Minggu, 19 Juli 2020

Tradisi Jujuran, "Hadiah" untuk Meminang Gadis Banjar yang Unik dan Katanya Mahal

Pengantin Banjar | @kaekaha

Setiap daerah di Indonesia, masing-masing pasti mempunyai struktur adat istiadat dan juga tradisi budaya yang telah berurat dan berakar begitu kuat sebagai kearifan lokal yang terus dipelihara dan terpelihara dalam pranata peradaban kehidupan masyarakat di wilayah budaya masing-masing, salah satunya yang paling menarik adalah adat istiadat perkawinan.

Jika mengacu pada jumlah suku dan sub suku di Indonesia yang begitu banyak, apalagi jika dikaitkan juga dengan beragamnya agama dan kepercayaan masyarakat di Indonesia (adat dan tradisi perkawinan mempunyai keterkaitan dan keterikatan dengan agama dan kepercayaan dari pemeluknya).

Maka bisa dipastikan Indonesia juga mempunyai banyak sekali ragam adat istiadat perkawinan. Bahkan, bisa jadi jumlahnya dua atau tiga kali lipat dari jumlah suku di Indonesia.

Menariknya, seperti layaknya beragam adat istiadat dan tradisi budaya di Indonesia lainnya yang selalu mempunyai sisi unik, adat istiadat perkawinan di berbagai daerah pasti juga mempunyai keunikan spesifik.

Selain itu, adat istiadat perkawinan di masing-masing daerah bersifat khas sebagai kristalisasi dari nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama secara turun temurun yang kemudian sering kita sebut sebagai kearifan lokal.

Salah satu adat istiadat perkawinan asli Indonesia yang mempunyai kekhasan yang cukup menarik, datang dari adat istiadat masyarakat Suku Banjar yang sebagian besar berdomisili di bagian tenggara Pulau Kalimantan yang sekarang masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan.

Bagi Anda yang mempunyai calon istri Urang Banjar, di manapun domisili dan tempat tinggalnya, ada baiknya mengetahui sisi unik dari adat tradisi perkawinan khas urang Banjar ini. 

Karena dimanapun diaspora Urang Banjar, biasanya mereka tetap teguh memegang adat istiadat selama tidak bertentangan dengan adat setempat, apalagi terkait adat perkawinan. Agar Anda tidak terkejut dan tetap berpikir positif.
Salah satu sisi unik tradisi adat perkawinan masyarakat Banjar yang paling banyak mendapat perhatian khalayak adalah keberadaan tradisi jujuran, yaitu tradisi adat bahari (lama/tua) berupa pemberian hadiah atau seserahan perkawinan dalam bentuk sejumlah uang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang biasanya diserahkan secara khusus pada moment acara adat bertajuk maantar jujuran.
Tradisi ini menjadi unik karena, meskipun labelnya pemberian “hadiah” dari pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan, tapi disinilah sesungguhnya “momen” paling menentukan dari kelanjutan rencana pinangan ini.

Meskipun hadiah ini dari pihak laki-laki, tapi adat keumumannya, besaran nilainya ditentukan dari pihak perempuan dan wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki yang ingin mempersunting gadis Banjar yang terkenal religius, ramah, dan santun.

Bila pihak calon mempelai laki-laki ternyata tidak mau, tidak bisa atau tidak sanggup memenuhi angka besaran jujuran yang diminta pihak perempuan, maka tidak menutup kemungkinan rencana pernikahan berikut kisah asmara yang terajut selama bertahun-tahun diantara kedua calon mempelai bisa menguap alias batal begitu saja! Woooooow, ngeri-ngeri sedap bukan?
Uniknya lagi, besaran rupiah untuk jujuran memang tidak ada rumus baku untuk menghitungnya!
Hanya saja, mindset yang berlaku umum di masyarakat Banjar adalah “Semakin besar nilai angka jujuran yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki, maka semakin tinggi juga "nilai" pengantin perempuan juga keluarganya di masyarakat”.

Hal ini sangat sesuai dengan fakta umum yang sering terjadi di masyarakat, dimana semakin tinggi status sosial, baik karena faktor keturunan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, bahkan hingga kecantikan yang dimiliki seorang perempuan, biasanya akan berbanding lurus dengan angka jujuran yang diminta keluarga kepada pihak mempelai laki-laki.

Khusus untuk besaran angka riilnya, memang tidak ada yang benar-benar mengumumkannya secara terbuka. Tapi masyarakat umumnya bisa memperkirakannya dari kemegahan acara resepsi/pesta pernikahan, termasuk semua keperluan pernikahan atau belanja pengantin baru untuk isi kamar pengantin seperti ranjang, lemari, meja rias. 

Bahkan, banyak atau sedikit tamu yang akan diundang konon juga sangat dipengaruhi oleh besaran angka jujuran-nya.
Faktanya, saat ini rata-rata besaran jujuran yang umum terdengar di masyarakat adalah dikisaran 50-100 juta, sedangkan untuk kalangan crazy rich di Banjarmasin, angka ratusan sampai milyaran sepertinya bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Hanya saja yang perlu dicatat dan digaris bawahi! "Semua besaran angka jujuran itu layaknya bau kentut, baunya ada dan tercium tapi bentuk berikut pemiliknya umumnya tidak pernah secara jelas terlihat atau terang-terangan mengaku. Begitu juga jujuran, sejauh yang umum terjadi tidak pernah diumumkan secara terbuka, hanya kabar burung yang mengabarkan besaran angkanya".

Memang, seiring perjalanan waktu makna jujuran di beberapa tempat sudah mulai bergeser. Sekarang mulai sering terlihat di kelompok masyarakat tertentu, jujuran diposisikan sebagai alat untuk menunjukan gengsi dan derajat kehormatan keluarga di lingkungan sosialisasi masing-masing, bahkan kabarnya sudah ada yang “kebablasan” mengumumkan besaran angkanya saat resepsi perkawinan.
Disinilah jujuran sering menjadi dilema! Menjadi buah simalakama! Bahkan bisa menjadi penghambat dan penghalang niat suci dua insan anak manusia untuk menyempurnakan sunnah Rasulullah SAW untuk menikah.
Jika kita kalkulasi rata-rata pendapatan umum pemuda siap nikah di usia ideal 25 tahun, dengan rata-rata pengalaman kerja 3 tahun (asumsi, jika Strata 1 lulus usia 22 tahun) sepertinya masih terlalu jauh untuk bisa mempersiapkan jujuran minimal sebesar 50 jutaan untuk meminang sang pujaan hati, kecuali dibantu oleh keluarga.

Lantas, apa yang terjadi ketika pihak laki-laki benar-benar tidak mampu? 
Apakah kisah cinta amorita antara pemuda biasa dengan puteri cantik nan kaya raya, puteri dari konglomerat pengusaha batubara seperti kisah cinta dalam sinetron-sinetron yang berakhir bahagia bisa terjadi di Banjarmasin?

Memang! Ada yang tetap berusaha berpikir positif dengan menempatkan “kemustahilan” pada angka-angka jujuran yang terkadang justeru benar-benar muncul dari pihak mempelai perempuan, sebagai bukti keseriusan dan juga motivasi untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih kreatif lagi demi cintanya kepada sang puteri. Tapi, kalau tetap saja tidak mampu?
Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para tetuha (yang dituakan) dari kedua belah pihak keluarga terutama dari pihak mempelai perempuan dipertaruhkan.
Opsi bagi pihak calon mempelai perempuan: 

Pertama, bisa saja tetap bersikukuh mempertahankan “angka” jujuran yang diminta, meskipun pihak mempelai laki-laki jelas-jelas tidak mampu. 
Tujuannya, selain untuk mengukur keseriusan serta kesungguhan pihak mempelai laki-laki, sebagian kalangan bahkan menjadikannya sebagai upaya untuk menjaga kehormatan keluarga pihak mempelai perempuan, bahkan ada juga yang menjadikannya sebagai "cara halus" untuk menolak pinangan pihak mempelai laki-laki. 

Kedua, membuka kemungkinan “bernegosiasi” demi kebaikan bersama. Untuk opsi kedua ini memang lebih lazim terjadi, terutama bagi keluarga yang diantara kedua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik. 

Hanya saja, konsekuensi dari membuka kemungkinan negosiasi angka jujuran ini bagi pihak perempuan, kemungkinan besar hanya malu pada tetangga dan kemungkinan menjadi bahan gunjingan masyarakat karena angka jujuran yang akan didapat tidak sesuai dengan “kelas atau level sosial" keluarga.


Sedangkan opsi bagi pihak calon mempelai laki-laki: 

Pertama, jika benar-benar tidak mampu, tidak bisa atau tidak mau untuk memenuhi permintaan angka jujuran dari pihak calon mempelai perempuan, opsinya hanya menolak atau membatalkan pinangan saja.

Kedua, bernegosiasi. Konsekuensi risikonya mungkin terkait masalah “harga diri” dari calon mempelai laki-laki di hadapan keluarga calon mempelai perempuan dan juga lingkungan sosialisasi masing-masing. Tapi kalau demi sang ratu?

Situasi berbeda jika, dari pihak mempelai perempuan mau membuka diri untuk bernegosiasi, umumnya pihak laki-laki akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.
Kira-kira kalau Anda mengalami sendiri situasi ini, opsi mana yang menjadi pilihan Anda?
Memang sangat disayangkan, jika pernikahan sebagai jalan menuju ibadah, harus terhalang oleh nafsu gengsi belaka, apalagi kalau kedua calon mempelai sudah saling menyukai, menyayangi satu sama lain, dan sudah lama merajut kasih.

Bersyukurnya, sekarang masyarakat terlihat lebih arif, bijaksana, dan proporsional dalam menyikapi dilema jujuran yang dulunya sering menjadi buah simalakama.

Meskipun sampai detik ini masih sering terdengar anak-anak crazy rich yang mendapatkan atau memberikan jujuran dengan besaran angka yang fantastis. 

Tetapi tidak jarang juga terdengar kabar dari crazy rich lainnya yang menyerahkan sepenuhnya besaran angka jujuran semampu pihak calon mempelai laki-laki. 

Mudah-mudahan sabda Rasulullah SAW inilah inspirasinya; “Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Daud, No. 2117; Al-Hakim, 2:181-182)

Inilah keunikan sesungguhnya dari jujuran.

Semoga bermanfaat!

Adat Badamai, Inspirasi Urang Banjar Meraih Kemenangan Ramadan

Islamaktual.com


"Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya" (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr).

Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu dan juga oleh Abu Nu'aim dan Ad-Dailami ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami'ush-Shaghr, no 1099 dan secara rinci beliau jelaskan dalam Silsilah Ash-Shhihah, no. 1496.

Marah dan kemarahan yang berujung pada permusuhan dan perseteruan merupakan bagian dari misi penyesatan setan kepada kita melalui salah satu titik terlemah dalam sistem kontrol kita sekaligus titik paling vital dari fitrah kita sebagai manusia, yaitu  hawa nafsu.

Karenanya, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mengelola nafsu amarah sebijak mungkin, agar tidak menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif, karena secara medik ternyata marah yang berlebihan akan direspon oleh tubuh dengan melepaskan hormon-hormon stres seperti kortisol dan adrenalin yang bisa meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan masalah kesehatan lainnya jika tidak dikelola dengan benar.

Apalagi saat ini, kita berada di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan plus adanya janji Allah "medali" kemenangan diujung Ramadhan berupa kembalinya kita kepada fitrah seperti layaknya bayi yang baru lahir yang bersih dari dosa!
Memang bukan perkara mudah untuk bisa mengelola potensi amarah, karenanya Rasulullah sampai memberi perumpamaan orang yang bisa mengelola amarah itu sebagai orang yang kuat (Fath al-Bari, 10/520)
Untuk itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi Wassallam memberi tuntunan berupa strategi yang praktis dan efektif untuk mengendalikan amarah yang Insha Allah mudah untuk diamalkan oleh semua umat Islam, berikut anjuran nabi tersebut :
  1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda "Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'udzu billah minasy syaithaanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)." (HR. Bukhari Muslim).
  2. Berwudlu. Rasulullah bersabda, "Kemarahan itu dari setan, sedangkan setan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah." (HR. Abu Dawud).
  3. Mengubah posisi. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Kalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah." (HR. Abu Dawud).
  4. Tenang dan Diam. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah." (HR. Ahmad).
  5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuah hadits dikatakan "Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud)." (HR. Tirmidzi).*

 
Masjid Sultan Monumen Berdirinya Kota Banjarmasin| @kaekaha

Adat Badamai, Jalan Urang Banjar Meraih Kemenangan Ramadhan

Suku Banjar mengenal Islam diperkirakan jauh sebelum agama Islam menjadi agama resmi Kesultanan Banjar yang berdiri pada abad ke-16 melalui kontak dagang dengan para saudagar dari Pulau Jawa dan menemukan momentum untuk berkembang secara luas sejak Pangeran Samudera yang kelak dikenal sebagai pendiri kesultanan Banjar menyatakan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah, sekaligus menjadikan Islam sebagai agama resmi kesultanan.

Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural yang melekat pada masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus adat (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, hukum, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.
Salah satu tradisi adat Kesultanan Banjar yang sampai sekarang masih menjadi inspirasi bagi Urang Banjar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya terkait muamallah yang memungkinkan munculnya perseteruan, permusuhan ataupun persengketaan adalah adat badamai.
Adat yang sumber awalnya adalah Undang-Undang Sultan Adam 1835 (UUSA 1835) yaitu Undang-Undang Kesultanan Banjar yang terbit pada tahun 1835 diera kepimpinan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah yang memerintah pada tahun 1825-1857, khususnya pasal Pasal 21 yang isinya adalah "Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim" 

Artinya, "Tiap-tiap kampung bilamana terjadi sengketa, maka diperintahkan untuk mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilamana tidak berhasil barulah dibawa kepada hakim" ini, sampai saat ini tetap menjadi landasan norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar. 

Bahkan sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut, yaitu tradisi penyelesaian sengketa yang sudah melembaga untuk merukunkan kembali setiap pertikaian, sehingga tidak terjadi perasaan dendam   antara kedua belah pihak.
Menurut Prof. Dr. Ahmadi Hasan, M.H. cendekiawan dari UIN Antasari, Banjarmasin dalam disertasi doktoral beliau menyatakan, adat badamai adalah upaya penyelesaian sengketa secara damai yang dikerjakan atau dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang lazim dan melembaga pada masyarakat Banjar.
Selain itu, adat badamai  yang juga lazim disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran atau juga penyelesaian dengan cara suluh, bisa dimaknai sebagai  hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah yang muncul.

Adat badamai, statusnya bisa naik menjadi hukum adat ketika masyarakat sudah menganggap perbuatan badamai itu sebagai suatu hal yang mesti berlaku pada masyarakat adat Banjar,  karena itu sebagai suatu yang mesti dilakukan.

Dipilihnya adat badamai sebagai bagian dari pranata sosial masyarakat adat suku Banjar tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Adanya mekanisme musyawarah untuk mendapatkan keputusan terbaik sebagai pilihan jalan keluar dari semua permasalahan masyarakat yang muncul,  dianggap bisa menghindarkan perseteruan, persengketaan, permusuhan bahkan menghilangkan perasaan dendam antar masyarakat yang  dapat membahayakan tatanan sosial masyarakat.

Selain itu, musyawarah juga dianggap sebagai media komunikasi yang efektif untuk mempererat silaturahmi sekaligus jalinan kekerabatan antar sesama warga masyarakat, sehingga akan semakin memperkuat sekaligus memperketat proses kontrol sosial yang diharapkan bisa menekan munculnya perseteruan, perselisihan ataupun persengketaan di lingkungan masyarakat, sehingga  adat Badamai ikut berperan menciptakan keamanan ketertiban dan perdamaian. 

Merujuk pada posisi faktual adat Badamai dalam struktur budaya Urang Banjar, menjadi wajar ketika sampai saat ini masyarakat enggan menyelesaikan segala perseteruan, perselisihan atau persengketaan apapun itu melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan), bahkan untuk urusan terkait pelanggaran lalu lintas sekalipun, atau bahkan terkait tindakan yang bisa mengarah ke pelanggaran pidana seperti perkelahian yang berujung pada penganiayaan .

Inilah wajah Badamai  Urang Banjar!

Semoga bermanfaat.


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 26 Mei 2019   16:55

Saatnya Mengembalikan Jakarta sebagai Kota Air Terindah

 
Lansekap Kota 1000 Sungai,  Banjarmasin | @kaekaha

Banjarmasin Sister City Jakarta

Antara Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Kota Jakarta di ujung barat Pulau Jawa terbentang jarak lebih dari 900 km, tapi tahukah anda jika diantara keduanya mempunyai kemiripan bahkan keidentikan yang menjadikan keduanya layak bersanding menjadi sister city alias kota kembar.

Seperti layaknya "saudara kembar", usia kedua kota "tua" inipun hanya terpaut 1 (satu) tahun saja. Tanggal 22 Juni 2019 yang lalu Jakarta berulang tahun ke-492, sedangkan Banjarmasin 24 September 2019 berulang tahun ke 493, alias setahun lebih tua.


Sebagai saudara kembar, wajar saja jika keduanya mempunyai hubungan batin yang sangat kuat, begitu pula ketika sampai saat ini Jakarta terus dihantui oleh Banjir dan kelangkaan air tanah, wajar dan tidak ada salahnya jika kemudian Jakarta merasa perlu belajar kepada saudara tuanya Banjarmasin, terkait upayanya menjadi kota ramah air sekaligus kembali kepada takdir alaminya sebagai "kota air".


Sebagai kota yang sama-sama terletak di dataran rendah, Banjarmasin dan Jakarta mempunyai fakta topografis yang sama. 

Sebagian besar ketinggian permukaan wilayah daratan keduanya berada dibawah permukaan air laut dan secara kontinyu terus mengalami penurunan sehingga membentuk kantong-kantong air (ruang biru) di daratan, karenanya Banjarmasin dijuluki sebagai Kota 1000 Sungai, sedang Jakarta kedepannya bisa menjadi Kota 1000 Rawa.

Bedanya, di Banjarmasin kantong-kantong air ini lazim di kenal masyarakat sebagai rawa-rawa, sungai, Anjir, handil, saka, tatah dan lainnya yang sampai sekarang masih bisa kita lihat baik wujud maupun manfaatnya bagi masyarakat Banjar.

Ruang Biru di Banjarmasin dengan Sawah dan Perumahan diatasnya | @kaekaha

Sedangkan di Jakarta, kantong-kantong air yang ada sepertinya tinggal situ dan sungai saja, sedangkan "daerah biru" berupa rawa-rawa sepertinya banyak yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan hanya meninggalkan nama depan " rawa" di depan nama kawasan tersebut, seperti rawa buaya, rawa badak,  rawa bebek, rawa mangun dll.

Uniknya, dua kota kembar yang sama-sama segera menyandang nama "mantan ibu kota" ini ternyata mempunyai catatan sejarah masalah lingkungan yang sama sekali tak sama alias jauh berbeda, khususnya terkait bencana banjir.

Seperti kita ketahui, Prasasti Tugu jejak peninggalan Kerajaan Tarumanegara diabad 5 sudah mengabarkan adanya banjir di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta, begitu juga di jaman pendudukan dan penjajahan belanda di abad 17.
Artinya, banjir merupakan masalah klasik Kota Jakarta yang belum juga ada jalan keluarnya sampai detik ini !

Bagaimana dengan Banjarmasin? 

Ini bedanya! Secara logika Banjarmasin harusnya tidak jauh beda dengan Jakarta, menjadi langganan banjir! Tapi faktanya, sejauh ini tidak ditemukan catatan ataupun fakta sejarah musibah banjir terjadi di Banjarmasin, pun sampai detik ini. 

Kok bisa?

Sepertinya beberapa kearifan lokal masyarakat suku Banjar terkait budaya air inilah jawabannya.
Masyarakat Banjar sebagai penduduk asli Kota Banjarmasin dikenal mempunyai kedekatan budaya yang sangat kuat dengan perairan darat, baik sungai maupun rawa.

Kedekatan  keduanya selama berabad-abad melahirkan budaya unik dan khas yang sekarang kita kenal sebagai budaya sungai, yaitu entitas budaya yang menjadikan lingkungan sungai dan perairan darat lainya sebagai urat nadi kehidupan yang dalam perjalanannya melahirkan tradisi cara/pola hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia di lingkungan perairan darat yang berlaku secara turun temurun.

Bagian dari Budaya Sungai khas Banjarmasin | @kaekaha

Budaya Sungai inilah, kunci utama Kota Banjarmasin yang 24 September 2019 ini akan merayakan hari jadi yang ke-593, sampai setua itu Alhamdulillah tidak pernah tersentuh banjir!

Tidak hanya itu! Budaya sungai juga menjadi katalis utama masyarakat Banjar secara turun-temurun  terus "peduli" untuk melestarikan cirikhas kotanya sebagai kota ramah air dengan terus melahirkan berbagai kearifan lokal berbasis lingkungan sungai dan perairan darat lainnya.
Buktinya?
Meskipun beberapa dekade tetakhir arah pembangunan di banua lebih berorientasi "daratan" yang secara tidak langsung mengajak untuk "memunggungi" sungai, tetap saja tidak bisa membuat masyarakat Kota Banjarmasin sepenuhnya menjadikan sungai sebagai "halaman belakang"
Terbaru, walikota Banjarmasin justeru meluncurkan slogan baru sebagai pentahbisan Kota Banjarmasin sebagai kota air, yaitu Banjarmasin kota sungai terindah (di dunia).

Ironisnya, menurut Yu sing, Arsitek dan pengamat perkotaan dari Studio Akanoma Bandung, justeru rendahnya kepedulian masyarakat Jakarta akan lingkunganya inilah pangkal dari masalah lingkungan di Jakarta.

Banjarmasi Kota Sungai Terindah | @kaekaha


Berikut ini "produk budaya"  turunan  dari budaya sungai khas masyarakat Banjar yang diyakini membantu terbwntuknya ekologi Banjarmasin sebagai kota ramah air dan sekaligus membebaskannya dari bencana banjir,

Satu. Teknologi Kanal khas Banjar

Pada budaya masyarakat Banjar dikenal ada tiga jenis tingkatan saluran air buatan atau kanal, yaitu 
  1. Anjir/Antasan, semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
  2. Handil/Tatah, semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu.
  3. Saka, merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi. 
Beragam teknologi kanal khas buatan Urang Banjar di atas mempunyai ragam fungsi yang sangat penting bagi masyarakat.
Selain untuk kepentingan irigasi pertanian serta sebagai prasarana transportasi,  kanal-kanal tersebut juga berfungsi sebagai penampung dan penyalur air  pada saat air sungai pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air serta menghindari banjir di kota.
Bahkan beberapa diantaranya juga berfungsi  sebagai "kanal perlindungan" untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi benteng sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas (sekarang Masjid Sabilal Muhtadin).
Menurut Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, kanal berupa  Anjir, Handil dan Saka betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem irigasi orang Banjar.

Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar membuat kanal berbagai ukuran merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan tingkat peradaban yang mereka miliki sebagai bukti nyata keramahan pada alam lingkungannya, dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut.

Sejak ratusan tahun yang lalu Urang Banjar sudah mampu membangun kanal yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan dan alat sangat sederhana yang disebut Sundak, yaitu alat yang terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran lebar 20 cm dan panjang 35 cm.

Ini yang membedakannya dengan kanal-kanal di Jakarta yang dibuat sejak jaman Belanda dengan paradigma lebih untuk "mengeringkan Jakarta" dengan cara mempercepat lalulintas "air bah" kiriman dari hulu menuju laut untuk menghindari banjir yang menurut Yu Sing, sesuatu yang mustahil.

Masyarakat Banjar, sejak dulu  menyadari daerahnya sebagai  kawasan pasang surut dimana daratannya sama tinggi atau bahkan lebih rendah dari permukaan air laut, untuk mencegah meluapnya air karena naiknya debit air sungai kiriman dari hulu, masyarakat Banjar lebih memilih untuk memperluas penampang dan penampung air permukaan dengan cara membuka kanal atau saluran-saluran air buatan berbagai ukuran yang bisa menghubungkan antar sungai, antar kanal, antar rawa atau bahkan antar sungai, kanal dan juga rawa sekaligus.
Cara kerjanya, jika air kiriman dari hulu sungai berlebih maka air tidak serta merta membanjiri Kota, tapi terdistribusi ke berbagai kanal buatan yang juga terhubung dengan kawasan retensi atau resapan, bahkan sampai ke selokan-selokan perumahan.
Begitu juga sebaliknya, jika debit air sungai turun atau surut maka "air lebih" di kanal bisa kembali mengisi sungai.

Teknologi kanal ala urang Banjar ini diyakini lebih efektif mencegah banjir, daripada kanal yang difungsikan sebagai "jalan tol" untuk membuang air bah ke laut yang secara logika jelas mustahil untuk daerah pasang surut seperti Banjarmasin dan jakarta.

Paradigma teori ini sesuai dengan yang dilakukan Jepang, khususnya saat membangun Stadion Yokohama yang dilengkapi dengan sistem multipurpose retarding basin bagi Sungai Tsurumi.

Tampak Belakang Rumah Panggung di Banjarmasin | @kaekaha

Dua, Rumah Panggung

Berbeda dengan rumah panggung di daerah pedalaman Kalimantan lainnya yang biasanya untuk mengantisipasi serangan binatang buas, maka rumah panggung di Kota Banjarmasin dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi daerah resapan meskipum pemukiman warga terus menjamur dan menutup sebagian besar "ruang biru" yang tersebar di seluruh penjuru kota Banjarmasin.
Kalau anda pernah ke Banjarmasin dan melihat deretan ruko atau rumah-rumah berarsitektur modern dengan halaman semen atau material padat lainnya di kiri-kanan jalan,  jangan salah! Semua bangunan itu sebenarnya rumah panggung
Kalau tampak depan, biasanya bangunan-bangunan itu mirip layaknya bangunan di tanah keras biasa seperti di Pulau Jawa, karena bagian depan/halaman memang diperbolehkan diurug tapi tidak untuk bagian belakang. Jadi kalau melihat tampak belakang, baru kelihatan cirikhas bangunan rawa berupa rumah panggung dengan kaki-kaki terbuat dari kayu ulin atau beton.

Untuk mengawal dari sisi legalitas kearifan lokal khas masyarakat Banjar yang satu ini, Pemerintah Kota Banjarmasin juga membuat payung hukum berupa  Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 14 tahun 2009 tentang Bangunan Panggung. 

Harapannya, dengan adanya payung hukum ini, kelestarian budaya sungai dan perairan darat berikut berbagai kearifan lokal khas banua ini tidak hanya menjadi milik serta tanggung jawab suku Banjar semata, tapi menjadi milik serta tanggung jawab semua warga Kota Banjarmasin yang realitanya memang seperti miniatur nusantara.

Untuk Jakartaku, Jakarta kita! Memang tidak mudah  untuk kembali menjadi Kota yang ramah air, tapi semua masih mungkin! 
Semua harus bergandeng tangan, bahu-membahu, bersama-sama menjadikan Jakarta sebagai Kota Air Terindah di dunia! Mau...?
Selain terus belajar dengan saudara tua Banjarmasin, Jakarta harus aktif bergerak dan kreatif  berinovasi  menambah atau setidaknya mengoptimalkan penampang "ruang biru" yang ada, selain itu menurut  Yu Sing ada beberapa hal yang dari sekarang bisa dikerjakan Jakarta,
  1. Normalisasi sungai dari sampah dan juga betonisasi yang menyebabkan hilangnya vegetasi tepian sungai, sehingga menyebabkan langkanya air tanah dan penurunan permukaan tanah.
  2. Menambah dan merenovasi RTH denggan konsep rain garden, taman didesain memiliki porositas yang tinggi dengan ketinggian lebih rendah dari jalan agar bisa menyerap air sebanyak mungkin, baru lebihnya dialirkan ke sungai. Selain bisa mengisi kekosongan air tanah, strategi ini juga bisa meminimalisir sedimentasi sungai.
  3. Menambah Biopori sebagai media optimalisasi resapan air ke dalam tanah.



Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 11 September 2019   09:42 dan terpilih menjadi salah satu dari total lima pemenang bersama dalam rangka lomba blog bertema "Aku dan Air, Menabung Air Hujan, Memanen Manfaat" Hasil kerja sama antara Kompasiana dengan Pemerintah DKI Jakarta dan Bank DKI dengan hadiah sebesar 5 juta untuk lima orang pemenang.

Kamis, 09 Juli 2020

Mohon... Jangan Naik Haji Lagi!

Suasana Masjidil Haram | @kaekaha

Naik Haji merupakan impian semua umat Islam di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sejauh ini menjadi negara dengan jumlah jamaah haji terbanyak tiap musimnya. Antusiame muslim Indonesia tidak pernah surut demi ritual ibadah paling spesial bagi seluruh umat Islam ini. Spesial dari segi waktu, tempat dan hukumnya.

Dari segi waktu,  ritual ibadah haji hanya bisa dilaksanakan di bulan Dzulihijjah tanggal 8,9 dan 10. Dari segi tempat, ritual haji hanya bisa dilaksanakan di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh syariat Islam, yaitu diseputaran Kota Mekkah, Masjidil haram, Mina, Muzdalifah dan arafah. Dari segi hukum, ibadah haji berbeda dengan ibadah-ibadah lain dalam syariat Islam.

Hukum melaksanakan ibadah haji,  berbeda-beda untuk masing-masing umat Islam, tergantung dari tingkat kemampuan masing-masing, baik kemampuan ekonomi, kemampuan fisik-nya dan keamanan. Intinya, wajib bila mampu dan tidak wajib bila tidak mampu. Wajibnyapun juga hanya sekali,  untuk seterusnya menjadi ibadah sunnah biasa, hal ini merujuk pada Nabi Muhammad SAW yang hanya melaksanakan ibadah haji sekali saja seumur hidupnya. 

Pelaksanaan ibadah haji di Indonesia dikoordinir dan dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Semua keperluan jamaah selama menjadi tamu Allah sudah diurus oleh pemerintah. Jadi jamaah calon haji Indonesia tinggal mempersiapkan biaya, fisik dan mental untuk berangkat ke tanah suci.

Masjid Bir Ali tempat mengambil Miqat | @kaekaha


Di Indonesia,  permasalahan seputar ibadah haji yang paling menarik perhatian sekaligus keprihatinan adalah lamanya daftar tunggu bagi jamaah calon haji. Ratio kuota yang diberikan pemerintah saudi arabia dengan jumlah pendaftar haji seluruh Indonesia baik yang dikelola pemerintah maupun swasta (haji plus) sangat tidak berimbang. Situasinya menjadi semakin parah ketika tahun 2013 kuota haji Indonesia dipotong 20% oleh pemerintah Saudi Arabia, dari total sebelumnya sebanyak 221.000 jamaah menjadi tinggal 168.800 jamaah karena adanya proyek pelebaran Masjidil Haram di Makkah.

Kabar terbaru, berdasar release Kanwil Kementerian Agama Kalimantan Selatan yang dimuat harian Banjarmasin Post, Sabtu, 23 Januari 2016,  untuk wilayah Propinsi Kalimantan Selatan daftar tunggu jamaah haji mencapai 84.724 orang. Apabila menggunakan asumsi kuota haji tahun 2015, sebanyak 3050 orang, maka antrian haji di Kalimantan Selatan mencapai 27-30 tahun untuk haji reguler,  sedangkan untuk haji khusus antrian mencapai  13 tahun... ckckckckck!

Artinya, kalau sekarang tahun 2016 ini, saya mendaftar haji maka diatas kertas kemungkinan berangkat ke tanah suci paling cepat adalah tahun 2043. Kalau usia saya sekarang 40 tahun, berarti 27 tahun lagi saat berangkat haji usia saya sudah mencapai 67 tahun, usia yang relatif rentan dan tidak masuk rekomendasi untuk aktifitas ritual haji yang cukup berat. Tapi itulah uniknya ibadah haji. Walaupun berat, tetap saja menjadi magnet yang kuat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk melaksanakannya.

Pernah mendengar cerita tentang Senad Hadzicpria asal Bosnia yang rela harus berjalan kaki dari negaranya Bosnia menuju Arab Saudi sejauh 5700 km selama 314 hari dengan melewati 5 negara, yaitu Serbia, Bulgaria, Turki, Syiria dan Jordania sebelum memasuki Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji?

Kisah Senad Hadzic di atas, mungkin bisa memberi gambaran bagaimana posisi ibadah haji bagi umat Islam!  Begitu juga umat Islam di Indonesia! Buktinya, dari tahun ke tahun pendaftar ibadah haji terus meningkat secara signifikan, baik yang reguler maupun yang khusus. Situasi ini menyebabkan daftar antrian semakin panjang dan lama.

Pemerintah sebagai pengelola tunggal ibadah haji reguler, sejauh ini memang belum bisa berbuat banyak untuk mengendalikan antusiasme umat Islam Indonesia mendaftar haji yang terus meningkat. Upaya pengendalian dengan menaikkan setoran awal ternyata tidak mempan alias tidak memberi pengaruh apa-apa, wacana pelarangan haji berulang masih terjadi tarik ulur walaupun akhirnya diputuskan menteri agama (PERMENAG No.29 Tahun 2015, Pasal 8 ayat 1) mulai berlaku bagi pendaftaran haji tahun 2016 yang tetap memberikan kesempatan kepada jamaah calon haji yang sudah pernah naik haji untuk mendaftar haji lagi 10 tahun berikutnya dengan pertimbangan jangka waktu 10 tahun sudah cukup bisa mengurai antrian panjang jamaah haji. Apalagi pada prisipnya, siapapun tidak bisa melarang umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 tersebut, kecuali mengendalikannya.

Sedangkan kajian dari sisi yang lain, seperti batasan usia minimal/maksimal pandaftaran dan saat pelunasan BPIH serta alasan kesehatan karena kondisi atau penyakit tertentu yang secara medis dianggap membahayakan ketika harus menjalani ritual haji, juga masih belum bisa diputuskan atau difatwakan sampai sekarang. Begitu juga, kajian terkait usulan dan wacana pendaftaran haji dengan sistem buka tutup dengan teknis satu tahun dibuka dan lima tahun ditutup masih terus ditampung guna dikaji lebih mendalam.

Jabal Rahmah | @kaekaha


Disisi lain, antrean panjang yang terjadi memang tidak serta merta menimbulkan gejolak sosial di kalangan umat Islam. Karena konteks berhaji adalah ibadah maka sebagian besar umat Islam calon jamaah haji memahami masalah ini juga dari konteks ibadah, yaitu sebagai ujian! Ujian kesabaran menunggu panggilan atau undangan dari Allah SWT.

Hanya saja, permasalahannya akan berbeda jika kelak dikemudian hari muncul tindakan-tindakan pragmatis tidak bertanggung jawab, demi memanfaatkan situasi ini yang dilakukan oleh oknum-oknum calon jamaah haji bekerjasama dengan pemangku kebijakan yang tidak bertanggung jawab, misal : indikasi adanya penyerobotan nomor urutan yang ditengarai sudah mulai sering muncul di daerah-daerah dengan berbagai modus. 

Masih ingat kan, menurut teori kriminologi munculnya tindakan kejahatan karena adanya peluang, kesempatan dan niat pelaku. Inti kendalinya ada pada peluang,sementara kesempatan dan niat bisa mengekor dibelakang. Semoga tengarai ini hanya rumor semata, sebagai salah satu bagian upaya mengingatkan semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan cara yang berbeda!

Lantas, apakah situasi ini dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya ikhtiar dari pemerintah dan pihak-pihak terkait? Menidaklanjuti PERMENAG No.29 Tahun 2015, Pasal 8 ayat 1, yang mengatur pengendalian haji berulang, diperlukan konsistensi dan pengawasan yang melekat mengingat kemungkinan lost controlmasih ada. 

Sebisa mungkin pemerintah juga harus menjalin komunikasi efektif secara intensif dengan berbagai Ormas Islam dan haji, seperti Muhamadiyah, NU, Persis termasuk IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) untuk lebih aktif mensosialisasikan PERMENAG No.29 Tahun 2015, Pasal 8 ayat 1 sekaligus membumikan Sunnah Rasul tentang kewajiban berhaji yang hanya satu kali seumur hidup kepada semua anggota, simpatisan dan seluruh umat Islam di Indonesia.


Melempar Jumfah | Muslim.or.id

Bagi umat Islam yang mempunyai dana lebih, dan berpikir bahwa umur "tidak berbau" akan lebih memilih ibadah umrah dulu untuk menuntaskan kerinduan dan hajat beribadah mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW, dengan menapaktilasi Risalah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, sambil menunggu datangnya giliran panggilan berhaji dari Allah SWT.
Sementara yang lainnya harus bersabar menunggu undangan Allah SWT, karena ibadah haji tidak hanya domaindari dimensi lahiriyah,kemampuanuangdan kesehatan semata, tapi juga urusan hati. Tautan hati akan kerinduan kepada-Nya berikut nikmat luar biasa yang bisa dirasakan ketika melaksanakan ibadah hajilah yang membuat militansi  jamaah calon haji akan muncul sehingga akan melakukan apapun untuk mengapainya,termasuk menunggu puluhan tahun lamanya.

suasana wukuf di Arafah | travelhajidanumrah.com


Inilah warna-warni pelangi pengantar Ibadah haji khas ala Indonesia! Ketika ritual suci peribadatan paling spesial bagi umat Islam ini harus bersentuhan dengan aspek sosio culture, ekonomi, politik dan ego manusia. Sangat-sangat menggemaskan! 

Untuk itulah, mohon ..... jangan naik haji lagi, Pak Haji dan Bu haji! karena bisa makan hak orang. Berikan kesempatan kepada saudara-saudara kita yang lain yang wajib berhaji, biar ikut merasakan nikmatnya bersentuhan dengan nikmat-nikmat Allah yang hanya ada dalam waktu dan tempat spesial. Wallahu a’lam

 Artikel ini juga diposting di Kompasiana pada 31 Januari 2016   14:59

"Umur Kada Babau", Konsep Waktu ala Urang Banjar Inspirasi Berhaji Selagi Muda!


Urang Banjar berhaji muda| @kaekaha
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, sangat familiar dengan ungkapan "Umur tidak berbau" (teks asli bahasa Banjar "Umur Kada Babau"), yaitu ungkapan bahari (tua) yang secara umum bisa dimaknai sebagai ajal atau maut bisa datang kapan saja. Sebuah ungkapan sugestif yang menurut para tetuha (orang tua/yang dituakan), terinspirasi hadist nabi HR. Ibnu Majah no. 4259 (Hasan menurut Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”
Ungkapan "Umur tidak berbau" ini merupakan ungkapan paling populer di kalangan masyarakat Banjar setelah Lafaz  Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un  ketika mendengar kabar/berita kematian atau meninggalnya seseorang.

Ungkapan bertuah ini telah lama menjadi sugesti bagi masyarakat Banjar "untuk selalu ingat mati", maksudnya menyadari bahwa malaikat maut bisa datang kapan saja! Dengan begitu diyakini bisa melembutkan hati, qana’ah, lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah (Hablumminannas maupun Hablumminallah).

Selain itu, juga diyakini bisa mendorong untuk ber-husnudzan atau berpikiran positif  yang umumnya diaplikasikan dengan berinisiatif untuk selalu menyegerakan/mendahulukan semua niat dan amalan baik, apalagi dalam urusan ritual beribadah seperti sholat, naik haji dan umrah, sesegera mungkin sebelum ajal menjemput. 
Tapi kalaupun ajal memang benar-benar menjemput sebelum sempat melaksanakan amalan yang diniatkan, seperti berhaji. Semua adalah takdir Allah SWT Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan kita tidak bisa menolaknya, tapi Insha Allah kita sudah mendapatkan pahala dari niat kita, juga dari amalan belajar terkait seluk beluk ilmu haji yang pastinya telah kita lakukan sejak dini pula. Wallahu a'lam bish-shawabi 
Inilah salah satu rahasia penyebab tingginya animo Urang Banjar untuk naik haji dan umrah, sehingga daftar tunggu haji di Kalimantan Selatan menjadi yang terlama di Indonesia, mencapai lebih dari 30 tahun.
 
 
Panggilan Allah untuk Manusia | annajah.com
 
 Hikmah dari Ungkapan "Umur kada babau"
 
 Pemahaman komunal masyarakat Banjar terhadap ungkapan "Umur kada babau" ini salah satunya yang paling mudah dilihat adalah melahirkan kebiasaan untuk selalu menjaga “mimpi” menyegerakan semua amalan baik, khususnya ibadah khusus yang memerlukan kesiapan dan kemampuan "ekstra" seperti umrah dan naik haji, apapun latar belakang kehidupannya, baik laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, tua atau muda, tukang becak atau pejabat negara.
 
Sejak lahir, semuanya mendapatkan doa dan sugesti dari lingkungannya agar kelak bisa menunaikan ibadah haji (sesegera mungkin). Dari sinilah mimpi itu tertanam dan akan terus terpelihara dalam benak Urang Banjar sampai saatnya berhaji benar-benar tiba atau saatnya maut datang menjemput, mana yang terlebih dulu datang.

Jadi jangan heran jika anda ke Kalimantan Selatan dan berbaur dengan Urang Banjar, anda akan sering mendapati panggilan atau sapaan "Ji!" singkatan dari kata "Haji!" Meskipun yang dipanggil belum tentu pernah berhaji!

Kebiasaan ini dalam konteks sosial masyarakat Banjar, merupakan sebuah keumuman atau kelaziman yang muncul sebagai respon masyarakat terhadap fakta bahwa sebagian besar masyarakat Banjar memang sudah melaksanakan ibadah haji, kalaupun belum panggilan itu dianggap sebagai doa!
Karena itu pula, sejak jaman kai-nini bahari (kakek-nenek dahulu) masyarakat Banjar sudah terbiasa untuk mempersiapkan semua keperluan untuk ibadah haji, baik untuk diri sendiri maupun semua anak-cucunya sejak dini. Bahkan, banyak diantaranya yang benar-benar sudah mempersiapkannya sejak si-anak atau si-cucu belum atau baru lahir.  
 Jadi mempersiapkan haji sejak dini bagi masyarakat Banjar, bukan lagi sekedar kebutuhan dan atau kesadaran individu sebagai muslim semata, tapi sudah menjadi tradisi kolektif atau kesadaran komunal yang mengurat dan mengakar pada semua atau setidaknya sebagian besar Urang Banjar.
  Bentuk realitas mempersiapkan ibadah haji sejak dini pada masyarakat Banjar umumnya teraplikasi dalam 2 (dua) tema besar yang keduanya terkait erat dengan kriteria mampu (isthitaah) untuk berhaji, sehat lahir batin dan mampu secara finansial, yaitu :

Olahraga Urang Banjar Sehari-hari | @kaekaha


Pertama. Mempersiapkan fisik, mental dan spiritual dengan cara mempertebal keimanan dan pemahaman keilmuan terkait ibadah haji dan umrah. 

Seperti kita pahami bersama, semua amalan ibadah dalam Agama Islam termasuk Umrah dan Naik Haji, ada ilmu tuntunannya yang wajib dipelajari dan dipahami semua umat Islam, terlebih bagi yang akan melaksanakannya, agar ibadahnya bisa mabrur di sisi Allah SWT dan mendapatkan pahala Surga Firdaus.

Khusus untuk ibadah Haji yang tempat, waktu dan ritualnya memerlukan kesiapan fisik prima, karena banyak aktifitasnya harus berjalan kaki sampai puluhan kilometer ditengah cuaca musim panas maupun musin dingin di Saudi Arabia yang sama-sama ekstrem, umumnya jauh-jauh hari alias sejak dini juga telah diantisipasi Urang Banjar dengan berolahraga rutin, seperti mendayung jukung yang setiap hari menjadi alat transportasi, bisa juga dengan jogging atau setidaknya jalan kaki rutin setiap pagi dan petang di pematang lahan rawa di sekeliling rumah sambil mengambil jebakan ikan yang dipasang sehari sebelumnya dan yang tidak kalah pentingnya adalah selalu mengkonsumsi asupan bergizi seimbang, seperti ikan haruan atau  sapat segar hasil tangkapan, sayur sulur teratai segar yang sehat dari rawa belakang rumah dan juga minum-minuman yang menyehatkan.

Sedangkan persiapan psikis, mental dan spiritualnya, dengan banyak membaca buku panduan haji atau bisa juga dengan mengakses situs haji.kemenag.go.id milik kementerian agama yang berisi berbagai informasi haji up to date atau bisa juga dengan mengunduh aplikasi Haji Pintar di gadget.  
 
Sedangkan bagi jamaah yang mau berangkat, selain bisa mengakses layanan diatas, diwajibkan untuk mengikuti program manasik haji secara sungguh-sungguh untuk mengenal medan, ritual dan tentunya sesama jamaah satu rombongan/kloter.
 
Ilustrasi Celengan Bambu Jaman Dulu | jendelakecildunia.com
 
Kedua. Tradisi menabung ala Urang Banjar yang unik dan inspiratif pada masanya! 

Tradisi atau kebiasaan menabung, sebenarnya sudah menjadi tradisi turun temurun Urang Banjar sejak dulu. Dikenal sebagai masyarakat pedagang yang sudah pasti mempunyai rumus pakulihan (penghasilan) yang tidak menentu, agar tetap cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus tetap mempunyai dana siaga, Urang Banjar sejak dini sudah dipaksa oleh keadaan dan lingkungan untuk menabung, dengan cara menyisihkan sedikit-demi sedikit pakulihan yang didapat setaip harinya.
Seiring perjalanan waktu, tradisi menabung Urang Banjar secara perlahan juga mulai melebar dari segi fungsi, pemanfaatan dan juga cara atau strateginya. 
Hal ini tidak terlepas dari semakin membaiknya perekonomian yang kemungkinan besar, juga bekat dari kesabaran dan ketekunan untuk menabung! Jika awalnya, menabung untuk tujuan eksistensi (bertahan hidup), maka selanjutnya juga untuk ekspansi (mengembangakan usaha) dan juga mewujudkan mimpi yang selalu dibangun sejak kanak-kanak, yaitu bisa ber-umrah dan naik haji.

Ilustrasi Emas Perhiasan | bisnis.com


Uniknya lagi, sejak kai-nini bahari (sejak jaman kakek-nenek dulu atau sejak jaman dulu) masyarakat Banjar tidak menabung dengan instrumen uang dari hasil pakulihan berdagang secara langsung, tapi uang dikumpulkan dulu sedikit-demi sedikit atau semampunya, sampai cukup untuk membeli emas (umumnya jenis perhiasan bukan lantakan) dengan ukuran-ukuran gramatir tertentu dan instrumen emas inilah yang nantinya disimpan di rumah sampai jangka waktu yang tidak tertentu, sebagai ikhtiar untuk mempersiapkan ibadah haji sejak dini, baik untuk diri sendiri maupun anak-cucu keturunannya.

Alasan Urang Banjar bahari menyimpan atau menabung emas di rumah, konon selain agar terhindar dari mudharat riba jika menabung di bank (konvensional), juga pemahaman lebih Urang Banjar terhadap konsep nilai waktu uang/Time Value Of Money (dimana nilai uang sekarang dengan nilai uang yang akan datang pasti berbeda) yang pasti berlaku pada instumen uang tapi tidak akan berlaku pada instrumen emas. 

Momentum Berhaji di Usia Ideal

Ini tradisi kreatif Urang Banjar untuk mempersiapkan ibadah haji sejak dini disaat usia ideal yang semakin menemukan momentumnya ketika fakta di lapangan berbicara! Hanya jamaah yang benar-benar mempunyai kesiapan fisik  prima saja yang bisa menjalani ibadah haji lebih optimal.  Ketahanan fisik prima jelas hanya dimiliki oleh jamaah yang berusia relatif muda, rajin berolahraga serta konsisten mengkonsumsi asupan bergizi seimbang.  

Yuk, rencanakan hidup berkah sejak dini dari sekarang! Umur tidak berbau lho!



 
Artikel ini juga diposting di Kompasiana pada 14 Desember 2019   06:56 dan memenangi even blogcompetition dengan tema "Generasi Kreatif Rencanakan Hidup Berkah Sedini Mungkin" kerjasama Bank Syariah Danamon dengan Kompasiana, berhadiah 4,5 juta dibagi rata untuk 3 pemenang.

 

Ketika Orang Banjar Naik Haji

 
Emad Sedang Berdoa di Masjidil Haram | @kaekaha
Islam dan Orang Banjar

Masyarakat Banjar dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Sejarah interaksi diantara keduanya dimulai sejak berdirinya Kesultanan Banjar sekitar 5 abad  yang lalu. 

Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.


Sejak jaman keemasan Kesultanan Banjar, Kota lama Banjarmasin yang lokasinya di muara Sungai Kuin di tepian Sungai Barito, telah menjadi bandar perdagangan penting sekaligus pintu masuk utama pergerakan manusia dan barang dari dan menuju pedalaman Pulau Kalimantan. Sedangkan masyarakat Banjarnya sendiri sejak saat itu semakin mengukuhkan identitas komunalnya sebagai bangsa pedagang yang ulung. 

Uniknya, pilihan hidup komunal Urang Banjar menjadi pedagang yang ulung ini, ternyata juga terinspirasi oleh sosok Rasulullah, Muhammad SAW yang notabene (awalnya) juga seorang pedagang yang ulung.

 Selain itu, inspirasi Rasulullah semakin berurat dan berakar dalam alam bawah sadar masyarakat Banjar ketika Hadits , “Pedagang yang dapat dipercaya dan jujur akan bersama-sama dengan para nabi, shiddiqin, syuhada.” (HR. At Tirmidzi), ini dijadikan rujukan masyarakat Banjar dalam ber-muamallah khususnya dalam perdagangan. 

Perdagangan di Pasar Terapung Banjarmasin | @kaekaha


Masyarakat Banjar sangat familiar dengan ungkapan "Umur tidak berbau" (teks asli dalam bahasa Banjar "Umur Kada Babau"), yaitu sebuah ungkapan bahari (tua) yang secara umum bisa dimaknai sebagai ajal atau maut bisa datang kapan saja. Ungkapan ini terinspirasi dari hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”


Ungkapan "Umur tidak berbau" ini merupakan ungkapan yang paling populer di kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan setelah Lafaz  Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un  ketika mendengar kabar berita kematian atau meninggalnya seseorang.

Baca Juga : Mohon... Jangan Naik Haji Lagi!

Ungkapan bertuah ini telah lama menjadi sugesti bagi masyarakat Banjar "untuk selalu ingat mati" khususnya disaat yang tepat, karena dengan mengingat mati, diyakini masyarakat Banjar akan melembutkan hati, qana’ah dan lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah, baik dalam konteks Hablumminannas maupun Hablumminallah

Panggilan Allah untuk Manusia | annajah.com

 Jika anda ingin melihat atau merasakan secara langsung salah satu tradisi muamallah masyarakat Banjar yang merupakan kombinasi antara kearifan lokal suku Banjar dengan syariat Islam, coba anda jalan-jalan ke pasar terapung dan coba belilah sesuatu dari para acil-acil pedagang yang ada. Coba perhatikan di akhir transaksi! Acil-acil itu biasanya akan mengucapkan kata “Jual” dan anda sebagi pembeli seharusnya mengucapkan “Beli”. Itulah yang namanya ijab kabul dalam jual beli, salah satu tradisi "kearifan lokal" masyarakat Banjar yang diadopsi dari syariat Islam.

Orang Banjar Naik Haji

Kalau memperhatikan daerah-daerah di Indonesia yang daftar tunggu haji atau waiting list-nya tergolong lama, yaitu Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa Timur sepertinya ada benang merah diantara daerah-daerah tersebut yang bisa kita ambil sebagai materi kajian.

Benang merah pertama adalah, daerah-daerah tersebut merupakan “rumah” bagi suku-suku di Indonesia yang dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Saking kuatnya, suku Aceh di Aceh, Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur serta Madura di Jawa Timur ini sangat identik dengan agama Islam.

Sedangkan benang merah keduanya adalah latar belakang identitas komunal suku-suku ini yang dikenal mempunyai tradisi kuat dalam perdagangan sehingga melahirkan pedagang-pedagang ulung yang tangguh.

Jamaah Haji Banjar Memasuki Pesawat | kalamanthana.com


Khusus untuk Sejarah haji Orang Banjar, menurut budayawan Banjar Zulfaisal Putra memang tidak ada catatan resmi  yang bisa dijadikan rujukan, tapi jika melihat sejarah hidup Syeh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812), ulama berpengaruh dari Kesultanan Banjar ini semasa hidupnya pernah menetap di Mekkah sekitar 30 tahunan.

Artinya, tahun 1700-an sudah ada Urang Banjar yang naik haji. Bahkan, menurut catatan Lesley Potter (2000), sebagaimana dikutip Taufik Arbain, yang tahun 1800-1900-an mencatat besarnya persentase dan proporsi orang Banjar yang menunaikan ibadah haji jika dibandingkan penduduk di pulau Jawa.

Kisah perjalanan naik haji Orang Banjar berikut pernak-pernik yang menyertainya, tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang spiritual dan cultural-nya sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia yang identik dengan agama Islam dan identitas komunalnya sebagai pedagang-pedagang ulungseperti halnya suku Aceh, Bugis, Makassar dan Madura yang sama-sama mempunyai akar kebudayaan Islam yang kuat, masyarakat Banjar termasuk penyumbang jamaah haji terbesar di Indonesia.

Jabal Rahmah Diluar Musim Haji | @kaekaha


Saat ini, daftar tunggu haji untuk Kalimantan Selatan menurut situs resmi milik Kementerian Agama haji.kemenag.go.id  hampir mencapai 30 tahun dan menempati urutan ke-2 terlama setelah Sulawesi Selatan yang daftar tunggunya dirinci per-kabupaten.
Kenapa antusias masyarakat Banjar begitu besar untuk naik haji?
Sudah menjadi rahasia Indonesia, kalau masyaraakat Banjar dikenal mempunyai minat naik haji di atas rata-rata, karenanya sampai ada kelakar yang menyatakan bahwa naik haji dan umrah ke tanah suci memang hobi Urang Banjar . 

Hampir sama dengan daerah lain di Indonesia, ibadah haji bagi masyarakat Banjar tidak hanya menjadi bukti ketaatan tertinggi kepada Sang Maha Kuasa Allah SWT, tapi juga menjadi bagian dari eksistensi status sosial di masyarakat. 

Selain mendapat "tempat khusus" dari lingkungan sekitar, biasanya Pak Haji atau Ma Haji akan selalu diberikan tempat terdekat dengan tuan Guru bila ada acara keagamaan. Mantap kan!?

Sudah menjadi tradisi bagi semua masyarakat Banjar untuk selalu menjaga “mimpi” naik haji, apapun latar belakang kehidupannya, mau laki-laki atau perempuan, miskin atau kaya, tua atau muda sejak lahir semuanya akan mendapatkan doa dan sugesti dari lingkungannya agar kelak bisa menunaikan ibadah haji ketika saatnya berhaji tiba. Karena itu pula, sejak jaman nini-kai dulu masyarakat Banjar sudah terbiasa untuk menyiapkan ibadah haji sejak dini.


Selain ritual doa untuk si anak, realitas mempersiapkan ibadah haji sejak dini masyarakat Banjar yang "terpenting" adalah dalam bentuk menyisihkan sebagian pendapatan atau menabung untuk bekal berhaji, baik untuk diri sendiri maupun untuk si-anak sejak kelahirannya. Kalau sekarang, menabungnya di Bank Danamon Syariah yang telah ditunjuk pemerintah untuk menerima setoran ONH, khusus untuk tabungan anak-anak biasanya masih menggunakan nama pengampu.

Bank Danamon Syariah mempunyai dua produk tabungan haji inovatif yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan nasabah calan jamaah haji, yaitu Rekening Tabungan Jemaah Haji (RTJH) dan Tabungan Rencana Haji iB. Untuk keterangan lebih detail bisa menghubungi Hello Danamon 1-500-090, Email: hellodanamon@danamon.co.id atau datang langsung ke cabang Bank Danamon terdekat di kota anda tercinta. Untuk update layanan terbaru jangan lupa untuk mengikuti semua media sosial Bank Danamon ya! Ada facebook, twitter, instagram, you tube dan LinkedIn.

Alasan Urang Banjar mempersiapkan ibadah haji sejak dini (bahkan Urang Banjar melakukannya sejak jabang bayi lahir) karena,



Pertama, keyakinan sugestif “Umur tidak berbau". Kita tidak akan pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Karenanya, Urang Banjar lebih memilih untuk berpikiran positif (husnudzan) dengan  berinisiatif sesegera mungkin  naik haji sebelum ajal menjemput.

Kedua, dengan menyegarakan niat beribadah haji sejak dini, setidaknya ada tiga hal yang akan kita mulai dan dapatkan, yaitu :

Mulai berniat sungguh-sungguh untuk berhaji dan kalaupun kita meninggal sebelum panggilan datang, setidaknya kita sudah mendapatkan pahala niat.

Urang Banjar meyakini hanya orang yang benar-benar siap lahir (materi/finansial, fisik, ilmu dan waktu tunggu) dan batin (taqwa) saja yang akan mendapatkan panggilan berhaji dari-Nya. Karena itu, Urang Banjar selalu berusaha semaksimal mungkin memulai persiapan berhaji sejak dini, bahkan sejak bayi baru lahir.

Terakhir, urang Banjar juga meyakini siapapun yang meluruskan niat berhaji dan sungguh-sungguh mempersiapkan semuanya sejak dini, maka  Insha Allah, Allah sendiri yang akan menuntun, memudahkan serta memampukannya.

Masyarakat Banjar Biasa Melaksanakan Ibadah Umrah dan Haji di Usia Muda (Foto : @kaekaha)


Ketiga, kebiasaan menabung sejak dini untuk biaya haji diyakini mempunyai multi manfaat, tidak hanya untuk bekal berhaji saja tapi juga melatih untuk konsisten menjaga ketahanan keuangan keluarga dan yang sering tidak disadari adalah manfaat menabung sebagai terapi  proses  dan juga terapi kesabaran  yang diyakini sangat efektif untuk mendidik anak-anak agar gemar menabung dan (menjawab tantangan milenial kekinian) agar anak tidak mudah terjebak dengan pola pikir serta perilaku pragmatisme dan instantisme.

Keempat, dengan jeda waktu sekitar 12 tahun (dihitung dari umur 0-12 tahun, batas umur diijinkan naik haji) ditambah dengan daftar tunggu sekitar 30 tahun, Insha Allah Anak-anak akan naik haji pada usia 42 tahun, range usia matang dan masih tergolong kuat dan sehat untuk menjalani ritual haji yang penuh tantangan fisik dan psikhis.

Kelima, prosesi (budaya) keberangkatan naik haji masyarakat Banjar juga membutuhkan biaya, diawali dengan melaksanakan shalat hajat, selamatan (sehari sebelum berangkat) serta upacara tapung Tawar di hari keberangkatan dengan mengundang sanak saudara, tetangga dan semua orang yang dikenal (tergantung kemampuan finansial masing-masing).

Karena "umur tidak berbau" acara selamatan ini biasanya juga dimanfaatkan tuan rumah untuk  meminta maaf, keridhaan, kerelaan, keikhlasan termasuk minta bantu doa dari tamu yang datang saat melepas kepergiannya ke tanah suci.

Begitu juga ketika pulang haji, mereka disambut dengan sebuah  lawang sekepeng di gerbang masuk halaman rumah dengan atap kain putih memanjang sampai pintu rumah. Biasanya, setelah itu akan banyak tamu yang bersilaturahmi ke rumah.
Uraian ini saya sarikan dari kisah nyata persiapan perjalanan ibadah haji diusia muda yang dijalani istri saya, Hj. Hamida Yanti pada tahun 1989 yang saat itu dicatat Departemen Agama dan Garuda Indonesia sebagai jamaah haji termuda, yaitu berusia 12 tahun 5 bulan 8 hari. Semoga bermanfaat.
Sertifikat Jamaah Haji Termuda dari Garuda Indonesia (Foto/Grafis : @kaekaha)
Sertifikat Jamaah Haji Termuda dari Garuda Indonesia | @kaekaha