepada budaya, dalam berkata, bertindak, berilaku dalam kehidupan sehari-hari, kapuhunan secara fungsi juga tidak jauh berbeda.

Kapuhunan pada dasarnya juga mengingatkan agar Urang Banjar bersikap santun dan tepat, khususnya dalam memperlakukan makanan dan minuman berikut tradisi di seputarnya.

Kapuhunan sebagai pamali, arti dan maknanya relatif sama dengan definisinya dalam kamus bahasa Banjar yang disusun oleh Almarhum Prof. Haji Abdul Djebar Hapip diatas, yaitu dapat celaka; dapat bencana. Pertanyaannya berikutnya yang paling banyak mengemuka pasti dapat celaka atau dapat bencana karena apa atau oleh sebab apa?

Uniknya, pamali banjar kapuhunan ini selalu berkaitan dengan makanan/minuman! Jadi, penyebab kapuhunan atau dapat celaka dalam pamali Banjar ini, diyakini sebagai akibat dari perlakuan terhadap makanan! Nah lo, penasaran?

Masyarakat Banjar meyakini beberapa hal yang bisa menyebabkan kapuhunan, diantaranya

Pertama
Kepingin sekali atau dalam bahasa Banjar disebut sebagai handak banar terhadap makanan atau minuman tertentu yang saat itu sebenarnya punya kemampuan untuk memenuhinya, apalagi jika makanan/minuman itu sudah ada atau sudah dihidangkan, tapi karena sibuk atau sebab apa saja yang menghalanginya, keinginan atau kahandakan makan atau minum sesuatu tersebut akhirnya tidak kesampaian. 

Misalkan, setelah ujian pendadaran tesis, saat itu saya kepingin sekali makan nasi pecel Madiun sama menyeruput kopi "nashitel" alias panas hitam dan kentel/kental kesukaan saya sejak kecil dan untuk itu saya sudah memesannya di kantin kampus. 

Saat saya berjalan menuju kantin, saya sudah membayangkan nikmatnya perpaduan rasa pedas khas dari sambal pecel dengan seruputan pertama kopi nashitel saya. Tiba-tiba dosen pembimbing nelpon saya minta ketemu saat itu juga! Selanjutnya...? Seperti inilah tahapan kapuhunan secara sederhana! Silahkan kira-kira sendiri kapuhunan apa yang akan terjadi!

Entah ada hubungannya atau tidak, setidaknya ada dua hadis Rasulullah yang mengingatkan kita lebih mendahulukan makan agar tidak menggangu konsentrasi atau kekhusyuan sholat!

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).

Dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan
“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 557)

Identik dengan penyebab kapuhunan? Wallahu A’lamu bis Shawab!

Setahu saya, kedekatan Islam dengan masyarakat Banjar memang sudah saling bekelindan. Bahkan, antropolog Judith Nagata menarasikan kedekatan Islam dengan Urang Banjar ini begitu cantik dalam salah satu teorinya, "Suku Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan, "Agama ya suku, suku ya agama".

Artinya, tidak menutup kemungkinan budaya pamali Kapuhunan, teknisnya berasal dari dua hadis Rasulullah diatas, tapi untuk peristilahan atau penamaannya menggunakan bahasa Banjar dengan kata puhun atau pohon sebagai asal muasal yang secara teoritis dipercayai sebagian besar masyarakat. Kenapa pohon? Jelas karena Pulau Kalimantan yang banyak ditumbuhi pohon (baca;hutan). Bahkan sampai sekarang kita juga sering mendengar jargon, Kalimantan sebagai paru-paru dunia!? Betul?

Seperti kita ketahui, diantara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar kita, banyak diantaranya yang akhirnya menjadi rumah atau tempat tinggal dari jin atau makhluk halus yang atas ijin Allah SWT memang diberikan kesempatan untuk menggoda juga mengganggu manusia yang tidak waspada apalagi melupakan-Nya, termasuk mencelakakannya! 

Caranya? Bisa jadi, salah satunya dengan cara meniupkan angin (sihir) untuk mencelakai manusia, khususnya yang sedang "lupa". Mungkin ini jawaban dari korelasi antara puhun, kapuhun dan kapuhunan. Wallahu A’lamu bis Shawab.

Selain teori diatas, secara logika kapuhunan juga bisa dijelaskan, ketika konsentrasi terpecah, antara makanan/minuman yang saat itu sangat diinginkan (apalagi dalam keadaan lapar atau kelaparan) dan fakta harus melakukan aktivitas lain yang sama-sama menyita daya konsentrasi, kemungkinan besar juga akan menurunkan kewaspadaan, refleksi, daya ingat dan lain-lainnya, termasuk kepada seorang perempuan sekalipun yang dikenal mempunyai kemampuan multitasking, sehingga bisa menyebabkan kecelakaan.

Kedua
Dalam situasi ditawari makanan atau minuman oleh siapapun, entah saat dirumah oleh orang tua atau saat bertamu oleh pemilik rumah, tapi karena berbagai sebab, bisa karena memang sudah kenyang, tidak suka makanan/minumannya, segan dengan yang menawari makanan/minuman, terburu-buru dan atau sebab-sebab lainnya akhirnya menolak tawaran. 

Situasi ini tentu berbuntut pada ketidaknyamanan diantara yang menawari makanan dan yang ditawari makanan, berupa adanya semacam ganjalan di hati. Ganjalan di hati inilah yang dianggap biang dari kapuhunan atau kecelakaan pada "penolak" tawaran.

Kemungkinan hal ini berhubungan dengan budaya masyarakat Banjar dan juga masyarakat Kalimantan pada umumnya yang selalu berusaha menghormati dan memuliakan tamu setinggi-tingginya, salah satunya dengan cara memberi layanan terbaik dengan berusaha menyuguhkan hidangan terbaik yang dimiliki atau yang bisa dibuatkan untuk tamu. 

Sekali lagi, entah ada hubungannya atau tidak, ada kisah dalam Alquran dan hadis terkait memuliakan tamu, begitu juga dengan adab bertamu, khususnya terkait dengan memperlakukan hidangan.

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?'” (kandungan Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47]

Mungkin kisah hikmah dari Ma’ruf Al-Karkhi yang dikenal dunia karena kezuhudannya, saat lebih memilih memakan hidangan dari pada memberitahu pengundangnya jika beliau berpuasa apalagi jika memang ada maslahat disitu, karena hanya ingin pahala puasanya terjaga (dari riya, ujub dsb) bisa lebih membuka pemahaman kita terkait hikmah kapuhunan ini. 

Identik juga dengan penyebab kapuhunan? Wallahu A’lamu bis Shawab!

Hikmahnya! Dimana saja berada, alangkah lebih bijaksana jika niat baik untuk menghormati juga memuliakan tamu atau apapun dan siapapun status orangnya, dengan memberikan hidangan sebagai pelayanan terbaik juga dibalas dengan cara yang terbaik juga, berempati kepada penghormatan tuan rumah, yaitu dengan menyantap suguhan yang dihidangkan.

Kalaupun memang benar-benar sudah kenyang atau sebab-sebab lain yang memang benar-benar menjadi udzur, dalam tradisi Urang Banjar biasa disarankan, boleh sekadar menyentuh atau mencicipi untuk makanan dan boleh juga sekedar menyeruput untuk minuman, asal ada bagian dari makanan/minuman yang "disentuh", syukur-syukur berkurang banyak karena dimakan. Wallahu A’lamu bis Shawab.

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 29 Mei 2020  jam  11:25 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Utama

 

 Selamat Idul Fitri 1441 H | @kaekaha

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar