Selasa, 19 Agustus 2025

Cerita Bapak Tentang Pohon Buah-buahan yang Menyekolahkanku Sampai Sarjana

Pohon Petai di Kebun | @kaekaha!
Pohon Petai di Kebun | @kaekaha!
 
 
Setiap kali saya berkesempatan untuk pulang kampung ke tanah leluhur saya dari jalur ibu di seputaran kaki Gunung Lawu yang tanahnya sangat subur, hingga selalu dijuluki sebagai lumbung pangannya Jawa Timur itu, saya paling suka menghabiskan waktu seharian dengan beraktifitas di pondok yang dibangun bapak untuk bersantai di kebun buah-buahan belakang rumah. 

Kebun yang hanya seluas sekitar setengah hektar yang diatasnya tumbuh beberapa jenis pohon buah-buahan seperti Mangga Gadung, Mangga Manalagi, Jeruk Bali, Alpukat, Petai, Jambu Air , Nangka, Srikaya, Pepaya, Pisang dan lain-lainnya itu menjadi sangat istimewa bagi saya, bukan saja karena kebun inilah "arena" bermain saya, sekaligus ruang bercengkerama paling asyik dengan bapak juga ibu, saat menghabiskan waktu sore dengan merujak buah-buahan yang langsung dipetik dari pohon.

Tapi ada satu hal lagi yang tidak kalah penting untuk saya kenangkan, hingga saya merasa punya kedekatan emosional dengan pohon-pohon buah di kebun belakang rumah itu! Tahu kenapa? Menurut penuturan bapak, sebenarnya bukan bapak dan ibu yang menyekolahkan saya juga adik-adik, tapi pohon buah-buahan di kebun belakang rumah itulah yang berjasa. Kok bisa?

 Jadi, kebun buah-buahan itulah "saksi bisu" perjuangan bapak dan ibu menyekolahkan saya, juga 2 adik saya hingga kami betiga meraih gelar sarjana. Tanah berikut pohon buah-buahan yang tumbuh subur diatasnya itulah pahlawan tanpa tanda jasa dalam perjalanan pendidikan kami.

Bapak saya seorang yang sangat sederhana yang bukan seorang akademisi, juga bukan pengusaha dengan kekayaan melimpah. Bapak seorang pecinta dunia pertanian yang kebetulan bekerja di perkebunan tebu milik Holding Perkebunan berstatus BUMN milik pemerintah yang menurut ibu, gajinya relatif pas saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kecuali untuk biaya kuliah!

Di balik kesederhanaan itulah, tersimpan tekad yang luar biasa, menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin, terutama ke sekolah atau kuliah yang berhubungan dengan pertanian maupun perkebunan, meskipun secara finansial tetap saja pas-pasan.

Meski begitu, kecintaannya pada dunia pertanian yang tentunya juga menyasar pada dunia tanaman tetap terus diturunkannya kepada kami anak-anaknya sedari kami kecil, agar juga mengenal dan sykur-syukur mencintai juga dengan dunia pertanian, kata beliau suatu saat. 

Hingga kami sudah terbiasa berjibaku dengan pupuk kandang dari dua atau tiga ekor kambing dan beberapa ayam kampung milik bapak yang jumlahnya tak seberapa itu, saat harus mengurainya ketika bapak memerlukannya untuk memupuk semua tanaman buah-buahan kami, keesokan harinya.

Buah Pisang Hasil Kebun | @kaekaha!
Buah Pisang Hasil Kebun | @kaekaha!

Oya, tanaman buah-buahan di kebun kami ini sebagian juga tanaman saya dan juga adik-adaik saya sejak puluhan tahun silam lho! Jadi bukan tanaman bapak semuanya. 

Bahkan menurut bapak lagi, untuk acara ngunduh mantu saya dulu, ternyata dananya juga dari hasil menjual sekitar 7 pokok pohon jati hasil tanaman saya sewaktu kecil dulu yang bibitnya saya dapatkan dari ngasak alias mencari di kebun kampung hasil dari jatuhan biji yang akhirnya tumbuh di lahan milik kampung tersebut. 

Sayang, saya malah lupa soal pohon jati yang menurut bapak sudah meraksasa tersebut. Di dalam memori ingatan saya yang masih tersisa hanyalah kebiasaan kanak-kanak saya dulu yang bersama teman-teman memang paling suka mencari tukulan atau tunas kecil pohon jati yang tumbuh liar di kebun kampung, mungkin karena mencarinya harus rebutan hingga keseruannya terus nempel dalam memori. 
Bagaimana Pohon Buah-buahan Itu Menyekolahkan Saya?

Dulu, saya juga sering bertanya kepada bapak juga ibu, "Bapak, kok kita nggak punya sawah kayak tetangga lain?" Bapak dan ibu biasanya hanya tersenyum setiap mendengarnya atau sesekali pernah juga menyebut "Itu sawah Bapak, Nak," katanya tersenyum bangga, sabil menunjuk ke arah kebun yang tak seberapa luas itu.

Tentu saja, awalnya saya tidak begitu mengerti dengan jawaban bapak dan ibu. Saya hanya tahu, setiap tiba musim panen buah yang biasanya waktunya berbeda-beda, kebun kami selalu ramai orang yang datang entah dari mana. 

Mereka yang kelak saya pahami sebagai para pembeli buah-buahan secara tebas atau dibeli secara keseluruhan yang ada di atas pohon, selalu datang silih berganti dengan masing-masing membawa keranjang-keranjang penuh mangga segar atau buah apa saja yang saat itu sedang musim panen.

Di saat-saat seperti itu, bisa berhari-hari bapak dan ibu akan terlihat sibuk untuk melayani, menghitung, dan menimbang buah-buahan segar yang baru saja dipetik. Ternyata uang hasil penjualan buah-buahan itulah yang kelak dipakai bapak dan ibu untuk membiayai semua keperluanku juga adik-adikku sekolah sampai kuliah. 

Buah Jeruk Bali di Kebun, Salah Satu Tanaman yang Mulai Langka di Kampungku | @kaekaha!
Buah Jeruk Bali di Kebun, Salah Satu Tanaman yang Mulai Langka di Kampungku | @kaekaha!

 Puncak perjuangan bapak dan ibu adalah saat saya diterima di salah satu universitas negeri di ujung timur Pulau Jawa dan disusul adik saya setahun kemudian. Ini hebatnya bapak dan ibu! Terlihat sekali betapa bangga dan bahagianya bapak dan ibu saat itu, tidak sedikitpun beliau berdua berkecil hati dengan biaya besar yang sebentar lagi pasti akan beliau tanggung. 
 
Menurut ibu, konon sejak saat itulah, bapak selalu menghitung estimasi hasil panen dari masing-masing pohon buah-buahan yang tumbuh di kebun belakang itu. Bukan untuk mandahului takdir, tapi justeru menjadi bagian dari untaian doa-doa yang akan dipanjatkan ke hadapan Sang Khalik yang Maha Kuasa dan Maha menentukan hasil panen buah-buahan itu, kata Ibu. Masha Allah, air mata saya selalu menetes kalau teringat ini semua.

Alhamdulillah, setiap awal semester, terutama di awal-awal saya kuliah, uang untuk membayar SPP selalu tersedia tepat waktu. Saya tahu itu bukan uang yang datang dari langit. Itu adalah hasil keringat Bapak yang dikelola begitu cantik dengan manajemen ala ibu, hasil kesabaran dan ketekunan beliau merawat setiap pohon buah di belakang rumah. Menyiram, memupuk, memangkas dan melindunginya dari hama. 

Tahukah anda, setiap buah yang saya makan dari hasil panenan kebun belakang rumah itu, rasanya jauh lebih manis dari buah dari kebun lain, apalagi dari pasar, karena ada cerita pengorbanan di balik rasa manisnya buah dari kebun belakang rumah ini. Anda pasti paham itu kawan!

Itulah sebabnya, sampai sekarang, setiap pulang kampung, saya selalu lebih suka "tinggal" di kebun belakang rumah yang selalu terasa adem dan menyenangkan, karena pohon-pohon disitu tidak pernah kehabisan kata untuk mengisahkan tentang ketulusan seorang ayah dan ibu sejati, tentang perjuangan tanpa lelah dan tentang bagaimana sebuah kebun buah-buahan yang tidak seberapa luas yang dijaga dengan cinta itu bisa menjadi jembatan menuju cita-cita.

Buah Mulwo atau Srikaya di Kebun | @kaekaha!
Buah Mulwo atau Srikaya di Kebun | @kaekaha!


Pernah suatu ketika, bapak bercerita sambil terus menatap langit dengan mata yang terus berkaca-kaca. Ternyata, inilah alasan bapak menyebut kebun di belakang rumah sebagai sawah beliau! Bapak lebih memilih kebun dan menanaminya dengan berbabagai pohon buah juga bukan tanpa sebab. 

Sebagai "orang pertanian" yang begitu yakin dengan kuasa Penciptanya yang telah menurunkan ilmu dan pengalaman kepadanya, ternyata bapak juga sudah berhitung dengan matang untuk ini semua!

Bapak menyebut, atas ijin TuhanNya, pohon-pohon itu telah bekerja dengan begitu baik hingga menghasilkan buah-buah terbaik juga untuk bisa menghidupi dan juga menyekolahkanku dan adik-adik sampai sarjana. Menurut bahasa kita saat ini, inilah passive income hasil dari bapak menanam pohon-pohon buah-buahan di kebun belakang rumah puluhan tahun silam.     

Keberkahan dari hasil pohon buah-buahan di kebun belakang itu, menurut bapak juga tidak lepas dari kecakapan ibu yang begitu rapi dan nastiti dalam mengelola keuangan hasil perniagaan hasil panen dan selebihnya memang sudah menjadi keniscayaan, karena menanam pohon yang sejatinya meang beramal jariah.

"Bukankah oksigen yang dihasilkan dari hasil fotosintesis setiap helai daun dari pohon  yang kita tanam dan akhirnya dihirup oleh semua makhluk hidup di sekitarnya yang membutuhkannya untuk bernafas, juga tabungan (passive income) kita di akhirat kelak", kata Bapak lagi. Masha Allah!

"Karenanya nak, kalau kamu sukses nanti, jangan lupa dengan tanah yang sudah memberikan rezeki ini." Pesan itu selalu saya pegang teguh. Kebun itu bukan hanya sekadar lahan berisi pohon, melainkan monumen hidup dari cinta dan pengorbanan Bapak yang telah menyekolahkanku sampai sarjana. Sebuah pengingat terbaik untuk terus melangitkan doa-doa terbaik untuk bapak dan ibu di sepanjang waktu. (BDJ30625)

Semoga Bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 30 Juni 2025 23:15 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-6 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan Periode 2" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian! 



 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar