Soto Kampung Kami | @kaekaha |
Tahun 2023 ini kita kembali berlebaran 2 kali. Fenomena ini mengingatkan saya pada beberapa kali lebaran di era 90-an, yaitu hatrick "lebaran ganda" tahun 1992, 1993 dan 1998 yang ditakdirkan Allah SWT juga mengalami perbedaan penetapan tanggal 1 syawal, hingga setidaknya umat Islam saat itu juga bertemu dengan 2 jawal lebaran yang berbeda.
Serasa Deja Vu!
Diantara ketiga edisi "lebaran ganda" era 90-an diatas, lebaran edisi 1992 atau 1412 H, menjadi momen berlebaran saya yang paling spesial! Saat itu, saya duduk di bangku SMA dan baru saja melewati momentum sweet seventeen yang artinya, sudah dewasa dan sah "memegang" KTP dan SIM. Naaaaah ini dia salah satu clue-nya!
Saat itu, pemerintah menetapkan Idul Fitri jatuh pada 4 April, sedangkan sebagian umat Islam berlebaran sehari sebelumnya, 3 April berbarengan lebaran di Arab Saudi. Persis lebaran tahun ini! Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 22 April, sedangkan sebagian umat Islam lainnya berlebaran sehari sebelumnya, berbarengan juga dengan lebaran di Saudi Arabia tanggal 21 April 2023. Inikah yang dimaksud sejarawan Inggris Arnold Joseph Toynbee yang menyebut "sejarah pasti akan terulang!?"
Serasa Deja Vu!
Diantara ketiga edisi "lebaran ganda" era 90-an diatas, lebaran edisi 1992 atau 1412 H, menjadi momen berlebaran saya yang paling spesial! Saat itu, saya duduk di bangku SMA dan baru saja melewati momentum sweet seventeen yang artinya, sudah dewasa dan sah "memegang" KTP dan SIM. Naaaaah ini dia salah satu clue-nya!
Saat itu, pemerintah menetapkan Idul Fitri jatuh pada 4 April, sedangkan sebagian umat Islam berlebaran sehari sebelumnya, 3 April berbarengan lebaran di Arab Saudi. Persis lebaran tahun ini! Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 22 April, sedangkan sebagian umat Islam lainnya berlebaran sehari sebelumnya, berbarengan juga dengan lebaran di Saudi Arabia tanggal 21 April 2023. Inikah yang dimaksud sejarawan Inggris Arnold Joseph Toynbee yang menyebut "sejarah pasti akan terulang!?"
Shalat Ied | @kaekaha |
Kronik Lebaran 1992
Pada lebaran 1992, saya dan keluarga berlebaran tanggal 23 Maret 1992, begitu juga sebagian warga di kampung saya, di kaki Gunung Lawu. Sayang, karena lebaran tidak serentak dan sebagian keluarga, juga tetangga di kampung masih ada yang berpuasa, maka lebaran di kampung saat itu juga sedikit berbeda.
Biasanya, setelah shalat Ied di tanah lapang yang biasa kami pakai main bola, anak-anak kecil dan para remaja langsung keliling kampung, mendatangi rumah warga satu per-satu untuk bermaaf-maafan. Umumnya, ada jamuan dari tuan rumah untuk setiap tamu yang datang dan khusus untuk anak-anak biasanya ada "sangu" bisa berupa uang layaknya angpau atau juga bingkisan untuk dibawa pulang. Nah ini yang membuat kita semangat he...he...he...!
Ada banyak kudapan khas lebaran yang menjadi jamuan atau suguhan lebaran di kampung kami, seperti tape ketan putih yang dibungkus daun jambu air, madu mongso yang dibungkus kertas warna-warni, wajik gula merah, jadah, ampyang atau rengginang manis dan gurih, emping blinjo, keripik gadung, kembang goyang, kue semprong atau gapit, semprit dan aneka biskuit yang biasanya ditemani teh manis dalam "gelas belimbing" yang legendaris.
Khusus di keluarga Bude (kakaknya ibu saya yang paling tua) dan juga di rumah mbah atau kakek-nenek saya, ada menu lebaran spesial khas kampung kami yang sejak lama selalu menjadi buruan para tetangga dan tamu lainnya yang datang. Di tempat Mbah, ada kuliner tradisional tepo pecel (sejenis lontong dengan toping pecel khas kampung kami), bongko pecel dan kerupuk gapit sejenis sandwich kerupuk pasir yang bagian tengahnya diisi salad pecel yang biasanya menjadi menu khusus untuk anak-anak.
Sedangkan di tempat Bude menu sajiannya berbeda lagi, yaitu soto ayam khas kampung kami yang menurut catatan gastronomi populer Jawa Timuran, konon masuk dalam golongan soto-sotoan khas karesidenan Madiun yang secara spesifik dicirikan dengan adanya ganteng atau kecambah segar, kentang goreng tipis-tipis, kacang tanah goreng dan kuah yang segar layaknya sup ayam.
Jadi mohon maaf, lebaran di kampung kami nemang tidak mengenal opor ayam, tapi kami punya tradisi kuliner yang masih sodaraan dengan opor ayam, yaitu jangan lombok atau sayur cabai, sejenis lodeh pedas yang isiannya sayuran seperti kentang, wortel, buncis, tahu, tempe dan tentunya lombok atau cabe.
Biasanya, sayur ini dihidangkan dengan tepo pas bodo kupat atau ba'da kupat yang di kampung kami perhitungannya jatuh setelah sepasar (5 hari pasar dalam kalender Jawa) dari penetapan 1 syawal. Kuliner yang kemudian lebih dikenal sebagai tepo jangan ini, memang lumayan pedas, tapi ya itu tadi pedesnya lombok memang selalu ngangeni! Ada yang pernah mencobanya?
Separuh Bentang Jawa Timur
Setelah shalat Ied dan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga sekitar, biasanya kami mudik ke tempat mbah dari pihak Bapak yang tinggal di Mojokerto atau Malang yang biasanya tiap tahun secara bergantian kita kunjungi. Trip inilah yang biasa kami sebut sebagai "trip Separuh Bentang Jawa Timur", karena menurut bapak yang sudah biasa motoran di dua rute ini sejak masih remaja, perjalanan ini memang menempuh jarak separuhnya total panjang wilayah Jawa Timur! Kata bapak sih, kalau nggak percaya silakan ukur sendiri...he...he...he...
Bagi saya, Trip "separuh bentang Jawa timur" edisi 1992 yang kebetulan jadwalnya ke Mojokerto ini menjadi sangat spesial, karena menjadi momen pertama saya bisa lepas dari rombongan besar keluarga dan bisa "motoran" sendiri di sepanjang perjalanan dengan ditemani adik. Sehingga bisa melipir ke berbagai destinasi kuliner kesukaan saya, kapan saja di sepanjang perjalanan. Asyik kan!? Hitung-hitung sebagai tasyakuran sweet seventeen eh... SIM dan KTP maksudnya.
Pada lebaran 1992, keluarga Mbah di Mojokerto berlebaran tanggal 4 April, sehari setelah kami lebaran, makanya ketika Vespa PS 150 tahun 1980-an milik bapak yang saya kendarai, memasuki halaman rumah Mbah di Mojokerto, suasana nampak adem ayem belum terasa atmosfir lebaran.
Setelah Maghrib, barulah atmosfir lebaran mulai berasa. Ini yang unik! Sekali lagi, kami merasakan dan menikmati syahdunya kumandang takbir, sampai keesokan paginya.
Tapi untuk shalat Ied besok paginya, kami tidak ikut, karena tadi pagi kami sudah melaksanakannya di kampung. Besok pagi kami tinggal kulineran menu khas Jawa Timuran seperti rawon, rujak cingur dan tentunya minuman tradisional kesukaan saya, es blewah dan sinom yang disiapkan Mbah sama bulik, adik-adiknya bapak.
Tidak hanya itu, tentu banyak juga camilan yang lain dan salah satunya yang selalu bikin kangen Mojokerto, apalagi kalau bukan onde-onde dan adik kecilnya si-keciput atau onde-onde ceplus! Ada pernah mencoba!?
Pada lebaran 1992, saya dan keluarga berlebaran tanggal 23 Maret 1992, begitu juga sebagian warga di kampung saya, di kaki Gunung Lawu. Sayang, karena lebaran tidak serentak dan sebagian keluarga, juga tetangga di kampung masih ada yang berpuasa, maka lebaran di kampung saat itu juga sedikit berbeda.
Biasanya, setelah shalat Ied di tanah lapang yang biasa kami pakai main bola, anak-anak kecil dan para remaja langsung keliling kampung, mendatangi rumah warga satu per-satu untuk bermaaf-maafan. Umumnya, ada jamuan dari tuan rumah untuk setiap tamu yang datang dan khusus untuk anak-anak biasanya ada "sangu" bisa berupa uang layaknya angpau atau juga bingkisan untuk dibawa pulang. Nah ini yang membuat kita semangat he...he...he...!
Ada banyak kudapan khas lebaran yang menjadi jamuan atau suguhan lebaran di kampung kami, seperti tape ketan putih yang dibungkus daun jambu air, madu mongso yang dibungkus kertas warna-warni, wajik gula merah, jadah, ampyang atau rengginang manis dan gurih, emping blinjo, keripik gadung, kembang goyang, kue semprong atau gapit, semprit dan aneka biskuit yang biasanya ditemani teh manis dalam "gelas belimbing" yang legendaris.
Khusus di keluarga Bude (kakaknya ibu saya yang paling tua) dan juga di rumah mbah atau kakek-nenek saya, ada menu lebaran spesial khas kampung kami yang sejak lama selalu menjadi buruan para tetangga dan tamu lainnya yang datang. Di tempat Mbah, ada kuliner tradisional tepo pecel (sejenis lontong dengan toping pecel khas kampung kami), bongko pecel dan kerupuk gapit sejenis sandwich kerupuk pasir yang bagian tengahnya diisi salad pecel yang biasanya menjadi menu khusus untuk anak-anak.
Sedangkan di tempat Bude menu sajiannya berbeda lagi, yaitu soto ayam khas kampung kami yang menurut catatan gastronomi populer Jawa Timuran, konon masuk dalam golongan soto-sotoan khas karesidenan Madiun yang secara spesifik dicirikan dengan adanya ganteng atau kecambah segar, kentang goreng tipis-tipis, kacang tanah goreng dan kuah yang segar layaknya sup ayam.
Jadi mohon maaf, lebaran di kampung kami nemang tidak mengenal opor ayam, tapi kami punya tradisi kuliner yang masih sodaraan dengan opor ayam, yaitu jangan lombok atau sayur cabai, sejenis lodeh pedas yang isiannya sayuran seperti kentang, wortel, buncis, tahu, tempe dan tentunya lombok atau cabe.
Biasanya, sayur ini dihidangkan dengan tepo pas bodo kupat atau ba'da kupat yang di kampung kami perhitungannya jatuh setelah sepasar (5 hari pasar dalam kalender Jawa) dari penetapan 1 syawal. Kuliner yang kemudian lebih dikenal sebagai tepo jangan ini, memang lumayan pedas, tapi ya itu tadi pedesnya lombok memang selalu ngangeni! Ada yang pernah mencobanya?
Separuh Bentang Jawa Timur
Setelah shalat Ied dan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga sekitar, biasanya kami mudik ke tempat mbah dari pihak Bapak yang tinggal di Mojokerto atau Malang yang biasanya tiap tahun secara bergantian kita kunjungi. Trip inilah yang biasa kami sebut sebagai "trip Separuh Bentang Jawa Timur", karena menurut bapak yang sudah biasa motoran di dua rute ini sejak masih remaja, perjalanan ini memang menempuh jarak separuhnya total panjang wilayah Jawa Timur! Kata bapak sih, kalau nggak percaya silakan ukur sendiri...he...he...he...
Bagi saya, Trip "separuh bentang Jawa timur" edisi 1992 yang kebetulan jadwalnya ke Mojokerto ini menjadi sangat spesial, karena menjadi momen pertama saya bisa lepas dari rombongan besar keluarga dan bisa "motoran" sendiri di sepanjang perjalanan dengan ditemani adik. Sehingga bisa melipir ke berbagai destinasi kuliner kesukaan saya, kapan saja di sepanjang perjalanan. Asyik kan!? Hitung-hitung sebagai tasyakuran sweet seventeen eh... SIM dan KTP maksudnya.
Pada lebaran 1992, keluarga Mbah di Mojokerto berlebaran tanggal 4 April, sehari setelah kami lebaran, makanya ketika Vespa PS 150 tahun 1980-an milik bapak yang saya kendarai, memasuki halaman rumah Mbah di Mojokerto, suasana nampak adem ayem belum terasa atmosfir lebaran.
Setelah Maghrib, barulah atmosfir lebaran mulai berasa. Ini yang unik! Sekali lagi, kami merasakan dan menikmati syahdunya kumandang takbir, sampai keesokan paginya.
Tapi untuk shalat Ied besok paginya, kami tidak ikut, karena tadi pagi kami sudah melaksanakannya di kampung. Besok pagi kami tinggal kulineran menu khas Jawa Timuran seperti rawon, rujak cingur dan tentunya minuman tradisional kesukaan saya, es blewah dan sinom yang disiapkan Mbah sama bulik, adik-adiknya bapak.
Tidak hanya itu, tentu banyak juga camilan yang lain dan salah satunya yang selalu bikin kangen Mojokerto, apalagi kalau bukan onde-onde dan adik kecilnya si-keciput atau onde-onde ceplus! Ada pernah mencoba!?
Shalat Ied | @kaekaha |
"Perantau Kuadrat"
Seperti mengulang edisi lebaran 1992 atau 1412 H, lebaran tahun 2023 ini juga tidak kalah spesialnya bagi saya dan keluarga! Selain "lebaran ganda" yang kembali terulang, predikat sebagai "perantau kuadrat" menjadikan lebaran saya di Pulau Kalimantan, "rumah" saya sekarang, semakin seru!
Sejak awal merantau ke Pulau Kalimantan lebih dari dua dekade silam, saya dan keluarga memang stay di Kota Banjarmasin, tapi karena pekerjaan, saya jadi sering jalan-jalan ke berbagai kota di Indonesia, terutama yang menjadi lokasi cabang usaha perusahaan consumer goods tempat saya bekerja. Sejak itulah, saya mempunyai predikat sebagai "perantau kuadrat" alias perantau yang kembali merantau di perantauan! He...he...he...mudahan nggak bingung ya!
Beberapa tahun belakangan saya membuka usaha sendiri yang juga mengharuskan saya sering menetap di luar kota, terutama di 3 kota kawasan hulu sungai, Kalimantan Selatan, yaitu Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Barabai (Hulu Sungai Tengah) dan Amuntai (Hulu Sungai Utara). Inilah yang dikenal sebagai daerahnya pemangku adat istiadat Banjar Pahuluan. Karena itu juga, akhirnya saya juga harus sering wira-wiri Banjarmasin-Hulu Sungai untuk keperluan tersebut dan itu artinya, sampai saat ini saya masih menjadi "perantau kuadrat".
Kronik 2 Lebaran di Banua Banjar
Lebaran tahun 2023 ini, saya ber-Idul Fitri pada tanggal 21 April dan itu artinya sehari lebih dulu dari lebaran saudara-saudara kita yang lain. Ini identik dengan lebaran saya pada 1992 silam.
Di malam takbiran, warga komplek tempat saya tinggal memilih memanggang itik, kuliner khas dan legendaris di kota ini.
Bagi yang sudah takbiran, itik panggang ini bisa untuk makan malam, bahkan untuk sarapan besok pagi sebelum berangkat shalat Ied. Sedangkan bagi yang besok masih berpuasa, bisa untuk lauk makan sahur. Akur kan! Paginya, saya shalat Ied di Lapangan tenis di salah satu sudut kota yang terkenal dengan landmark patung itiknya ini. Hayo ada yang tahu nggak, kira-kira Kota mana yang saya maksud?
Siangnya, saya mudik ke Banjarmasin naik taksi, sebutan untuk angkot dan angkutan umum sejenis minibus di Kalimantan Selatan. Taksi langganan saya ini bisa antar jemput sampai ke rumah, setiap saya pulang ke Banjarmasin atau sebaliknya. Menariknya mudik siang itu, di sepanjang perjalanan sekitar 5 jam, kami ditemani Radja, band yang didirikan duo kakak beradik Urang Banjar Ian Kasela dan Moldy. Uniknya, Mang Adul si sopir taksi lebih suka dengan lagu-lagu Radja yang berbahasa Banjar, seperti Paris Barantai, Uma Abah, Ampar-ampar Pisang dan lainnya. Ada yang pernah dengar lagunya?
Dalam perjalanan yang akan melewati 6 kota dan kabupaten ini, biasanya Mang Adul juga mengajak kita untuk mampir di rumah makan dan pusat oleh-oleh untuk mengisi perut dan juga berburu buah tangan untuk keluarga. Keluarga saya suka dengan camilan asli dari Hulu Sungai seperti pisang rimpi Binuang, apam Barabai dan juga dodol Kandangan. Sedangkan untuk mengisi perut, saya pasti memilih kuliner berkuah kaldu kesukaan saya, seperti Katupat Kandangan atau Soto Banjar.
Menjelang Maghrib, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Senyum manis istri saya dan keriuhan anak-anak yang berebut mencium tangan saya plus aroma khas Soto Kuin yang menguar dari dalam rumah saat pintu terbuka benar-benar sanggup meluruhkan semua lelah dan letih saya.
Apalagi ketika di dalam rumah, terlihat betapa cantik dan harumnya aneka olahan wadai Banjar kesukaan saya sudah terhampar diatas meja makan, ada bingka barandam, kue lam, sari India dan lain-lainnya. Alhamdulillah!
Istri saya memang paling tahu makanan kesukaan saya he...he...he...! Tidak itu saja, untuk menu lebaran ke-2 besok, ternyata istri saya sudah mempersiapkan beberapa pilihan kuliner Banjar yang wajib saya pilih salah satunya untuk dimasak. Sambal-nya, sebutan bumbu ala Urang Banjar sudah dibeli di Pasar Gambut, seperti bistik daging, lontong tampusing, Selada Banjar dan Katupat Batumis. Pilih yang mana ya?
Semoga bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar