Tampilkan postingan dengan label Blog Juara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Blog Juara. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Juni 2025

Cerita Paunjunan, Ketika Tradisi dan Hobi Bertemu Menjadi "Pekerjaan" Unik Khas Urang Banjar

Ikan Kihung Hasil Maunjun | @kaekaha
Ikan Kihung Hasil Maunjun | @kaekaha
 
Di awal-awal membangun rumah tangga dengan Galuh Banjar atau gadis Banjar lebih dari dua dekade silam, saya dan istri sempat beberapa waktu tinggal di pondok mintuha (mertua;bahasa Banjar)  indah di pinggiran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! 

Tentu saja, perbedaan tradisi dan budaya di antara saya dan keluarga besar dari isteri yang akhirnya benar-benar bertemu untuk pertama kalinya, melahirkan warna-warni cerita yang tidak saja unik dan menarik saja untuk dikenang, tapi juga pemahaman dan pengetahuan terkait kearifan lokal masyarakat Suku Banjar yang sebelumnya tidak banyak yang saya ketahui dan pahami.

Salah satunya adalah kearifan lokal terkait tradisi dan budaya pemanfaatan bahan pangan hasil sungai dan rawa dari hulu sampai hilir yang selalu ramah lingkungan, hingga akhirnya melahirkan beragam kuliner tradisional khas Banjar yang otentik dengan citarasa organik yang unik, identik dan tentunya sangat menarik.

Setiap hari, menu-menu kuliner khas Banjar  berbahan dasar ikan air tawar tidak pernah terlewatkan dari list menu santapan kami, mulai dari sarapan, makan siang maupun makan malam yang selalu dilakukan secara bersama-sama dengan cara lesehan di ruang makan yang menyatu dengan dapur tradisional khas rumah panggung milik mertua yang dibangun dari kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Ikan Haruan alias Ikan Gabus Hasil Maunjun Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha 
Ikan Haruan alias Ikan Gabus Hasil Maunjun Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha

Ikan-ikan segar seperti Iwak Haruan atau Ikan Gabus (Channa Striata) dan keluarga Channa lainnya seperti Iwak Tauman, Randang dan Kihung yang memang dikenal sebagai ikan-ikan favorit dalam tradisi kuliner Urang Banjar, juga Iwak Papuyu atau Betok/Betik (Anabas testudineus), Iwak Patin (Pangasius sp.), Sapat (Trichopodus trichopterus Pallas, 1770), Sapat siam ((Trichopodus pectoralis, Regan 1910), Walut atau Belut rawa ( Monopterus albus) dan beberapa jenis lainnya secara bergantian selalu hadir di dapur untuk dimasak. 

Ini yang akhirnya membuat saya penasaran! Dari mana ikan-ikan segar itu datang hingga sampai di dapur dan akhirnya dimasak oleh tangan dingin mertua saya menjadi berbagai jenis kuliner tradisional Banjar dengan citarasa yang tidak pernah gagal memanjakan lidah saya untuk terus bergoyang menikmati sensasi sedapnya! 

Apa iya, mertua saya memancing ikan di kolong rumah yang memang "gudangnya" ikan juga? Atau jangan-jangan, mertua saya setiap hari pergi ke pasar untuk membeli beragam jenis ikan air tawar dari sungai atau rawa yang memang melimpah di daerah kami? 

Tapi pertanyaan-pertanyaan saya itu akhirnya terjawab juga, ketika pagi-pagi selepas Subuh di akhir pekan datang amang-amang (paman-paman;bahasa Banjar) menghampiri saya di teras rumah panggung, saat saya sedang asyik membolak-balik koran pagi yang baru datang. 

 
Ikan Patin Sungai Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha!
Ikan Patin Sungai Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha!

Amang Ijun, orang yang kami kenal sebagai seorang paunjunan atau pemancing "profesional" itu menyerahkan se-bakul purun alias tas tradisional dari bahan rumput purun yang penuh berisi iwak haruan yang sudah disiangi (dibersihkan;bahasa Banjar) yang katanya pesanan Ma' haji, panggilan akrab mintuha bini alias mertua perempuan saya di kampung.  

Beberapa hari berikutnya, tidak sengaja giliran saya betemu dengan seorang ibu-ibu yang mengaku bernama Acil Imah (tante Imah;bahasa Banjar) yang mengantar Iwak Papuyu Sebangau atau ikan Betok hasil memancing di kawasan Sebagau Kalimantan Tengah yang memang terkenal besar-besar ikannya yang katanya juga pesanan mintuha saya.

Iwak-iwak Papuyu yang dibawa Acil Imah juga sudah disiangi, jadi tinggal dibumbui dengan bumbu-bumbu tradisional khas Banjar sesuai kebutuhan sebelum dimasak. Begitu seterusnya! Sampai beberapa kali saya bertemu dengan beberapa orang berbeda yang ternyata juga mengantar ikan-ikan pesanan mertua saya.

    Menariknya, saya baru ngeh terhadap adanya fakta unik yang sebelumnya tidak saya sadari, dibalik fakta "orang-orang berbeda yang setiap pagi mengantari ikan ke rumah". Menurut isteri saya, orang-orang berbeda ini juga mengantar jenis ikan yang berbeda juga! Tahu kenapa?

Ikan Patin Sungai yang Sudah Disiangi atau Dibersihkan | @kaekaha 
Ikan Patin Sungai yang Sudah Disiangi atau Dibersihkan | @kaekaha
 
Alam dataran rendah Kota Banjarmasin yang di dominasi oleh perairan darat berupa rawa-rawa dan sungai, telah membentuk habitus Urang Banjar yang mendiaminya sejak berabad-abad silam. Persentuhan keduanya selama itu, akhirnya melahirkan budaya sungai yang salah satu tradisi uniknya adalah maiwak atau metode mencari ikan tradisional khas Banjar yang salah satu tekniknya kita kenal sebagai maunjun alias memancing. 

Maunjun, persentuhan tradisi yang terbentuk olah uniknya spesifikasi alam khas Kota 1000 Sungai dengan hobi, hingga banyak Urang Banjar yang menjadikannya sebagai sumber penghasilan ini dalam dinamika sosial budaya kehidupan masyarakat Banjar juga terus berkembang.

Uniknya, ternyata paunjunan alias para pemancing "profesional" yang menjadikan berburu ikan dari alam dengan cara memancing sebagai profesi ini juga punya spsesialisasi atau keahlian memancing jenis ikan-ikan tertentu yang berbeda-beda. Itulah salah satu parameter saya menyebutnya sebagai profesional, selain fakta bahwa memancing ikan memang menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari.  
 
Maunjun Iwak Haruan di Rawa-rawa Belakang Rumah | @kaekaha 
Maunjun Iwak Haruan di Rawa-rawa Belakang Rumah | @kaekaha
 
Amang Ijun misalnya, karena kepiawaiannya maunjun atau memancing khusus iwak haruan terutama dengan berbagai unjunan (alat memancing;bahasa Banjar) tradisional khas Banjar, menurut mintuha saya, sejak lama sidin alias beliau ini digelari orang sekampung sebagai  rajanya haruan. 

Dari profesinya maunjun, khususnya iwak haruan, konon sidin tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari saja, tapi juga bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tidak hanya wajib belajar 12 tahun saja, tapi 2 dari 3 anaknya juga kuliah. Masha Allah!

Luar biasanya! Masih menurut kesah (cerita;bahasa Banjar) mintuha saya, Amang Ijun ini berbeda dari para paunjunan kebanyakan yang sering datang ke rumah untuk menawarkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Sidin (beliau;bahasa Banjar) tidak pernah mengeluh dan selalu menyanggupi pesanan iwak haruan dari mintuha saya dengan mengucap Insha Allah!

Tidak ada istilah Iwak Haruan langka apalagi kosong kalau memesan  sama Amang Ijun, ada terus! Bahkan ketika di pasaran Iwak Haruan memang benar-benar sedang langka, bahkan kalaupun ada harganya pasti selangit. Bisa sama atau bahkan lebih mahal dari harga daging sapi! Tahu kenapa?

Karamba Iwak Sapat dan atau Papuyu | @kaekaha 
Karamba Iwak Sapat dan atau Papuyu | @kaekaha

Ternyata, selain maunjun Haruan dan juga maiwak (mencari ikan;bahasa Banjar) dengan cara marawai, mambanjur dan juga memasang tampiray alias jebakan ikan di berbagai lokasi strategis di rawa-rawa dan tepian sungai,  Amang Ijun juga mempunyai beberapa karamba untuk pembesaran iwak haruan berbagai ukuran di kolong rumah dan rawa-rawa di sekitar rumahnya. 

Biasanya, iwak haruan hasil tangkapan sidin yang masih kulacingan alias masih kecil-kecil, minimal seukuran jempol tangan orang dewasa akan dipilih dan dipilah lagi sesuai ukurannya untuk dipelihara dalam karamba sesuai ukurannya masing-masing sampai besar dan layak untuk dijual dengan harga bersaing.

Inilah jawaban sekaligus pembeda kenapa Iwak haruan yang dijual Amang Ijun ke mintuha saya, kualitas dan harganya relatif stabil di level terbaik. Selain ikannya selalu fresh alias segar-segar, ukuran ikannya juga relatif besar-besar tapi dengan harga yang tetap bersaing. 

Oya, sekedar informasi saja! Ikan-ikan dari sungai atau rawa yang biasa kita konsumsi, beda ukuran beda pula harga per-kilogramnya. Meskipun, sama-sama Iwak Haruan, tapi yang ukurannya lebih besar harganya akan lebih mahal jika dibandingkan dengan iwak haruan yang ukurannya lebih kecil. Unik bukan? (BDJ1625)

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 Juni 2025 23:15 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-4 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya! 

Dokumentasi Kompasiana
Dok. Kompasiana
  


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

Romansa Gaji Pertama di Antara "Trisum" yang Menjadi Biangnya Bahagia!

Selama Kuliah Masih Lanjut On Air | @kaekaha
Selama Kuliah Masih Lanjut On Air | @kaekaha
 
Momen mendapatkan gaji pertama menjadi salah satu episode paling asyik dan menyenangkan dalam kronik perjalanan hidup saya, anak SMA yang awalnya hanya iseng, suka main-main ke stasiun Radio favorit, eh malah disuruh siaran dan cuap-cuapnya di udara, tiap akhir bulannya selalu dibayar!

Jujur, saat itu sebenarnya belum ada istilah kerja dan bekerja dalam kamus otak saya, apalagi bakal dapat gaji bulanan! Semuanya lebih kepada niat untuk seneng-seneng alias happy-happy aja, menyalurkan hobi musik dan bermusik saja! 

Kebetulan, stasiun radio favorit yang selalu menemani hari-hari saya, terutama malam-malam saya saat belajar sampai menjelang tidur, ternyata memang membutuhkan personil dengan kualifikasi (mix) pengetahuan, pemahaman dan skill bermusik yang ndilalah-nya kok yang plek ketiplek dengan profil saya.

Saya yang setiap hari memang selalu membayangkan serunya cuap-cuap dalam studio membahas seluk beluk dunia musik, tentu saja merasa tertantang! Beneran serasa mimpi saja, Alhamdulillah lamaran iseng saya diterima dan esoknya langsung "tancap gas" ditraining siang-malam menjadi penyiar sekaligus operator radio analog yang asyiknya memang nggak ketulungan!

img-0696-lg-jd-683729df34777c6c867f93d3.jpg
Duo Gondrong Sedang On Air | @kaekaha

Tapi tetap saja, ternyata super klimaks dari semuanya tetap euforia di akhir bulan. Terutama, saat sepulang sekolah tiba-tiba diminta Mbak Anne, senior sekaligus mentor saya saat itu untuk ke studio mengambil honor siaran, langsung ke bagian keuangan. Duuuuh rasanya itu lo! Alhamdulillah! 

Oiya, gaji (pertama) saya siaran saat itu, umumnya memang lebih familiar disebut sebagai honor ya bukan upah atau gaji. Nggak tahu juga apa asal muasalnya lebih familiar disebut sebagai honor, tapi yang jelas gaji atau honor saya saat itu perhitungannya dari total jam siaran dikalikan "tarif" siaran saya yang "koefisien" nilai angkanya biasa ditetapkan berdasar jam terbang.

    Biasanya, semakin tinggi jam terbang atau mungkin juga public figur yang sudah terkenal apalagi punya program acara di medida lain yang lebih terkenal, koefisien harga siaran per-jamnya pasti lebih mahal, bahkan bisa juga nego harga atau bahkan pakai sistem kontrak! 

Tapi situasi seperti itu jelas belum berlaku bagi saya yang saat itu masih tergolong unyu-unyu. Jangankan minta gaji, saat itu bakalan digaji saja saya nggak kepikiran! Sebabnya, diajak masuk studio saja senengnya nggak karu-karuan apalagi diajari seluk beluk siaran dan detail teknis operasional siaran radio. Maklum anak SMA yang lagi seneng-senengnya dengan dunia broadcasting he...he...he... 

Siaran dengan OS Radio yang Sudah Serba Digital, lebih Canggih dan Simpel, Mengisi Waktu Luang di Sela-sela Kesibukan Bekerja | @kaekaha!
Siaran dengan OS Radio yang Sudah Serba Digital, lebih Canggih dan Simpel, Mengisi Waktu Luang di Sela-sela Kesibukan Bekerja | @kaekaha!

Begitu tahu saya akan mendapatkan honor untuk sebulan pertama "main-main" di radio, pikiran saya hanya satu, yaitu memenuhi hasrat trisum saya! Apa itu trisum? Sebentuk metafora saya untuk jalinan tiga hal sederhana yang saat itu memang paling saya gandrungi alias saya sukai, yaitu makan bakso sepuasnya, membeli-membaca buku cerita dan melengkapi koleksi kaset album musik dari musisi-musisi kesukaan saya.

Begitu menerima amplop putih dengan logo radio yang tampak gagah dan berwibawa itu, saya langsung bergegas pulang ke rumah dan mengajak bapak, ibu dan adik saya untuk andok bakso di warung bakso kesohor, paling terkenal dan legend di kampung saya, Bakso Pak No yang sebenarnya juga langganan keluarga kami.

    Bedanya, bila biasanya setelah selesai makan, ibu yang membayar semua tagihan baksonya, maka sekarang sayalah yang membayar semua tagihannya!

Sedapnya Andok Bakso, Memupuk Kebersamaan Keluarga | @kaekaha!
Sedapnya Andok Bakso, Memupuk Kebersamaan Keluarga | @kaekaha!

Ternyata, bisa membuat bapak dan ibu tersenyum puas dan bahagia dengan hasil "main-main" eh kerja kita itu rasanya luar biasa nikmat lo mas bro! Ini yang saya baru tahu, hingga kelak membuat saya ketagihan dan terus berusaha untuk melakukannya semampu saya, tentu dengan obyek menu yang berganti-ganti di setiap akhir bulannya. Alhamdulillah!

Menyantap bakso memang menjadi salah satu kesukaan saya dan juga keluarga besar kami. Tidak heran jika tradisi andok alias makan bareng-bareng di warung bakso atau di warung apa saja, terutama di warung yang menjual makanan berkuah kaldu, bagi kami tidak hanya sekedar berburu rasa (nyaman dan kenyang) semata, tapi juga media untuk terus menjaga kebersamaan dan kekompakan.

Selain memuaskan hasrat hobi kulineran bakso, saya juga menuntaskan hasrat untuk membeli dan melengkapi "bukcer" alias buku-buku cerita kesukaan saya yaitu serial Lima Sekawan dan Lupus yang akhirnya bisa saya lengkapi semua edisinya dari hasil saya siaran di radio.

Bukcer Serial Lima Sekawan
Bukcer Serial Lima Sekawan "Menaklukkan Agen Rahasia" di Antara Koleksi Lima Sekawan dan Lupus | @kaekaha

Khusus di gaji pertama, saya beli bukcer Lupus yang berjudul "Tragedi Sinemata" dan Lima Sekawan untuk judul "Menaklukan Agen Rahasia" yang harganya saat itu receh banget sekitar 2000-an rupiah saja. Ada yang suka juga dengan keduanya?

Begitu juga dengan kaset-kaset album dari musisi-musisi kesukaan saya yang saat itu masih didominasi oleh genre musik rock dan metal berikut varian-variannya seperti hard rock, classic rock, glam rock, sweet rock, punk rock, pop rock, Psychedelic Rock hingga heavy metal, trash metal, black metal, grindcore akhirnya lahir grunge, techno rock, alternative rock, hip metal, brit pop dan lain-lainnya.

Jujur, selain memang sedang gandrung berat dengan genre musik-musik itu, tujuan saya melengkapi koleksi album kaset saya yang kelak akhirnya satu lemari penuh, juga sebagai bahan referensi untuk siaran. Karena itu juga, akhirnya koleksi album musik saya juga semakin melebar tidak hanya di genre rock dan metal saja, tapi juga merambah musik tradisional nusantara, jazz, blues hingga musik religi, bahkan musik melayu dan dangdut.

"Jabrik", Album Kedua EDANE di Antara Album The Beast dan Borneo | @kaekaha!



Untuk gaji pertama saya di 1994 itu, saya melengkapi koleksi album kaset saya juga dengan dua kaset sekaligus, yaitu album ke-2 dari salah satu band rock legendaris Indonesia, EDANE yang kebetulan memang baru saja rilis yaitu, Jabrik! Sedangkan satunya lagi album Innuendo, album studio ke 14 grup band legendaris dari Britania Raya, QUEEN yang rilis 3 tahun sebelumnya. 

Album ini terasa semakin istimewa bukan hanya karena saya dapatkan dari hasil gaji pertama saja, tapi karena album Innuendo ini merupakan album terakhir QUEEN yang dirilis semasa Freddie Mercury, sang vokalis sekaligus penulis sekaligus komposer sebagian besar lagu QUEEN masih hidup. Asyik!

Khusus untuk koleksi album kaset ini, ada kejadian unik yang sering terjadi hingga membuat saya tidak akan pernah melupakannya, yaitu ketika koleksi album kaset musik rock saya ternyata lebih lengkap dari koleksi radio tempat saya bekerja, hingga music director-nya malah sering meminjam koleksi saya.

He...he...he...

Jadi, trisum yang saat itu menjadi biang saya bahagia, sejatinya sebentuk investasi bagi masa depan saya yang saat itu, sebagian diantaranya sedang saya gambar untuk mengabadikannya dalam romansa gaji pertama, hasil iseng-iseng yang ternyata berhadiah! Alhamdulillah. (BDJ28525)

Semoga Bermanfaat


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 28 Mei 2025 22:21  (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-2 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!
 
 
Dok. Kompasiana



Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




Sabtu, 07 Juni 2025

Berawal Dari "Handilan" Lahirlah Rukem dan Rukur, Jalur Sunyi Menabung Kurban

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha
 
 
Salah satu tradisi Urang Banjar yang mencerminkan kedekatan mereka secara spiritual dengan budaya Islam yang telah mengurat mengakar dan berkelindan begitu kuat adalah tradisi Handilan, sebuah tradisi komunal masyarakat berbasis spiritual yang sampai saat ini masih sangat mudah kita temukan, terutama di kampung-kampung sampai di pinggiran kota.

Istilah Handilan diadaptasi dari kosa kata handil yang dalam bahasa Banjar berarti saluran pengairan sekunder yang menghubungkan area persawahan rawa pasang surut dengan sungai. Nah istilah ini di jadikan "nama" perkumpulan spiritual di kampung-kampung mungkin karena mempunyai filosofi yang relatif sama, yaitu saluran/jalur.

Karena, biasanya anggota dari handilan ini memang warga yang tinggal dalam satu jalur, satu gang atau satu jalan yang sama. Aktifitas utama handilan adalah serupa majelis taklim, hingga darinya kelak lahirlah kumpulan Yasinan dan juga rukem alias rukun kematian. 

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha

Kalau kumpulan Yasinan, saya yakin semua pasti sudah paham betul apa itu aktifitasnya, yaitu membaca surah Yasin setiap malam Jumat secara berjamaah. Tapi dengan rukun kematian?

Rukem alias rukun kematian adalah kumpulan warga yang mempunyai niat sama untuk saling meringankan beban anggota keluarga lain yang sedang berduka karena ada yang meninggal dunia. 

Anggota keluarga yang ditinggalkan almarhum dikondisikan untuk fokus hanya pada aktifitas ibadahnya saja, sedangkan urusan yang lain, seperti semua pengurusan jenazah, makam, sampai mengurus keperluan tamu takziah semuanya diurus oleh rukem.       

Alhamdulillah setelah syiar rukem sekarang semakin dikenal dan diterima masyarakat, bahkan semakin menjamur pertumbuhannya setelah banyak organisasi sosial kemasyarakatan, juga masjid, musholla, lingkungan RT/RW sampai Desa yang mulai tertarik mengelolanya, syiar handilan juga terus berkembang hingga salah satunya melahirkan rukur alias rukun kurban.

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha

Rukur atau rukun kurban ini merupakan upaya menabung bersama-sama untuk tujuan berkurban yang dikoordinir oleh pengurus Rukem. Semua anggota rukem otomatis menjadi anggota rukur, meskipun tidak diwajibkan untuk segera menabung kalau memang belum mampu, tapi meskipun begitu tetap dimotivasi untuk terus berusaha menabung untuk berkurban sesuai kemampuan.

Sejauh ini, karena rukur ini termasuk produk budaya yang tidak ada pattern atau rumusan patronnya, maka masing-masing rukur pasti mempunyai kebijakan, aturan dan tentunya kekhasannya masing-masing. Seperti ada yang langsung memberi pilihan target kurban tahun depan, tahun depanya lagi, atau masih tahun depannya lagi.

Tidak hanya itu, pilihan juga ada pada besaran uang yang akan ditabung oleh anggota setiap periodenya, ini juga sangat memudahkan bagi semua anggota yang mempunyai keragaman latar belakang profesi dan juga penghasilannya. Inilah rukur, cara kami Urang Banjar menabung supaya tahun depan bisa ikut berkurban  (BDJ7625) 

Semoga Bermanfaat!


Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas
 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 7 Juni 2025 22:44 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-7 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!
 
Dokumentasi Kompasiana
Dok Kompasiana
 


Banua Kalimantan Selatan  KOMBATAN |  KOMBATAN
Banua Kalimantan Selatan  KOMBATAN |  KOMBATAN
 



 

Mengelola Uang Transport, Si Kecil yang Cepat Besar Kalau Salah Urus!


Sepeda Listrik 


Uang transport atau biaya transportasi, pos pengeluaran rutin yang satu ini, sepertinya masih sering tidak masuk dalam skala prioritas manajemen keuangan untuk skala rumah tangga apalagi pribadi perorangan. Hingga lalu lintasnya di "pintu keluar" keuangan kita sering tidak terdeteksi secara akurat hingga akhirnya, boooooms! Meledak!

Karena itulah, saya lebih suka menganalogikannya sebagai "si kecil" yang lebih sering tidak dilihat hingga akhirnya terlewat, meskipun kenyataaanya seringkali "cepat besar" alias membengkak tak terkontrol secara signifikan setiap bulannya, karena kita lengah, lalai dan abai, salah urus dalam mengelolanya. 

Mungkin, karena tidak semua orang merasa bersentuhan secara aktual dengan pos biaya ini, hingga merasa tidak perlu untuk mengelolanya secara detail, selayaknya masyarakat urban yang tinggal di kota-kota satelit di seputaran kota besar yang setiap harinya harus bergantung pada sistem transportasi publik berbayar yang secanggih apapun pastinya tetap tidak mudah, tidak sederhana dan belum tentu lebih murah. 

Taksi Barabai, Angkutan Umum Legendaris di Kalimantan Selatan | @kaekaha

Nah ini dia! Mungkin menjadi hal yang aneh bin ajaib kalau ada bagian dari masyarakat urban yang sudah merasa "tua di jalan", tapi belum juga merasa perlu mengelola biaya transport sebaik mungkin, agar bisa lebih berhemat dan tidak boncos terus. Lantas bagaimana strategi sederhana untuk bisa memulai mengelola uang transport dengan baik dan mudah untuk di aplikasikan? 

Pertama, mulailah tertib data dan tertib administrasi. Caranya mudah asalkan konsisten dan dispilin! Mulai dengan mengumpulkan semua nota atau catatan pengeluaran terkait transportasi, seperti  nota bensin, ganti oli, parkir, tarif transportasi umum, hingga biaya ojol. 

Kedua, setelah semua terkumpul, biasakan mencatat semua pengeluaran dalam buku atau catatan digital untuk mengetahui totalnya. Catatatan ini penting untuk menentukan anggaran aktual dan relistis tiap periodenya. Sedangkan anggaran, kita perlukan sebagai alat kontrol batas atas faktual dari pos biaya transportasi.

Ketiga, mulai memilih dan memilah moda transportasi yang paling efektif dan efisien di setiap rute perjalanan yang kita tempuh, terutama untuk perjalanan rutin. Poin pentingnya disini adalah sebanyak mungkin melakukan komparasi rute dan biaya antar moda, termasuk opsi pemanfaatan kendaraan pribadi, seperti kendaraan listrik yang sedang aktual.

Keempat, evaluasi pos pengeluaran ini secara berkala setiap akhir periode atau akhir bulan untuk meninjau kembali efektif dan efisensinya apakah sudah sesuai harapan dan anggaran! Atau mungkin, siapa tahu ada ide baru yang lebih aktual, fresh, dan lebih menghemat tanpa harus mengurangi produktivitasnya? 

    Untuk bisa mengelola uang atau biaya transportasi dengan baik, memang memerlukan kedisiplinan, konsistensi dan kebijaksanaan yang berbasis data realistis dan aktual. Awalnya pasti terasa ribet dan merepotkan. 

Tapi kalau semuanya sudah terbiasa menjadi habitus, maka jangan kaget kalau semakin tertatanya lalu lintas pengeluaran, akan semakin mempermudah kita untuk mengelola keuangan, bentuk-bentuk penyimpangan lebih mudah terdeteksi sehingga bisa sesegera mungkin untuk dikoreksi dan dibenahi.

Dengan begitu, keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selalu terkontrol, sehingga kita bisa berkalkulasi terhadap potensi penghematan yang nantinya bisa kita proyeksikan untuk ditabung dan atau diinvestasikan agar labih produktif dan bermanfaat. Luar biasanya, habitus ini juga berkontribusi positif pada potensi pengurangan kemacetan dan polusi udara lo! Keren kan? (BDJ5625)


Semoga Bermanfaat!


Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 5 Juni 2025 16:41 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-6 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!

Dokumentasi Kompasiana
Dok. Kompasiana

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN






Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengelola Uang Transport, Si Kecil yang Cepat Besar Kalau Salah Urus!", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/kaekaha.4277/684113bcc925c46b4241d442/anggaran-transportasi-si-kecil-yang-cepat-besar-kalau-salah-urus?page=2&page_images=1

Rabu, 04 Juni 2025

Nasehat Paninian, Nabung Emas dan Solusi Berhaji Cerdas ala Pegadaian!

Berhaji ke Tanah Suci Bukan Lagi Hanya Mimpi | @kaekaha


Bagi Urang Banjar berhaji ke tanah suci memang selayaknya dua sisi koin mata uang yang tidak bisa saling berjauhan, selalu dekat dan identik satu sama lain. Informasi resmi daftar tunggu haji untuk Kalimantan Selatan tahun 2024 dari Kemenag yang menyentuh angka 39 tahun dan sejauh ini menjadi yang terlama di Indonesia, sepertinya menjadi validasi yang kuat dari metafora diatas.

Menurut kesah (cerita;bahasa Banjar) para paninian alias nenek-nenek sesepuh kami, militansi berhaji urang Banjar memang sudah terbentuk sejak dulu dan ini tidak bisa lepas dari kedekatan Urang Banjar dengan Islam, terutama sejak berdirinya kesultanan Banjar di awal-awal abad ke-16 yang kelak juga menjadi cikal bakal berdirinya Kota Banjarmasin.  

Para tetuha atau para sesepuh jaman dulu, secara sistemastis selalu menanamkan sebuah pemahaman fundamental kepada anak-anak sejak dini hingga tertanam ke alam bawah sadar, bahwa ibadah haji itu selayaknya cita-cita tertinggi dan terbaik yang semaksimal mungkin wajib dikejar semampu yang kita bisa.  

Wajar jika kemudian, berkat dari doa dan sugesti dari lingkungannya sejak lahir, semua Urang Banjar umumnya mempunyai "mimpi" untuk naik haji! Siapapun dia, apapun latar belakangnya!

Menariknya, untuk mendukung terwujudnya "cita-cita" berhaji ini, para tetuha Urang Banjar dari jaman dulu juga sudah mempersiapkan infrastruktur pembiayaan yang pada masanya sudah tergolong sistematis, yaitu secara rutin dan tertib menyisihkan sedikit-demi sedikit penghasilan yang didapat untuk dibelikan emas (perhiasan) sebagai tabungan.

Umumnya, alasan Urang Banjar menabung emas perhiasan, selain bisa dimanfaatkan sebagai perhiasaan yang secara tradisional juga berfungsi sebagai simbol status sosial di masyarakat, emas perhiasan yang menyediakan variasi berat yang beragam juga memudahkan masyarakat untuk menabung sedikit-demi sedikit tapi tetap konsisten. Apalagi pada masa itu, emas batangan juga belum begitu familiar.

Perbandingan Biaya Haji dan Konversi Emas | logammulia.com

Kenapa Menabung Emas?

Secara turun menurun, literasi terkait manfaat menabung emas terus ditularkan secara getok tular dari generasi ke generasi berikutnya secara natural dalam lingkungan keluarga. Menurut para paninian kamialasan utama dan pertama menabung emas adalah mudah dijual kembali kalau memerlukan dana darurat dan nilainya yang relatif stabil, bahkan cenderung naik untuk jangka panjangnya.  

Fakta ini tentu sangat bermanfaat untuk menjaga nilai aset dari simpanan yang diproyeksikan untuk berhaji, apalagi bagi Urang Banjar yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang yang penghasilannya tidak pernah pasti. Luar biasanya lagi, menurut para paninian kami, berdasarkan pengalaman berhaji para tetuha sebelumnya juga terungkap sebuah fakta yang sangat mengejutkan! 

Ternyata, berhaji dengan modal emas, menjadikan nilai ONH alias ongkos naik haji-nya menjadi lebih murah dari tahun ke tahunnya. Ini berbanding terbalik dengan angka ONH yang ditetapkan pemerintah yang setiap tahunnya justeru selalu naik signifikan. Kok bisa?

Semua tidak lepas dari adanya "hantu" bernama inflasi! Para paninian kami memang tidak paham apa itu inflasi, meskipun sidin (beliau;bahasa Banjar) paham dengan resiko dan akibatnya. 

Jadi, tekanan inflasi menyebabkan nilai uang kita terus menurun. Hal ini bisa kita buktikan dari "berbanding terbaliknya" angka ONH yang ditetapkan pemerintah yang terus naik dari masa-ke masa, dengan semakin menurunnya (murah) angka ONH jika dikonversikan ke simpanan emas. Begini simulasinya!

Pada 1997 pemerintah menetapkan ONH sebesar Rp 8 juta dan angka ini setara dengan harga emas seberat 296 gram (harga 27.000/gram). Satu dekade berikutnya atau tahun 2007, ONH ditetapkan pemerintah sebesar Rp 26 juta, setara dengan harga emas seberat 130 gram (harga 200.000/gram). Begitu juga di tahun 2017, ketika pemerintah menetapkan ONH senilai Rp 34 juta yang setara dengan harga emas seberat 57 gram (harga 596.000/gram).

Dari ilustrasi diatas atau bisa juga dilihat pada foto diagram (foto ke-2), kita bisa melihat dengan jelas bagaimana fakta perbandingan terbalik antara angka ONH dalam rupiah dengan ONH dari konversi emas. Itu artinya, menyimpan dana (haji) dalam bentuk tabungan emas bisa menjadi salah satu langkah mitigasi risiko menurunnya nilai uang.  

Kalau dipikir-pikir, ajaib juga ya para paninian (nenek-nenek;bahasa Banjar) dan juga pakayian (kakek-kakek;bahasa Banjar) Banjar bahari sudah paham dengan keajaiban emas yang satu ini.

Pegadaian | rm.id/pegadaianMenabung Emas Besama Pegadaian

Sekarang, di tengah kemajuan dan pemanfaatan teknologi informasi yang begitu pesat, juga berdampak terhadap literasi masyarakat terkait pemanfaatan emas  secara strategis. Gayung bersambut! Sekarang semakin banyak entitas yang menyediakan program investasi emas, mulai dari perbankan, marketplace, juga berbagai aplikasi investasi emas lainnya.

Tapi tetap saja, demi keamanan aset emas yang kita miliki, wajib hukumnya memilih tempat terbaik untuk berinvestasi emas, salah satunya ya  di pegadaian! Kenapa Pegadaian? 

Selain goodwill pegadaian sebagai salah satu BUMN yang sudah lama eksis dan pastinya sangat bisa dipercaya, keunggulan Pegadaian adalah produk "Tabungan Emas dan Deposito Emas" - nya yang sama-sama memberi solusi investasi yang baik dan menarik. 

Untuk tabungan emas, memungkinkan kita bisa memulai investasi dari gramatir terkecil, yaitu 0,01 gram saja. Tidak hanya itu, seperti halnya prinsip menabung, tabungan emas juga bisa dicairkan kapan saja, termasuk kemungkinan mekanisme buyback maupun gadai saat kita membutuhkan dana darurat. Mudah dan murah bukan!? 

Sedangkan untuk deposito emas yang memberikan imbal hasil lebih menarik, bisa dimulai dengan saldo 5 gram emas di tabungan emas kita di Pegadaian dengan tenor bervariasi dan dapat dipilih, mulai dari 6 bulan yang semakin terjamin keamanannya karena setiap deposito emas di Pegadaian disertai asuransi.

Teraktual, melalui Pegadaian Syariah Pembiayaan Porsi Haji, umat Islam bisa mendapatkan porsi haji dengan menjaminkan tabungan emas (hanya) sebesar 3,5 gram atau menjaminkan emas batangan dan atau emas perhiasan yang nilai taksirannya minimal sebesar Rp 1,9 juta.

Untuk proses pengajuannya bisa langsung mendatangi outlet atau kantor cabang Pegadaian terdekat. Mudah dan aman kok! Karena petugas yang berkompeten akan menuntun dan mendampingi kita, sampai mendapatkan bukti Setoran Awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (SABPIH), Surat Pendaftaran Pergi Haji (SPPH), serta nomor porsi haji. (BDJ3625)


Semoga Bermanfaat!


Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 3 Juni 2025   21:17 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-5 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!

Dokumentasi Kompasiana
Dok. Kompasiana

 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Minggu, 03 November 2024

Cerita Pak De tentang Kaghati Kolope dan Itik Alabio yang Membuatku Jatuh Cinta

Kaghati Kolope (Dok. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)

 "Saktinya" Pak De

Dulu, sewaktu duduk di bangku SD alias sekolah dasar di era 80-an, saya mempunyai guru pelajaran IPS atau ilmu pengetahuan sosial yang menurut kami cukup sakti mandraguna hingga membuat kami terkagum-kagum!

Namanya Pak Yitno atau lengkapnya Suyitno, sebuah nama yang Njawani banget, yang menurut empunya nama berasal dari bahasa Sansekerta yang konon maknanya adalah waspada atau bisa juga hati-hati.

Uniknya, alih-alih dipanggil dengan Pak guru atau Pak Yitno selayaknya keumuman yang berlaku di kampung-kapung kami di seputaran Timur Laut kaki Gunung Lawu di ujung barat Jawa Timur, beliau malah meminta kami semua, murid-muridnya untuk memanggil beliau dengan panggilan Pak De! Unik dan nyentrik bukan, Pak Guru eh, Pak De yang satu ini?

Eh, tahu istilah panggilan Pak De kan?

Panggilan Pak De atau versi lainnya adalah Pak Puh merupakan sapaan atau panggilan khas ala masyarakat Suku Jawa yang secara umum ditujukan untuk orang yang dituakan atau dihormati, sedang secara khusus atau secara leksikal biasanya dipakai untuk menyapa atau memanggil saudara lebih tua (kakak) dari bapak atau ibu. Ini sama dengan sapaan/panggilan Julak dalam tradisi masyarakat Suku Banjar di Kalimantan Selatan. Masih ingat nggak dengan Kompasianer Julak Ikhlas?

Bedanya, kalau Pak De merupakan akronim dari frasa Bapak Gede, maka Pak Puh merupakan akronim dari frasa Bapak Sepuh yang secara leksikal maknanya relatif sama, yaitu sama-sama bermakna lebih besar/tua.

Cantikdan Uniknanya Rumah Adat Minahasa yang Bisa Dipindah-pindah | @kaekaha

Salah satu "kesaktian" Pak De yang paling sering kami saksikan dan dengarkan dengan mata dan telinga kami sendiri adalah terkait pengakuannya yang sampai di usia senjanya baru merasakan perjalanan terjauh (dengan kereta api) sampai ke Stasiun Jebres di Solo, Jawa Tengah yang berjarak sekitar 100-an km dan Stasiun Semut atau Stasiun Kota di Surabaya yang berjarak hampir 200-an km. Saktinya dimana?

Baca Juga Yuk! Diaspora "Gula Gending-Lombok", Melintas Negeri untuk Eksistensi 

Hari-hari yang kami lalui bersama Pak De di dalam maupun diluar kelas selalu penuh warna. Setiap hari, kami serasa diajak keliling Indonesia untuk menikmati apa saja, terutama cerita kekayaan dan keindahan alam, juga seni dan budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Inilah yang kami maksud sebagai sisi "saktinya" Pak De alias Pak Suyitno, guru IPS kami semasa SD itu! Bagaimana tidak!? Bagaimana bisa, orang setua beliau yang mengaku belum pernah kemana-mana, bisa bercerita betapa kaya dan indahnya alam dan budaya nusantara secara detail, baik dan presisi (setidaknya untuk ukuran alam fikiran anak SD, murid-murid beliau saat itu di tahun 80-an). 

Kalau sekarang, setelah saya juga menjadi bapak yang mempunyai anak seumuran SD, saya bisa menjawabnya! Pak De pasti suka membaca dan mempunyai teknik story telling yang mumpuni, hingga telinga dan emosi kami sering diaduk-aduknya sampai kami merasa ketagihan dan selalu merindukan kisah-kisah menakjubkan tentang nusantara yang berhasil membangun konstruksi awal imajinasi kami terhadap Bhinneka Tunggal Ika, hingga kelak kami semua begitu cinta dan menikmati indahnya alam dan beragamnya budaya nusantara, Indonesia kita langsung dari tuturan mulut beliau. 

Nah, untuk bisa bercerita selengkap dan sedetail itu, Pak De pasti membekali dirinya dengan materi dari referensi yang lengkap dan pastinya juga didasari dengan rasa cintanya pada nusantara. Indonesia kita! Bagaimana caranya? Betulkan, Pak De memang "sakti mandraguna?"

Kaghati Kolope Layang-layang Purba nan unuk dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara | turgo.id

Salam dari Pulau Muna!

Dari Pak De, untuk pertama kalinya saat itu, saya dan teman-teman mengenal kisah Kaghati Kolope. Itu lho, permainan layang-layang tertua di dunia dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara yang belakangan, dari hasil penelitian ilmiahnya terbukti telah ada lebih dari 4000 tahun silam, jauh lebih tua dari permainan layang-layang dari Cina yang berusia sekitar 2500 tahun dan sebelumnya diyakini menjadi yang tertua di dunia. 

Baca Juga Yuk! "Berselancar" di Kompasiana, Berkeliling Indonesia, Mengabadikan Indahnya Keragaman Nusantara

Uniknya, layang-layang dari Pulau Muna ini dibuat dari bahan-bahan yang disediakan alam, sehingga penampakannya jauh lebih natural dan orisinil, yaitu dari daun ubi hutan sejenis tanaman gadung yang tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Muna yang oleh masyarakat setempat di sebut sebagai Kolope

Setelah daun-daun Kolope dikeringkan dan dipotong-potong ujungnya, lembaran daun kolope dirangkai menggunakan potongan bambu tipis mengikuti pola rangka Kaghati yang dibuat dari bambu. Sedangkan untuk menerbangkan Kaghati, masyarakat biasa menggunakan benang alami yang dipintal dari serat nanas hutan yang sangat kuat. Keren ya!?

Anakan Itik Alabio Super dan Beberapa Varian Spesies Unggulan Lainnya | @kaekaha

Tidak hanya cerita tentang luar biasa uniknya Kaghati Kolope saja yang membuat Pak De jadi begitu ngangeni bagi saya dan teman-teman saat itu. Cerita tentang jenis atau spesies itik unggul bernama Itik Alabio, detailnya juga masih lekat dalam ingatan saya sampai saat ini. 

Uniknya, kalau dulu saya dan teman-teman terpesona dengan "cerita superior" itik alabio si ternak unggul asli Indonesia yang tahan penyakit, lebih montok, juga telur bergizi tinggi karena habitatnya di rawa, sehingga bagian kuning telurnya berwarna kemerah-merahan dan lebih besar dari kuning telur dari jenis itik lainnya, maka entah kebetulan atau tidak! Akhirnya saya menetap di Kalimantan Selatan beberapa dekade berikutnya dan akhirnya saya membuktikan sendiri kesaktian Pak De, terutama terkait Itik Alabio!

Baca Juga Yuk! Het Paradijs Van Java, Menjelajah Surga Sumedang Lewat Buku

Ternyata Itik Alabio yang diceritakan Pak De di bangku SD dulu memang bukan isapan jempol semata. Spesies itik unggulan asli Indonesia atau tepatnya asli Kalimantan Selatan ini memang pernah menjadi rajanya itik, walaupun sekarang mungkin sudah mulai berbagai dengan spesies itik-itik hasil persilangan dari berbagai ras yang membanjiri pasar di Indonesia.

Luar biasanya, akhirnya saya baru tahu kalau nama Alabio yang tersemat pada spesies unggas yang pernah menjadi rajanya itik unggulan di Indonesia itu ternyata diambil dari nama kampung di pedalaman pahuluan sungai atau sekarang kita kenal sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, 1 dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. 

Jangan-jangan cerita Pak De juga yang mengantarkan saya sampai menjelajah bumi Kalimantan, hingga akhirnya menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!?

Tarian Suku Dayak | @kaekaha

Frasa "sak ndayak!" nan Ikonik

Selain itu, saat memaparkan cerita-cerita indah dan beragamnya kekayaan alam dan budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke, ada ungkapan berbentuk frasa unik yang entah sadar atau tidak, sering dilontarkan oleh Pak De saat menggambarkan sesuatu atau bilangan yang bermakna sangat banyak, yaitu frasa "sak ndayak!". Pernah dengar?

Menurut Pak De, frasa "sak ndayak!" ini konon merujuk pada banyaknya jenis atau macam suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan. Saat mendengarkan penjelasan Pak De untuk pertama kalinya, jelas saja anak-anak SD seusia kami saat itu masih belum paham maksud dari penjelasan Pak De tersebut.

Tapi sekali lagi, ketika saya menetap di Kalimantan Selatan beberapa dekade berikutnya, saya baru paham terhadap maksud Pak De yang menyebut Suku Dayak mempunyai banyak jenisTernyata, suku dayak itu memang mempunyai banyak rumpun yang masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa ratusan sub suku yang masing-masing juga mempunyai tradisi dan budaya yang berbeda-beda, termasuk bahasa. Wooow keren kan?

Baca Juga Yuk! Laksa Banjar, "Kehangatan" Kuah Ikan Gabus Full Rempah dari Banjarmasin 

Masih banyak destinasi alam dan budaya yang pernah kami dengar dari cerita Pak De, seperti kisah tapak kaki raksasa yang sampai sekarang masih misterius di Aceh, Uniknya Jam Gadang di Bukittinggi, Pem-pek Palembang yang ikonik, Upacara kematian suku Toraja (Rambu Solo') yang unik, Pulau Banda dengan buah pala-nya yang legendaris, sampai naga terakhir yang hidup di bumi, Komodo dan lain-lainnya.

Sungguh, kami sangat beruntung saat SD dulu bertemu dengan Pak De alias Pak Guru Suyitno yang mengantarkan saya dan teman-teman mengenal indah dan beragamnya alam budaya nusantara sejak dini, hingga kami benar-benar jatuh cinta dengan nusantara, Indonesia kita! 

Kain Sasirangan Khas Banjar, Bagian dari Kekayaan Budaya Nusantara yang Patut Dilestarikan | @kaekaha

Cinta! Ya cinta kepada indah dan beragamnya nusantara, Indonesia kita inilah yang sekarang ini kita butuhkan dan harus kita tumbuhkan sedini mungkin kepada anak-anak kita, generasi penerus bangsa sebagai refleksi kita terhadap aktualisasi sumpah pemuda. 

Karena memang hanya cinta tulus itu juga yang sesungguhnya bisa mengantar pemuda-pemuda dari pelosok nusantara pada tahun 28 Oktober 1928 silam bisa berikrar bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia dan berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.

Saat ini, kita memerlukan banyak kehadiran sosok Pak De-Pak De yang lain dan yang baru, bahkan seharusnya kita wajib bisa menjadi Pak De bagi lingkungan kita masing-masing untuk memperkenalkan indah dan beragamnya kekayaan alam dan budaya nusantara, Indonesia kita! Agar pada gilirannya menyemaikan dan menumbuhkan benih-benih cinta yang akan menggelorakan persatuan dan kesatuan bangsa kita, Indonesia tercinta! Seperti yang dicita-citakan oleh para pemuda dalam ikrar sumpah pemuda 1928.

Yuk, sering-sering mengabarkan indah dan beragamnya kekayaan alam dan budaya daerah kita masing-masing di Kompasiana! Biar menjadi dokumentasi sekaligus sumber bacaan referensi untuk anak cucu kita kelak! (BDJ21124).


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Sabtu, 26 Oktober 2024

"Berselancar" di Kompasiana, Berkeliling Indonesia, Mengabadikan Indahnya Keragaman Nusantara

"Berselancar" di Kompasiana Sampai Juga ke Pulau Lihaga, Sulawesi Utara | @kaekaha

Happy Sweet Sixteen Kompasiana! 

Hari Selasa, 22 Oktober 2024 yang hanya tinggal beberapa hari lagi, Kompasiana kita, rumah digitalnya Kompasianer dari seluruh dunia ini akan merayakan hari lahirnya yang ke-16. 

Itu artinya, tanggal keramat itu juga menandai user generated content platform alias platform blog rame-rame terbesar di Indonesia dan dunia ini mulai memasuki fase remaja yang semestinya akan semakin menarik dan menggoda siapa saja. Happy sweet sixteen ya, Kompasiana! 

Uniknya, tanggal keramat harlahnya Kompasiana ini, ternyata hanya berjarak 8 hari saja dengan harlah saya sebagai kompasianer, yaitu tanggal 30 Oktober. 

Bedanya, kalau edisi 2024 kali ini Kompasiana akan merayakan sweet sixteen alias sudah memasuki fase remaja enam belas tahunan, sedangkan saya sepertinya baru berada pada fase pra remaja deh, sweet eleven!

sweet eleven! | Screenshoot Kompasiana.com

Sweet Eleven? Sebelas tahun? Sebelas tahun "ngompasiana", ngapain aja?

Iya ya, nggak berasa lho! Tiba-tiba sudah sebelas tahun saja saya bersimbiosis mutualisme dengan Kompasiana. Naaah keceplosan jadinya! Terbongkar deh rahasia awet muda saya, eh maksudnya awetnya hubungan saya dengan Kompasiana. 

Sedari awal, saya memang lebih suka menyebut hubungan saya dengan Kompasiana sebagai simbiosis mutualisme. 

Sebuah konsep hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan yang terinspirasi dari dua atau lebih organisme berbeda yang di alam liar ternyata bisa berkolaborasi, bekerjasama saling melengkapi dalam sebuah harmoni demi eksistensi bersama dalam kehidupan.


Konsep hubungan seperti inilah yang sepertinya terus menuntun saya untuk terus berkarya, berliterasi dan bertumbuh bersama Kompasiana hingga saat ini, setelah sebelas tahun berlalu. 

Baca Juga Yuk! Saatnya Memunculkan Kategori "Article of The Year" di Ajang Kompasianival 

Konsep Simbiosis mutualisme ala saya sih sederhana saja, intinya situasi saling membutuhkan yang kita bangun wajib didasari dengan dua hal, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dengan begitu Insha Allah kita tidak akan saling menutup mata dan akan saling menghargai!

Saya yang selalu terobsesi dengan artikel-artikel sosial budaya atau juga folklore bergaya ensiklopedik khas koran Kompas di akhir pekan atau terbitan Sabtu-Minggu yang evergreen, selalu berusaha semaksimal mungkin menghadirkan karya artikel yang otentik dan monumental di akun Kompasiana saya. 

Buku-buku yang Beranak-Pinak yang Akan Terus Menginspirasi | Screenshoot Kompasiana.com

Saya selalu berusaha melahirkan karya artikel yang tidak hanya enak untuk dibaca saja, tapi juga seorisinil dan sekomprehensif mungkin agar senantiasa evergreen alias tidak akan basi atau kadaluarsa yang Insha Allah akan selalu memberi pengetahuan dan pengalaman baru pada pembaca. 

Harapannya, saya, artikel saya dan Kompasiana kelak bisa sama-sama evergreen juga dan bisa terus sama-sama memberi manfaat kepada banyak kepentingan.

Tapi, maaf masih ada tapinya ya! Mungkin karena di setiap artikel saya biasa memerlukan riset dan ilustrasi foto yang otentik plus semaksimal mungkin harus karya sendiri, mengakibatkan saya tergolong kompasianer yang kurang produktif. 

Terbukti, sampai sweet eleven alias sebelas tahun ngompasiana, deposit artikel saya masih saja di angka 700-an, itupun tematiknya mix alias campur dan beragam. Tidak hanya tema sosial budaya dan turunannya, khususnya folklore Urang Banjar yang terlanjur menjadi trademark saya. 

Tapi tak apalah, terpenting artikel-artikel itu terus memberi warna yang indah pada ruang-ruang ekletik dalam bilik-bilik estetik di dalam rumah besar bernama Kompasiana. 

Mudah-mudahan keragaman warna yang turut disusunnya dalam rumah besar kita menjadikannya berumur panjang, selalu menginspirasi dan terus memberi guna serta manfaat. Amin.

Kisah Madam atau Merantau Urang Banjar | Screenshoot Kompasiana.com

Dinamika "Ngompasiana"

Semua berawal dari passion saya pada tema-tema sosial budaya atau juga folklore yang terus bertumbuh, apalagi setelah bertemu dengan salah satu job kerja saya di perusahaan consumer goods nasional yang mengharuskan saya dan tim berkutat, mempelajari profil sosial budaya dari masyarakat di setiap daerah baru yang dibidik untuk ekspansi market share

Bisa membayangkan bagaimana antusiasnya saya?

Kebetulan, karena saat itu saya bertugas di Regional Officer Kalimantan yang berpusat di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan fokus dari target kita memang menjadi leader di Pulau Kalimantan, maka saat itu saya dan tim secara intensif terus bergelut dengan profil sosial budaya masyarakat Pulau Kalimantan (saat itu) di 4 Provinsi.

Tidak hanya dengan terjun langsung alias jalan-jalan di daerah-daerah target saja, kami juga bergelut dengan data dari berbagai sumber, termasuk artikel-artikel dari berbagai media, salah satunya dari Kompas Grup yang di dalamnya sudah pasti ada Kompasiana. 

Dari sinilah, akhirnya saya mengenal "user generated content platform" terbesar di Indonesia dan dunia ini untuk pertama kalinya, hingga kelak, akhirnya merasa pas menjadikannya sebagai pelabuhan dari sebagian besar dokumentasi "perjalanan spiritual" saya di ranah sosial dan budaya. 

Konten Video Pasar Terapung di Kompasiana | Screenshoot Kompasiana.com

Dari "berselancar" di Kompasiana, saya mengenal kehidupan sosial budaya otentik masyarakat Banjar, Dayak, Kutai, Melayu dan entitas khas Pulau Kalimantan lainnya yang detailnya relatif sulit didapat di media, bahkan di media induk sekelas Kompas yang di setiap akhir pekan dikenal luas dengan artikel-artikel budaya bergaya ensiklopediknya. 

Hingga akhirnya, saya juga mengenal para pewartanya, melalui beberapa fitur komunikasi dan interaksi yang disediakan dalam situs Kompasiana, terutama Kompasianer dari Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang menjadi cikal bakal perkumpulan KOMBATAN alias Kompasianer Banua Kalimantan Selatan yang kelak mewadahi ruang diskusi dan berliterasi teman-teman kompasianer yang berdomisili di seputaran Kalimantan Selatan.

Kelebihan dari artikel sosial budaya di Kompasiana, sebagai citizen jounalism yang ditulis dan diwartakan oleh masyarakat pelaku dan praktisi budaya itu sendiri, jelas selayaknya info A1 yang otentik  dan ini pasti sangat bermanfaat, sangat membantu pekerjaan saya dan tim saat itu. 

Kompasianer senior dari Banua Banjar yang sekarang relatif sangat sulit untuk ditemukan karya-karya terbarunya, seperti  Bang Imi Suryaputera, Bang Andin Alfi, Pak Zulfaisal, Pak Tadjudin Noor Ganie, Pak Syarbani Haira dan budayawan-budayawan Banjar lainnya inilah, mentor sekaligus panutan saya dalam berliterasi sosio kultur Urang Banjar

Semoga "guru-guru" saya ini senantiasa diberi kesehatan, kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, plus tergerak untuk ngompasiana lagi! Amin.

Artikel Kawin Badadiaman dengan Ilustrasi Pengantin Banjar | Screenshoot Kompasiana.com

Hanya saja, ketika saya semakin jatuh cinta dengan folklore Kalimantan dan semakin intensif  mempelajarinya, seiring  proses interaksi saya dengan lingkungan yang juga semakin intensif, saat itulah saya justeru menemukan fakta menarik, yaitu masih banyaknya materi pernak-pernik  folklore Kalimantan, termasuk didalamnya domain Urang Banjar yang belum terekam dan terdokumentasi dengan baik, sehingga produk literasinya susah ditemukan saat diperlukan.

Karenanya, sambil terus mempelajarinya lebih intensif lagi di sela-sela pekerjaan utama saya, bahkan salah satunya dengan menikahi gadis Banjar lho! Akhirnya saya memang merasa perlu untuk ikut memanggungkan tema-tema budaya Kalimantan, khususnya folklore Banjar dengan menuliskan artikel bertema folklore Banjar di media level nasional, terutama Kompasiana. Sampai sekarang!

Menariknya, artikel bertema budaya Banjar yang akhirnya menjadi trademark atau ciri khas saya di Kompasiana, ternyata terbukti efektif menjadi "jalan ninja" saya mendapatkan status centang biru, hingga penghargaan tahunan idaman kompasianer, Best in Citizen Journalism 2020

Itu artinya, karya artikel bertema folklore Banjar karya saya mendapatkan pengakuan serius secara resmi.


Best in Citizen Jounalism tahun 2020 | @kaekaha

Sebelas tahun ngompasiana, saya memang mendapatkan banyak benefit yang sangat bermanfaat! Tidak hanya sekedar materi, tapi juga kebanggaan dan kebahagiaan. Dari blog competition yang saya ikuti, ada beragam hadiah yang pernah saya dapat. 

Mulai dari saldo e wallet senilai 10 ribuan sampai uang cash senilai 20 juta, juga barang-barang comel mulai dari kartu mainan, snack, buku, tote bag, kaos, sampai voucher menginap di hotel, hingga smartphone dan sepeda gunung dari merek ternama. 

Baca Juga Yuk! Ada Drama di Balik Semua Koleksi Memorabilia dari Kompasiana Ini!

Masih ada lagi!  Tentu saya tidak akan pernah bisa melupakan serunya jalan-jalan ke berbagai destinasi eksotis Nusantara hadiah dari ngompasiana, terutama healing ke destinasi-destinasi keren seperti menjelajah Pulau Bali, Keliling Kalimantan Timur sampai ke Kepulauan Derawan dan tentunya saat menengok "si bayi ajaib" berjuluk the hidden paradise, DSP Likupang di Minahasa Utara. Keliling Indonesia tipis-tipis ini uenak tenan son!?


Kompasiana Blogtrip-Datsun Risers Expedition Keliling Indonesia | @kaekaha

Selain itu, ada sebentuk kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang saya rasakan, ketika karya tulisan bertema folklore Banjar yang saya tulis di Kompasiana benar-benar bermanfaat sebagai dokumentasi sekaligus konservasi data, hingga menjadi rujukan bagi siapa saja yang memerlukannya. 

Suatu ketika, saat dalam perjalanan menjemput anak-anak pulang sekolah, tidak sengaja saya mendengarkan paparan tentang kain sasirangan khas Banjar dari radio yang terpilih secara acak. Saya mengenali betul, susunan kalimat yang dinarasikan oleh penyiar perempuan bersuara merdu itu dan jantung saya seketika berdegup kencang, ketika dia menyebut nama saya, juga judul artikel yang saya tulis di Kompasiana, sebagai referensi paparannya di akhir acara. Duh rasanya saat itu....

Artikel Kain Sasirangan yang Mengudara | Screenshoot Kompasiana.com

Karena itulah, saya juga bertekad, suatu saat nanti karya tulisan bertema sosial budaya khas Urang Banjar yang saya tulis di Kompasiana bisa dibukukan dan disebar ke semua perpustakaan sekolah dan umum di Kalimantan Selatan dan Indonesia sebagai dokumentasi dan bahan bacaan, yang bermanfaat. Insha Allah.

Baca Juga Yuk! Memorabilia Kompasiana, Candu Eksklusif yang Belum Juga Ada Obatnya?

Gayung bersambut, berkat tulisan-tulisan folklore Banjar di Kompasiana yang selalu mendapat label artikel utama, seringkali saya harus "jalan-jalan" kesana-kemari untuk menghadiri undangan-undangan diskusi, kolaborasi dan lain-lainnya terkait literasi dan budaya dari beberapa elemen penggiatnya di seputaran Kalimantan Selatan, termasuk juga dari beberapa sekolah. 

Nah, khusus even yang di sekolah, biasanya pihak panitia selalu memberi titipan agar menyelipkan materi menulis di dalamnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

Keliling Indonesia Yuk! | Screenshoot Kompasiana.com

 

Kecintaan saya pada tematik sosial budaya atau juga folklore nusantara yang sudah mendarah daging, terus menuntun saya untuk menggali keragaman, kearifan dan kebersahajaan  folklore nusantara, tidak hanya berhenti pada folklore Urang Banjar dan Kalimantan saja. 

Itu juga yang mendasari mimpi saya untuk keliling Indonesia, persis seperti yang saya tuliskan di biofile  akun Kompasiana dan media sosial saya, "Ingin sekali keliling Indonesia!".

Beruntung, Kompasiana menyediakan "wahananya", sehingga asa saya untuk mewujudkannya terus membara! Setidaknya untuk pemanasan keliling Indonesia, tinggal klik saja pada pilihan kategori artikel di menu dashboard, seperti halo lokal, humaniora, nature, entrepreneur, lyfe, travel story, bahkan olahraga, video, juga fiksiana  dan yang terbaru lestari. 

Disitulah artikel-artikel favorit saya yang selalu membabar kecantikan alam serta indahnya keragaman budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke berada, terutama artikel-artikel tentang Suku Batak berikut keindahan alam Sumatera Utara karya Prof Felix Tani dan Bang Theo Tarigan, juga kekayaan budaya Minangkabau dan  cantiknya alam Sumatera Barat karya Bang Akbar Pitopang, Pak Irwan Rinaldi Sikumbang juga Pak Merza Gamal.


Tidak ketinggalan eksotisnya adat istiadat dan juga alam Sumatera lainnya karya Ibu Hajjah Nursini Rais, Pak Buyung Nurman dan lain-lainnya.

Dari tematik tentang sosial budaya di Pulau Jawa saya paling suka cerita-cerita dari kebun dan sawahnya Mbah Ukik dan Mbak Sri Rohmatiah Djalil, ulasan real life-nya Pak Budi Susilo, Ibu Suprihati sama jalan-jalannya Mbak Isti Yogiswandani, ulasan masakannya Mbak Wahyu Sapta dan madyang-nya Pak de Rachmat Pudiyanto, juga cerita jalanan ala Mas Ikrom Zain.

Sedangkan dari Indonesia timur, saya harus angkat topi dengan bermunculannya kompasianer-kompasianer Nusa Tenggara Timur yang cukup militan mengabarkan keindahan alam dan juga keragaman budayanya, jika dulu saya selalu tertarik dengan balada petani cengkehnya Guido Tisera (Guido Arisso) yang sekarang entah dimana? 

Sekarang ada ulasan Bang Gregorius Nafanu dan beberapa kompasianer lainnya yang akan membawa kita menikmati indahnya keragaman nusantara, sekaligus mengabadikannya untuk kelestarian juga literasinya bagi anak cucu kita. (BDJ101324)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 13 Oktober 2024 jam  22:34 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka mengikuti lomba menulis hari jadi Kompasiana ke-16 dan Alhamdulillah menjadi salah satu dari total 5 pemenang dengan reward keren berupa 2 merchandise resmi Kompasiana dan voucher Gramedia 4 x 25,000! klik disini untuk baca pengumumannya ya... 

 

Kaos, Voucher Belanja Gramedia dan Tote Bag Kompasiana Hadiah Lomba

  

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN