Senin, 27 Februari 2023

Cerita Ibu Tentang Kisah Bapak dengan Pakaian "Mahalnya"

Pakaian-pakaian Mahal | @kaekaha

"Jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan?"

Quote kalimat bijak diatas tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita, betul? Tapi, sepertinya banyak diantara kita yang tidak menyadari jika kalimat diatas, terlahir ke dunia dengan sukses justeru karena merespon tingkah kita yang cenderung selalu mati gaya, hingga hilang rasa (bijaksana) ketika harus berhadapan dengan orang lain yang menurut persepsi kita sendiri punya sesuatu yang (serba) "lebih" dari yang kita punya!?

Hayooooo...! Iya apa iya?

Its OK! Jangankan kita, faktanya  seorang Jack Ma saja, milyuner pendiri "raksasa" e-commerce asal negeri Tirai Bambu, Alibaba Grup juga pernah mengakui situasi sulit tersebut dan mengabadikannya melalui sebaris kalimat  (motivasi) asyik nan unik yang sepertinya akan terus aktual sampai kapanpun meski sedikit nyelekit ya he...he...he...


Baca Juga :  Dahsyatnya Pesugihan "Gulo Abang" Mbah Marni
 

"Kalau kamu tidak punya uang, kata-kata motivasimu akan terdengar seperti kentut. Tapi, kalau kamu memiliki banyak uang, kentutmupun bisa memotivasi orang".

Kenapa Jack Ma?

Kita semua juga tahu, bagaimana latar belakang faktual kehidupan  bos Alibaba Grup yang terlahir dari keluarga miskin nan papa ini. Kisah suksesnya membangun semua bisnisnya benar-benar dari bawah- dari nol, sarat dengan kisi-kisi sukses yang menginspirasi masyarakat dunia, .

Itu artinya,  quote kalimat "nyelekit-nya" di atas bukan sekedar gimmick semata, bukan sekedar saduran olah kata  dari para pujangga peracik kata, tapi memang original! Hasil kristalisasi dari sebuah proses perjalanan panjangnya mengarungi  kehidupan. Bagaimana menurutmu?


Kisah Kami!

Keluarga besar kami, khususnya dari jalur bapak, lebih banyak tinggal di komplek-komplek perumahan pabrik gula peninggalan Belanda yang sebagian besar dibangun  pada abad ke-19 di berbagai daerah di Indonesia, terutama di seputaran kawasan ex-karesidenan Madiun, Jawa Timur yang kelak dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan.

Sudah menjadi rahasia umum, pada masa kejayaannya di era 1980-an sampai pertengahan 1990-an, ada semacam stereotip atau anggapan unik terhadap penghuni komplek yang berkembang di masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar komplek perumahan pabrik gula yang dulunya juga menjadi tempat tinggal para ekspatriat yang konon sebagian besar juga dari Belanda tersebut.

Entah bagaimana dan dari mana asal muasalnya, masyarakat memberi label penghuni komplek yang  memang hanya diperuntukkan bagi karyawan di level middle sampai top  management tersebut sebagai golongan masyarakat high class yang super tajir. 

Uniknya, sebagai salah satu penghuni "sejak dini",  saya justeru sama sekali tidak menyadari situasi ini, sampai suatu hari di usia menjelang remaja saya, ada kejadian unik sekaligus mengharukan di rumah kami yang menurut saya relevan dengan kalimat "nyelekit" Jack Ma diatas dengan realitas kehidupan kita.

Ini Kisahnya!

Pada suatu pagi menjelang lebaran di awal 90-an, Yu Sumi, rewang atau ART di rumah tiba-tiba menangis kejer. Usut punya usut, ternyata Yu Sumi menemukan jam tangan bapak terendam dalam bak cucian baju bersama beberapa pakaian lainnya. Yu  Sumi yang  merasa teledor tidak memeriksa secara teliti semua pakaian yang akan direndamnya, sangat khawatir harus mengganti jam tangan bapak  yang menurut perkiraan beliau pasti sangat mahal, mana situasinya mau lebaran pula!

Demi mendapati Yu Sumi yang nampak begitu bersedih, akhirnya ibu menjelaskan kepada Yu Sumi kalau harga jam tangan bapak tidak semahal yang Yu Sumi kira dan yang terpenting, ibu juga menyebut, Yu Sumi tidak perlu mengganti jam tangan bapak , tapi kedepannya memang wajib lebih berhati-hati  lagi ketika tengah beraktivitas.

Menurut ibu, untuk urusan "pakaian", termasuk  jam tangan dan pernak -pernik lainnya yang bersifat aksesoris, bapak mempunyai prinsip unik dan menarik yang konon, bapak adopsi dari pengalaman saat beliau menjadi "pelaut" alias awak kapal dagang yang berlayar sampai ke sejumlah pedalaman pulau kalimantan, jauh sebelum bapak memutuskan untuk mengikuti jejak kakek, berkarir di industri gula.

Karena tertarik cerita ibu tentang kisah  bapak dengan pakaian-pakaiannya tersebut, saya yang tadinya hanya penasaran dengan suara tangis Yu Sumi yang nggak biasanya, jadi ikut duduk di samping ibu yang sedang menenangkan Yu Sumi.

Masih menurut ibu, dulu saat masih muda bapak juga suka dengan barang-barang branded, baik dari hasil membeli sendiri di kota-kota pelabuhan saat kapal sandar, maupun hasil barter ataupun pemberian dari para kolega. Uniknya,  semua berubah setelah beberapa kali bapak harus mengalami kejadian unik yang kelak benar-benar merubah pola pikir beliau, terkait aksesoris yang biasa kita kenal sebagai "pakaian".

Kehidupan sebagai awak kapal dagang pada era awal 70-an yang lebih banyak berlayar ke pedalaman Pulau Kalimantan via jalur sungai, menjadikan orang-orang seperti bapak layaknya manusia kelas pekerja lainnya yang lebih sering dilihat sebagai masyarakat kelas dua atau bahkan kelas tiga baik secara ekonomi maupun sosial.

Menurut bapak, seperti yang di ceritakan ibu kepada kami, pada posisi sosial dan ekonomi saat itu, akan sangat mubazir alias tidak ada manfaatnya jika bapak mengikuti nafsunya hanya untuk show on alias untuk gaya-gayaan, bahkan untuk investasi sekalipun dengan menggunakan "pakaian-pakaian" bermerek yang tentunya juga jauh lebih  mahal.

Karena, tidak ada satupun orang di sekitar beliau yang mengenali barang branded yang dipakainya. Kalaupun beliau "terpaksa" harus mengatakan dengan jujur  tentang barang-branded yang beliau pakai (biasanya pas mau menjualnya), tetap saja orang-orang disekitar mereka tidak akan pernah percaya!

Seperti kisah beliau waktu mau menjual kacamata dan sepatu ORI dari Amrik hadiah dari para kolega  karena perlu uang, tidak ada satupun  keluarga, teman, sahabat, termasuk tetangga kiri kanan yang percaya. Sedih dah pokoknya!

Tidak hanya itu,  "pakaian-pakaian mahal" itu ternyata juga membuat hidup bapak yang relatif nomaden karena harus berlayar menjadi tidak tenang. Bagaimana tidak, kemungkinan pakaian-pakaian itu diminati oleh "si panjang tangan" sangat terbuka! Sementara, bapak juga sadar diri tidak punya banyak stok pakaian.

Sejak momentum itu, bapak lebih memilih gaya hidup baru dengan pakaian-pakaian biasanya. Selain menyesuaikan dengan lingkungan sosial-ekonomi saat itu, bapak juga bisa gonta-ganti pakaian pada waktunya dan yang terpenting bisa hidup lebih tenang tanpa rasa was-was dan prasangka buruk pada "si panjang tangan".

Meskipun begitu, prinsip ini tidak serta-merta menjadikan bapak anti dengan barang-barang bermerek yang original dan tentunya berharga relatif mahal lho ya! Karena untuk "pakaian-pakaian" tertentu, seperti jam tangan dan sepatu yang memang tidak perlu gonta-ganti per-periodenya, beliau selalu lebih memilih yang bermerek dengan alasan lebih berkualitas dan tentunya tahan lama.

Semoga bermanfaat,

Salam matan Kota 1000 Sungai,

Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 28 Oktober Mei 2022  jam  22:34 WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasiana Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



Belajar dari Paribasa Banjar, "Filter" Kearifan Lisan Urang Banjar dalam Berbicara

 
Pasar Terapung, Ruang Publik Sekaligus Ruang Ngobrol Paling Intens di Lingkungan Urang Banjar | @kaekaha

 
Memilih Menu Obrolan Itu Seperti Memilih Menu Makanan

Memilih menu atau tema obrolan dengan orang lain dalam kesempatan apapun, sebenarnya mirip dengan memilih menu makanan maupun tempat makan ketika kita mau mentraktir kawan.

Kalau kawan yang kita traktir adalah kawan dekat yang sudah lama kita kenal, tentu lebih mudah bagi kita untuk memilih warung atau menu masakan yang sesuai dengan selera kita semua. Kesulitan mungkin akan kita temui ketika ternyata, kawan yang mau kita ajak makan adalah "kawan baru dan jumlahnya tidak hanya satu saja, tapi banyak!?"

Bagaimana cara memilih menunya, agar semua bisa merasakan nikmatnya sajian menu yang dipilih atau warung makan yang dipilih.?

Saya yakin peribahasa lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain ikannya tetap aktual sampai detik ini. Maknanya, saya yakin setiap orang, setiap entitas budaya, setiap organisasi pasti mempunyai cara terbaik untuk bisa menyajikan "menu" obrolan terbaik di setiap kesempatan, termasuk di lebaran kali ini.

Masyarakat suku Banjar yang sebagian besar mendiami wilayah Kalimantan Selatan, juga mempunyai piranti lunak yang bekerja layaknya filter untuk memproses terbentuknya "menu" obrolan yang berkualitas,  tertib, jujur, sistematis, tenang, fokus, dan bertanggungjawabdalam bentuk produk budaya sastra lisan yang salah satunya adalah paribasa Banjar.

Sastra lisan berupa dongeng, legenda, pantun, saluka, juga paribasa dan papatah serta yang lainnya, juga berfungsi sebagai panduan etika yang otentik, karena berakar dari pengalaman hidup mereka sendiri yang tentunya cukup efektif guna menyaring infiltrasi budaya luar yang tidak selaras dengan adat istiadat dan tradisi khas Urang Banjar

Dalam pribahasa Banjar, mulut adalah lambang kecerdasan. Kedelapan pribahasa ini mengidealkan kualitas komunikasi yang. Mari kita cermati ruang komunikasi publik kita, apakah sudah memenuhi harapan ideal ini?

Paribasa Banjar

Khusus untuk paribasa Banjar atau peribahasa Banjar, secara umum dibagi menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu paribasa  Banjar  berbentuk puisi dan peribahasa Banjar berbentuk kalimat. 

Paribasa Banjar berbentuk puisi, dibagi lagi menjadi 6 jenis, yaitu gurindam, kiasan, mamang papadah, pameo huhulutan, saluka, dan tamsil. Sedangkan paribasa Banjar berbentuk kalimat dibagi lagi juga menjadi 5 jenis, yaitu ibarat, papadah, papatah-patitih dan paumpamaan.

Dari ribuan paribasa Banjar yang sampai sekarang masih tetap eksis menjadi referensi sekaligus media kontrol sosial bagi Urang Banjar dalam berkehidupan bersosial dan bermasyarakat sehari-hari, ada ratusan diantaranya yang telah di kodifikasi dan didokumentasikan dalam bentuk buku atau karya tulis lainnya, salah satunya adalah karya dari duo budayawan Banjar, Ahmad Makkie dan Syamsiar Seman yang berjudul "Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar" yang terbit pada tahun 2006 silam.  

Baca Juga :  Ritual Mudik Serasa Berpetualang di Jalur Tradisional dan Legendaris Hulu Sungai Barito

Diantara sekian banyak paribasa Banjar yang sampai sekarang masih sering terdengar dalam proses komunikasi masyarakat sehari-hari, beberapa diantaranya ternyata masih sangat relevan menjadi semacam "pemandu" bagi Urang Banjar dalam berkomunikasi atau berbicara dengan siapa saja, termasuk dalam hal memilih "menu" obrolan yang tepat, terlebih dengan orang lain di luar suku Banjar. Berikut rinciannya,

 

Banganga Dahulu, Hanyar Baucap 

Banganga atau menganga merupakan sebuah analogi pada tindakan "diam dan mendengarkan untuk memperhatikan", jadi makna umum dari paribasa di atas adalah dengarkan atau perhatikan dulu yang dibicarakan baru bicara. 

Paribasa ini mengingatkan kita semua perlunya kehati-hatian dalam berbicara atau lebih tepatnya perlunya menjaga kualitas omongan yang keluar dari mulut kita, mengiringi sikap dan perilaku positif kita. Sehingga dimanapun kita berada bisa selalu menyesuaikan diri dengan situasi sekitar.  Apalagi dalam paribasa Banjar, mulut adalah perlambang dari kecerdasan, 

Situasi ini sepertinya menjawab sebuah analogi ungkapan yang menyebutkan, "Teko hanya akan mengeluarkan isinya! Jika isinya air comberan yang keluar dari mulutnya ya air comberan, begitu juga jika isinya kopi pahit, maka jika dituang ke dalam cangkir yang keluar ya kopi pahit.

Kaya Siput Dipais dan Bujur Pandiam, Sakali Baucap Pas Luput

Arti peribahasa pertama adalah bagai siput dipepes yang maknanya adalah seseorang yang memiliki sifat sangat pendiam atau sengaja tidak mau bicara. Sedangkan peribahasa kedua mempunyai arti dan makna lugas sebagai seseorang yang memang pendiam tetapi sekali bicara langsung salah 

Kedua paribasa diatas pada dasarnya merupakan antitesis bagi ungkapan terkenal, "diam itu emas" dan memberikan pesan bahwa, tidak selamanya orang yang diam itu pandai atau baik, semua tetap harus melihat situasi dan kondisinya. Kalau dihubungkan dengan tradisi dan karakter Urang Banjar pada umumnya, maka paribasa Banjar ini mendorong siapa saja untuk berani bicara sesuai dengan porsinya, tidak boleh kurang apalagi lebih.
 

Pandir Kaya Buak

Arti paribasa ini adalah berbicara seperti Buak! Buak adalah sebutan Urang Banjar untuk sejenis burung nocturnal atau burung yang lebih aktif di malam hari yang secara fisik tidak lebih besar dari genggaman tangan orang dewasa. Burung dengan warna dominan abu abu pada bulunya ini tidak bisa terbang tinggi dan hanya bisa berlari serta melompat rendah saja. Dinamai burung buak karena suara nyaringnya yang berbunyi buak...buak...buak. 

Suara buak...buak...buak...dari burung ini, dianalogikan sebagai suara yang tidak ada maknanya dan juga tidak enak di dengar. Jadi paribasa ini ditujukan kepada orang yang banyak omong tapi tidak ada manfaatnya, bahkan bisa juga dianalogikan kepada orang yang omongannya cenderung tidak enak untuk didengarkan.

Mungkin, berlaku pada karakter yang lebih suka menonjolkan kehebatan diri dan keluarganya atau dalam konteks kekinian yang lebih luas bisa juga  disematkan kepada orang-orang yang bernafsu ingin jadi pemimpin di masyarakat sehingga menggunakan setiap kesempatan untuk mempromosikan diri dan atau keluarganya.

Banyak Muntung Bagawi Kada Manuntung dan Lancar Pandir, Bahira Maucir

Secara harfiah, peribahasa banyak muntung bagawi kada manuntung diartikan sebagai banyak bicara, kerja tak selesai. Peribahasa dengan pola kausalitas alias sebab akibat ini mempunyai beberapa makna tersirat.

Selain menjadi metafora dari OMDO  alias ngomong doang tapi nggak pernah ada buktinya, paribasa ini juga dimaknai sebagai metafora agar selalu fokus pada pekerjaan, karena frasa "banyak bicara" disini juga bisa dipahami sebagai adanya aktifitas lain yang juga menyita perhatian konsentrasi. 

Untuk paribasa  "Lancar Pandir, Bahira Maucir" artinya adalah lancar bicara, berak berceceran. Kalimat paribasa ini merupakan metafora dari orang yang suka bicara mengada-ada yang tujuannya hanya untuk menutupi kekurangan dirinya sendiri. Jika ada terucap paribasa ini, artinya yang bersangkutan mengetahui orang berbicara dihadapannya terindikasi tidak jujur alias tukang karamput atau orang yang suka berbohong.
 

Lain nang disurung lain nang dikalang 

Paribasa yang satu ini merupakan metafora kiasan dari istilah kalang (penyangga/pembatas) dan surung (dorong) yang aslinya merupakan bagian dari salah tradisi Urang Banjar dalam membangun rumah. 

Paribasa ini dipakai untuk menggambarkan pembicaraan antar pihak yang tidak nyambung sehingga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. 

Paribasa ini menuntun kita untuk  fokus dalam pembicaraan agar kualitas komunikasi terjaga dan tidak menimbulakn kesalahpahaman.

Kaya Cina Kakaraman 

Menurut Sainul Hermawan, pemerhati sastra dan budaya Banjar yang juga pengajar di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, paribasa bergaya simile ini menunjukkan adanya interaksi antara Urang Banjar dan orang Cina sejak lama.

Kakaraman artinya tenggelam untuk kapal/perahu. Jadi arti  secara leksikal frasa paribasa diatas adalah Seperti Cina yang (kapalnya) tenggelam.

Paribasa yang menggambarkan "kekacauan dalam percakapan" ini lahir dari hasil pengamatan Urang Banjar yang pernah melihat "ributnya percakapan" sebagai reaksi para pedagang cina ketika kapal dagang miliknya karam. Semua sama-sama bicara, tidak ada yang mau mendengarkan hingga terdengar seperti sedang ribut atau kelahi. Makanya untuk menghasilkan komunikasi yang baik wajib tertib dan tenang.

Galugur-galugur guntur, hujannya kada 

Paribasa di atas mirip sekali dengan peribahasa Jawa, kakean bledek kurang udan yang artinya kira-kira adalah Petir yang terus menggelegar tetapi hujan tak juga turun-turun. Paribasa ini menuntun kita untuk tidak sombong, tidak berbicara terlalu tinggi apalagi pakai sesumbar yang bukan kapasitasnya mengingatkan siapa saja agar tidak suka sesumbar.

Semoga bermanfaat!

"Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 1443 H, Yuk Menjemput Lailatul Qadar!"

Salam matan Kota 1000 Sungai,

Banjarmasin nan Bungas!

 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 
 
Ini artikel ke-11 dari total 12 artikel khusus Ramadan 2022 yang terpilih menjadi pemenang utama event Samber THR 2022 di Kompasiana dengan hadiah uang tunai sebesar 3 juta rupiah dan artikel ini tayang di Kompasiana pada 29 April 2022  jam  20:29 WIB (klik disini untuk membaca).
 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"Orkes Gitar Mama" dan Sepenggal Kisah Konservasi ala Desa Bahoi yang Menginspirasi



Menyusuri teduhnya hutan bakau Desa Bahoi | @kaekaha

  
Main kuda besi dari Jepang
Tipis-tipislah gayanya mirip koboi
Memang seru liburan ke Likupang
Lupa pulang lihat indahnya Desa Bahoi



DSP Likupang "The Hidden Paradise"
 
Sejak Likupang dengan labelnya "The Hidden Paradise" di tetapkan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu dari lima destinasi super prioritas (DSP) pariwisata, bersama-sama dengan Candi Borobudur, Danau Toba, Mandalika dan Labuhan Bajo, kluster pariwisata di "ujung tanduk" Pulau Sulawesi atau tepatnya di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara ini, pesonanya langsung mencuri perhatian dunia.

Memang spesial sih! Beda dengan empat DSP lainnya yang masing-masing mempunyai destinasi wisata induk yang lebih dulu jadi dan populer, hingga bisa menjadi "mercusuar" bagi destinasi wisata turunannya yang sedang dikembangkan, maka DSP Likupang merupakan  antitesis-nya!


DSP Likupang yang merujuk pada kawasan yang terbagi dalam beberapa kecamatan, Likupang Barat, Likupang Timur dan Likupang Selatan, masing-masing mempunyai destinasi wisata spesifik dan kesemuanya "disatukan" dalam konsep kluster pariwisata yang di populerkan pemerintah sebagai DSP Likupang.
 


Hidden paradise di Desa Bahoi

Diantara sekian banyak destinasi wisata di seputaran Likupang, pesona Desa Wisata Bahoi (selanjutnya disebut Bahoi) merupakan destinasi wajib kunjung bagi  siapapun yang berlibur ke Likupang. Tahu kenapa?

Di desa yang sebagian besar penduduknya merupakan generasi ke-3 atau ke-4 dari perantau asal Sangihe yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan ini, kita bisa melihat langsung bagaimana mereka semua bahu-membahu membranding indahnya bentang alam desanya yang begitu eksotis  dalam balutan beragam kearifan lokal warisan nenek moyang,  hingga menjadi hidden paradise-nya Likupang! 
 
 
Dengan tagline Aduhai Bahoi, masyarakat Bahoi ingin mengatakan kepada dunia, bahwa "tradisi" konservasi alam dan budaya yang telah ada sejak generasi awal  moyang mereka dan masih tetap terjaga sampai detik inilah yang menjadikan Bahoi memang benar-benar aduhai!

Keberhasilan tradisi konservasi alam dan budaya sebagai kunci utama terbentuknya ekosistem pariwisata kelas dunia, merupakan berkah untuk semua, tidak hanya menjadikan Bahoi layaknya  surga tersembunyi, kebanggaan  DSP Likupang, Sulawesi Utara dan tentunya Indonesia, tapi juga terbukti mampu merangsang lahirnya generasi dengan gen kreatif yang ber-kaizen alias terus berusaha meng-upgrade kemampuan dan kreatifitasnya secara kontinyu.
 
Rumah Pintar, Rumah Kreatif ala Desa Bahoi | @kaekaha


Bahoi yang masuk wilayah Kecamatan Likupang Barat, dari Kota Manado, ibu kota Propinsi Sulawesi Utara yang hanya berjarak sekitar 60 km saja, diperlukan waktu tempuh sekitar 90 menit dengan menggunakan mobil.
 
Pesatnya progres pembangunan infrastruktur sangat tampak di sepanjang perjalanan, khususnya jalan raya dengan kualitas terbaik, pasca penetapan Likupang sebagai destinasi super prioritas pariwisata, menjadikan DSP Likupang, termasuk Bahoi yang aduhai ini sangat layak dilabeli sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara.

Menariknya, di sepanjang perjalanan antara Manado-Likupang ini, kita juga akan menemukan  berbagai keunikan tradisi dan budaya masyarakat Sulawesi Utara dalam menjalani kehidupan sehari-hari di berbagai wanua alias kampung-kampung tradisional yang kita lewati. Jadi di sepanjang perjalanan menuju ka wanua Aduhai Bahoi! dijamin tidak akan pernah membosankan.


Pintu masuk Desa Bahoi, tampak infrastruktur jalan yang ramah berkendara | @kaekaha



Jelajah Ekowisata Desa Bahoi!

Kontur alam Desa Bahoi yang ciamik menjadi menu pembuka jalan-jalan kita. Di satu sisi tampak bukit-bukit menjulang dengan hamparan hijau hutan desa, hanya berjarak sepelemparan batu dari jalan poros beraspal hotmix yang membelah kampung, tepat di depan kantor hukum tua (kepala desa) yang uniknya, juga membelakangi angle pantai dengan view yang sangat cantik.

Sedangkan disisi lainnya, bumi Bahoi juga menyajikan lansekap alam khas dataran rendah, berupa pantai berpasir putih dengan hamparan hijau hutan bakau di dalam balutan  birunya laut yang luar biasa indah. Diorama alam nan eksotis seperti inilah yang akan menyambut siapa saja yang datang ke Bahoi. 
 
"Situs" Pohon Bakau berusia ratusan tahun | @kaekaha

Menjelajahi ekosistem hutan bakau seluas 28 hektar di sisi Utara Desa yang  juga menjadi habitat sekaligus ruang konservasi alami bagi 12 spesies bakau dan juga fauna khasnya seperti kepiting, kerang, udang dan lainnya ini, jelas pilihan yang tidak bisa di tolak.

Disini, selain menikmati kesejukan serta segarnya udara ditengah-tengah teriknya kawasan pesisir, tentu kita juga bisa mengenal berbagai spesies bakau, berikut fauna penghuninya dan yang paling diburu-buru oleh netizen, jelas keberadaan spot-spot instagramable, seperti "situs" pohon bakau raksasa berusia ratusan tahun tepat di bibir  laut yang mempunyai gradasi warna cukup cantik atau view sepanjang jembatan beton dan juga  jembatan gantung nan ikonik yang membelah hutan bakau.

Khusus untuk "situs" pohon bakau berusia ratusan tahun yang luas cengkeraman akarnya bisa lebih dari puluhan meter ini, selain unik dan langka juga masih menyimpan misteri lho! Ada yang mau memecahkan kode-kode rahasia nan misteriusnya?

Aksi tanam bakau di Bahoi | @kaekaha

Sekarang juga dikembangkan aktifitas menanam bakau bagi setiap pengunjung dengan bibit yang sudah disediakan dan kedepannya, tidak menutup kemungkinan inovasi konsep pengelolaan dan pemeliharaan hutan bakau juga akan melibatkan pengunjung dengan berdonasi ala sistem adopsi sebagai orang tua asuh. Semoga!
 
Di tengah-tengah hutan ada open space untuk berbagai aktifitas, termasuk untuk berbagai seremonial menyambut rombongan tamu/wisatawan dan untuk yang satu ini masyarakat Bahoi mempunyai tradisi yang sangat unik! Itulah  masamper, tarian tradisional untuk menyambut tamu yang memadukan gerak tari dengan paduan suara yang dimainkan oleh beberapa pria, dipimpin oleh seorang pangataseng .

Uniknya, tema dan lirik nyanyian paduan suara yang yang berakar pada kesenian Tunjuke, tradisi masyarakat Nusa Utara (Sangihe, Sitaro dan Talaud) yang telah ada sejak abad ke-13 ini bisa by order alias disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi.


 
Setelah menjelajah hutan bakau, "penjelajahan" berlanjut ke berbagai kuliner khas Bahoi yang sudah disiapkan di Balai Desa. Untuk menuju lokasi kita harus melewati deretan rumah sederhana yang semuanya tanpa pagar di tepi jalanan kampung yang benar-benar bersih tanpa sampah dan suasananya tampak sangat bersahaja. Wooooow!

Layaknya kuliner khas Sulawesi Utara umumnya,  semua kuliner berbahan dasar ikan laut segar di sini, baik yang dibakar maupun yang berkuah, juga bercitarasa pedas dengan balutan rempah-rempah yang juga  strong, salah satunya yang unik dan enak adalah olahan ikan berkuah yang biasa disebut sebagai kuah sasi!

Uniknya, guna melestarikan aneka resep kuliner khas Desa Bahoi warisan nenek moyang, ibu-ibu disini juga siap memberikan cooking class kepada semua pengunjung yang berminat, karena biasanya banyak yang harus dieksplor di Bahoi, kemungkinan tidak cukup kalau pengunjung hanya singgah sesaat. Untuk itu, jika pengunjung ingin stay lebih lama, disarankan untuk menginap di homestay milik masyarakat, selain bisa berbaur dengan "budaya" Bahoi lebih intensif, tentunya juga jauh lebih  ekonomis.


 

Ini yang spesial! Momen makan siang kita ditemani oleh "Orkes Gitar Mama",  ensembel musik tradisional khas Bahoi yang gape memainkan lagu-lagu berbagai genre, termasuk lagu daerah dengan aransemen yang  lebih renyah dan easy listening. Mungkin karena main secara live dan tidak didukung soundsystem yang memadai, menjadikan sajian orkes siang itu kurang maksimal apalagi bila direkam dengan alat yang juga seadanya alias darurat, seperti video diatas....he....he...he...

Orkes yang digawangi pemuda-pemuda Bahoi yang sebagian juga pemain masamper ini menjadi semakin unik, karena keberadaan instrumen musik raksasa berdawai tunggal hasil kreasi warga bernama gitar mama. Spesifikasinya yang cukup besar dan relatif masih asing jelas menyita perhatian.

Begitu juga dengan cara memainkannya yang tidak kalah unik! Untuk membunyikan dawainya bukan dipetik atau digesek, tapi dengan cara di pukul dengan sebilah tongkat, begitu juga untuk mengatur nada pada fretboard, juga harus menggunakan sebilah kayu  untuk menekan dawai yang juga berukuran raksasa tersebut.


 

Nama "gitar mama", konon  merujuk pada "ukuran raksasa" instrumen yang secara sekilas mirip dengan kontra bass atau double bass yang lazim  dipakai orkes kerocong tersebut. Ukurannya yang jauh lebih besar dibanding gitar-gitar lain dianalogikan sebagai "ibu atau mama" dari gitar lain. Tapi ada juga lho yang menyebut karena bodinya yang seperti bodi mama-mama...!? Waduh, menurut kamu kira-kira mana ya yang pas?


Sebagai penikmat musik sekaligus pecinta budaya Nusantara, saya sangat berharap suatu saat nanti bisa melihat Desa Wisata Bahoi bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk Adira Finance,  menggemakan Festival Kreatif Lokal dengan tema spesifik, seperti festival parade Orkes Gitar Mama, Masamper atau malah Festival Kuliner Bahoi.

Romantika senja Pantai Desa Bahoi | @kaekaha

Setelah puas menjelajah daratan Bahoi, bagi penikmat wisata bawah air  bisa melanjutkan petualangan di perairan Bahoi yang juga tidak kalah mempesona. Di sini pengunjung bisa berkeliling hutan bakau dari sisi laut, termasuk memancing ikan dan melakukan aktifitas olahraga air lainnya seperti  snorkeling, diving dan lainnya dengan peralatan lengkap yang sudah disediakan sepaket dengan perahu oleh pengelola.

Masih banyak yang belum mengetahui, kalau perairan Bahoi yang jernih dan cenderung berarus tenang merupakan jalur reguler migrasi dari kawanan dugong atau ikan duyung (Dugong dugon).

Begitu juga dengan cantiknya surga wisata bawah air seluas sekitar dua hektare di seputaran  Daerah Perlindungan Laut (DPL), sebuah area konservasi terumbu karang super cantik  yang diinisiasi masyarakat dengan bimbingan serta supervisi dari pemerintah serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konon masih perawan lho!.

Tapi, meskipun boleh di kunjungi, taman terumbu karang ini sangat dilindungi dan dijaga secara ketat oleh masyarakat dengan ketetapan pengelolaan, termasuk rincian berbagai sanksi  bila ada pelanggaran baik oleh wisatawan atau masyarakat setempat, diatur secara tegas dalam sebuah Peraturan Desa (Per Des) Daerah Perlindungan Laut (DPL). Keren kan?

Yuk, ambil pelajaran yang baik dan berguna dari Bahoi...

Semoga bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 11 Nopember 2022  jam  23:21 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih menjadi pemenang favorit  dalam lomba blog ADIRA Finance -Kompasiana dengan tema "Nyalakan Gen Kreatif Masyarakat, Bangkitkan Perekonomian Indonesia Melalui Desa Wisata" . Alhamdulillah...

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN





















Minggu, 26 Februari 2023

Mengenal "Sidin dan Marina", Sosok Populer dalam Bahasa Ibu Urang Banjar

Gang Marina | @kaekaha

Balada "Anang" dan Krisdayanti

Dulu, berpuluh tahun silam, saya pernah membaca sebuah berita dari sebuah media cetak lokal di Banjarmasin yang memberitakan keterkejutan seorang Krisdayanti, salah satu diva musik Indonesia, ketika mendapati nama sang suami saat itu, Anang (Hermansyah) begitu populer di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.

Konon, saat pertama kali menginjakkan kaki di Banua Banjar, di sepanjang perjalanan dari Bandara Syamsoedin Noor di pinggiran Kota Banjarbaru sampai ke Hotel tempatnya menginap di Kota Banjarmasin yang berjarak sekitar 25 km, Krisdayanti beberapa kali menemukan nama Anang terpampang di berbagai tempat, terutama di papan nama tempat usaha seperti toko, warung kaki lima, bengkel dan lain-lainnya.

Soto H. Anang Ayam Bapukah | @kaekaha)

Waaaaaah, seandainya Krisdayanti tahu ada juga icon masyarakat Banjar di Kota 1000 Sungai yang berlabel "Anang", seperti Alm. Anang (Ardiansyah), musisi yang juga pencipta lagu daerah Banjar yang telah menasional, "Paris Barantai" dan tentunya Kedai Soto Banjar Bapukah, Haji Anang yang legendaris, kira-kira bagaimana ya?

Baca Juga: Sedapnya Soto Banjar Ayam Bapukah/Bapulas Khas Haji Anang

Bagi orang luar Kalimantan yang kebetulan baru pertama kali menginjakkan kaki di Banua Banjar dan kebetulan "ngeh" dengan fenomena-fenomena sosial di sekitar layaknya Krisisdayanti, tentu wajar menjadi terkejut, bagaimana tidak!? 

Lha wong di Banjar, nama Anang sampai di jadikan nama tempat usaha lho! Berarti Anang memang populer, betul?

Ssssst ini rahasia ya, sepertinya Krisdayanti juga belum tahu! He...he...he.... 

Sebenarnya nama Anang atau secara lengkap dalam kosakata Bahasa Banjar adalah Nanang yang banyak tersemat menjadi berbagai nama tempat usaha Urang Banjar, sebenarnya bukan diambil dari nama suami Krisdayanti saat itu, Anang Hermansyah! Tapi dalam tradisi dan budaya Banjar, selain menjadi gelar kebangsawanan Banjar, juga menjadi sebutan atau panggilan sayang untuk anak laki-laki khas ala Urang Banjar

Jadi, posisi kosakata Anang atau Nanang sebagai panggilan sayang atau sebutan untuk anak laki-laki itu, mungkin setara dengan istilah tole (Jawa), Buyung (Padang), Ucok (Batak), Ujang (Sunda) dan lain-lainnya atau mungkin teman-teman dari daerah lain di Nusantara mau menambahkan istilah sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa daerahnya, silahkan tulis di ruang komen ya... Terima kasih!

Sidin dalam Kamus Bahasa Banjar | @kaekaha

Mengenal "Sidin dan Marina"

Situasi yang kurang lebih sama seperti yang dialami Krisdayanti juga pernah saya alami ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Terlebih setelah berinteraksi langsung secara intensif dengan Urang Banjar pada akhir 90-an.

Saat itu, saya juga sedikit heran dengan banyaknya Urang Banjar yang bernama Sidin dan Marina atau ada juga sebagian yang menyebutnya sebagai Mamarina.

Setiap hari, di tempat-tempat berbeda saya mendengar kedua nama itu seringkali disebut-sebut dalam berbagai percakapan.

Siapa sebenarnya Sidin dan Marina atau Mamarina ini? Kenapa keduanya begitu populer di lingkungan masyarakat Banjar?

Hayooo ada yang tahu nggak, siapa sosok Sidin dan Marina?

Beruntung, setelah akhirnya kembali berkecimpung di dunia radio lokal yang kebetulan bergenre budaya yang kelak juga mempertemukan saya dengan para pegiat budaya Banjar militan, yang tentunya sangat paham dengan semua rasa penasaran saya terhadap misteri nama Sidin, Marina dan Mamarina yang begitu populer di Banjarmasin, dari mereka jugalah akhirnya misteri nama itu terbongkar juga.

Mamarina atau Marina dalam Kamus Bahasa Banjar | @kaekaha

Kurang lebih posisinya sama seperti makna asal dari kosakata Anang atau Nanang yang dalam bahasa Banjar ternyata tidak selalu identik dengan nama orang, seperti yang saya pahami sebelumnya, tapi ternyata justru berperan sebagai gelar kebangsawanan dan juga panggilan sayang untuk anak laki-laki juga, maka sebutan Sidin, Marina dan Mamarina juga bukan merujuk pada nama seseorang.

Kedua atau ketiga kosakata di atas yang secara keumuman memang mirip dengan nama seseorang, ternyata bukan lho! Tapi merupakan salah satu kosakata Bahasa Banjar yang berfungsi sebagai pengganti orang ketiga.

Jika Sidin bisa dimaknai sebagai beliau dalam bahasa Indonesia, maka Marina sebagai bentuk ringkas dari Mamarina ternyata bermakna sebagai penunjuk bentuk kekerabatan dari orangtua kita.

Baca Juga: Frasa "Turun Bagawi", Jejak Arsitektur Rumah Urang Banjar di Masa Lalu

Jadi yang disebut Marina dalam bahasa Banjar bisa berlaku kepada Julak alias pakde-bude/pakpuh-bupuh dalam bahasa Jawa maupun paman-acil atau paklik-bulik juga dalam bahasa Jawa dan tidak hanya berlaku untuk saudara kandung orangtua saja, tapi bisa juga saudara sepupu.

Nah, jika ilustrasi utama artikel ini menampilkan sebuah gang yang diberi nama Gang Marina, itu bukan berarti diambil dari nama seseorang, tapi disepakati karena sebagian besar penghuni gang memang masih mempunyai hubungan kekerabatan atau masih mempunyai hubungan darah.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas wan Langkar!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 15 Desember 2022 jam 13:00 WIB (klik disini untuk membaca) 

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN