"Dunia anak-anak adalah dunia bermain".
Sepertinya idiom naluriah inilah yang menuntun saya dan teman-teman sebaya yang merasakan masa kanak-kanak di dekade 80-an, saat itu seperti tidak pernah kehabisan ide dan cara asyik mengisi ruang dan waktu yang kami miliki, baik yang bersifat personal maupun komunal tanpa rasa bosan. Apalagi ketika bulan puasa alias bulan Ramadan tiba!
Ramadan tiba, ramadan tiba, Marhaban ya Ramadan!
Bagi anak-anak seperti kami yang saat itu baru duduk di bangku SD, bulan puasa juga telah menjadi bulan paling istimewa. Tentu "bulan istimewa" versi alam pemikiran kami ya!
Istimewanya bulan Ramadhan versi kami saat itu, jelas tidak lepas dari idiom naluriah yang saya sebut di awal, yaitu "dunia anak-anak adalah dunia berteman dan bermain".
Tapi maaf, jangan salah paham dulu ya! Bukan berarti kami menjalani beragam ibadah selama bulan Ramadan yang penuh berkah, hanya dengan main-main lho ya, tapi kalau memakai bahasa orang dewasa atau bahasa saya sekarang, secara naluriah kami saat itu seperti mengambil "spirit" bermain-main ala anak-anak yang saat itu lebih suka berteman, selalu bersama-sama dan tentunya bersenang-senang sebagai spirit beribadah kami.
Baca Juga : Bernostalgia dengan Mainan Anak-anak Tempo Dulu di Kota Tua Jakarta
Saat itu, kami merasakan hampir semua waktu kami selama bulan ramadan adalah quality time untuk beribadah dengan suasana yang selalu menyenangkan.
Beribadah puasa seharian penuh, sholat lima waktu, taddarus Alquran dan juga shalatul lail setiap malam, semuanya kami lakukan di langgar (sebutan lain dari mushalla di kampung kami) secara bersama-sama dengan teman-teman, praktis saat itu hanya makan sahur saja yang kami lakukan di rumah, hingga karenanya kami dijuluki sebagai anak-anak langgar.
Rahasia kami bisa melakukannya, ya itu tadi! Di sela-sela berbagai aktifitas ibadah, kami tetap bisa berada dalam dunia kami, dunia anak-anak yang identik dengan bermain dan selalu menyenangkan. Ini uniknya, mungkin anak-anak milenial sekarang akan terheran-heran membaca atau mendengar kisah kami, anak-anak langgar dekade 80-an!
Mainan Anak-anak 80-an
Pada masa-masa itu, semua yang ada disekitar kami, apa saja itu, semuanya bisa kami olah menjadi mainan. Itu sebabnya, kami tidak pernah mengenal kata bosan atau mati gaya!
Batang pelepah pisang bisa kita buat stand gun dan beragam senjata laras panjang maupun pendek untuk main polisi-polisian atau perang-perangan yang penuh imijinasi dan memerlukan ketangkasan.
Kalau mau yang agak beneran pakai mimis atau peluru, kita bisa bikin handle menyerupai pistol atau senjata laras panjang dari papan atau bambu dan ujungnya di kasih karet pentil yang berguna sebagai pelontar peluru yang biasanya berupa bakalan buah jambu air yang jatuh dari pohon yang sebelumnya dijepit di bagian handle.
Kulit
jeruk bali bisa kita buat jadi mobil-mobilan atau kapal-kapalan, batang
dahan pohon yang bercabang membentuk huruf Y bisa kita buat plintengan, sebutan ketapel di kampung kami. Begitu juga dengan biji buah asam jawa dan atau biji sawo yang biasa kami sebut sebagai kecik, bisa menjadi bahan permainan adu kecik yang cara mainnya kurang lebih sama dengan adu kelereng atau adu tutup botol seperti yang terlihat di serial Upin & Ipin.
Pecahan genteng dan bola dari gumpalan plastik kita pakai permainan boy, batu-batu di jalanan bisa pakai main damparan, patahan kayu buat main patil lele, kertas koran bisa kita jadikan lampion terbang yang benar-benar bisa terbang dengan memanfaatkan ilmu fisika, bahkan dua penjuru dinding regol atau pintu masuk halaman rumah, kami pakai untuk main benteng-bentengan dan jika halamannya luas juga kita pakai untuk main gobak sodor... dan di Bulan Ramadan, biasanya "kreatifitas" kami justeru bertambah!
Baca juga : Meluruskan Kekeliruan Massal "Umat Muslim"
Tidak hanya itu, khusus untuk Cah lanang alias anak laki-laki, ada satu lagi permainan yang sepertinya tidak akan pernah terlupakan, yaitu membuat sekaligus memainkan longdem alias meriam bambu atau meriam tanah atau ada juga yang menyebutnya sebagai meriam karbit dan beragam model petasan tradisional buatan kami sendiri, dari bahan-bahan limbah seperti busi bekas sepeda motor, pangkal jeruji sepeda motor, sampai koran atau kertas bekas pakai. Ada yang pernah memainkan ini?
Uniknya lagi, biasanya waktu untuk bermain dan atau memmainkan beragam mainan yang kami punya tersebut, sudah ada waktunya sendiri-sendiri, sesuai dengan aturan umum yang berlaku di kampung.
Misalkan, untuk memainkan longdem biasanya hanya sore hari selepas shalat Ashar sampai menjelang Maghrib, begitu pula kalau mau memainkan gobak sodor, benteng-bentengan, lampion terbang itu paling pas malam hari apalagi pas bulan purnama, setelah selesai giliran tadarus.
Bagaimana keseruannya, menyenangkan bukan?
Kemul (Bakalan) Sarung
... dan yang paling spesial di bulan Ramadan adalah sarung-sarung baru hadiah dari orang tua untuk kami pakai sholat di langgar. Umumnya, sarung anak-anak jaman itu semuanya bermotif kotak-kotak dengan warna yang ngejreng alias mencolok.
Tidak seperti sarung jaman sekarang yang bahan, desain, corak, warna dan tentu harganya juga sangat beragam, sehingga memberi banyak pilihan.
Uniknya saat itu, sarung anak-anak yang baru di beli di pasar, biasanya masih berbentuk lembaran seperti kain jarik atau kami di Banjarmasin menyebutnya sebagai kain tapih bahalai dengan kedua ujung kain belum disatukan dengan cara dijahit agar membentuk layaknya sarung. Sehingga kami sering menyebutnya sebagai bakalan sarung.
Biasanya, ibu-ibu kami di kampung, baru menjahit bakalan sarung tersebut di ujung-ujung Ramadan atau ketika mendekatai lebaran tiba, untuk dipakai saat shalat idul fitri di tanah lapang kampung.
Namanya juga anak-anak, meskipun belum di jahit, tetap saja bakalan sarung tersebut kami bawa ke langgar. Biasanya, kain itu kami pakai untuk maka bermain-main dengan teman-teman lainnya, seperti bikin ikat kepala meniru bajak laut, topeng layaknya ninja, atau jadi kain terbang layaknya superman, batman dan jenis man-man lainnya.
Setelahnya, apalagi kalau bukan untuk perang sarung dan setelah kecapekan, barulah kain-kain bakalan sarung itu kembali kepada fungsi legendaris-nya, untuk kemul sarung alias selimut yang menemani tidur malam kami di langgar selama Ramadan.
Lus Sikil yang Ngangeni!
Sebelum tidur, kami anak-anak langgar di kaki Gunung Lawu juga mempunyai satu "ritual" unik yang telah mentradisi sejak lama di lingkungan kampung kami, yaitu lus sikil.
Istilah lus sikil ini berasal dari istilah ngelus sikil atau usap kaki ini. Aktifitas ini biasanya kami lakukan secara beramai-ramai secara paralel jika rangkaian ibadah malam Ramadan telah tertunaikan semuanya dan semua sudah bersiap untuk tidur.
Tapi bisa juga dilakukan berdua saja, sesaat setelah selesai giliran ber-tadarus atau membaca Alquran dan sedang istirahat sambil menunggu takjil berat alias nasi bungkus tiba.
Caranya cukup mudah! Secara teknis sangat sederhana, yaitu saling mengusap kaki teman (biasanya bagian telapak, kecuali ada kesepakatan lain). Jika hanya berdua, maka dengan cara berebah kami tinggal mengatur posisi, agar masing-masing bisa saling mengusap telapak kaki secara lembut, sehingga masing-masing tidak berasa geli, tapi justeru merasa keenakan hingga banyak diantaranya yang akhirnya malah tertidur pulas.
Biasanya, kami melakukan lus sikil ini dalam keadaan memakai sarung, tapi bagian atas tidak dililit layaknya mau sholat, sedang bagian bawah sarung sengaja dilebihkan agar bisa melindungi kaki, khususnya bagian telapak yang diusap, dari serangan nyamuk-nyamuk nakal.
Lus sikil ini pada dasarnya bisa diikuti siapa saja dan berapa saja pesertanya, tapi karena di dalam aktifitasnya tidak sekedar usap-mengusap atau sekedar ngelus-ngelus telapak kaki dan sekitarnya saja, tapi juga ada obrolan, gurauan, bahkan curhat-curhatan bagi yang sudah remaja-dewasa, maka umumnya kedekatan emosi lebih menjadi pertimbangan untuk membentuk grup atau setidaknya partner lus sikil ini.
Makanya, partner dalam grup lus sikil ini biasanya bersifat tetap dan relatif tidak berubah-rubah. Paling umum, dalam satu grup itu merupakan teman seangkatan kolah yang sesebaya atau seumuran dengan jumlah anggota berbeda-beda. Kecuali ada hal-hal tertentu yang memang mengharuskan saling mencari partner baru.
Sampai saat ini, kami masih mengingat dengan jelas, romantika Ramadan anak-anak langgar di kampung kecil di kaki Gunung Lawu dekade 80-an dan sebagai pengobat rindu, saya mencoba untuk terus melestarikan tradisi lus sikil ini di dalam keluarga saya sendiri dan uniknya, tradisi lus sikil ini telah menjadi "obat tidur" paling mujarab dalam keluarga kami. Naaah, mau mencoba?
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar