Riak Air Sungai Cihonje, Pembatas Alami Kampung Karuhun dengan Hutan Belantara dan Juga Kawanan Monyet Liar | @kaekaha! |
Hipotesis biofilia yang dipopulerkan Edward O. Wilson dalam buku Biophilia karyanya yang terbit tahun 1984 silam, secara ringkas menyebut manusia secara alamiah memiliki keterikatan khusus dengan alam (nature relatedness) yang mendalilkan naluri manusia akan berusaha mencari dan merasa nyaman di lingkungan alami yang berdampak positif pada kesehatan fisik dan mentalnya.
Sepertinya inilah alasan paling logis kenapa fungsi psikologis kita beradaptasi paling baik saat berada di lingkungan alam yang segar, hingga banyak diantara kita merasa perlu ngadem atau healing sejenak ke destinasi dengan view hijaunya pepohonan dengan udara segar, apalagi ditingkahi dengan suara gemericik air di bebatuan, ketika hidup terasa sedang stuck. Betul?
Ini juga yang saya rasakan ketika pertama kali menghirup udara sore yang super segar di Kampung Karuhun, komplek destinasi wisata dengan konsep eco green park di Sumedang Selatan yang lokasi riilnya ternyata sangat unik ini, dikelilingi hijaunya hutan hujan tropis plus diapit DAS (Daerah Aliran Sungai) Cihonje dan jalan terjal menuju perkebunan teh Margawindu dan Cisoka di kawasan Citengah yang lebih tinggi.
Baca Juga Yuk! "Negeri Bedil" Cipacing, Etalase Kreativitas Kelas Dunia di Sudut Kota Tahu Sumedang
Jadi secara fisik, komplek Kampung Karuhun ini mempunyai pagar alami berupa Sungai Cihonje di bagian kanan yang memisahkannya dengan hutan belantara sekaligus barrier untuk kawanan monyet liar dan pagar alami berupa tebing yang diatasnya merupakan jalan raya beraspal hotmix di sebelah kiri. Pastinya cantik, unik dan juga menarik!
Guide Map "Komplek" Kampung Karuhun | @kaekaha! |
Setelah kesan pertama yang begitu menggoda, malam pertama di Kampung Karuhun mengantar saya ber-azam alias bertekad kuat dalam hati, untuk menjelajahi seluruh bagian Kampung Karuhun selepas Subuh esok hari sebelum agenda acara di hari kedua dimulai pada jam 07.00 WIB.
Oiya hapir lupa, artikel ini merupakan sekuel atau tulisan kedua dari travel story saya di Sumedang, khususnya catatan selama stay di Kampung Karuhun. Naaah, kalau ingin mengetahui latar awal dari artikel ini, boleh lah klik dulu dan baca untuk menemukan keseruan-keseruan artikel pertamanya, "Mbediding", Serunya Membeku Bersama di Ketinggian Kampung Karuhun, Sumedang Selatan. Gratis! He...he...he...
Sekembali dari Subuhan berjamaah dengan beberapa teman di musala berdinding bambu sederhana yang lokasinya hanya beberapa langkah dari Bale bambu atau Barak Awi tempat saya dan peserta lelaki lainnya nge-camp, pintu dan semua jendela barak yang kita buka menjadikan udara super segar dengan aroma floral yang begitu segar langsung memenuhi ruangan barak.
View Salah Satu Kolam Renang dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Hijaunya Menyegarkan Mata dan Fikiran | @kaekaha! |
Dari jendela Barak Awi, angle terbaik landscape bagian depan Kampung Karuhun yang menyajikan view cantik kebiru-biruan beberapa kolam renang yang konon setiap week end dan hari libur selalu penuh dengan pengunjung yang berlibur itu langsung masuk dalam bidikan kamera yang sejak kemarin sore memang sudah "gatal" ingin mengabadikan sudut-sudut menawan Kampung Karuhun.
Setelah puas membidik beberapa spot terbaik bagian depan Kampung Karuhun yang sepagi itu sudah sanggup membuat mood saya jauh lebih baik dan lebih bersemangat, seorang diri saya turun dan keluar dari komplek eco wisata yang ternyata sangat luas ini. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk mengeksplor sisi luar Kampung Karuhun, terutama jalan raya beraspal hotmix yang menuju ke arah perkebunan teh Margawindu.
Setelah melewati gerbang utama di bagian depan yang tepat di sebelah kirinya, gemericik suara aliran Sungai Cihonje tidak henti-hentinya memberikan nuansa natural yang sangat otentik itu, saya mengambil jalan ke kanan dan langsung berjalan mengikuti kontur jalan menikung yang langsung menanjak itu.
Jalan Aspal Menuju Perkebunan Teh Margawindu dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Hijaunya Menyegarkan Mata dan Fikiran | @kaekaha! |
Keren! Itulah kesan yang saya dapat meskipun hanya sanggup menyusuri jalan sekitar 500-an meter saja, karena kiri-kanan jalan selepas Kampung Karuhun, semuanya masih berjajar pepohonan yang cukup lebat, selayaknya tepian hutan. Tidak heran jika dinginnya udara pagi disini masih terasa menggigit dan aroma floralnya yang segar itu lo, sensasinya bikin fresh jiwa dan raga, meskipun sisi misteriusnya tetap saja masih berasa!
Baca Juga Yuk! Jalan Sunyi "Panahan Kasumedangan" Menolak Punah
Sekembali ke gerbang utama, saya tidak belok kiri menuju Barak Awi, tapi langsung menuju ke arah belakang ke pintu gerbang Camping Ground dan beberapa destinasi budaya juga wahana-wahana permainan lainnya yang menurut informasi, masih sejauh beberapa ratus meter lagi ke arah belakang mengikuti aliran Sungai Cihonje yang suara riak airnya sanggup menghadirkan sensasi alami yang menenangkan dan menyenangkan.
Jalanan Menuju Campng Ground dan Wahana Lainnya di Kampung Karuhun | @kaekaha! |
Sambil terus membidik dan juga merekam beberapa spot terbaik di bagian belakang Kampung Karuhun yang semakin menjauh semakin berasa sensasi jungle-nya itu, saya terus menyusuri tepian Sungai Cihonje. Saking banyaknya spot cantik yang tersaji di sepanjang jalur, menyebabkan langkah saya melambat, karena khawatir ada yang terlewatkan. Kang sayang! He...he...he...
Baca Juga Yuk! Senandika Esok Hari, Mengudap "Legitnya Madu" Ubi Cilembu di Kota Buludru, Sumedang
Sendirian menyusuri blok demi blok destinasi eco wisata dengan konsep yang berbeda-beda tapi semuanya mengerucut pada tematik utama yang sama, yaitu selaras dengan alam yang selepas terbit fajar saat itu tetap berasa sunyi, hening dan menyisakan udara dingin yang ditingkahi riuahnya kicauan burung dan juga sesekali suara tonggeret dari kejauhan, menjadikan me time yang sempurna!
Disini saya mebuktikan, Hipotesis biofilia-nya Edward O. Wilson memang benar dan akan selalu aktual! Inilah me time yang benar-benar menyegarkan mata, hati dan juga fikiran. Amunisi terbaik untuk berliterasi, menulis dan membukukan catatan potensi pariwisata Sumedang.
Karuhun Bridge alias jembatan karuhun | @kaekaha! |
Benar-benar surprise, ketika mata, hati dan fikiran berasa lebih fresh dari sebelum-sebelumnya, tetiba waktu serasa sangat lambat berputar. Ternyata begini ya, rasanya harmoni hidup berdampingan dengan alam yang masih utuh secara ekosistem dan ini semua mengingatkan saya pada masa kecil, saat tinggal di kaki Gunung Lawu, Jawa Timur, kampungnya ibu saya.
Kerennya, di tempat ini juga ada saung budaya yang pada momen-momen tertentu menjadi destinasi pertunjukan berbagai kesenian tradisional khas Sunda yang sudah pasti sangat otentik dan menghibur. Sebuah kolaborasi pelestarian alam dan budaya dalam satu lansekap yang sangat menarik dan bermanfaat.
Jujur, saat itu saya membayangkan betapa menariknya, menyusuri Sungai Cihonje menjelajahi wahana alam Kampung Karuhun sambil diiringi permainan ensemble alat musik sunda, semisal degung atau kolaborasi cantik kacapi suling yang syahdunya bisa menenangkan itu!
Honai, Rumah Adat dari Suku Dani, Papua Pegunungan di Kampung Karuhun | @kaekaha! |
The show must go on, penjelajahan berlanjut! Melewati Karuhun Bridge alias jembatan karuhun, jembatan besi yang di desain kekinian dan instagrammable yang melintang diatas Sungai Cihonje tiba-tiba terlihat sekawanan lutung atau monyet bergelantungan di pepohonan di seberang sungai. Untungnya mereka hanya diam dan termangu melihat saya.
"Bismillah, peace ya mon!" Doa saya dalam hati sambil mempercepat langkah melanjutkan penjelajahan menuju kawasan etnik nusantara menyajikan diorama sasaungan, perkampungan etnik khas masyarakat Sunda dan juga Rumah Honai, rumah adat Suku Dani di Papua Pegunungan dan Papua Tengah.
Memang belum banyak keragaman budaya nusantara, khususnya rumah adat berikut kelengkapannya yang dihadirkan di area ini. Tapi kehadiran dua model cottage atau tempat menginap berbahan alami ini sebagai sebuah awalan, tentu sebuah ide yang sangat bagus dan patut mendapatkan apresiasi. Semoga saja, kedepannya akan semakin banyak lagi "perwakilan" rumah adat dari belahan nusantara lainnya yang hadir.
Diorama Sasaungan, "Komplek" Perkampungan Khas Sunda di Kampung Karuhun | @kaekaha! |
Khusus untuk area di Sasaungan atau komplek perkampungan khas Sunda vibes Sunda-nya memang berasa banget sih!
Selain penampakan cottage dengan desain khas Sunda berbahan kayu yang begitu unik dan cantik yang berjajar rapi, di area ini juga dilengkapi dengan saung khusus yang memperlihatkan suasana dan juga penampakan dapur tradisional khas Sunda berikut perabotan keluarga tradisonal baheula khas keluarga Sunda yang sepertinya sudah jarang dipakai di jaman kiwari.
Selain bale-bale bambu yang khas, ada juga lesung tua yang terbuat dari kayu pohon utuh sepanjang lebih dari tiga meteran yang mirip perahu dari Papua, ketel atau panci kastrol yang biasa dipakai untuk masak nasi liwet, aneka jenis dandang berbahan tembaga dengan bentuk yang unik dan pastinya berkesan jadul banget berikut tungku tanah tradisional yang terlihat sesekali masih dipakai. (BDJ17825)
Bersambung...
Kelengkapan Perabotan Dapur Baheula di Kampung Karuhun | @kaekaha! |
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 17 Agustus 2025 14:45 (silakan klik disini untuk membaca)
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar