"Luh, laki ikam turun bagawikah?
Rumah pina sunyi lalu!?"
Itulah dialog yang terjadi pagi tadi di teras rumah, antara isteri saya dengan Acil Inur, penjual aneka wadai (kue;bahasa Banjar) yang setiap pagi selalu singgah ke rumah untuk menawarkan jaring tahi lala alias olahan jengkol manis khas Urang Banjar yang dijajakannya keliling kampung.
Secara harfiah, dialog diatas bisa diartikan sebagai berikut,
"Luh ( kependekan dari kata Galuh, panggilan untuk anak perempuan khas Suku Banjar), suamimu pergi kerja?"
"Kok rumahmu sunyi sekali"
Saya yang secara tidak sengaja dan sekilas saja mendengar percakapan tersebut, justeru tertarik dengan salah satu frasa unik dalam bahasa Banjar yang di ucapkan Acil Inur, "turun bagawi".
Dalam bahasa Banjar, kosakata bagawi artinya bekerja, sedangkan kata turun sebenarnya mempunyai arti yang sama dengan arti dalam bahasa Indonesia, tapi uniknya dalam pemanfaatan sehari-hari kosakata turun ini bila diikuti dengan kata bagawi dan membentuk frasa, maka maknanya berubah.
Frasa "turun bagawi" seperti kalimat Acil Inur diatas bisa dimaknai sebagai pergi atau berangkat. Varian frasa lainnya yang setingkat adalah "turun sakulah" (sekolah;bahasa Banjar). Misalkan dalam kalimat "anak ikam kada turun sakulah kah?" yang bisa dimaknai sebagai "anakmu tidak berangkat sekolah?"
Uniknya lagi, dalam percakapan sehari-hari, khususnya untuk percakapan non formal, frasa "turun bagawi" atau "turun sakulah" ini penyebutannya lebih sering tidak utuh atau tidak lengkap, hanya disambat atau disebut bagian turun-nya saja.
Misalkan, "Luh, laki ikam turun kah?" atau "Luh, anak ikam kada turun?"
Tapi, meskipun tidak lengkap dalam menyebutkannya, uniknya semua tetap paham jika yang dimaksudkan adalah turun yang bermakna pergi atau berangkat, baik pergi kerja maupun berangkat sekolah.
Etimologi Para Tetuha
Pergeseran makna kata "turun" dalam frasa "turun bagawi" ini, menurut beberapa tetuha di kampung tidak tiba-tiba ada, tapi justru berhubungan erat dengan peradaban masyarakat Banjar dari masa lalu. Waaaaw dari masa lalu?
Pergeseran makna ini ternyata sebuah "jejak" bersejarah dari konstruksi arsitektur rumah Banjar di masa lalu yang umumnya berbentuk ala rumah panggung.
Rumah panggung yaitu rumah yang fisik bangunannya dibangun berjarak (tidak menempel) dengan permukaan tanah, dengan ketinggian sesuai dengan kebutuhan, tergantung jenis rumah adat Banjar-nya dan keperluannya yang biasanya untuk menghindari banjir maupun serangan binatang buas.
Karena posisi fisik rumah panggung lebih tinggi dari pada umumnya, maka untuk mengaksesnya diperlukan tangga yang umumnya juga terbuat dari bahan kayu dengan berbagai model yang biasanya berhias dengan aneka ukiran tradisional yang khas.
Jadi kalau direkonstruksi, sebenarnya kalimat awal penbentuk frasa "turun bagawi" adalah "turun gasan bagawi" yang artinya adalah turun untuk bekerja.
Kata turun disini mengindikasikan bahwa untuk bagawi atau bekerja, maka seseorang harus turun dulu. Dalam konteks ini jelas, turun-nya adalah turun dari rumah (panggung) menuju tempat bekerja. Ini juga berlaku untuk frasa setara seperti turun sakulah.
Uniknya, kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya "jejak" konstruksi rumah adat Banjar di masa lalu di dalam Bahasa Banjar, tidak hanya ada pada frasa untuk "turun-nya" saja, turun bagawi dan atau turun sakulah saja, tapi "naik-nya" juga.
Jika anda berkesempatan bertamu ke rumah Urang Banjar, terutama yang di daerah-daerah, biasanya ucapan atau ajakan tuan rumah untuk mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah, bukan "silakan masuk" atau "ayo masuk" tapi "silakan naik" atau "ayo naik", tentu dengan bahasa dan logat khas Banjar, meskipun rumah tinggal si-tuan rumah bukan lagi rumah panggung.
Untuk ajakan "naik" ini, bagi orang-orang yang baru berada di lingkaran urang Banjar tentu akan terheran-heran. Naik? Naik kemana? Lhah rumah Urang Banjar sekarang sudah relatif jarang yang berkonstruksi rumah panggung, apalagi yang berbahan dari kayu.
Semoga bermanfaat
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar