Salah satu peninggalan kebudayaan Islam di berbagai belahan dunia yang mempunyai eksistensi paling aktual dan Insha Allah akan terus terjaga adalah arsitektur tempat ibadahanya atau kita biasa menyebutnya sebagai masjid atau baitullah.
Baca Juga : Kronika Writingthon Jelajahi Sumedang 2020
Uniknya, masyarakat nusantara mempunyai beragam sebutan untuk menyebut tempat ibadah umat Islam ini. Mulai dari yang paling umum seperti masjid, langgar, mushalla, surau sampai masigit (Banjar), meunasah (Aceh), musajik (Minang), Masojid (Mandailing/Tapanuli), kobung/kobhung (Madura) dll
Inilah salah satu keunikan dinamika perkembangan budaya Islam di nusantara, terkhusus untuk arsitektur tempat ibadahnya. Selain nama atau penyebutannya di masing-masing daerah berbeda-beda, ukuran fisik dan pemanfaatannya juga berpotensi menjadi rujukan pemberian namanya. Hayo, apa sebutan masjid atau mushalla di daerahmu?
Selain keragaman dari nama penyebutannya, keunikan lain dari tempat ibadah umat Islam adalah tidak adanya pattern atau patron khusus pada desain arsitekturnya. Asal tidak mengadopsi bentuk riil ornamen makhluk bernyawa atau makhluk hidup dan bentuk-bentuk bangun yang bersifat merendahkan apapun dan siapapun, masjid yang juga menjadi pusat aktifitas umat bisa dibangun dengan mengadopsi bentuk apapun.
Itulah sebabnya, masing-masing komunitas etnis dan juga daerah di penjuru nusantara bahkan dunia, mempunyai kearifan bentuk arsitektur masjid yang berbeda-beda yang kemudian menjadi cirikhasnya.
Di bumi Priangan, Jawa barat yang meliputi kawasan Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, masing-masing mempunyai warisan masjid-masjid bersejarah berusia ratusan tahun dengan cirikhas kearifan arsitektur yang luar biasa indah, megah dan hebatnya masih tetap terjaga sampai saat ini.
Baca Juga : "Negeri Bedil" Cipacing, Etalase Kreatifitas Kelas Dunia di Sudut Kota Tahu Sumedang
Salah satunya yang cukup mempesona adalah Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang, masjid tua bersejarah yang menurut catatan sejarah mulai dibangun pada 3 Juni 1850 dan selesai pada 1854 di lahan wakaf dari R. Dewi Siti Aisyah, atas gagasan Pangeran Sugih atau Pangeran Soeria Koesoemah Adinata, bupati Sumedang yang menjabat dari tahun 1836 sampai tahun 1882.
Seperti layaknya masjid agung lain di Pulau Jawa yang menjadi simbol keagungan pemerintahan, lokasi Masjid Agung Sumedang yang berada di lingkungan Kaum RW.10, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatam Sumedang Selatan ini juga tepat di sebelah barat alun-alun kota dan berdekatan dengan pusat pemerintahan/kraton, penjara dan fasilitas umum lainnya, tepat di Jantung Kota Sumedang.
Tidak heran jika masjid yang berlatar belakang view perbukitan hijau yang menyegarkan ini selalu ramai oleh aktifitas umat, tidak hanya di jam-jam sholat lima waktu saja, tapi hampir setiap waktu pengunjung tidak pernah sepi, termasuk di masa pandemi Covid-19 saat ini. Hanya saja, ketatnya protokol kesehatan tetap memaksa pengunjung untuk terus mematuhi semua ketentuan.
Sisi unik Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang adalah desain arsitekturnya yang memadukan beberapa kearifan budaya berbeda, Islam, Tionghoa dan Eropa (Belanda).
Fakta ini tidak terlepas dari keterlibatan langsung para perantau dari negeri Cina dalam pembuatan bangunan masjid. Para perantau yang datang langsung dari negeri China ke Sumedang yang kelak juga mempopulerkan kuliner tahu yang sekarang menjadi ikon Sumedang. Sedangkan pengaruh Belanda (Eropa) sangat memungkinkan, karena masjid-masjid kuno nusantara, termasuk Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang ini dibangun saat pendudukan dan penjajahan kompeni di nusantara.
Pengaruh budaya Tionghoa, konon bisa dilihat dari bentuk atap Masjid yang bersusun tiga makin keatas semakin kecil/meruncing, mirip bangunan pagoda, kelenteng atau vihara yang tingkatan paling atas berbentuk limas disebut mamale. Juga ornamen ukiran di bagian atas kusen pintu dan jendela.
Baca Juga : "Mengudap" "Legitnya Madu" Ubi Cilembu di Kota Buludru, Sumedang
Atap berundak yang biasa disebut meru ini secara umum memang menjadi cirikhas masjid-masjid kuno di seluruh nusantara yang sebenarnya merupakan domain kebudayaan Hindu-Buddha sebagai manifestasi bangunan suci tempat para dewa. Fakta diadopsinya bentuk meru untuk masjid, selain terkait faktor teknis sirkulasi udara dan air hujan, bisa jadi memang bagian dari strategi dakwah untuk menghindari munculnya kekagetan budaya atau cultural shock sehingga bisa merangkul masyarakat sekitar yang saat itu kemungkinan besar mayoritas pemeluk Buddha dan Hindu.
Pembeda Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang dengan masjid kuno lainnya yang paling mudah dilihat dari jarak jauh sekalipun adalah keberadaan mustaka atau hiasan berbentuk mirip mahkota binokasih milik raja-raja di masa lampau yang bertengger di puncak limas atau mamale.
Sedangkan pengaruh Belanda (Eropa) tampak pada beberapa bagian desain masjid. seperti keberadaan selasar/teras keliling, dinding sangat tebal, 14 (empat belas) tiang artistik bergaya abad 19 berdiameter sekitar 1 meter yang konon dibangun dari susunan batu-bata dan cukup tinggi menyangga atap masjid, begitu juga dengan 20 (dua puluh) jendela berukuran besar setinggi 4 m dan lebar 1,5 m yang tersebar merata di dinding-dinding masjid, menjadikan ruangan masjid tetap sejuk dan nyaman untuk beribadah meskipun cuaca diluar relatif cukup terik.
Uniknya, khusus untuk tiang atau pilar, secara keseluruhan Masjid Agung Sumedang ini ditopang sebanyak 166 tiang, selain 14 tiang raksasa dengan diameter 100 cm, masjid juga ditopang sebanyak 106 tiang dengan diameter 60 cm di bagian luar.
Detail keunikan Masjid Agung Sumedang juga menyentuh bagian interior. Jika kita hanya sebatas melihat dari tampilan foto (seperti diatas), tampilan bagian mihrab tempat imam shalat dan mimbar untuk khatib berkhutbah dalam kesatuan frame, maka yang terlihat lebih identik dengan mahligai sebuah keraton, bukan layaknya mihrab masjid pada umumnya. Unik kan?
Tampilan bak mahligai keraton ini tidak lepas dari keberadaan ornamen berukir berbahan kayu jati dengan aksen tiongkok pada sisi luar kusen pintu bagian mihrab, 2 (dua) buah jam duduk kayu dan mihrab tua berukir indah dan beratap limas kecil yang lebih menyerupai singgasana seorang raja daripada mimbar untuk berkhutbah, dengan aksen warna keemasan pada bagian tiang dan warna cokelat kayu pada bagian lainnya.
Baca Juga : Jalan Sunyi "Panahan Kasumedangan" Menolak Punah
Menariknya lagi, kayu panjang seperti tombak yang biasa dipegang khatib saat berkhutbah pada shalat Jumat yang terbuat dari kayu jati itu masih orisinil dan berusia lebih dari seabad.
Sisi Luar Masjid
Dalam konsep peradaban Islam, masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah khusus, apalagi hanya dikhususkan untuk sholat lima waktu saja, karena sejatinya masjid juga berperan sebagai pusat ibadah dalam maknawi yang lebih luas, yaitu sebagai pusat dakwah rahmatan lil alamin dan sekaligus pemberdayaan umat.
Fakta riil konsep masjid seperti diatas jelas sekali terlihat di lingkungan Sumedang Grote Moskee atau Masjid Agung Sumedang. Selepas waktu sholat Ashar, di bagian selasar atau teras-teras yang banyak ditopang oleh pilar-pilar yang cukup unik, terlihat banyak sekali aktifitas dakwah keIslaman disitu, mulai dari pembelajaran Alquran dengan bergam kelas-kelasnya dan terlihat juga sebagian anak-anak yang belajar seni musik hadrah.
Sementara itu di sisi kanan Masjid atau di depan area tempat wudhu yang tidak jauh dari sekretariat masjid dan juga minimarket, serta beragam unit usaha masjid lainnya, terlihat banyak penjual kuliner tradisional khas Sunda dengan perkakas jualannya masing-masing. Ini yang unik dan pastinya saya suka!
Kapan lagi bisa menikmati tahu gejrot pedas, cuanki, cilok, kerak telor, rujak buah dan lain-lainnya kuliner tradisional khas Sunda dengan citarasa yang lebih identik bila dibandingkan dengan yang beredar di Kota 1000 Sungai!
Semoga bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar