Mantanku | islamramah.co
Udara
pagi bulan Juni yang lebih dingin dari biasanya menjadikan suasana pagi
khas dataran rendah Kota Banjarmasin yang biasanya terasa hangat, kali
ini jauh lebih mbediding. Nggak biasanya, Julak Amin
yang biasanya telanjang dada setiap menarik gerobak sampah melalui jalan
depan rumah, sekarang malah terlihat memakai jaket.
Tapi lamunanku soal musim mbediding segera ambyar setelah Mamak datang menghampiriku di kursi teras depan dengan secangkir kopi nashitel alias kopi panas, pahit dan kentel, sepaket sama sepiring gaguduh pisang goreng, dua "menu" sarapan terbaikku kalau lagi pulang kampung ke Kota 1000 Sungai di tengah-tengah udara pagi yang mbediding.
Nah, seperti biasanya, mamak selalu membuat gaguduh pisang goreng dari bahan pisang menurun alias pisang kepok yang masih mangkal atau masih setengah matang, hasil kebun di sebelah rumah yang kamarian ditebang Abah karena banyak yang dimakan tupai.
"Mat, kenapa melamun terus? Kesambet baru tahu rasa!" suara Mamak sesaat setelah meletakkan cangkir dan piring yang dibawanya ke meja didepanku.
Aku nyengir. "Enggak, Mak. Lagi mikirin kok tumbenan ya udara pagi dingin begini!"
"Ah karamput lalu! Lhah udara dingin kok dipikir, ya biar saja, dinikmati saja! Ini anugerah dari Allah SWT nang!" Balas Mamak, sambil duduk di kursi rotan di sampingku, dilanjut menyodorkan pisang goreng dalam piring bau harumnya sangat menggoda.
"He...he...he...Iya Mak!" kataku sambil menggigit pisang.
"Tadi, sepulang dari subuhan di masjid, Rahmat melihat Rina, Mak!"
Mamak mengernyitkan dahi. "Rina yang mana? Mantanmu calon dokter gigi yang dulu sering main ke sini?"
Aku mengangguk. Rina! Nama itu masih terasa aneh di lidahku. Kami putus sekitar 15 tahun silam. Waktu itu, rasanya duniaku sudah selesai, karena bagiku langit sudah runtuh saat itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula!
Bagaimana tidak, gara-gara aku gagal masuk kedokteran umum karena ternyata menyandang kelainan buta warna, Rina! Satu-satunya definisi sempurna bagiku saat itu, bukannya mendukungku, menghiburku, tapi malah mengikuti saran keluarganya agar meninggalkanku.
Konon, menurutnya sih alasan orang tuanya logis! Sangat beresiko memang kalau harus memaksakan menikah dengan penyandang buta warna. Kasihan nasib anak-anaknya nanti, karena kelainan buta warna yang terpaut sex bisa menurun kepada anak cucu.
"Terus kenapa?" tanya Mamak, memandangi ekspresiku.
"Aneh Mak," ujarku pelan.
"Aku tadi lihat dia di lapak sayur dekat masjid. Sepertinya dia lagi belanja sama suaminya. Tapi... kok dia enggak secantik dulu ya, Mak?"
Mamak tertawa. Bukan mengejek sih, tapi tawa yang hangat dan penuh pengertian. "Memangnya kenapa kalau dia enggak secantik dulu? Kau masih cemburu"
"Ah mamak ni! Aneh aja Mak! Dulu kan dia cantik banget, seksi banget! Rasanya kayak, waaaaaah, ya gitulah!" Aku menyandarkan punggung ke kursi, bingung memilih diksi yang pas untuk mendiskripsikan yang ada di benakku.
"Apa dia tidak bahagia ya Mak dengan pilihan orang tuanya?" Memang, tadi aku sempat terpaku melihat Rina. Badannya jauh lebih gemuk kalau menyebut gendut serasa kurang pantas. Wajahnya yang juga lebih berisi, memperlihatkan kantung mata tipis yang tetap terlihat meskipun sekilas dilihat saja.
Dia tampak sibuk memilih sayuran, sambil sesekali melirik suaminya yang menggendong anak balita. Keberadaan suaminya juga membuatku terkejut. Selain jauh lebih tua, kok ya juga bukan anak pak kades kampung sebelah yang dulu dijodohkan dengannya? Apa dia juga baru saja punya anak?
Mamak mengambil sepotong pisang goreng lagi. "Gini nang. Cantik itu bukan cuma soal rupa. Apalagi kalau sudah berumah tangga, menjadi seorang ibu yang punya anak. Perjuangan seorang ibu, seorang istri, itu jauh lebih berat dari sekadar menjaga penampilan."
"Maksudnya Mamak?" Tanyaku penasaran.
"Dulu, waktu masih jadi pacarmu, Rina kan masih gadis. Bebannya belum sebanyak sekarang. Dia mungkin punya banyak waktu buat merawat diri, dandan, segala macam. Sekarang, dia harus mengurus rumah, suami, apalagi anak kecil," jelas Mamak lembut.
"Coba bayangkan, dia mungkin kurang tidur karena begadang mengurus bayinya. Mungkin dia sibuk masak, bersih-bersih, mengurus kebutuhan suaminya. Tenaganya habis untuk itu semua." Mamak melanjutkan penjelasannya.
Aku terdiam, mencoba memahami penjelasan mamak. Ada benarnya juga. Dulu, yang kulihat dari Rina hanyalah kecantikan fisiknya. Aku tidak pernah membayangkan sisi perjuangannya sebagai seorang istri dan ibu setelah melahirkan, menyusui dan tetek bengek yang lainnya!
"Tapi, apa ya harus begitu mak? Baru punya anak satu kok sudah nggak terawat gitu?" Aku mencoba mengurai isi kepalaku.
"Ya kadak jua pang! Lagipula...," lanjut Emak sambil menepuk pundakku.
"Cantik itu kan relatif. Matamu dulu melihat dia cantik karena kamu sayang, kamu cinta. Lha Sekarang, kamu melihat dia beda, mungkin karena hatimu sudah tidak ada di sana. Dan dia juga sudah punya kebahagiaannya sendiri, bahagia versinya sendiri atau jangan-jangan kebencian di hatimu yang menjadikan Rina tidak secantik dulu di matamu!?" Mamak melanjutkan lagi penjelasannya.
"Mamak yakin, di mata Rina Ikam ni juga tidak seganteng dulu! Sudah tua!" Lanjut mamak lagi sambil mencibirkan bibirnya sambil tersenyum mahuluti.
"Ah Mamaaak, ya enggaklah! Aku sudah ikhlas kok" Sambil tersipu aku mengelak.
"Nah pucuk dicinta ulam pu tiba! Tuh..." Dengan dagunya mamak menunjuk sesuatu ke arah jalan.
Ternyata, tidak seberapa lama dari obrolan saya dengan mamak, tiba-tiba Rina sama suaminya yang menggendong si kecil sambil menenteng sayur-sayuran lewat di jalan depan rumah dan yang sama sekali tidak terduga, entah karena melihatku yang sedang mudik atau karena kepingin bersilaturahmi dengan mamak, Rina mengajak suaminya mampir, menghampiri kami yang sedang duduk-duduk santai di teras.
Masha Allah, aku akhirnya melihat kembali senyum manisnya yang tulus dan masih semanis dulu saat berbicara dengan mamak dan cara dia mengusap-usap kepala anak balitanya yang sepertinya tertidur dalam gendongan suaminya menunjukkan kasih sayang yang melimpah. Bujur banar kata mamak, Rina memang masih memancarkan kecantikannya.
"Jadi, dia tetap cantik ya mak?" tanyaku, agak malu setelah Rina dan suaminya pamit dan berlalu.
Mamak tersenyum. "Cantik itu terpancar dari hati, Nang! Kalau hatinya bahagia, kalau dia bisa menjalankan perannya dengan baik, itu jauh lebih indah dari sekadar wajah tanpa cela. Kecantikan yang sejati itu bertahan lama, tidak seperti yang cuma di luar dan suaminya pasti tahu itu!"
Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba, rasa sesak yang tadi kurasakan berganti dengan kelegaan. Mamak benar. Aku selama ini terjebak pada definisi kecantikan yang dangkal dan sepihak. Rina memang tidak secantik dulu di mataku, tapi itu karena aku melihatnya dari sudut pandang yang salah.
"Mak," kataku, memandang Mamak. "Mamak juga cantik kok!"
Mamak tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Dasar, ada maunya! Ada-ada saja kamu. Sudah, habiskan pisang gorengmu. Nanti keburu dingin."
Aku tersenyum. Sore itu, aku tidak hanya menikmati gaguduh pisang goreng buatan Mamak yang enaknya dasar endul saja, tapi juga pelajaran berharga tentang makna kecantikan yang sesungguhnya. Dan aku yakin, Rina dengan segala perjuangannya, jauh lebih cantik di mata suaminya dan anaknya daripada di mataku. (BDJ22625)
Glosarium :
Bujur banar : Bener banget
Julak : Pakde, kakaknya bapak/ibu
Gaguduh : gorengan
Kamarian : sore
kadak jua pang : tidak juga sih
Karamput lalu : Bohong banget
mahuluti : Mengejek
Mamak : Ibu
Nanang/Nang : Panggilan untuk anak laki-laki
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 22 Juni 2025 20:47 (silakan klik disini untuk membaca)
Semoga Menghibur ya!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar