Walaupun sudah beberapa kali berkunjung dan tinggal sesaat di Kota Metropolitan Jakarta, bagi "orang seberang" seperti saya, mendapat undangan untuk menjadi "orang Jakarta" hampir seminggu lamanya tetap saja menjadi sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Apalagi sebagai tamu, saya benar-benar mendapatkan kehormatan layaknya tamu kehormatan yang sesungguhnya.
Baca Juga : Masjid Sabilal Muhtadin, Ruang Dialektika Budaya Kalimantan
Sama tuan rumah, saya diinapkan di lantai 9 yang tinggi banget di sebuah hotel megah dan mewah di daerah Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari ketinggian kamar hotel yang di kejauhan tampak Mall Taman Anggrek ini, saya bisa menikmati pendar lampu-lampu berbagai kendaraan yang dari atas tampak kecil mungil sedang lalu-lalang di perempatan yang mempertemukan jalan Fachrudin dengan jalan Abdul Muis, serta jalan Jati Baru Raya dengan jalan Kebon Sirih. Ini keren banget!
Selain itu, dari kamar 923 tempat saya berdiri, saya juga bisa melihat kerlap-kerlip lampu landscape Kota Jakarta bagian Barat dari gedung-gedung tinggi walaupun tidak tergolong jenis pencakar langit. Dan yang menakjubkan, tempat saya berdiri saat itu masih lebih tinggi dari sebagian besar gedung-gedung di sekitarnya. Sekali lagi ini keren banget! Di kampung saya yang dipisahkan oleh lautan berjarak lebih dari 1000 km dari Kota Jakarta, tentu sangat sulit mendapatkan konfigurasi landscape urban seperti yang saya nikmati saat ini.
Baca Juga : Cerita Masjid Tua Tanpa Nama di Sungai Jingah
Ditengah kekaguman saya pada Kota Jakarta yang sepertinya memang tidak pernah tidur ini, tiba-tiba terdengar kumandang suara azan dari kejauhan. Woooow, sudah masuk Subuh rupanya! Selain terkaget-kaget karena cepat sekali waktu bergerak menuju pagi, gema azan pagi subuh ini benar-benar surprise bagi saya.
Jujur, saya tidak menyangka kalau di Jakarta ternyata juga "masih" ada azan subuh menggema bersahut-sahutan seperti di kampung saya di seberang lautan.
Tidak mau tertinggal sunnah-nya Rasulullah untuk mengikuti sholat fardhu secara berjamaah di masjid terdekat, saya langsung telpon ke Resepsionis hotel untuk menanyakan lokasi masjid terdekat yang bisa saya akses untuk sholat Subuh berjamaah. Pertama, resepsionis menawarkan masjid hotel yang berada di basement hotel, satu lokasi dengan parkiran mobil. Tapi, dengan halus saya menolak tawaran resepsionis, karena saya ingin mengenal lingkungan tempat saya tinggal selama satu minggu kedepan, khususnya masjid terdekat.
Karena sebagai laki-laki muslim yang sudah dewasa, saya harus mengikuti sunnah Rasulullah untuk semaksimal mungkin berusaha melakukan sholat 5 waktu di masjid.
Kedua, akhirnya resepsionis mengarahkan saya ke Masjid di komplek Bank Indonesia yang gerbang pintu masuknya tinggi banget plus di jaga dua orang security yang ekor matanya terus mengikuti langkah saya sejak mereka menangkap kehadiran saya di luar pagar dari ujung jalan Kebon Sirih. Melihat gelagat yang sepertinya "tidak baik" itu, saya dan Rio teman sekamar asli Bengkulu yang sengaja saya ajak ke Masjid mengurungkan niat untuk ikut sholat berjamaah di masjid yang berada di dalam komplek Bank Indonesia tersebut.
Saya dan Rio akhirnya memutuskan kembali ke hotel, tapi karena saya masih penasaran sebelum masuk ke halaman hotel saya mencoba bertanya kepada dua orang security yang sepertinya ditugaskan untuk menjaga sekaligus mengatur parkir kendaraan tamu dari pintu masuk gerbang hotel. Dari bapak-bapak yang mengaku asli dari Jawa Timur tersebut akhirnya saya ditunjukkan lokasi masjid terdekat yang jaraknya sekitar 200 meter di seberang jalan melewati perempatan.
Baca Juga : Tengah Malam di Masjid Sabilal Muhtadin, Banjarmasin
Tanpa pikir panjang, setelah mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan dua orang security tersebut, saya langsung menarik Rio untuk mengikuti langkah saya. Dengan setengah berlari karena takut terlambat, kami berdua menuju masjid yang sama sekali tidak terlihat wujud dan bentuknya tersebut, tapi kami bisa mendengar puji-pujian asmaul husna yang digemakan oleh marbot masjid melalui pengeras suara.
Sampai di depan masjidnya sekalipun, penampakan masjid tetap belum terlihat karena barisan mikrolet (sebutan angkot di Jakarta) yang rapat menutupnya. Benar dugaan saya, sepagi ini masjid ini ternyata dipenuhi oleh para sopir angkot, sopir taxi argo, tukang ojek, polisi yang siap bertugas dan para pedagang termasuk pedagang kopi keliling yang sepagi ini sudah mengukur jalan untuk menjajakan kopinya kepada para penikmatnya.
Dari pandangan pertama, sebenarnya saya sudah merasakan adanya sejumlah keganjilan pada masjid yang ukurannya tidak terlalu besar dengan arsitektur yang menurut saya teramat sederhana ini.
Kok bisa, masjid seperti ini tetap bisa bertahan di tengah-tengah hiruk pikuk hedonisnya kota Jakarta, apalagi lokasinya di jalan Abdul Muis yang disekitarnya bertebaran berbagai bangunan dan gedung-gedung penting "ternama", tepat di jantung kota Jakarta tidak jauh dari tugu Monas, landmark ibu kota yang paling ikonik .
Setelah selesai sholat, di teras masjid tepat di bagian kuda-kuda bangunan terpasng papan nama masjid berwarna hijau tua dengan tulisan Masjid Jami AR-ROHAH. Ada yang yahu arti nama AR-ROHAH?
Tertutup deretan mikrolet, kesederhanaan arsitektur dan ragam jamaah yang memenuhi pagi subuh melengkapi deretan "keganjilan" yang semakin memperkuat daya tarik masjid ini. Tapi karena sebentar lagi aktifitas kami dengan tuan rumah yang mengundang saya ke Jakarta segera di mulai, maka selesai sholat saya sama Rio langsung bergegas kembali ke hotel yang dari depan masjid bangunannya kelihatan dengan jelas.
Baca Juga : Masjid Sultan Suriansyah, Monumen Berdirinya Kota Banjarmasin
Subuh hari pertama saya di Masjid Jami AR-ROHAH memberikan kesan "tergoda" dan saya berjanji dalam hati untuk kembali esok pagi, Insha Allah! Kok besok pagi? Ya karena padatnya rundown acara kami, sepertinya hanya waktu subuh saja saya bisa ikut sholat berjamaah di Masjid Jami AR-ROHAH.
Selain "fakta" masih adanya kumandang azan subuh yang bersahut-sahutan di langit pagi Jakarta, fenomena lain di pagi subuh Jakarta yang menarik perhatian saya adalah kicauan burung jalak yang selalu nyaring terdengar dari pepohonan menjulang di kiri kanan jalan Kebon sirih dan Abdul Muis. Suara kicauan ini sama persis dengan suara kicauan burung jalak di kampung saya, setiap azan subuh menggema di pagi buta.
Tapi karena penasaran dengan Masjid Jami AR-ROHAH, disela-sela agenda ISHOMA alias Istirahat, Sholat dan Makan saya mencoba browsing di internet terkait data-data tentang Masjid Jami AR-ROHAH. Sayang di dunia maya sangat sedikit sumber data tentang Masjid Jami AR-ROHAH. Tapi dari yang sedikit itu, justeru membuat saya semakin penasaran lho! Karena ada satu artikel dari kompas.com yang menyatakan bahwa Masjid Jami AR-ROHAH ini merupakan bagian dari tur sejarah tanah abang. Artimya, Masjid Jami AR-ROHAH termasuk salah satu Masjid bersejarah di Jakarta.
Selain itu, dari ulasan seseorang bernama Ilham Ilhami di goglemap saya dapatkan data berdirinya Masjid Jami AR-ROHAH di tahun 1920 sekaligus sebagai salah satu masjid tertua di betawi/Jakarta yang sebelumnya merupakan bangunan mushalla dari abad 19 (1890). Menariknya lagi, menurut Ilham Ilhami di samping masjid konon juga terdapat makam keramat-nya lho! "Anak bonjae bilang makam Kumpi..." begitu tulisan ulasan dari Ilham Ilhami.
Jujur, minimnya data-data publikasi tentang Masjid Jami AR-ROHAH yang konon termasuk masjid tua bersejarah di Jakarta benar-benar membuat saya semakin tertarik untuk membuka tabir misterinya!
Jakartaaaaaaaa! Siapa Menyimpan Sejarah Masjid Jami AR-ROHAH?
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar