Baca Juga: Menikmati Microcation di "Kampung Bidadari", Likupang
Sebagai perantau yang telah 3 dekade-an berkelana njajah desa molang kori di sebagian bumiNya Allah SWT, seperti yang saya tuliskan dalam artikel berjudul "Ngeri-ngeri Sedap" Mudik Melalui Jalur Sungai Barito dan Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Era 90-an, sepertinya semua moda transportasi darat, laut dan udara di nusantara berikut romantika elegis-nya, sudah semuanya saya coba.Mulai dari naik dokar yang kudanya lepas, naik Byson yang lepas gardan di tengah malam perjalanan, naik bis kecelakaan hingga masuk sungai, naik bis dan kereta api yang hanya bisa menampung satu kaki saja, naik kereta berjubel sampai tidur berdiri di WC yang baunya aduhai, sampai duduk bareng kambing dan ayam hingga ketinggalan barang-barang bahkan juga istri yang lagi hamil dan tentunya termasuk ketinggalan pesawat gara-gara salah baca jam WIB dan WITA, plus nama yang gak sesuai KTP, hadeeeeh banyak deh serunya!
Kalau dipikir-pikir, tradisi pulang kampung atau mudik kita ini kok mirip-mirip dengan ritual mudik tahunannya ikan salmon menuju tempat kelahirannya ya!? Berat dan menantang bahaya!
Selain jarak untuk mudiknya yang menurut para ilmuwan tidak kurang mencapai 1000 km, bahkan lebih dan juga lokasi "kampung halaman" yang ternyata juga tidak mudah ditemukan, karena untuk sampai ke tempat kelahirannya ternyata tidak cukup kalau ikan salmon hanya mengandalkan indra penciumannya saja, ikan salmon juga wajib bisa menemukan dan mengenali intensitas, kekuatan dan juga sudut medan magnet bumi lokasi tempatnya dilahirkan yang kelak menjadi tempatnya bertelur. Nah lo...
Tidak hanya itu, disepanjang perjalanan ikan salmon dewasa ini juga harus bisa melewati jeram, berenang melawan arus yang sudah pasti perlu persiapan fisik yang prima dan yang paling krusial, mereka harus "beruntung", bisa lolos dari berbagai predator yang sudah siap memangsa disepanjang jalur sungai, seperti burung elang, berang-berang, beruang dan banyak lagi yang lainnya. Mirip kan, dengan elegi perjalanan mudik kita!?
Pertanyaanya sekarang, kalau mudiknya ikan salmon ke kampung halaman tempat dia dilahirkan lebih pada naluri atau panggilan alam untuk bereproduksi, lantas mudik kita ke kampung halaman untuk apa, karena apa? Masak iya, hanya untuk bereproduksi juga seperti ikan salmon? He...he...he...Baca Juga: Meluruhkan Ego di Laguna Ubur-ubur Purba Pulau Kakaban
Topofilia Menjadikan Mudik Sangat Menyenangkan | @kaekaha |
Tradisi mudik kita memang jauh lebik unik dan kompleks! Banyak diantara kita tidak hanya sekedar terang-terangan lebih memilih untuk "nekat" pulang kampung meskipun berat, berbahaya dan tidak jarang harus bertaruh nyawa, karena berbagai hal! Bahkan banyak diantara kita yang memang sengaja menantang maut dengan menambah kapasitas beban, menambah penumpang secara tidak sah dan lain-lainnya yang bisa membahayakan diri sendiri dan pengguna jalan lainnya. Nah lho, kok bisa begitu ya?
Menurut para pakar psikologi, situasi ini terjadi karena adanya simpul-simpul keterikatan antara kita, manusia dengan suatu tempat yang dalam konteks mudik sudah pasti merujuk pada kampung halaman, rumah tempat kita lahir dan dibesarkan. Inilah yang dikenal sebagai aspek topofilia atau topophilia.
Topofilia inilah yang menjadi pemicu rasa senang, nyaman, aman dan bahkan juga semangat berlipat para pemudik untuk nekat pulang kampung, hingga mereka seolah-olah lupa dengan segala bahaya yang mengintai disepanjang perjalanan.
Aspek topofilia ini kurang lebih juga sama dengan psikis orang yang sedang jatuh cinta, orang yang sedang merasa nyaman dengan seseorang yang dicintainya, hingga akan selalu sanggup melakukan apapun untuk bertemu dengannya, bahkan kalaupun harus melewati lembah, mendaki gunung dan menyeberangi samudera! Sanggupkah!?
Siap Bulik Kampung sambil Berpetualang | @kaekaha |
Kembali ke pembahasan aspek topofilia pada fenomena pulang kampung alias mudik! Muara dari aspek topofilia dalam konteks pulang kampung ini, jelas karena adanya keterikatan dengan manusia lainnya, yaitu keterikatan dalam kekerabatan, khususnya dengan orang tua, ibu-bapak dan keluarga inti seperti kakak dan adik. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, beliau-baliau inilah magnet utama alias simpul keterikatan pertama dan utama yang menggerakkan kita untuk pulang kampung. Betul!? Mungkin teman-teman yang sudah kehilangan kedua orang tuanya paham betul dengan situasi ini.
Aspek berikutnya adalah keterikatan dengan lingkungan tempat kita lahir dan dibesarkan, sebuah tempat yang adat istiadatnya, tradisinya, budayanya, iklimnya, kontur alamnya, kebiasaan orang-orangnya, sampai sumber ekonomi, juga metode spiritualitasnya, bahkan ragam permainan dan juga kulinernya, baik secara langsung maupun tidak langsung ikut membentuk karakter dan kepribadian kita. Dalam periode tertentu, kita pasti dibuat kangen untuk kembali merasakan semua sensasinya!
Bagi penikmat bola, tentu sudah tidak asing dengan Gareth bale dan juga Theo Walcott. Duo alumni akademi Southampton ini, konon juga pernah lho merasakan sensasi topofilia.
Jika Bale merasakannya saat "pulang kampung" ke Totenham Hospurs pada tahun 2020 silam setelah 7 tahunan merantau ke Spanyol bersama Real Madrid, maka Theo Walcott, merasakan sensasinya ketika "mudik" ke The Saint, Southampton setelah 15 tahun lebih berkarier bersama Arsenal dan Everton. Bahkan, saking emosionalnya, di laman resmi klub, Walcott berucap "sejujurnya, saya sangat senang. Saya mungkin akan menangis pada pertandingan pertama nanti. Itu sangat berarti bagi saya"!
Nah, fakta pulang kampung atau mudik ternyata memang unik dan menarik untuk dibahas! Ritual tahunan ini memang wajib disikapi secara bijaksana, tidak bisa sekedar nekat tanpa perhitungan. Mudik sangat bermanfaat untuk kembali meratakan ekonomi dan silaturahmi dengan kerabat, tetangga, teman dan handai taulan. Belajar dari aspek psikologis topofilia, mudik yang benar, akan memberikan manfaat luar biasa bagi kesehatan fisik dan psikis. Jadi, ayo mudik ke kampung halaman!
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar