Senin, 31 Juli 2023

Topofilia, Simpul-simpul Pengikat Batin dari Kampung Halaman

 
Topofilia, Simpul-simpul Pengikat Batin dari Kampung Halaman | @kaekaha

Sejak awalnya merantau untuk belajar, dilanjut bekerja dan hingga akhirnya memutuskan berumahtangga di perantauan yang secara hitung-hitungan jarak terus menjauh dan semakin jauh dengan kampung halaman, menjadikan ritual "pulang kampung" atau ada juga yang menyebutnya dengan "mudik" setahun sekali, khususnya diseputaran hari raya lebaran sebagai bagian dari romansa kehidupan yang selalu saya dan keluarga tunggu-tunggu kehadirannya. 

Baca Juga:  Menikmati Microcation di "Kampung Bidadari", Likupang

Sebagai perantau yang telah 3 dekade-an  berkelana njajah desa molang kori di sebagian bumiNya Allah SWT, seperti yang saya tuliskan dalam artikel berjudul "Ngeri-ngeri Sedap" Mudik Melalui Jalur Sungai Barito dan Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Era 90-an, sepertinya semua moda transportasi darat, laut dan udara di nusantara berikut romantika elegis-nya,  sudah semuanya saya coba.
 

Mulai dari naik dokar yang kudanya lepas, naik Byson yang lepas gardan di tengah malam perjalanan, naik bis kecelakaan hingga masuk sungai, naik bis dan kereta api yang hanya bisa menampung satu kaki saja, naik kereta berjubel sampai tidur berdiri di WC yang baunya aduhai, sampai duduk bareng kambing dan ayam hingga ketinggalan barang-barang bahkan juga istri yang lagi hamil dan tentunya termasuk ketinggalan pesawat gara-gara salah baca jam WIB dan WITA, plus nama yang gak sesuai KTP, hadeeeeh banyak deh serunya!

Kalau dipikir-pikir, tradisi pulang kampung atau mudik kita ini kok mirip-mirip dengan ritual mudik tahunannya ikan salmon menuju tempat kelahirannya ya!? Berat dan menantang bahaya!

 

Selain jarak untuk mudiknya yang menurut para ilmuwan tidak kurang mencapai 1000 km, bahkan lebih dan juga lokasi "kampung halaman" yang ternyata juga tidak mudah ditemukan, karena untuk sampai ke tempat kelahirannya ternyata  tidak cukup kalau ikan salmon hanya mengandalkan indra penciumannya saja, ikan salmon juga wajib bisa menemukan dan mengenali intensitas, kekuatan dan juga sudut medan magnet bumi lokasi tempatnya dilahirkan yang kelak menjadi tempatnya bertelur.  Nah lo...

Tidak hanya itu, disepanjang perjalanan ikan salmon dewasa ini juga harus bisa melewati jeram, berenang melawan arus yang sudah pasti perlu persiapan fisik yang prima dan yang paling krusial, mereka harus "beruntung", bisa lolos dari berbagai predator yang sudah siap memangsa disepanjang jalur sungai, seperti burung elang, berang-berang, beruang dan banyak lagi yang lainnya. Mirip kan, dengan elegi perjalanan mudik kita!?

Baca Juga:  Meluruhkan Ego di Laguna Ubur-ubur Purba Pulau Kakaban

Pertanyaanya sekarang, kalau mudiknya ikan salmon ke kampung halaman tempat dia dilahirkan lebih pada naluri atau panggilan alam untuk bereproduksi, lantas mudik kita ke kampung halaman untuk apa, karena apa?  Masak iya, hanya untuk bereproduksi juga seperti ikan salmon? He...he...he...
 
 
Topofilia Menjadikan Mudik Sangat Menyenangkan | @kaekaha

Tradisi mudik kita memang jauh lebik unik dan kompleks! Banyak diantara kita tidak hanya sekedar terang-terangan lebih memilih untuk "nekat" pulang kampung meskipun berat, berbahaya dan tidak jarang harus bertaruh nyawa, karena berbagai hal! Bahkan banyak diantara kita yang memang sengaja  menantang maut dengan menambah kapasitas beban, menambah penumpang secara tidak sah dan lain-lainnya yang bisa membahayakan diri sendiri dan pengguna jalan lainnya. Nah lho, kok bisa begitu ya?

Menurut para pakar psikologi, situasi ini terjadi karena adanya simpul-simpul keterikatan antara kita, manusia dengan suatu tempat yang dalam konteks mudik sudah pasti merujuk pada kampung halaman, rumah tempat kita lahir dan dibesarkan. Inilah yang dikenal sebagai aspek topofilia atau topophilia.

Topofilia inilah yang menjadi pemicu rasa senang, nyaman, aman dan bahkan juga semangat berlipat para pemudik untuk nekat pulang kampung, hingga mereka seolah-olah lupa dengan segala bahaya yang mengintai disepanjang perjalanan. 

Aspek topofilia ini kurang lebih juga sama dengan psikis orang yang sedang jatuh cinta, orang yang sedang merasa nyaman dengan seseorang yang dicintainya, hingga akan selalu sanggup melakukan apapun untuk bertemu dengannya, bahkan kalaupun harus melewati lembah, mendaki gunung dan menyeberangi samudera! Sanggupkah!?

Siap Bulik Kampung sambil Berpetualang | @kaekaha

Kembali ke pembahasan aspek topofilia pada fenomena pulang kampung alias mudik! Muara dari aspek topofilia dalam konteks pulang kampung ini, jelas karena adanya keterikatan dengan manusia lainnya, yaitu keterikatan dalam kekerabatan, khususnya dengan orang tua, ibu-bapak dan keluarga inti seperti kakak dan adik. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, beliau-baliau inilah magnet utama alias simpul keterikatan pertama dan utama yang menggerakkan kita untuk pulang kampung. Betul!? Mungkin teman-teman yang sudah kehilangan kedua orang tuanya paham betul dengan situasi ini.

Aspek berikutnya adalah keterikatan dengan lingkungan tempat kita lahir dan dibesarkan, sebuah tempat yang adat istiadatnya, tradisinya, budayanya, iklimnya, kontur alamnya, kebiasaan orang-orangnya, sampai sumber ekonomi, juga metode spiritualitasnya, bahkan ragam permainan dan juga kulinernya, baik secara langsung maupun tidak langsung ikut membentuk karakter dan kepribadian kita. Dalam periode tertentu, kita pasti dibuat kangen untuk kembali merasakan semua sensasinya! 

Bagi penikmat bola, tentu sudah tidak asing dengan Gareth bale dan juga  Theo Walcott. Duo alumni akademi Southampton ini,  konon juga pernah lho merasakan sensasi topofilia. 

Jika Bale merasakannya saat "pulang kampung" ke Totenham Hospurs pada tahun 2020 silam setelah 7 tahunan merantau ke Spanyol bersama Real Madrid, maka Theo Walcott, merasakan sensasinya ketika "mudik" ke The Saint, Southampton setelah 15 tahun lebih berkarier bersama Arsenal dan Everton. Bahkan, saking emosionalnya, di laman resmi klub, Walcott berucap "sejujurnya, saya sangat senang. Saya mungkin akan menangis pada pertandingan pertama nanti. Itu sangat berarti bagi saya"!

Nah, fakta pulang kampung atau mudik ternyata memang unik dan menarik untuk dibahas! Ritual tahunan ini memang wajib disikapi secara bijaksana, tidak bisa sekedar nekat tanpa perhitungan. Mudik sangat bermanfaat untuk kembali meratakan ekonomi dan silaturahmi dengan kerabat, tetangga, teman dan handai taulan. Belajar dari aspek psikologis topofilia, mudik yang benar, akan memberikan manfaat luar biasa bagi kesehatan fisik dan psikis. Jadi, ayo mudik ke kampung halaman!

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 25 April 2023  jam  23:05 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

 

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Minggu, 30 Juli 2023

Icip-icip Aneka Bubur Manis dari Banjarmasin

Aneka Bubur Manis dari Banjar | @kaekaha

Salah satu kekayaan kuliner nusantara yang cukup ikonik adalah ragam olahan bubur atau ada juga sebagian yang menyebutnya sebagai jenang, baik yang bercitarasa dasar manis maupun gurih-asin. Salah satunya yang mungkin paling populer adalah bubur merah-bubur putih yang biasa dijadikan salah satu ubarampe atau kelengkapan selamatan. 

Naaaah, kalau di daerah kamu ada bubur apa aja?

Sama seperti masyarakat Nusantara lainnya, Urang Banjar di Kalimantan Selatan juga mempunyai beberapa jenis olahan bubur tradisional warisan para tetuha bahari  (Bhs Banjar ; leluhur jaman dulu) yang sampai sekarang masih tetap ada dan terpelihara dengan baik, bahkan di tangan-tangan kreatif para naga alias nanang-galuh (Bhs Banjar ; pemuda-pemudi) milenial, bubur-bubur khas Banjar yang biasanya hanya menjadi kuliner kelas dua saja, sekarang sudah banyak yang mulai naik kelas.

Bubur-bubur manis yang dikemas dengan cantik itu, sekarang lebih mudah didapat di berbagai outlet dan marketplace, hingga sekarang mulai menjadi sajian wajib di berbagai even yang khususnya diselenggarakan oleh pemerintah daerah, baik di level regional maupun nasional. Lumayanlah sebagai media promosi sekaligus sebagai upaya untuk melestarikannya. 

Naaaaaaah, ini dia bubur manis khas Banjar yang wajib kamu coba jika berkesempatan jalan-jalan ke Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

 

Bubur Randang | @kaekaha

1. Bubur Randang

Mendengar nama Bubur Randang, sepertinya banyak diantara kita yang langsung connect dengan salah satu kuliner legendaris rumah makan Padang, Rendang! Betul?

Memang sih, meskipun secara fonetis keduanya mempunyai kemiripan, bahkan dalam komunikasi sehari-hari memang banyak juga yang menyebut bubur randang ini sebagai bubur rendang, terutama masyarakat non Banjar, tapi tetap saja keduanya merupakan jenis kuliner yang sangat berbeda. 

Baca Juga:  Semangkuk "Bakwan Malang Pikulan" Penawar Kerinduan

-Advertisement-

Sayangnya, sebagai salah satu olahan bubur legendaris khas Banua Banjar, bubur randang yang juga termasuk jajanan bahari atau jajanan jaman dulu ini belum ada sumber referensi yang valid terkait asal-usul namanya, bubur randang!

Bahan utama untuk membuat bubur ini adalah  sagu randang, yaitu olahan dari tepung sagu yang dibentuk bulat-bulat kecil mirip sekali dengan bahan bubur sagu mutiara, tapi sedikit lebih kasar dan berwarna kecoklatan. Ketika matang mulai cenderung berwarna bening kecoklatan.

Untuk penyajiannya, bubur randang yang bercitarasa manis gula merah atau gua aren ini akan lebih nikmat jika dicampur dengan gurihnya santan dan didinginkan sebentar di lemari pendingin atau dengan ditambahkan sedikit es batu.

 

Bubur Gunting | @kaekaha

2. Bubur Gunting

Bubur manis khas Banjar berikutnya adalah bubur gunting. Meskipun namanya bubur gunting tapi bukan berarti bubur ini dibuat dari gunting lho ya! Bubur manis legend ini juga berbahan dasar dari sagu.

Karena untuk membuat isian utama  bubur ini dengan cara digunting, maka bubur ini disebut bubur gunting atau ada juga yang menyebutnya sebagai bubur sagu gunting, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai kolak sagu gunting, karena kuah dari bubur ini memang relatif mirip dengan kuah kolak yang manis gurih dan tentunya enak banget!

3. Bubur Hintalu Karuang

Bubur yang satu ini namanya memang  paling unik dibanding dengan yang lainnya. Hintalu Karuang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah telur (burung) Karuang.

Nama ini merujuk pada isian utama bubur berbahan beras ketan yang dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng yang konon sangat mirip dengan telur burung karuang atau dalam dunia burung nasional lebih dikenal sebagai burung trucukan, sejenis burung cucak-cucakan yang banyak hidup di hutan-hutan Kalimantan.

Di Jawa, ada juga bubur sejenis ini tapi bulatan isinya sedikit lebih besar dan biasa di sebut sebagai jenang grendul atau ada juga yang menyebut sebagai bubur candil. Hanya saja, kuah manis gurih campuran dari santan dan gula merah pada bubur Hintalu Karuang langsung dicampur dengan isiannya sedang pada bubur Candil biasanya disiramkan ketika mau dihidangkan atau disantap.

Bubur Baayak | @kaekaha

4. Bubur Baayak

-Advertisement-
Nama bubur baayak ini diambil dari cara mengolah bahan utamanya, yaitu semacam cendol yang terbuat dari adonan tepung beras yang diayak atau disaring dengan saringan layaknya parutan kelapa dengan lobang yang lebih besar, persis seperti cara membuat cendol.

Bubur yang memang mirip cendol dari bahan beras ini disajikan dengan kuah santan yang dicampur dengan gula merah, jad rasanya juga agak mirip-mirip dengan dawet cendol. Manis gurihnya enak banget, mau!

 

Bubur Lakatan Hirang | @kaekaha

5. Bubur Lakatan Hirang

Bubur lakatan hirang atau bubur ketan hitam ini sepertinya kuliner adaptasi dari para perantau asal Pulau Jawa yang bermigrasi ke Pulau Kalimantan sejak jaman kerajaan Majapahit berjaya.

Kurang lebih sama  dengan bubur ketan hitam dari Pulau Jawa, bubur Lakatan ini dalam penyajiannya juga dengan menambahkan santan bercitarasa gurih kedalam adonan lakatan hirang yang telah dibumbui dengan sedikit gula. Sehingga perpaduan citarasa keduanya selalu ngangeni siapa saja yang pernah mencobanya.

Selain bisa di santap langsung, bubur Lakatan hirang ini juga biasa dicampurkan dengan jenis bubur lain, misal dengan bubur kacang hijau atau dengan bubur kokoleh.

 

Bubur Kokoleh | @kaekaha

6. Bubur Kokoleh

Bubur Kokoleh ini merupakan bubur hasil akulturasi antara bubur sumsum dari Pulau Jawa dengan kokoleh, kudapan berkuah kinca gula merah khas dari Banjar.

Bedanya, kalau bubur sumsum teksturya sangat lembut dan biasanya berwarna putih, hingga sangat kontras dengan kuah kinca gula merah yang berwarna kecoklatan, maka wadai kokoleh, teksturnya sedikit lebih kenyal dan berwarna kehijau-hijauan.

Naaah kira-kira, kamu suka bubur yang mana, manis?

 

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 26 April 2023  jam  22:57 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

 


Sabtu, 15 Juli 2023

Ini Serunya 18 Jam "Mampir" di Bali

Tari Bali di puncak acara peringatan Hari Habitat Sedunia 2015 | @kaekaha

Kabar Bahagia!

Selepas Isya' di suatu hari di penghujung 2015, saya dikejutkan bunyi dering panggilan handphone dari nomor asing yang tidak saya kenal. 

Alhamdulillah, ternyata kabar baik dari official lomba menulis KemenPUPR-Kompasiana yang mengabarkan kemenangan sekaligus mengkonfirmasi kesiapan saya terbang ke Denpasar-Bali untuk menerima hadiahnya sekaligus menghadiri puncak acara peringatan Hari Habitat Sedunia yang saat itu mengambil tema sentral "ruang publik untuk semua" yang juga menjadi tema utama lomba menulisnya. 

Uniknya, saat itu official belum membocorkan komposisi urutan pemenang lomba ini, jadi pengumuman urutannya sekaligus waktu penyerahan hadiah di puncak acara. Hmmmm...Ada saja cara panitia bikin penasaran!?

Dua hari sebelum keberangkatan, e-tiket Banjarmasin-Denpasar untuk pergi-pulang sudah ada ditangan. Hanya saja, setelah memperhatikan jam terbangnya, saya baru ngeh kalau perjalanan ke Bali kali ini perlu effort lebih, sangat berbeda dengan yang dulu-dulu! 

Gerbang "Ruang Publik Untuk Semua" | @kaekaha

Apa itu!? 

Tepat Jumat siang tanggal 9 Oktober 2015 jam 12.15 WITA, akhirnya saya terbang ke Bali, melalui Bandar Udara Syamsoedin Noor, Banjarmasin dengan kelas bisnis, Garuda Indonesia. Asyik kan!? Tapi (sayangnya) penerbangan ini bukan direct flight ke Denpasar lho, melainkan harus transit dulu di Bandar udara Adi Sucipto, Yogyakarta. Nah ini dia yang ngeri-ngeri sedap! Soalnya saya harus nungguin pesawat Garuda yang mengangkut saya ke Denpasar lebih dari 4 jam! 

Bersyukurnya, saya nggak jadi mati gaya gara-gara transit 4 jam di Jogja. Alhamdulillah, di kota yang sarat kenangan ini, saya kembali berhasil mengaktifkan lagi fitur GPS alias "Gunakan Penduduk Setempat" untuk mengeksplornya.  Dari koordinasi sebelum saya terbang, saya berhasil mengumpulkan beberapa teman lama  yang menetap di Jogja untuk bernostalgia, berkeliling Jogja sambil kulineran menu-menu legendaris di beberapa tempat yang juga legendaris, terutama menu-menu berkuah kaldu kesukaan saya! 

Baca Juga :  [Oleh-oleh dari Bali #1 ] Melihat Pameran Karya Bloger "Terpilih" Kompasiana-HHD 2015

Dan memang terbukti, silaturahmi yang tulus ke banyak teman itu menjadikan rejeki yang tak terputus! Gak percaya!? Lha wong saya sudah membuktikan kok. Saya yang awalnya kepingin nraktir sahabat-sahabat lama yang hampir dua dekade nggak bertemu dengan makan sate-gule kambing kesukaan saya sampai puas, eeeeh ujung-ujungnya lha kok malah saya yang ditraktir. Terima kasih dulur-dulur di Jogja!

Setelah puas menikmati otentiknya Jogja yang masih saja seperti dulu, relatif masih identik dengan yang dinarasikan Kla Project beberapa dekade silam dalam lirik lagu Jogjakarta, tepat pukul 16.15 WIB akhirnya saya terbang juga ke Denpasar. 

Gerbang Wisma Werdhapura | @kaekaha

Bali, Kami Datang!

Setelah mengudara kira-kira selama satu jam setengah, akhirnya pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara I Gusti Ngurah Rai saat matahari baru saja kembali ke peraduannya, 

Ini pertama kali saya ke Bali dengan pesawat terbang, saat masih kuliah di Kota Tembakau, salah satu kota di ujung timur Jawa Timur era 90-an, saya pernah Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Denpasar dan setelahnya pernah juga "motoran mbambung" alias berkelana keliling Bali beberapa hari sama teman-teman dengan modal seadanya.

Sudah saya duga, banyak sekali notif call dan juga pesan via WA maupun SMS yang masuk ke handphone saya yang baru saja aktif sesaat setelah shalat Maghrib di praying room alias mushalla yang tidak jauh dari pintu keluar penumpang. Semua menanyakan hal yang sama, "sudah sampai mana mas?"

Oya! Diluar ekspektasi, saya sangat terkesan dengan tempat shalat yang saya pakai untuk maghriban, tidak hanya lokasinya yang strategis dan relatif cukup luas, tapi sepertinya perawatan dan pemeliharaan yang maksimal menjadikan mushalla ini sangat representatif untuk shalat, bersih dan harumnya bikin shalat semakin kusyuk.

Wisma Werdhapura | @kaekaha

Uniknya, di pintu keluar bandara yang suasananya saat itu agak remang-remang, saya sama sekali tidak melihat adanya taksi bandara, layaknya di bandara-bandara lainnya. Hanya ada beberapa "taksi tanpa nama" yang kompak menawarkan jasanya kepada saya. Jujur, awalnya saya sangat insecure mendapati situasi ini. Beruntungnya, disaat genting itu panitia menghubungi saya lagi dan meyakinkan saya agar segera meluncur ke Wisma Werdhapura di jalan Danau Tamblingan, Sanur tempat acara dengan  "taksi tanpa nama" tersebut dan diminta jangan lupa meminta kwitansi untuk di reimburst nantinya, karena beberapa saat lagi acara dimulai dan acara saya termasuk dalam segmen acara awal.

Setelah tawar menawar harga deal, kita langsung tancap gas. Agar lebih cepat,  kita harus naik tol yang diatas laut, ini mah keren banget! Karena kalau jalan reguler biasa macet dan saya pasti tidak akan bisa menghadiri acara sesuai jadwal. Uniknya, ditengah-tengah jalan reminder shalat Isya' dari handphone saya, berupa kumandang Azan berbunyi dengan lantangnya, tiba-tiba Bli supir menawarkan untuk mengantar saya ke masjid dulu untuk shalat Isya' di masjid.  Luar biasa Bli supir ini! Sayang saya lupa namanya Bli supir ini.

Pameran Karya Tulis Pemenang | @kaekaha

Ketika sampai di area Wisma Werdhapura, saya sudah ditunggu panitia di pintu gerbang yang jaraknya hampir sekilo dari pangung utama dan dari titik ini juga, taksi dan kendaraan apapun memang tidak boleh masuk lagi.  Setelah diajak ke ruangan, "Maaf bapak, karena acara untuk bapak sebentar lagi, sebaiknya bapak tak usah mandi ya pak dan langsung pakai baju batiknya saja!"  Waduh...he...he...he...

Bener juga, setelah diantar ke area panggung utama yang sudah dipenuhi tamu undangan sampai level menteri, belum sempat saya duduk di kursi tempat para pemenang dari beberapa lomba yang diadakan pada even ini berkumpul, saya sudah dipanggil naik ke panggung untuk menerima hadiah lomba, menyusul Kang Ali Muakhir yang telah dipanggil naik kepanggung lebih dulu. Alhamdulillah!



Sekali Lagi Gunakan GPS!

Setelah acara selesai, sekitar jam 10-an WITA, sepertinya banyak tamu undangan yang langsung masuk ke kamar masing-masing untuk istirahat, tapi tidak dengan saya! Singkatnya "menit bermain" saya di Bali kali ini, mengharuskan saya memutar otak agar bisa memaksimalkan waktu di Bali untuk menambah wawasan baru dan terbaru, pilihan terbaik akhirnya kembali  mengaktifkan GPS  alias  Gunakan Penduduk Setempat he...he...he...!

Kebetulan, ada Ustad Imam Tumaji, sahabat saya yang dulu pernah PKL bareng di Hotel Natour  (sekarang Hotel Indonesia) Bali tahun 1997, sekarang sudah menjadi orang Bali dan siap menjadi guide saya menghabiskan "menit bermain" di Bali yang tinggal beberapa jam saja. Sekitar jam 23.00 WITA sampai lepas tengah malam, beliau mengajak saya berkeliling Kota Denpasar, khususnya titik-titik landmark kebanggan Kota berjuluk Parijs Van Bally ini, termasuk hotel tempat kita PKL, rumah beliau sekarang dan tempat makan tengah malam yang sayangnya saya lupa namanya. Kerennya, beliau juga menjelaskan banyak hal terkait berbagai landmark yang juga menjadi spot-spot pariwisata Kota Denpasar.

Sunrise di Pantai Sanur | @kaekaha

Paginya, sebelum saya, Kang Ali Muakhir dan Martino (pemenang lomba blog) berangkat sarapan di resto tepian pantai Sanur, sahabat saya Ustad Imam Tumaji sudah hadir di kamar saya dengan membawa "pesanan spesial" saya, setumpuk koran lokal Bali, fresh terbitan hari itu yang bakal masuk lemari koleksi saya.  Akhirnya, kami berempat sama-sama berangkat untuk sarapan aneka kuliner Bali di resto sambil menyusun roadmap detik-detik terakhir perjalanan di Bali ditemani sunrise mentari yang luar biasa indah! Bisakan ngebayangin indahnya?

Setelah beberapa saat sempat menikmati fragmentasi pagi di Pantai Sanur yang sarat pesona, kami akhirnya beraudiensi dengan pihak KemenPUPR, sekaligus menyelesaikan berbagai administrasi dengan official untuk berbagai keperluan, termasuk hadiah, uang saku dan pernak-pernik lainnya sampai sekitar jam 10.00 WITA. Pesawat saya ke Banjarmasin transit Surabaya terbang jam 12.50 WITA, artinya masih ada space waktu hampir 2 jam untuk kembali mengeksplor Kota Denpasar, khususnya untuk mencari buah tangan buat keluarga di rumah, karena sejam sebelum take off saya harus sudah boarding.

Inilah fungsi "GPS" yang paling nyata! Tidak hanya bisa memaksimalkan waktu yang sangat terbatas untuk menemukan titik-titik untuk mendapatkan buah tangan terbaik bagi keluarga, seperti di pusat oleh-oleh Erlangga 2 dan Krisna di Jl. Nusa Kambangan, juga di JOGER, tapi juga memahami etika saat harus bertemu dengan berbagai kearifan lokal yang memang harus dihormati, seperti saat kami melewati salah satu ruas jalan (kalau tidak salah namanya jalan Tukad Bilah) yang saat itu banyak dijaga oleh pecalang, sementara sebagian lainnya mengatur lalu lintas, karena ada iring-iringan warga sepanjang 500-an meter yang menurut Ustad Imam Tumaji sedang mempersiapkan upacara ngaben, saat itu beliau memelankan laju kendaraanya yang tadinya ngebut.

Sayangnya, hari itu pas weekend, jalanan dan pusat oleh-oleh penuh pengunjung dan waktu hampir 2 jam yang kami miliki sepertinya nggak cukup. Benar juga, jam 12 lebih sedikit WITA kami baru bisa meluncur ke Bandara dan 15 menit berikutnya baru sampai di parkiran bandara, Ah bisa terlambat kita! 

Menikmati Sunrise di Pantai Sanur | @kaekaha

Nyali saya semakin menciut ketika mengetahui lokasi booarding masih sekitar sekiloan lagi dari lokasi parkir dan harus jalan kaki. Alamaaaaaak!  Akhirnya Ustad Imam Tumaji langsung mengangkat barang oleh-oleh yang baru saja kita beli dan berteriak "lari......!" Saya yang terkaget-kaget spontan mengikuti larinya bapak 4 anak yang terlihat masih gesit itu sampai di pintu masuk yang melarang selain penumpang untuk masuk. Disini juga, akhirnya saya kembali berpisah dengan Ustad Imam Tumaji, sahabat yang hampir dua dekade atau selepas lulus kuliah tidak pernah bersua.

Setelah menemukan konter  boarding, betapa terkejutnya saya! Ya Allah, Alhamdulillah! Ternyata, pesawat yang akan membawa saya pulang ke Banjarmasin, transit Surabaya telat datang alias delay satu jam. 


Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas! 


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 26 mei 2023  jam  11:04 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Utama.



Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Jumat, 14 Juli 2023

"Haji Kolombo" dan Sejarah Kelam Transportasi Haji Indonesia

Tawaf di Masjidil Haram | @kaekaha

Kesaksian Hajjah Sukaesih 

Setiap datang  musim haji di seputaran bulan Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah yang di Indonesia "kesibukannya" biasa sudah dimulai setidaknya sebulan sebelumnya dan ditandai dengan keberangkatan para calon jamaah haji ke Tanah suci melalui titik-titik  embarkasinya masing-masing, saat itulah memori Hajjah Sukaesih yang oleh tetangga dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya di jalan Mahligai, Kertakhanyar, Kab. Banjar lebih dikenal sebagai "Haji Kolombo" daripada nama aslinya, seperti otomatis memutar kembali detik-detik peristiwa kelam yang terjadi menjelang tengah malam, Rabu  15 Nopember 1978 atau hampir 45 tahun silam. 

Sebuah kengerian luar biasa di depan mata yang membuktikan betapa berkuasanya Allah SWT atas hidup dan mati kita, hamba-hambaNya.

Sebuah kenangan pahit tak terlupakan, ketika pesawat haji DC-8 milik maskapai Icelandic Airlines yang rencananya akan mengantarkannya pulang ke Indonesia, setelah menunaikan ibadah haji di Tanah suci bersama sang suami dan juga rombongan haji lainnya dari Kalimantan Selatan, ternyata  mengalami insiden kecelakaan. 

Potongan Bagian Tengah Badan Pesawat Icelandic Airlines | Daily ft / ft.lk

Pesawat nahas yang disewa Garuda Indonesia untuk transportasi pemulangan jamaah haji yang seharusnya landing dan mengisi bahan bakar, sekaligus mengganti semua kru-nya di Bandara internasional Bandaranaike di Katunayake, pinggiran Kolombo, Sri Lanka sebelum lanjut menuju ke Indonesia ini, jatuh dan "menyapu" batang-batang pohon kelapa dan berakhir di perkebunan karet milik masyarakat di pinggiran Kolombo, Sri Lanka, hanya beberapa menit sebelum mendarat yang menyebabkan badan pesawat patah menjadi 3 bagian, kepala, badan dan ekor, sebelum akhirnya meledak.

Menurut Hajjah Sukaesih, posisi duduk beliau dan suami saat kecelakaan terjadi ada di patahan pesawat bagian ekor dan begitu menyadari apa yang terjadi dan mendapati ada kesempatan untuk keluar dari bagian ekor pesawat, beliau bersama suami langsung berlari keluar dan menjauh dari bangkai pesawat. 

Baca Juga :  Mohon... Jangan Naik Haji Lagi! 

Menurut Hajjah Sukaesih yang saat kejadian berumur 25 tahun, dalam suasana yang gelap gulita, situasi saat itu sangat kacau. Teriakan takbir  dan tangisan histeris penumpang yang selamat terdengar begitu menyayat hati, tapi apa daya beliau juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong. 

Hajjah Sukaesih | @kaekaha

 

Ditengah-tengah "pertempuran" dalam hati kecil beliau, tiba-tiba terjadi 2 kali ledakan cukup besar dan setelahnya, dunia menjadi sunyi dan senyap. Suara takbir dan teriakan-teriakan histeris yang sebelumnya membahana dan menyayat hati siapa saja yang mendengarkan, tiba-tiba lenyap tidak lagi terdengar.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un

Kelak, sejarah mencatat kecelakaan pesawat haji Indonesia kali ke-2 di Srilanka ini menewaskan, 170 jamaah haji, 8 awak kabin dan 5 awak kabin cadangan, menyisakan 32 penumpang luka berat dan 47 lainnya selamat, salah satunya Hajjah Sukaesih dan suami.

Makam para Syuhada Haji di Banjarbaru dengan Latar Monumen Nama-nama Korban Meninggal | @kaekaha

Haji Kolombo 

Sebenarnya, bukan saja Hajjah Sukaesih saja yang selalu terkenang peristiwa mengharukan tersebut, setiap tiba bulan haji di setiap tahunnya, tapi juga korban selamat lain yang sampai sekarang masih hidup, berikut keluarganya. Begitu juga dengan keluarga korban meninggal yang tentunya tidak akan begitu saja melupakan orang-orang tercinta yang meninggal dalam peristiwa kecelakaan di Kolombo, Srilanka tersebut meskipun telah berlalu lebih sari 4 dekade silam.

Baca Juga :  "Umur Kada Babau", Konsep Waktu ala Urang Banjar Inspirasi Berhaji Selagi Muda!

Khusus bagi masyarakat Kalimantan Selatan, bahkan "tragedi" ini sudah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah ber-hajinya Urang Banjar. Tidak hanya sekedar mengenang dan mendoakan semua korban di setiap bulan haji tiba, tentu juga mengambil semua ibrah dan hikmah yang hadir sebagai "pelajaran mahal" bagi kita semua, terutama para calon jamaah haji yang setiap tahunnya beruntung mendapat undangan langsung dari Allah SWT untuk berhaji.

Haji Kolombo memang bukanlah nama orang, tapi semacam sebutan atau "gelar" yang disematkan Urang Banjar kepada para jamaah haji asal Kalimantan Selatan yang selamat dari tragedi jatuhnya pesawat haji Indonesia di Sri Lanka tahun 1978.

Area Pemakaman Syuhada Haji dengan Latar Monumen "Ekor Pesawat" Bertuliskan Nama-nama Korban | @kaekaha

Sedangkan para jamaah meninggal yang semua jenazahnya juga di pulangkan ke Kalimantan Selatan, mereka digelari sebagai para syuhada dan semuanya dimakamkan di pemakaman para syuhada haji yang lokasinya di samping taman makam pahlawan, Landasan Ulin, Kota Banjarbaru. Dari total jamaah haji asal Kalimantan Selatan yang menjadi korban, hanya37 korban yang teridentifikasi. sisanya  yang tak lagi dikenali dimakamkan di 4 lubang ukuran 6 x 2,5 meter.

Lokasi pemakaman para syuhada ini lokasinya cukup strategis, sehingga sangat mudah ditemukan dan  dijangkau dari arah manapun. Lokasinya berada persis di depan akses " keluar masuk"  terminal lama Bandara Syamsoedin Noor Banjarbaru, Kalimantan Selatan ke arah Kota Banjarmasin, karena posisinya di sebelah kiri jalan.

Di komplek pemakaman ini juga dibangun monumen berbentuk ekor pesawat, bertuliskan nama-nama korban, rancangan Haji Moenirul Wathani, yang saat itu menjabat sebagai kepala bagian Cipta Karya, Kanwil PU Kalimantan Selatan yang istri dan beberapa kerabatnya juga menjadi korban kecelakaan di Kolombo, kecuali putrinya Hajjah Murti yang selamat.

Semoga, 2 kali tragedi pesawat haji Indonesia era 70-an di Srilanka tidak akan pernah terulang lagi, selamanya. Amin.

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 12 Juli 2023  jam  23:07 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Sabtu, 08 Juli 2023

"Grafiti" di Boarding Pass yang Bikin Geli!

Grafiti di Boarding Pass | @kaekaha

Masih ingat dengan boarding pass penumpang pesawat Rayani Air, Malaysia yang sempat viral pada Maret 2016 silam karena hanya ditulis dengan tangan secara manual oleh petugasnya!?

 Sssssssssssst! Sebelum kejadian itu, sekira dua bulan sebelumnya saya juga mengalami hal yang kurang lebih sama lho!  Saya mendapati “grafiti” di lembaran boarding pass saya, saat mau terbang dari Bandara Kalimarau, Tanjung Redep, Berau menuju ke Bandara Syamsoedin Noor, Banjarmasin via Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan. Bedanya, tulisan tangan di boarding pass saya jauh lebih artistik, jadi lumayan enak dilihatlah layaknya “grafiti” he...he...he...! Begini kronikanya!


ATR 72-600 di Bandara Kalimarau  | @kaekaha

Behind the scene

Saya dan rombongan Kompasiana Blogtrip – Datsun Risers Expedition Etape III Kalimantan, baru saja check-in lagi di Hotel Cantika Swara, Kota Tanjung Redep, Kabupaten Berau setelah meninggalkannya sekitar dua hari untuk stay dan berhibur di Pulau Derawan, ketika ofisial Blogtrip kerjasama antara Kompasiana dan pabrikan otomotif Datsun ini mengabari kalau penerbangan pulang saya besok dari Berau (BEJ) ke Banjarmasin (BDJ) via Balikpapan (BPN) diundur 1 hari karena "keamanan penerbangan"!? Karenanya saya harus nambah stay sehari semalam lagi di Tanjung Redep. Waduuuuh!

Jujur, mendapatkan kabar mendadak dan lumayan “ngeri-ngeri sedap” itu, saya sempat panik juga lho! Soalnya semua kru, ofisial dan peserta lain, termasuk Kang Rahab, si-Bos Madyang (kepala Suku Kompasianer Penggila Kuliner) dan juga Pak Khun (Kompasianer Senior K-JOG) soulmate saya di sepanjang ekspedisi, fix dapat tiket pulang.


Trio "NANGKA" di Bandara Kalimarau | @kaekaha

Lhah kalo saya sendirian “tertinggal” di  Tanjung Redep yang saat itu, awal tahun 2016 relatif masih sangat sepi dan tidak banyak hiburan kan ya nggak seru! Sekedar informasi, rombongan kami saat itu (total > 20-an orang), sepertinya juga satu-satunya tamu di hotel Cantika Swara, hotel terbesar dan terbaik di Tanjung Redeb saat itu, itupun suasananya terasa hening dan sepi banget. Lumayan scary juga, apalagi kamar kami saat itu menghadap ke hutan! Hiks!

Baca Juga :  Inspirasi Cantik dari Bandara Kalimarau dan SAMS Sepinggan

Beruntung, malam harinya pas makan malam sama-sama terakhir, berita baik datang menghampiri. Mas Nanang Dianto, risers dari Ponorogo (dedengkotnya KAMPRET alias Kompasianer Penghobi Motret, sekarang komunitas ini sudah nggak kedengaran lagi kabar beritanya!? ) dan “Ustadz” Arief Khunaifi, risers dari Surabaya, ternyata keduanya ditakdirkan menemani saya nambah stay sehari-semalam di Tanjung Redep, setelah penerbangan keduanya ke Surabaya via Balikpapan juga ditunda sehari. Alhamdulillah! He...he...he...ada teman.


Bandara Kalimarau | @kaekaha

Bersyukurnya lagi, ternyata masih ada juga sebagian kru yang nambah stay sehari semalam juga, bukan untuk menemani kami sih, tapi karena istirahat sehari lagi guna memulihkan stamina. Mereka inilah yang bertugas “memulangkan” ke Balikpapan unit-unit mobil yang sebelumnya kami pakai untuk ekspedisi dari Balikpapan menuju Berau. Sekali lagi Alhamdulillah!

Ini mungkin yang namanya rejeki anak Sholeh he...he...he...! Di malam terakhir, selain bisa keliling Tanjung Redep, termasuk mengunjungi Masjid Agung Baitul Hikmah yang sarat sejarah dan begitu indah arsitekturnya, kami juga sempat  kulineran sekaligus melakukan reportase tipis-tipis di beberapa tempat untuk bahan “tugas” tulisan yang juga diperlombakan di akhir ekspedisi. Ini yang tidak sempat dinikmati oleh peserta lain yang keburu pulang. Sekali lagi Alhamdulillah! 


Taman "Kebun" di Seputaran Bandara Kalimarau | @kaekaha

Cantiknya Bandara Kalimarau

Sebenarnya saya sudah lama mendengar nama Bandara Kalimarau di Tanjung Redep ini. Tapi soal penampakannya yang begitu cantik, ini yang diluar ekspektasi saya!

Pesona bandara kecil berlatar hutan dan perbukitan ini sudah dimulai sejak dari pintu gerbang sederhana yang dijaga beberapa personil. Memasuki area halaman depan bandara yang lumayan luas, disinilah kami disuguhi sentuhan seni lay out taman ala kebun yang  menghadirkan landscape hijau segar yang  cantik dan berkelas, menunjukkan house keeping manajemen bandara yang berjalan dengan baik!


Kabut Pagi di Seputaran Bandara Kalimarau | @kaekaha

Halaman depan bandara tampak sangat rapi dan teratur dengan tanaman rumput tebal dan tanaman peneduh yang mulai bertumbuh lebat dedaunannya, cukup menyenangkan dan menenangkan. Pagi itu saya merasa lebih segar dan sangat lega bisa bernapas dalam-dalam. Pastinya, mata, hati dan pikiran juga menjadi ikut adem-ayem, karenanya. Keren kan!?

Pesona bandara Internasional yang serasa di tengah hutan ini terus berlanjut ketika kami mulai memasuki beranda sampai ke bagian dalam tempat check-in. Semua bagian dari bandara ini  memang tampak bersih, rapi dan kinclong, bahkan sampai kedalam bagian dalam toiletnya lho! Mudah-mudahan semuanya terus dijaga, karena Bandara Kalimarau merupakan pintu gerbang, etalase utama menuju destinasi wisata andalan Kalimantan Timur dan juga Indonesia, Kepulauan Derawan.


View Beranda Bandara Kalimarau | @kaekaha

"Grafiti" yang Bikin Geli!

Setelah menjelajahi hampir seluruh bagian bandara, motret sana-sini dari ujung-ke ujung yang berujung interogasi sama personil militer he...he...he..., karena sepertinya bandara ini juga menjadi (semacam) pangkalan militer, akhirnya tiba juga waktu kami bertiga untuk check-in di counter maskapai yang akan menerbangkan kami ke Balikpapan dan kami dilayani oleh petugas wanita yang terlihat cantik dan menawan dengan setelan seragamnya yang didominasi warna merah.

Pada awalnya, tidak ada yang aneh dari layanan yang diberikan, kita juga bisa berkomunikasi dengan baik. Tapi keheningan pagi itu tiba-tiba pecah ketika si-mbak cantik memberi kami lembaran boarding pass penerbangan BEJ-BPN yang tidak lazim, bukan lembaran hasil cetak komputer seperti pada umumnya, tapi secarik kertas dengan logo maskapai dengan tulisan tangan layaknya seni grafiti.

Kami bertiga bener-bener dibuat  geli lho, hingga akhirnya senyum-senyum sendiri melihat boarding pass unik dan langka ini. 

Kalau tidak salah, menurut si-mbaknya saat itu, sistem sedang error, jadi boarding pass kami terpaksa harus ditulis tangan. Beruntung, tulisan tangan si-mbak secantik orangnya, jadi informasi dalam boarding pass masih bisa dibaca! Jujur, saya tidak mengerti implikasi dari “grafiti di boarding pass” kami saat itu, bagi saya pribadi saat itu, yang pertama terbersit dalam pikiran hanya sebatas momen unik yang tidak biasa, karena memang belum pernah terjadi pada penerbangan-penerbangan saya sebelumnya, Makanya serasa kegelian saja!


Counter check-in Bandara Kalimarau | @kaekaha

Memang awalnya kurang sreg juga sih, meskipun di beberapa bandara perintis kejadian ini mungkin sudah biasa dan biasa dimaklumi. Mungkin bagi yang lebih mengetahui relugasinya bisa memberi pencerahan!?

Sayangnya saat itu kami juga tidak mengetahui, fenomena unik ini terjadi pada semua penumpang atau hanya pada kami bertiga saja, karena waktu check-in saat itu belum tampak penumpang lain. Tapi ya sudahlah, karena saat itu kami merasa tidak dirugikan dengan kejadian ini, biarlah ini menjadi bagian dari kisah perjalanan ekspedisi kami di Berau.

Setelah selesai semua urusan, kami langsung bergegas ke ruang tunggu di lantai dua bangunan bandara. Sekali lagi, kami dibikin terpukau dalam rute perjalanan singkat kami dari counter check-in sampai ke ruang tunggu. Tidak hanya sangat bersih, rapi dan teratur, lay out-nya yang compact semakin menambah kekaguman saya kepada bandara mungil tapi berlabel internasional ini. Apalagi kalau sudah memandang ke arah landasan pacu yang didominasi warna hijau rerumputan segar dengan latar hutan dan perbukitan yang juga tak kalah segar hijaunya. Segaaaaaar rasanya!


ATR 72-500  | @kaekaha

Pengalaman Baru Bersama ATR 72-600

Kejutan datang ketika kita mulai diminta memasuki pesawat, ternyata kita akan naik pesawat jenis ATR 72-600 si-spesialis penerbangan pendek yang kapasitas penumpangnya juga tidak banyak. Ini merupakan pengalaman pertama saya terbang dengan pesawat yang hanya menyediakan satu pintu di bagian ekor  untuk naik-turun penumpang ini.

Konfigurasi lay out tempat duduk pesawat ini terlihat simetris kiri-kanan seperti pada pesawat pada umumnya. Kira kira ada sekitar 18 sampai 19 baris seat yang masing-masing berisi 4 seat yang terbagi rata, 2 di kiri dan 2 di kanan. Ini yang membedakan dengan pesawat Boeing dan Airbus yang secara reguler memang lebih banyak dipakai oleh maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia.

Sayangnya foto-foto di dalam kabin pesawat dengan register PK-WGH yang relatif masih baru, diproduksi di  Toulose, Prancis tabun 2012 silam ini terbang entah kemana!?


"Hiburan" di Depan Mata | @kaekaha

Alhamdulillah, selama penerbangan berdurasi sekitar 80 menit tersebut, tidak ada hal luar biasa ataupun spesial yang terjadi dan menjadi pembeda dengan penerbangan-penerbangan saya sebelumnya, termasuk tidak adanya inflight meals. Begitu juga inflight entertainment system di sepanjang perjalanan. Maklum, kita kan dalam penerbangan low cost carrier dalam rute pendek pula!  

Tapi jangan salah, dalam penerbangan ini saya justeru mendapatkan “hiburan spesial” dari penumpang di sebelah kanan saya yang awalnya saya mintai tolong untuk memotretkan sayap pesawat di sebelahnya. 

Baca Juga :  Perjalanan Banjarmasin-Manado, Serunya Menapaktilasi Bentang "Lebar Nusantara"

Saya tertarik minta dipotretkan, karena posisi  tempat duduk atau kabin pesawat  ATR 72-600 ini, ternyata secara keseluruhan lebih rendah dari sayap pesawat, jadi posisi duduk saya saat itu serasa berada di "ketiak" sayap pesawat, hingga saya bisa merasakan  asyiknya sensasi terbang layaknya berada di bagian perut burung raksasa dan ini  sangat berbeda jika menumpang pesawat jenis Boeing atau Airbus yang posisi sayapnya secara umum lebih rendah dari  kabin. Hingga menaikinnya serasa berada di punggung burung rasasa! He...he...he...

Ketiak ATR 72-600 | @kaekaha

Kerennya, si-mas yang saya lupa namanya ini, punya kerabat yang menjadi salah satu saksi hidup tragedi jatuhnya pesawat DC-8, TF-FLA milik Icelandic Airlines, penerbangan jamaah haji Indonesia asal Kalimantan Selatan,  di Colombo, Srilanka tahun 1978 yang menyisakan hanya 78 penumpang selamat dari total 288 penumpang termasuk 13 kru. Kira-kira ngeri nggak sih, pas naik pesawat trus ngomongin tragedi pesawat jatuh?


Terima kasih, Mudahan Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 18 Juni 2023  jam  08:38 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

Kompasianer Air | Dok. KOMAIR

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN