Tahu Campur Lamongan | @kaekaha |
"Sueger iki rek!"
Pernahkah anda mendengar ungkapan seger atau suueger (menurut pelafalan aslinya), dengan berbagai variasi kata pembentuk frasanya dari orang-orang disekitar anda saat mereka melihat, mencium atau mungkin sedang menyantap hidangan tertentu?
Isteri saya yang asli Galuh Banjar alias gadis Banjar yang lebih dari 2 dekade menemani saya, sering kali menanyakan arti, makna ataupun maksud dari ungkapan ini ketika saya secara spontan dan pastinya tanpa retorika mengucapkannya saat bertemu makanan-makanan tertentu kesukaan saya.
Umumnya, ungkapan singkat yang begitu khas ini diucapkan oleh masyarakat Jawa, khususnya lagi masyarakat berdialek Jawa-timuran secara spontan dan tanpa retorika (sepertinya juga tanpa sadar Lo!), terutama ketika menemukan kuliner kesukaan yang memanjakan indra, terutama indra penglihatan, penciuman dan perasa.
Karena saya lahir dan besar ber-home base di Jawa Timur, wajar dong seringkali ungkapan kata suueger ini akan spontan keluar ketika saya bertemu dengan beragam kuliner khas Jawa-timuran, terlebih lagi ketemunya di perantauan!
Terutama kuliner-kuliner berkuah kaldu kesukaan saya, seperti bakso, mie ayam, aneka sop, rawon, aneka soto, tahu campur, sate-gule, lontong kikil, lontong Kupang, lontong balap dan lainnya, meskioun sebenarnya saya menyukai beberapa kuliner non kuah kaldu, asalkan citarasanya autentik Jawa-timurnya, yaitu asin-pedes, semisal rujak cingur, bebek goreng, lodeh jangan lombok, jangan asem, trancam, pecel, sampai beragam olahan tepo atau lontong khas dari seputaran ex-karesidenan Madiun Raya.
Bahkan dalam perkembangannya, setelah dua dekade lebih juga saya menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Ungkapan "suueger" juga terucap kepada kuliner khas Banjar kesukaan saya seperti, Soto Banjar, Katupat Kandangan, Katupat Batumis, lontong tampusing dan beberapa lainnya.
Memang lebih dari sekadar kata sifat yang berarti "segar" dalam bahasa Indonesia semata, ungkapan kata "seger" yang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang kita bahas disini, memang memiliki makna dan kedalaman rasa yang unik dan khas bagi orang Jawa, (sekali lagi!) khususnya lagi masyarakat berdialek Jawa-timuran bahkan seringkali menjadi sebuah misteri yang menarik untuk dibahas.
Lantas, apa sebenarnya yang membuat kata "seger" ini begitu istimewa dan seringkali tak tergantikan dalam kamus kulineran ala orang Jawa (-timuran) ini?
Mie Ayam | @kaekaha |
Lebih dari Sekadar Kesegaran Fisik
Secara harfiah, ungkapan kata "seger" disini memang merujuk pada makna kosakata dalam bahasa Indonesia, "segar" yaitu kondisi fisik yang segar, seperti buah yang baru dipetik atau minuman dingin di tengah terik matahari.
Namun, saat diucapkan dalam konteks ini, makna "seger" disini melampaui definisi fisik tersebut. Kata ini menjelma menjadi ekspresi kepuasan indrawi yang begitu holistik.
Ketika saya atau siapapun mengatakan "suueger" setelah menyeruput kuah bakso panas dengan citarasa asin pedas, menikmati rujak manis pedas yang bikin berkeringat atau bahkan sesederhana meneguk es teh manis di siang hari, sejatinya kita tidak hanya merasakan kesegaran secara fisik dan psikis sebagai efek dari bersentuhan dengan suhu, citarasa dan juga tekstur makanan yang kita lihat hingga kita santap, tapi ada unsur lain yang turut berperan, yaitu:
Keseimbangan Rasa
Ungkapan kata "seger" di sini seringkali mengindikasikan bahwa hidangan yang kita lihat dan santap memiliki paduan visual, aroma dan citarasa yang sempurna pada indra kita, khususnya bagi pengucapnya. Itu artinya, sensasi "seger" ini memang sangat subyektif, baik secara komunal maupun pribadi.
Efek Membangkitkan Selera
Ungkapan kata "seger" di sini juga sering muncul ketika makanan atau minuman yang kita lihat, cium (aromanya) dan santap mampu "membangkitkan" kembali semangat atau energi yang mungkin sempat menurun.
Serasa ada dorongan positif atau suntikan semangat yang langsung berasa setelah suapan pertama.
Kenyamanan Emosional
Bagi sebagian dari kita, makanan bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga kenyamanan emosional dan nostalgia.
Ungkapan kata "Seger" ini, sejauh yang saya alami, juga bagian dari ekspresi rasa nyaman dan kebahagiaan yang muncul karena hidangan tersebut mengingatkan pada sesuatu yang spesial, semisal masakan ibu, suasana masa kecil, atau momen-momen indah lainnya yang sudah lama tidak kita nikmati.
Aftertaste yang Menyenangkan
Pengalaman saya lainnya, sebuah hidangan yang kita labeli "seger" ini, biasanya selalu meninggalkan jejak rasa yang bersih dan menyenangkan di lidah, tidak lengket atau membuat eneg. Ini sensasi yang membuat kita ingin terus menyantapnya, lagi dan lagi.
Bakso | @kaekaha |
Seger Bukan Hanya "Enak" atau "Lezat"?
Kemungkinan, setelah membaca uraian diatas, akan ada yang bertanya, mengapa tidak cukup dengan mengatakan "enak" atau "lezat" saja daripada mengucap kata seger yang mungkin maknanya nggak jelas bagi sebagian orang ?
Tentu saja tidak cukup, kata-kata "enak" atau "lezat" terlalu umum digunakan untuk memuji makanan. Namun, ungkapan "seger" yang spontan lebih spesifik dan mendalam secara taste, selain lebih ber-signature secara budaya.
"Enak" dan "lezat" lebih bersifat umum, menggambarkan cita rasa yang baik secara keseluruhan. Sementara itu, "seger" menekankan pada efek revitalisasi, keseimbangan, dan kepuasan yang didapatkan setelah mengonsumsi hidangan tersebut.
Ini adalah kata yang menangkap esensi bagaimana makanan tersebut membuat tubuh dan pikiran merasa lebih baik, lebih hidup, dan lebih "terisi".
Coba bayangkan! Anda yang baru saja bekerja keras dan merasa lelah, kemudian saat istirahat mendapatkan hidangan semangkuk sayur asem bercitarasa asam, pedas dan hangat ditemani sambal tomat, juga ikan pindang yang menjadi kesukaan anda!
Tentu saja, fell yang lahir bukan sekedar menangkap rasa "enak" atau "lezat" semata, tapi juga sensasi "seger" yang holistik, karena ia tidak hanya mampu mengembalikan energi dan juga membuat tubuh terasa lebih segar, tapi juga perasaan yang lebih senang dan bersemangat.
Soto Madiun | @kaekaha |
Sebuah Ungkapan Spontanitas dan Koneksi Budaya
Misteri "seger" juga terletak pada sifatnya yang seringkali spontan. Kata ini tidak diucapkan dengan paksaan, melainkan terlontar begitu saja sebagai reaksi jujur dari indra dan perasaan. Ini menunjukkan koneksi yang mendalam antara makanan, pengalaman, dan bahasa dalam budaya Jawa secara umum, maupun secara spesifik di seputar Jawa-timuran.
Wajar, karena dalam tradisi kearifan khas masyarakat Jawa, makanan seringkali menjadi sarana untuk bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan bahkan untuk mengobati hati.
Dari sini kita memahami, ungkapan kata "seger" di sini selayaknya jembatan yang menghubungkan penikmat kuliner dengan esensi dari hidangan itu sendiri, sekaligus dengan nilai-nilai budaya yang melekat padanya.
Pada akhirnya, "seger" adalah lebih dari sekadar sebuah kata. Ini adalah sebuah jendela ke dalam jiwa kuliner orang Jawa, sebuah ekspresi yang merangkum kenikmatan holistik, keseimbangan rasa, kenyamanan emosional, dan efek revitalisasi yang diberikan oleh hidangan kesukaan.
Jadi, lain kali kalau anda mendengar ada orang yang mengucapkan kata "seger" atau suueger dalam pelafalan aslinya saat menyantap sesuatu, itu artinya dia sedang menemukan kuliner paling nikmat di dunia, setidaknya bagi dirinya sendiri! Sesederhana itu kawan! (BDJ17625)
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 17 Juni 2025 19:46
(silakan klik disini untuk membaca)
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar