Kamis, 25 Agustus 2022

Dahsyatnya Pesugihan "Gulo Abang" Mbah Marni

 Semut Mengerubuti Cairan Gula | maduonggu.com

Namanya Mbah Marni!

Begitulah saya dan semua orang di kampung kami mengenal nenek tua yang dikenal luas sebagai pengamal sekaligus sosok yang konon pertama kali mempopulerkan kedahsyatan "pesugihan gulo abang"  di kampung kami, sebuah desa kecil nan asri yang ijo royo-royo dan selalu nampak adem ayem,  gemah ripah loh jinawi toto tentren kerto lan raharjo persis di kaki Gunung Lawu sisi sebelah Timur Laut di ujung barat Propinsi Jawa Timur.

Mbah Marni yang sebatangkara sejak ditinggalkan jinate  Mbah Darmo, suaminya yang meninggal dunia saat menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam, menjalani hari-harinya sebagai penjual getuk dan beberapa olahan dari bahan telo menyok lainnya, seperti utri, cenil, sawut, gatot, lupis dan lain-lainnya.

Khusus untuk getuk yang menjadi materpiece-nya olahan tangan Mbah Marni, memang telah sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual sarapan pagi masyarakat di kampung kami.

Dari anak-anak sampai orang dewasa, sepertinya memang tidak ada yang bisa melewatkan sensasi manis gurihnya padupadan legendaris telo menyok dengan gulo aren asli yang ditetel sampai lembut hingga menghasilkan tekstur getuk yang selalu bikin ketagihan siapa saja yang pernah mengudapnya untuk sarapan pagi hari.

Di keluarga saya, getuk Mbah Marni juga tidak pernah ketinggalan mengisi meja untuk sarapan pagi. Diawali dengan "sepincuk" sego pecel-nya Yu Gembrot dan secangkir kopi pahit kental buatan ibu yang sama-sama legend-nya, maka getuk olahan Mbah Marni yang memang nyamleng akan selalu hadir layaknya dessert alias "partai" penutup.

Mungkin, seandainya ada jurusan akademik kuliner tradisional dengan konsentrasi per-getukan atau per-telo menyokan, sepertinya sangat layak kalau Mbah Marni diangkat menjadi guru besarnya, propesornya!

Pengakuan terhadap olahan getuk Mbah Marni tidak hanya datang dari kami, warga kampung yang sejak lahir ceprot memang sudah akrab dengan lembutnya getuk dengan lelehan gulo aren alias gula merah yang selalu ngangeni itu, tapi juga dari berbagai kalangan, termasuk kalangan pejabat, setidaknya di level Bupati dan koleganya.

Kok bisa ya, mosok iyo olahan getuk dan konco-konconya dari telo menyok kok bisa seterkenal itu? Konon, menurut para orang tua, "kesuksesan" getuk Mbah Marni ini ada hubungannya dengan "pesugihan gulo abang" yang selalu diamalkan oleh Mbah Marni dan juga suaminya, jinate Mbah Darmo.

Apa itu "pesugihan gulo abang" ?

Setiap pagi selain di hari Ahad, setelah Subuhan di langgar,  saya dan adik selalu berbagi tugas untuk membeli sego pecel  di warung Yu Gembrot dan juga getuk-nya Mbah Marni. Khusus untuk "tugas" membeli getuk  di lapak jualan Mbah Marni yang hanya memanfaatkan buk di halaman Lik Sairun itu, merupakan tugas yang gilirannya paling kami tunggu-tunggu.

Biasanya, khusus untuk anak-anak kecil yang membeli dagangannya, Mbah Marni tidak pernah lupa menghadiahkan sebungkus utri atau setakir  kecil lupis yang disiram dengan kinca atau kuah kental gulo aren atau gulo abang yang citarasa ajaibnya, takkan terlupakan sepanjang masa.

Selain itu, Mbah Marni juga mempunyai kebiasaan unik yang sepertinya tidak akan terpikirkan oleh siapapun sebelumnya, yaitu "atraksinya" memberi makan koloni semut di sekitar buk tempatnya berjualan.

Biasanya, Mbah Marni memberi makan kawanan semut itu dengan kuah kinca atau kuah gulo aren, sesaat sebelum menggelar dagangannya di atas buk dan sebisa mungkin terus mengontrolnya. Bila tetesan kuah kinca  telah dirubung oleh kawanan semut dan habis, maka beliau akan meneteskan lagi kuah kinca di lokasi yang sama, jadi masing-masing kawanan semut bisa menikmatinya sampai kenyang.  

Dua kebiasaan inspiratif  Mbah Marni di awal pagi, yaitu berbagi "gulo abang atau gulo aren" itulah yang kelak menjadi asbab lahirnya istilah "pesuhihan gulo abang" yang identik dengan Mbah Marni dan juga jinate Mbah Darmo serta keluarga besarnya. 

Memang, munculnya istilah "pesugihan gulo abang" sebenarnya memberi makna konotatif yang kurang baik untuk Mbah Marni dan jinate Mbah Darmo, termasuk juga untuk promosi usaha kulinernya yang serba dari telo menyok.  Orang di kampung kami juga tidak ada yang  tahu, siapa yang memulai memunculkan istilah tersebut.

Tapi itulah rahasia Allah! Apapun maksud dan tujuan orang memberi identitas "pesugihan" yang berkonotasi negatif pada praktik berbagi atau sedekah yang dicontohkan keluarga Mbah Marni, sepertinya justeru menjadikan pamor olahan getuk Mbah Marni semakin moncer, terkenal dan banyak digandrungi masyarakat atau kalau meminjam istilah sekarang, getuk Mbah Marni justeru menjadi viral. 

Unik dan luar biasanya, Mbah Marni, jinate Mbah Darmo dan anak-anaknya yang semuanya sukses berkarir di kota sama sekali tidak terganggu dengan label sebagai pengamal sekaligus sosok yang pertama kali mempopulerkan kedahsyatan "pesugihan gulo abang". Menurut mereka, orang sekampung juga tahu bagaimana latar belakang keluarga mereka!

Memang, keluarga Mbah Marni dari trah kakek buyutnya memang termasuk keluarga yang terpandang dan dihormati di kampung kami. Bukan hanya karena harta, kekayaan dan juga posisinya sebagai keluarga sesepuh kampung, tapi juga karena ketinggian ilmu agamanya yang sering menjadi rujukan bagi seluruh warga kampung.

... dan kemarin, ada berita duka datang dari kampung saya! Mbah Marni dipanggil menghadap Allah SWT tepat di hari Jumat, hari yang sangat istimewa tentunya. Kabarnya, beliau dipanggil pulang oleh Allah SWT di dalam bilik mihrab-nya, tempat sehari-hari beliau menjalankan ibadah salat 5 waktu.

 Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, selamat jalan Mbah Marni...

Kami tidak akan pernah melupakan semua pemberianmu yang selalu membuat masa kecil kami penuh dengan warna kegembiraan dan kami akan terus berusaha melestarikan inspiratifnya ilmu "pesugihan gulo abang-mu Mbah!

Doa kami akan selalu menyertaimu dan semoga Allah SWT menerima semua amal ibadahmu. Amin.


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 18 Juni 2022  jam  22:31 WIB (klik disini untuk membaca) dan terpilih sebagai Artikel Pilihan.

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




Tidak ada komentar:

Posting Komentar