Minggu, 30 November 2025

Serendipitas Sepiring Tahu Campur : Ketika Tradisi, Gizi dan Aroma, (Tak Sengaja) Bersua dalam Rasa

Serendipitas Semangkuk Tahu Campur : Ketika Rasa, Tradisi, dan Gizi Bersua Tanpa Janji" | @kaekaha!


Pernah mencari tahu bagaimana awal mula sebuah rasa dan citarasa bisa terpatri menjadi selera dari lidah kita hingga menjadikan olahan-olahan makanan yang identik, semisal makanan berkuah kaldu bercitarasa umami alias gurih sebagai kesukaan kita?

Selera Kita dari Lidah Ibu!

Menurut ibu saya, awal semua rasa, dimulai dari suapan pertama, gigitan pertama, kunyahan pertama, sampai jadi makanan yang disuka datangnya dari lidah ibu! Karena dari dulu, selera kita itu muncul dari apa yang disuapkan ibu yang sudah pasti jiga makanan kesukaan beliau. Begini penjelasannya!

Proses terbentuknya selera (khususnya masakan), prosesnya diawali dari suapan pertama dan secara beruturut-turut diikuti dengan gigitan pertama, kunyahan pertama, sampai taste atau citarasa olahan ibu yang referensi komposisinya pasti berdasar pada standar "lidah" beliau yang secara kontinyu atau repetitif menjadi menu asupan kita begitu melekat dalam otak, hingga akhirnya menjadi selera kita dan melahirkan ungkapan masakan ibu paling enak sedunia! 

Diskripsi diatas menjadi salah satu bukti riil yang paling mudah dipahami sekaligus dibuktikan oleh siapa saja, terkait "cara kerja" transfer ilmu dan pengetahuan, termasuk peran penting, serta strategisnya posisi seorang ibu dalam proses pembentukan referensi dasar kehidupan putra-putrinya, sehingga banyak kalangan yang menyebut ibu sebagai sekolah pertama bagi mereka. 

Karena itu, ibu-ibu harus cermat dan tidak boleh salah dalam memilihkan "blue chip" selera asal terbaik bagi putra-putri tercintanya, karena itu akan menentukan banyak hal dalam perjalanan hidup generasi penerus kita, tidak hanya soal selera makanan saja ternyata, tapi juga gaya hidup yang sangat-sangat mungkin ikut menentukan kelestarian dan keberlangsungan alam dan lingkungan di sekitarnya!

Sepiring Tahu Campur  | @kaekaha!

Namanya Tahu Campur 

Menyebut nama tahu campur, kuliner khas dari Lamongan, Jawa Timur itu, bagi saya dan trah Karso Pawiro, kakek buyut saya almarhum dari jalur ibu, bukanlah sekedar kuliner berkuah kaldu "tetelan" sapi dengan ubarampe superlengkap dan full gizi semata, tapi juga memori kolektif yang menyimpan begitu banyak cerita di dalam gudang ingatan dari generasi ke generasi.

Harap maklum, salah satu kuliner berkuah kaldu kesukaan saya dan juga keluarga besar kami ini selalu menjadi maskot di setiap acara kumpul-kumpul keluarga seperti yang pernah saya spill dalam artikel bertema lebaran yang berjudul Ketika Tahu Campur Buatan Ibu Tak Pernah Gagal Memanggilku PulangApalagi kalau tahu campurnya, ibu saya sendiri yang mengolahnya. Duuuuh nggak bakalan ada lawan mase...He...he...he..! 

Tahu campur olahan ibu yang selalu hadir dengan penuh cinta tidak hanya dibuat dari bahan-bahan yang masih segar saja, tapi juga yang  terbaik di kelasnya! Sedangkan divisi bumbu-bumbunya juga selalu hadir lengkap alias full team, tidak boleh ada satupun rempah-rempah yang terlewat dalam list yang semuanya konon diwarisi secara utuh dari ibunya ibu alias Mbah Uti saya.  

Menariknya, berawal dari tradisi (kebiasaan keluarga) memasak dengan bahan-bahan yang masih segar itu, ibu juga memberi contoh sekaligus mengajari kami untuk membiasakan diri menanam sebanyak dan seberagam mungkin tanaman pangan, mulai umbi-umbian, empon-empon, rempah-rempah, sayuran, buah-buahan dan lain-lainnya di pekarangan.

Tidak heran jika, orkestrasi ala dapur yang dipimpin ibu setiap kali memasak tahu campur akan selalu menawan siapa saja yang terlanjur mencium wanginya kuah full rempah yang akan menguar dan menyebar mengikuti arah angin yang bertiup. Kalau sudah begitu, biasanya tidak ada yang sanggup lagi menolak panggilan pulang kuliner yang lahir bukan dari resep yang direncanakan, melainkan dari keajaiban serendipitas yang tak pernah terpikirkan sebelumnya ini.

Biasanya, kalau tahu campur sudah siap, kami akan duduk melingkar di atas tikar pandan yang dibeber di tengah ruangan terluas dalam rumah, sambil ngobrol ngalor ngidul dengan sanak saudara atau siapa saja yang ada di kiri kanan kita. 

Setelah semua lengkap, biasanya Mbah kung atau bapak akan memulai dengan memimpin doa  dan setelahnya, bulik dan kakak-kakak perempuan kami akan meracik dan sekaligus menyajikannya satu per-satu kepada kami yang sudah duduk paling manis menanti giliran dapat sepiring tahu campur sedap. Sungguh kebersamaan yang tak kan mungkin terlupakan kawan!

Serendipitas Sepiring Tahu Campur : Ketika Tradisi, Gizi dan Aroma, Bersua dalam Rasa | @kaekaha

Serendipitas Tahu Campur

Selain citarasanya yang memang juara! Ada satu lagi yang membuat "saudara kandung" Soto Lamongan ini menjadi cukup istimewa bagi saya, secara pribadi, yaitu kisah asal usulnya yang konon berawal dari sebuah kebetulan, ketidaksengajaan atau istilah kerennya banyak yang menyebutnya sebagai serendipiti. 

Mengenai detail kisah uniknya bolehlah dibaca pada artikel saya yang berjudul "Kisah Serendipiti di Balik Kelezatan Sepiring Tahu Campur"Silakan klik saja pada judul sekaligus link-nya dan nikmati informasi menarik dan bernasnya. Selamat membaca!         

Tahu campur bukanlah sajian yang dirancang secara akademis atau dicatat rapi dalam buku resep. Ia lahir dari momentum-momentum kecil para penjual Soto Lamongan yang berani mencoba hal baru, menggabungkan bahan-bahan yang "seharusnya" tak bertemu dalam satu piring, namun ternyata saling mengisi.

Di sanalah serendipitas terjadi, penemuan yang muncul dari ketidaksengajaan, namun bernilai luar biasa. Konon, seorang penjual Soto Lamongan yang lapar selepas jualan, berusaha berkreasi dari sisa dagangan berupa kuah soto yang ditambahkannya tetelan daging sapi dan juga petis udang yang diaduk dalam piring.

Setelahanya, bahan-bahan sisa dari dapur seperti mie kuning, lentho, kecambah, tahu goreng  dan juga bahan paling aneh, yaitu daun slada segar dimasukkan dalam piring juga. Sesuap demi suap, olahan kuliner baru itu dinikmati si bapak dengan perlahan bersama kerupuk udang  dan hasilnya! Sambil tersenyum manis tanda nikmat, lahirlah kuliner ikonik yang kelak kita kenal sebagai tahu campur.


Sate Kikil dan Sate Kerang Teman Terbaik Santap Tahu Campur | @kaekaha!

Superfood dari Dapur Lamongan

Kalau diperhatikan lebih detail, isian dari Tahu Campur khas Lamongan ini cukup ramai dan komplit ya! Bagaimana tidak, selain jenisnya yang begitu banyak dan datang dari karakter yang berbeda, kandungan gizi dan manfaat lainnya dalam baha-bahan penyusunnya juga tidak kalah lengkap. Bahkan karenanya, banyak yang menyebut kuliner tahu campur ini selayaknya "kolektor superfood" lokal nusantara yang paling lengkap. Sebut saja,

  • Daging sapi sebagai sumber protein dan zat besi.

  • Tahu sebagai protein nabati yang ramah pencernaan.

  • Sayuran segar yang membawa vitamin dan serat.

  • Mie kuning dan lontong sebagai karbohidrat pengisi energi.

  • Bumbu petis yang kaya mineral dari hasil laut.

  • Kuah kaldu sapi yang gurih alami tanpa perlu tambahan rasa berlebihan.

Keren kan, konsep superfood khas Indonesia yang sejak dulu diam-diam selalu punya versinya sendiri, lahir dari serendipitas dalam piring-piring kecil di dapur dan kedai-kedai sederhana pinggir jalan  yang memperlihatkan bahwa pangan sehat sesungguhnya tak harus mahal, tak harus langka, dan tak harus diimpor. Karena bisa saja ditemukan dari hasil bumi di sekitar rumah dan diracik oleh tangan-tangan berintuisi kuliner yang sudah berakar puluhan tahun.

Tahu Campur, Pemersatu Keluarga di Meja Makan

Ada sesuatu yang magis dari makanan yang "bercampur" ala tahu campur ini.  Keragamannya yang tetap bisa menyatu dengan kuah yang meresap ke segala sisi sehingga selalu memanjakan sejak suapan pertama, membuat siapa pun merasa diterima dan pulang, bahkan sejak mencium jejak aromanya yang menggoda.

Wajar karenanya, sebagai salah satu kuliner dengan jejak tradisi yang sangat kuat, menjadikan tidak sedikit keluarga di Jawa Timur dan tentu saja di Lamongan (berikut perantauan-perantauan di kota besar lainnya) menjadikan tahu campur sebagai simbol kebersamaan. Momen-momen seperti Lebaran, libur semester, atau sekadar berakhir pekan, sering menjadi alasan bagi anak cucu dan orang-orang tercinta untuk pulang dan berkumpul di meja makan untuk sekedar menikmati menu tombo kangen, tahu campur.

Bagi perantau, sepiring tahu campur bisa mengembalikan spirit sekaligus perasaan menjadi "anak ibu". Rasa petisnya yang khas membawa ingatan pada suara ibu saat memanggil makan. Sayur sladanya yang segar dan tahunya yang lembut mengingatkan pada kebersaaan di meja keluarga dan tetelan urat daging plus kaldu sapi hangatnya seperti merangkul kerinduan setelah perjalanan panjang. Lengkap bukan?


Kerupuk dalam Blek, Teman Bersantap  Tahu Campur | @kaekaha!

Merawat Tradisi Berkreatifitas dan Pangan Lokal 

Dari  Serendipitas sepiring tahu campur kita belajar! Kreativitas tanpa batas memang buka sekedar "mimpi di siang bolong semata, tapi mimpi yang diwujudkan menjadi nyata dengan tekad, kesungguhan serta usaha pantang menyerah dan satu lagi, kuliner enak dan legendaris ternyata tak selalu lahir dari perhitungan dan aksi yang rumit dari tukang-tukang masak prosfesional saja! 

Tapi bisa saja lahir dari orang-orang "profesional" sejati alias orang yang setia dengan profesinya dan keberanian sederhana untuk mencoba, mencoba dan mencoba, salah satunya mencampur yang ada di depan mata dengan perhitungan komposisi berdasar intuisi kuliner yang sudah berakar puluhan tahun. 

Seperti seni kolase yang menyatukan serpihan-serpihan menjadi karya penuh makna,  tahu campur membuktikan bahwa makanan memang bukan sekadar pengisi perut semata, tapi bagian dari identitas dan budaya.  Inilah pelajaran berharga darinya!

  1. Eksplorasi itu esensial.
    Dari keberanian mencoba bahan-bahan sederhana, lahirlah kuliner daerah legendaris.

  2. Pangan lokal bisa sangat bernilai.
    Bahan-bahan sehari-hari bisa menjadi makanan sehat dan lengkap nutrisi.

  3. Kuliner punya kekuatan memanggil pulang.
    Dari aroma kuah yang mengepul, sebuah keluarga bisa kembali berkumpul.


Akhirnya...

Di balik kuahnya yang menggoda dan petisnya yang eksotis, tahu campur menyimpan nilai jauh lebih besar tentang kreativitas, kehangatan keluarga, dan kecintaan pada bahan pangan sekitar. Serendipitas menjadikan tahu campur lebih dari sekadar hidangan, dia pengingat bahwa hal-hal luar biasa bisa lahir dari hal-hal sederhana di dapur kita.

Mungkin, dari sepiring tahu campur yang Anda nikmati nanti, Anda akan merasakan bukan hanya kelezatan, tetapi juga sebuah cerita panjang tentang rumah, tentang perjalanan hidup, dan tentang tradisi yang tak pernah lelah memanggil pulang.

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Konten ini juga tayang di Kompasiana.com pada tanggal 22 November 2025   21:47 Klik di sini untuk baca. Artikel ini diikutsertakan dalam "lomba" artikel untuk program Topik Pilihan di KOMPASIANA dengan tema "Dari Piring Seimbang ke Masa Depan Gemilang".
 
Dari Piring Seimbang ke Masa Depan Gemilang (Dok.Kompasiana)

 
...dan Alhamdulillah artiekl ini terpilih menjadi salah satu dari total 10 artikel terbaik yang terpilih dari ratusan artikel yang masuk kurasi dan mendapatkan apresiasi saldo Go Pay sebesar Rp.500.000, cek pengumuman pemenangnya di sini

 
Daftar Artikel Terbaik (Dok. Kompasiana)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Pantun Selamat Teruntuk yang Terhebat di Kompasiana Award 2025

Para pemenang Kompasiana Awards 2025 | Kompasiana/Hesti



Raja ampat memanglah indah
Sayang hutannya mulai dibabat
Kompasiana Award usai sudah
Takdir tertulis tuk para sahabat

Naik kereta turunnya di Kroya
Jalur Utara-Selatan bertemu di sini
Selamat Buat Kang Fery ya!
Sukses untuk KotY tahun ini

Kabupaten Cianjur gudangnya tomat
Buahnya besar segarnya tahan lama
Buat Mbak Ire banyak selamat
Menyabet Best Storytelling yang pertama  

Kepulauan Banda surganya buah Pala
Buahnya bulat kualitasnya bagus
Selamat, Bang Billy memang idola!
Sekali rengkuh gelarnya dua sekaligus

Ke Amuntai santapnya panggang belibis
Seekor tak cukup belilah lima
Banyak Selamat Bang Raja Lubis
Pemenang Best Passion yang pertama 

Serui  ibukota Kabupaten Yapen
Kuliner seafood  itu andalannya
Bang Iqbal jago nulis cerpen
Wajar Best in Fiction jadi miliknya

Jualan kembang di Pasar Segiri
Dari Samarinda kirim ke kotamu
Selamat Bang Jandris si-Pelestari
Dunia menanti tangan dinginmu 

Singgah di Bone siapkan kantung
Pilih saja beragam oleh-olehnya
Buat nomine yang belum beruntung
Tetap semangat ya menulisnya

Kepiting Soka dari Balikpapan
Sajian istimewa untuk tamu
Kompasiana award tahun depan
Bisa saja menjadi rejekimu


Glosarium :

  • Ikut prihatin atas terjadinya aktivitas pembabatan hutan untuk tambang di Raja Ampat yang menyebabkan kerusakan lingkungan, meskipun pemerintah telah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel pada Juni 2025 silam yang mengancam ekosistem dalam tutupan hutan seluas 7.200 hektare di dalam konsesi tambang.
  • Kroya merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Cilacap yang mempunyai keunikan tersendiri, khususnya bagi penikmat perjalanan darat dengan menggunakan kereta api, tahu kenapa? Karena Stasiun Kroya merupakan jalur padat yang mempertemukan 3 jalur kereta api di Pulau Jawa, yaitu jalur selatan dan jalur utara, plus jalur cabang menuju kota pelabuhan Cilacap.
  • Jawa Barat merupakan propinsi penghasil tomat terbesar di Indonesia dan Kabupaten Cianjur bersama-saa dengan Kabupaten Garut, Bandung, Sukabumi dan Bogor menjadi lumbungnya.
  • Sejak beberapa abad silam, Kepulauan Banda di Maluku dikenal luas masyarakat dunia sebagai penghasil buah Pala dengan kualitas terbaik, hingga menjadi rebutan beberapa negara penjajah dari Eropa.
  • Kota Amuntai ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan yang dikenal dengan beberapa varietas ternak unggul seperti Itik Alabio dan juga ayam Murung Panggang yang sudah diakui secara nasional oleh pemerintah, memang mempunyai lansekap ala yang unik, karena didominasi oleh lahan rawa dengan intensitaskkedalaman yang berbeda-beda. Tidak heran jika kemudian banyak bahan pangan populenya merupakan hasil sungai dan rawa, salah satunya adalah Belibis Panggang.
  • Serui yang menjadi ibu kota Kabupaten kepulauan Yapen sebagai hasil dari pemekaran Kabupaten Yapen Waropen memang terkenal dengan kuliner hasil lautnya yang melipah dan pasti sedap    
  • Pasar Segiri merupakan pasar tradisional terbesar di Kota Samarinda yang terletak di Kecamatan Samarinda Ulu. Dulu di era 80-90an, harga-harga bahan pangan di pasar ini sering menjadi acuan harga yang selalu di bacakan di berita radio RRI pada sesi Berita Ekonomi jam 20.00 WIB.
  • Kabupaten Bone yang berjuluk "Bumi Arung Pallaka" merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang mempunyai akar sejarah berupa tradisi dan budaya warisan Kerajaan Bone yang terkenal dengan pemimpinnya Arung Pallaka. Tidak heran jika daerah yang dikenal dengan produk budaya khas seperti Songkok To Bone dan kue tradisional Bolu Cukke ini, juga mempunyai destinasi wisata alam dan budaya uang menawan.
  • Kepiting Soka merupakan kuliner khas yang unik dan enak persembahan alam pesisir dari Kota Balikpapan, Propinsi Kalimantan Timur yang sudah sangat kesohor. Olahan kepitingnya yang segar dan renyah akan selalu membuat siapa saja yang pernah mencobanya untuk kembali dan kembali mencarinya! Mau coba? 


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 Desember 2025   00:37 (silakan klik disini untuk membaca). 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN






 

Senin, 24 November 2025

100 Tahun Muhammadiyah Alabio, Seabad Jejak Dakwah, Sekolah dan Napas Perubahan dari Pedalaman Kalimantan


100 Tahun Muhammadiyah Alabio, Seabad Jejak Dakwah, Sekolah dan Napas Perubahan dari Pedalaman Kalimantan (Sumber grafis : suaramuhammadiyah.id)

 

Senja di Alabio tak pernah kehilangan pesonanya. Di antara rumah panggung yang berjajar di tepi sungai dan aroma ikan gabus yang diasap di dapur-dapur warga, gema pengajian dari langgar dan sekolah Muhammadiyah masih terdengar seperti ritme lama yang belum pernah putus. 

Tahun ini, ritme itu mencapai usia 100 tahun, usia yang tak hanya menandai perjalanan organisasi, tetapi juga sejarah panjang transformasi sosial di salah satu kota tua Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga dikenal dengan plasma nutfah Itik Alabio, salah satu itik loka unggul nusantara.


Alabio, Kota Rawa yang Hidup dari Air, Dagang, dan Tradisi

Alabio adalah kawasan tua di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Daerah ini terkenal dengan rawa dan perairan sebagai denyut ekonomi, perdagangan tradisional yang ramai sejak masa kolonial, kerajinan anyaman purun dan usaha kecil yang diwariskan turun-temurun, budaya religius yang kuat, dengan surau dan majelis yang hidup dari generasi ke generasi.

Alabio juga menjadi titik pertemuan antara pedagang lokal, ulama kampung, serta jaringan intelektual Banjar yang sejak awal abad ke-20 sudah berinteraksi dengan pembaruan Islam dari Pulau Jawa. Lingkungan sosial-ekonomi yang dinamis inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadirnya gagasan baru berbasis keagamaan dan ketauhidan yang kelak kita kenal sebagai Muhammadiyah.


Awal Mula: Benih Pembaruan dari Tahun 1925

Jejak sejarah Muhammadiyah Alabio dimulai pada 1925, ketika arus pembaruan Islam ala K.H. Ahmad Dahlan mulai sampai ke Kalimantan Selatan. Sejumlah tokoh lokal yang pernah bersentuhan dengan gagasan modernisme Islamm elalui perdagangan, pendidikan, maupun hubungan kekerabatan, membawa pulang semangat tersebut ke Alabio.

H. M. Japeri dan H. Usman Amin disebut sebagai pendiri awal cabang ini. Di masa awalnya, kegiatan Muhammadiyah Alabio berlangsung di rumah panggung sederhana, diterangi lampu semprong, dengan diskusi-diskusi selepas Isya yang membahas pendidikan, ekonomi umat, hingga persoalan kemiskinan. 

Dakwah Muhammadiyah hadir bukan sebagai gerakan yang menggurui, melainkan sebagai upaya menguatkan struktur sosial yang sudah ada—dengan pendekatan lebih terorganisir dan berorientasi masa depan.


Momentum Awal: Konferensi, Pengakuan Resmi, dan Sekolah

Perkembangan Muhammadiyah Alabio tergolong cepat, 1926–1930 untuk Masa Pembentukan Struktur dengan rincian sebagai berikut :

  • 1926–1928: pendirian sekolah-sekolah dasar ala Muhammadiyah seperti Standaard School dan kemudian Vervolgschool met den Qor’an.

  • 1928: berdiri Wustha School setingkat sekolah menengah pertama.

  • 1929: Konferensi I Muhammadiyah Alabio, dihadiri tokoh nasional A. R. Sutan Mansyur.

  • 5 Maret 1930: Cabang Alabio memperoleh pengakuan resmi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Surat Ketetapan No. 253.

Sejak titik itu, Alabio menjadi pusat pergerakan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan sebelum menyebar ke Sungai Tabukan, Barabai, Amuntai Kota, dan Kandangan hingga akhirnya menyeberang sampai ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 


Pendidikan dan Dakwah: Wajah Muhammadiyah Alabio yang Paling Awal

Di Alabio, pendidikan menjadi poros utama dakwah. Murid-murid belajar mengaji serta pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, dan materi lainnya di ruang-ruang kelas dengan papan yang sederhana tapi bersemangat.

Beberapa di antara amal usaha penting yang lahir dari cabang ini :

1. Pesantren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio

Dikelola oleh tokoh-tokoh lokal:
KH. Kasypul Anwar • KH. Maksum Yasin • KH. Abdul Hamid Ibrahim • Ust. Abdul Hamid Kaderi • Ust. Jailani B.

2. Panti Asuhan Muhammadiyah Alabio

Diakui sebagai salah satu panti asuhan tertua di Kalimantan.

Panti ini berdiri dari spirit Al-Ma’un: merawat anak yatim dan dhuafa. Di sinilah gagasan sosial Muhammadiyah menemukan bentuk paling konkret.

3. Sekolah-sekolah Muhammadiyah

Dirintis sejak 1920-an dan terus berkembang menjadi MI, MTs/TSM, hingga boarding school.


Alabio Hari Ini: Modern, Tapi Masih Tunduk pada Tradisi

Kota Alabio hari ini memang telah banyak berubah dibanding 100 tahun silam. Ini bisa kita lihat dari jalanan beton mulai menggantikan jalan titian, pasar-pasar modern muncul berdampingan dengan pasar terapung tradisional, remaja-remaja Muhammadiyah aktif di IPM dan Pemuda Muhammadiyah, perempuan Aisyiyah terlibat dalam pendidikan anak, UMKM, dan kesehatan.

Namun akar sosialnya tidak tercerabut. Alabio sampai detik ini masih tetap religius, tetap lekat dengan rawa dan air, dan tetap menjadikan pendidikan sebagai jalan naik kelas peradaban.


1 Abad Muhammadiyah Alabio (1925–2025): Dari Tradisi ke Abad Digital

Perayaan 100 tahun bukan sekadar seremoni, melainkan momentum membaca ulang perjalanan sejarah. Berikut kegiatan Pra-Milad 1 Abad Muhammadiyah Alabio yang puncak resepsinya berlangsung kemarin, Ahad 24/11/2025 di Alabio, 

  • Jalan sehat ribuan peserta

  • Lomba paduan suara Aisyiyah dan NA

  • Lomba balogo dan lomba asinan/pahalatan

  • Bazar 28 stan UMKM, anyaman purun, kuliner Banjar

  • Pemutaran film sejarah Muhammadiyah Alabio

  • Rencana penerbitan buku sejarah 1 abad

Acara-acara ini tidak hanya merayakan masa lalu, tapi memperlihatkan bagaimana Muhammadiyah Alabio berada dan akan terus berada di tengah denyut masyarakatnya.


Warisan 100 Tahun Muhammadiyah Alabio ?

Ada banyak warisan Muhamadiayah bagi peradaban nusantara,  masyarakat di Kalimantan, seperti  

  • struktur pendidikan yang kuat, dari dasar hingga pesantren, 
  • kesadaran sosial berbasis spirit Al-Ma’un,
  • Kader ulama, guru, pedagang, dan pemimpin lokal
  • Tradisi literasi, musyawarah, dan organisasi modern

  • Jaringan dakwah yang menjangkau desa-desa rawa

Ini bukan sekadar sejarah organisasi. Ini adalah sejarah masyarakat.


Menuju Abad Kedua: Cahaya Itu Masih Menyala

Seratus tahun Muhammadiyah Alabio memberi pesan sederhana namun kuat, bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kota kecil; bahwa dakwah bisa berjalan berdampingan dengan kearifan lokal; dan bahwa pendidikan tetap menjadi cahaya paling setia dalam menghadapi zaman.

Di Alabio di tanah rawa yang tenang dan religius, cahaya itu masih menyala, dan tampaknya masih lama akan terus bersinar. [AN]




 

Senin, 17 November 2025

Memutar Kembali Kisah Laskar Pelangi, Menonton Anak-anak Hebat di Sekolah Ramah untuk Semua

 
(Replika) Bangunan SD Muhamadiyah Gantong, Pusat Cerita Novel dan Film Laskar Pelangi | @kaekaha!
(Replika) Bangunan SD Muhamadiyah Gantong, Pusat Cerita Novel dan Film Laskar Pelangi | @kaekaha!
 
 
Kisah Menggugah Dari Belitung

Cerita Laskar Pelangi berawal dari sebuah bangunan sekolah yang reyot dan hampir ambruk hingga salah satu sisi dinding kayunya harus ditopang batang-batang kayu log, di mana atapnya yang bocor, ruang kelas yang pengap dan lembab, juga bangku-bangku tua di dalamnya yang tidak utuh lagi juga mengabarkan buku-buku pelajaran yang tak terbeli layaknya barang mewah! 

    Tapi siapa sangka, dari bangunan dan juga fasilitas sekolah yang jauh dari kata layak dibawah ampuan dua guru bijak dan bersahaja, Pak Arfan dan Bu Mus kelak melahirkan sekelompok anak-anak hebat yang terus berjuang mati-matian untuk tetap belajar, tetap berkreasi dalam keterbatasan dan terus berusaha bermimpi besar meski dunia serasa tidak berpihak kepada mereka! 

Itulah sinopsis Laskar Pelangi, novel fenomenal yang disebut-sebut sebagai novel terbaik Indonesia sepanjang masa, karya autobiografi Andrea Hirata yang rilis pada 2005 yang "pesannya" semakin tampak kuat setelah visualisasi yang begitu sempurna untuk membawa kita tertawa, menangis dan merenung bersama-sama melalui versi filmnya yang tak kalah bagus dan fenomenal rilis juga pada 2008.

Siapa sangka, kisah inspiratif Laskar Pelangi yang berlatar era 70-an itu masih sangat aktual diputar, dinikmati dan diserap spiritnya yang ternyata sangat relevan dengan gerakan nasional "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" dan juga "ekosistem" sekolah ramah untuk semua yang digulirkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang memungkinkan setiap siswa tanpa terkecuali merasa aman, dihargai dan punya kesempatan yang sama meraih bintang.

Koleksi Poster Foto Lintang dengan Sepedanya di Salah Satu Ruang Khusus Lintang di Museum Kata Andrea Hirata di Belitung | @kaekaha!
Koleksi Poster Foto Lintang dengan Sepedanya di Salah Satu Ruang Khusus Lintang di Museum Kata Andrea Hirata di Belitung | @kaekaha!
 

Laskar Pelangi Cermin Teraktual!
Gerakan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat", yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat dan tidur cepat merupakan gaya hidup, kebiasaan sederhana tapi powerfull yang diharapkan mampu menanamkan disiplin diri, empati sosial, dan tanggung jawab, diluncurkan Kemendikdasmen di akhir 2024 sebagai aktualisasi Asta Cita Presiden Prabowo, membentuk generasi emas 2045 yang sehat, cerdas, dan berkarakter.

Bagi yang telah khatam membaca novel Laskar Pelangi, apalagi ditambah dengan menonton filmnya, tentu mafhum kalau detail menu cerita dalam kisah Laskar Pelangi selayaknya cermin sempurna untuk menerjemahkan, menggambarkan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" dalam kehidupan sehari-hari. 

Masih ingat dengan sosok Lintang si-anak pantai yang juga dikenal sebagai anak paling pintar dan berwawasan paling luas di antara teman-teman laskar pelanginya? Rumahnya yang berjarak belasan kilometer dari SD Muhammadiyah Gantong, mengharuskannya mengayuh sepeda agar bisa belajar di sekolah setiap harinya.

Untuk itu, setiap harinya dia harus tidur cepat agar keesokan paginya bisa bangun pagi dan tidak terlambat berangkat ke sekolah, apalagi dia sejak kecil sudah dididik orangtuanya selayaknya masyarakat melayu lainnya yang dikenal sebagai muslim yang taat beribadah yang biasa memulai pagi dengan ibadah salat Subuh.

Baca Juga Yuk! "Tadabbur Literasi" di Museum Kata Negeri Laskar Pelangi, Ini Ceritaku Bertemu Ikal di Belitung

Mengayuh sepeda belasan kilometer setiap hari bagi anak sekecil Lintang, jelas jauh lebih dari cukup kalau sekedar dianggap sebagai aktifitas olahraga, begitu juga kebiasaan keluarga nelayan pada umumnya yang terbiasa makan ikan segar hasil tangkapan sebagai menu makan sehari-hari yang sehat tapi tetap terjangkau . 

Kepintarannya yang kelak juga dieksplorasi pada lomba cerdas cermat antar sekolah yang menjadikan nama SD Muhammadiyah Gantong semakin harum, jelas buah dari kegemarannya belajar dan bergaul dengan siapa saja, termasuk membaca buku, koran, majalah atau apa saja meskipun kemiskinan menyebabkan mereka hidup tanpa listrik sekalipun.

Tentu, "cermin" dari aktualisasi "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" dalam kisah Laskar Pelangi ini tidak berhenti pada sosok Lintang semata, tapi hampir semua karakter tokohnya! Masih ingat dengan perkataan Bu Mus "Kita harus pintar, tapi jangan sombong"!? Ini jelas memberi pesan agar anak-anak didiknya "gemar belajar" dan tetap "bermasyarakat". 

Pembiasaan "7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat" selayaknya Lintang dan anak-anak Laskar Pelangi lainnya tentu tidak tiba-tiba! Tapi melalui pendekatan proses yang bisa dimulai sesegera mungkin atau sejak dini yang secara perlahan akan membentuk mental disiplin, bertanggung jawab dan juga kasih sayang. 

Di sini dibutuhkan peran aktif orang tua agar proses bisa berjalan secara konsisten, sehingga anak-anak bisa tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta dan kasih sayang yang membawa sehatnya jasmani dan rohani, serta kepekaan terhadap sesama, bekal penting untuk menumbuhkan kepribadian yang kuat, beriman, bertakwa, dan peduli terhadap lingkungan sosial, fondasi utama menuju Sekolah yang Ramah untuk Semua, lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan menggembirakan bagi seluruh anak.

Koleksi Poster Foto Ikal Saat Kehilangan Lintang di Salah Satu Ruang Khusus Ikal di Museum Kata Andrea Hirata di Belitung | @kaekaha!
Koleksi Poster Foto Ikal Saat Kehilangan Lintang di Salah Satu Ruang Khusus Ikal di Museum Kata Andrea Hirata di Belitung | @kaekaha!


Laskar Pelangi Blueprint Masa Depan SRS

Definisi Sekolah Ramah untuk Semua (SRS) menurut Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 adalah "Lingkungan belajar yang aman, sehat, inklusif, ramah gender, dan bebas dari kekerasan, diskriminasi, serta perundungan" dan kisah nyata Laskar Pelangi yang diceritakan Andrea Hirata, bukan sekadar novel best seller semata, tapi cermin hidup pendidikan inklusif, Sekolah Ramah untuk Semua di tengah keterbatasan ekstrem. 

Hari ini, ketika Indonesia menggaungkan Sekolah Ramah untuk Semua (SRS), spirit Laskar Pelangi terbukti mempunyai relevansi yang kuat, pendidikan yang ramah untuk semua bukan soal fasilitas mewah, tapi soal hati yang terbuka untuk semua anak, tanpa terkecuali.

Konsep Sekolah Ramah untuk Semua (SRS) merupakan perluasan visi inklusi pendidikan nasional yang mencakup tidak hanya anak-anak, tapi juga remaja, guru, staf, dan komunitas sekolah secara keseluruhan. 

    Berbeda dengan Sekolah Ramah Anak (SRA) yang lebih fokus pada anak usia dini dan dasar, SRS menekankan lingkungan belajar yang aman, adil, dan mendukung bagi semua pihak, termasuk siswa berkebutuhan khusus, etnis minoritas, anak dari keluarga miskin, hingga guru yang rentan burnout. 

Prinsip dasarnya adalah nondiskriminasi, aksesibilitas universal, partisipasi aktif, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun struktural dan SD Muhammadiyah Gantong dalam kisah Laskar Pelangi merupakan prototipe sekolah ramah untuk semua, jauh sebelum istilah itu lahir!

Laskar Pelangi mengingatkan bahwa sekolah ramah untuk semua lahir dari empati, bukan dari aturan kaku. Sekolah harus menjadi pelangi bagi setiap individu, tak peduli latar belakangnya!

Ketika A Kiong yang notabene berbeda etnis dan agama diterima menjadi murid SD Muhammadiyah Gantong dan bisa berteman dan bersahabat dengan Ikal dan lain-lainnya, di sini kita melihat dengan jelas inklusi sosial dipraktikkan dengan baik di sekolah ini. Memang sih semua tidak lepas dari didikan Bu Mus yang menyebut "Bedanya (A Kiong) membuat kita istimewa, bukan lemah."

Bayangkan jika MPLS 2025 mengintegrasikan 7 Kebiasaan dengan screening Laskar Pelangi. Siswa baru, guru, juga orang tua akan terinspirasi untuk membangun budaya saling menghormati. SRS bukan soal anggaran besar, tapi komitmen kolektif untuk mewujudkan kurikulum yang relevan budaya lokal, kebijakan anti-bullying yang tegas dan konsepsi ramah untuk semua lainnya.

Mewujudkan pelangi di setiap kelas Laskar Pelangi bukan sekedar nostalgia, tapi panggilan aksi! Dengan mengintegrasikan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, kita bisa ciptakan sekolah ramah untuk semua yang tak hanya ajar baca-tulis semata, tapi membangun karakter hebat dan komunitas yang solid. (11125)

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN 

 
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com pada tanggal 1 November 2025   23:57 Klik di sini untuk baca dan diikutsertakan dalam lomba Blog competition bertema "Sekolah Ramah untuk Semua: Lingkungan Aman, Nyaman, dan Menggembirakan" yang diselenggarakan oleh Kompasiana bersama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI.
 
Alhamdulilah artikelnya berhasil meraih juara ke 2 dengan hadiah uang yunai sebesar Rp.1,7 juta.cek pengumuman pemenangnya di sini





 

Selasa, 19 Agustus 2025

Cerita Bapak Tentang Pohon Buah-buahan yang Menyekolahkanku Sampai Sarjana

Pohon Petai di Kebun | @kaekaha!
Pohon Petai di Kebun | @kaekaha!
 
 
Setiap kali saya berkesempatan untuk pulang kampung ke tanah leluhur saya dari jalur ibu di seputaran kaki Gunung Lawu yang tanahnya sangat subur, hingga selalu dijuluki sebagai lumbung pangannya Jawa Timur itu, saya paling suka menghabiskan waktu seharian dengan beraktifitas di pondok yang dibangun bapak untuk bersantai di kebun buah-buahan belakang rumah. 

Kebun yang hanya seluas sekitar setengah hektar yang diatasnya tumbuh beberapa jenis pohon buah-buahan seperti Mangga Gadung, Mangga Manalagi, Jeruk Bali, Alpukat, Petai, Jambu Air , Nangka, Srikaya, Pepaya, Pisang dan lain-lainnya itu menjadi sangat istimewa bagi saya, bukan saja karena kebun inilah "arena" bermain saya, sekaligus ruang bercengkerama paling asyik dengan bapak juga ibu, saat menghabiskan waktu sore dengan merujak buah-buahan yang langsung dipetik dari pohon.

Tapi ada satu hal lagi yang tidak kalah penting untuk saya kenangkan, hingga saya merasa punya kedekatan emosional dengan pohon-pohon buah di kebun belakang rumah itu! Tahu kenapa? Menurut penuturan bapak, sebenarnya bukan bapak dan ibu yang menyekolahkan saya juga adik-adik, tapi pohon buah-buahan di kebun belakang rumah itulah yang berjasa. Kok bisa?

 Jadi, kebun buah-buahan itulah "saksi bisu" perjuangan bapak dan ibu menyekolahkan saya, juga 2 adik saya hingga kami betiga meraih gelar sarjana. Tanah berikut pohon buah-buahan yang tumbuh subur diatasnya itulah pahlawan tanpa tanda jasa dalam perjalanan pendidikan kami.

Bapak saya seorang yang sangat sederhana yang bukan seorang akademisi, juga bukan pengusaha dengan kekayaan melimpah. Bapak seorang pecinta dunia pertanian yang kebetulan bekerja di perkebunan tebu milik Holding Perkebunan berstatus BUMN milik pemerintah yang menurut ibu, gajinya relatif pas saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kecuali untuk biaya kuliah!

Di balik kesederhanaan itulah, tersimpan tekad yang luar biasa, menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin, terutama ke sekolah atau kuliah yang berhubungan dengan pertanian maupun perkebunan, meskipun secara finansial tetap saja pas-pasan.

Meski begitu, kecintaannya pada dunia pertanian yang tentunya juga menyasar pada dunia tanaman tetap terus diturunkannya kepada kami anak-anaknya sedari kami kecil, agar juga mengenal dan sykur-syukur mencintai juga dengan dunia pertanian, kata beliau suatu saat. 

Hingga kami sudah terbiasa berjibaku dengan pupuk kandang dari dua atau tiga ekor kambing dan beberapa ayam kampung milik bapak yang jumlahnya tak seberapa itu, saat harus mengurainya ketika bapak memerlukannya untuk memupuk semua tanaman buah-buahan kami, keesokan harinya.

Buah Pisang Hasil Kebun | @kaekaha!
Buah Pisang Hasil Kebun | @kaekaha!

Oya, tanaman buah-buahan di kebun kami ini sebagian juga tanaman saya dan juga adik-adaik saya sejak puluhan tahun silam lho! Jadi bukan tanaman bapak semuanya. 

Bahkan menurut bapak lagi, untuk acara ngunduh mantu saya dulu, ternyata dananya juga dari hasil menjual sekitar 7 pokok pohon jati hasil tanaman saya sewaktu kecil dulu yang bibitnya saya dapatkan dari ngasak alias mencari di kebun kampung hasil dari jatuhan biji yang akhirnya tumbuh di lahan milik kampung tersebut. 

Sayang, saya malah lupa soal pohon jati yang menurut bapak sudah meraksasa tersebut. Di dalam memori ingatan saya yang masih tersisa hanyalah kebiasaan kanak-kanak saya dulu yang bersama teman-teman memang paling suka mencari tukulan atau tunas kecil pohon jati yang tumbuh liar di kebun kampung, mungkin karena mencarinya harus rebutan hingga keseruannya terus nempel dalam memori. 
Bagaimana Pohon Buah-buahan Itu Menyekolahkan Saya?

Dulu, saya juga sering bertanya kepada bapak juga ibu, "Bapak, kok kita nggak punya sawah kayak tetangga lain?" Bapak dan ibu biasanya hanya tersenyum setiap mendengarnya atau sesekali pernah juga menyebut "Itu sawah Bapak, Nak," katanya tersenyum bangga, sabil menunjuk ke arah kebun yang tak seberapa luas itu.

Tentu saja, awalnya saya tidak begitu mengerti dengan jawaban bapak dan ibu. Saya hanya tahu, setiap tiba musim panen buah yang biasanya waktunya berbeda-beda, kebun kami selalu ramai orang yang datang entah dari mana. 

Mereka yang kelak saya pahami sebagai para pembeli buah-buahan secara tebas atau dibeli secara keseluruhan yang ada di atas pohon, selalu datang silih berganti dengan masing-masing membawa keranjang-keranjang penuh mangga segar atau buah apa saja yang saat itu sedang musim panen.

Di saat-saat seperti itu, bisa berhari-hari bapak dan ibu akan terlihat sibuk untuk melayani, menghitung, dan menimbang buah-buahan segar yang baru saja dipetik. Ternyata uang hasil penjualan buah-buahan itulah yang kelak dipakai bapak dan ibu untuk membiayai semua keperluanku juga adik-adikku sekolah sampai kuliah. 

Buah Jeruk Bali di Kebun, Salah Satu Tanaman yang Mulai Langka di Kampungku | @kaekaha!
Buah Jeruk Bali di Kebun, Salah Satu Tanaman yang Mulai Langka di Kampungku | @kaekaha!

 Puncak perjuangan bapak dan ibu adalah saat saya diterima di salah satu universitas negeri di ujung timur Pulau Jawa dan disusul adik saya setahun kemudian. Ini hebatnya bapak dan ibu! Terlihat sekali betapa bangga dan bahagianya bapak dan ibu saat itu, tidak sedikitpun beliau berdua berkecil hati dengan biaya besar yang sebentar lagi pasti akan beliau tanggung. 
 
Menurut ibu, konon sejak saat itulah, bapak selalu menghitung estimasi hasil panen dari masing-masing pohon buah-buahan yang tumbuh di kebun belakang itu. Bukan untuk mandahului takdir, tapi justeru menjadi bagian dari untaian doa-doa yang akan dipanjatkan ke hadapan Sang Khalik yang Maha Kuasa dan Maha menentukan hasil panen buah-buahan itu, kata Ibu. Masha Allah, air mata saya selalu menetes kalau teringat ini semua.

Alhamdulillah, setiap awal semester, terutama di awal-awal saya kuliah, uang untuk membayar SPP selalu tersedia tepat waktu. Saya tahu itu bukan uang yang datang dari langit. Itu adalah hasil keringat Bapak yang dikelola begitu cantik dengan manajemen ala ibu, hasil kesabaran dan ketekunan beliau merawat setiap pohon buah di belakang rumah. Menyiram, memupuk, memangkas dan melindunginya dari hama. 

Tahukah anda, setiap buah yang saya makan dari hasil panenan kebun belakang rumah itu, rasanya jauh lebih manis dari buah dari kebun lain, apalagi dari pasar, karena ada cerita pengorbanan di balik rasa manisnya buah dari kebun belakang rumah ini. Anda pasti paham itu kawan!

Itulah sebabnya, sampai sekarang, setiap pulang kampung, saya selalu lebih suka "tinggal" di kebun belakang rumah yang selalu terasa adem dan menyenangkan, karena pohon-pohon disitu tidak pernah kehabisan kata untuk mengisahkan tentang ketulusan seorang ayah dan ibu sejati, tentang perjuangan tanpa lelah dan tentang bagaimana sebuah kebun buah-buahan yang tidak seberapa luas yang dijaga dengan cinta itu bisa menjadi jembatan menuju cita-cita.

Buah Mulwo atau Srikaya di Kebun | @kaekaha!
Buah Mulwo atau Srikaya di Kebun | @kaekaha!


Pernah suatu ketika, bapak bercerita sambil terus menatap langit dengan mata yang terus berkaca-kaca. Ternyata, inilah alasan bapak menyebut kebun di belakang rumah sebagai sawah beliau! Bapak lebih memilih kebun dan menanaminya dengan berbabagai pohon buah juga bukan tanpa sebab. 

Sebagai "orang pertanian" yang begitu yakin dengan kuasa Penciptanya yang telah menurunkan ilmu dan pengalaman kepadanya, ternyata bapak juga sudah berhitung dengan matang untuk ini semua!

Bapak menyebut, atas ijin TuhanNya, pohon-pohon itu telah bekerja dengan begitu baik hingga menghasilkan buah-buah terbaik juga untuk bisa menghidupi dan juga menyekolahkanku dan adik-adik sampai sarjana. Menurut bahasa kita saat ini, inilah passive income hasil dari bapak menanam pohon-pohon buah-buahan di kebun belakang rumah puluhan tahun silam.     

Keberkahan dari hasil pohon buah-buahan di kebun belakang itu, menurut bapak juga tidak lepas dari kecakapan ibu yang begitu rapi dan nastiti dalam mengelola keuangan hasil perniagaan hasil panen dan selebihnya memang sudah menjadi keniscayaan, karena menanam pohon yang sejatinya meang beramal jariah.

"Bukankah oksigen yang dihasilkan dari hasil fotosintesis setiap helai daun dari pohon  yang kita tanam dan akhirnya dihirup oleh semua makhluk hidup di sekitarnya yang membutuhkannya untuk bernafas, juga tabungan (passive income) kita di akhirat kelak", kata Bapak lagi. Masha Allah!

"Karenanya nak, kalau kamu sukses nanti, jangan lupa dengan tanah yang sudah memberikan rezeki ini." Pesan itu selalu saya pegang teguh. Kebun itu bukan hanya sekadar lahan berisi pohon, melainkan monumen hidup dari cinta dan pengorbanan Bapak yang telah menyekolahkanku sampai sarjana. Sebuah pengingat terbaik untuk terus melangitkan doa-doa terbaik untuk bapak dan ibu di sepanjang waktu. (BDJ30625)

Semoga Bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 30 Juni 2025 23:15 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-6 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan Periode 2" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian! 



 
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


 




Menjelajahi Hijaunya Alam Kampung Karuhun, Sumedang Selatan dari Hilir sampai ke Hulu

Riak Air Sungai Cihonje, Pembatas Alami Kampung Karuhun dengan Hutan Belantara dan Juga Kawanan Monyet Liar | @kaekaha!


Hipotesis biofilia yang dipopulerkan Edward O. Wilson dalam buku Biophilia karyanya yang terbit tahun 1984 silam, secara ringkas menyebut manusia secara alamiah memiliki keterikatan khusus dengan alam (nature relatedness) yang  mendalilkan naluri manusia akan berusaha mencari dan merasa nyaman di lingkungan alami yang berdampak positif pada kesehatan fisik dan mentalnya.

Sepertinya inilah alasan paling logis kenapa fungsi psikologis kita beradaptasi paling baik saat berada di lingkungan alam yang segar, hingga banyak diantara kita merasa perlu ngadem atau healing sejenak ke destinasi dengan view hijaunya pepohonan dengan udara segar, apalagi ditingkahi dengan suara gemericik air di bebatuan, ketika hidup terasa sedang stuck. Betul?

Ini juga yang saya rasakan ketika pertama kali menghirup udara sore yang super segar di Kampung Karuhun, komplek destinasi wisata dengan konsep eco green park di Sumedang Selatan yang lokasi riilnya ternyata sangat unik ini, dikelilingi hijaunya hutan hujan tropis plus diapit DAS (Daerah Aliran Sungai) Cihonje dan jalan terjal menuju perkebunan teh Margawindu dan Cisoka di kawasan Citengah yang lebih tinggi.

Baca Juga Yuk! "Negeri Bedil" Cipacing, Etalase Kreativitas Kelas Dunia di Sudut Kota Tahu Sumedang

Jadi secara fisik, komplek Kampung Karuhun ini mempunyai pagar alami berupa Sungai Cihonje di bagian kanan yang memisahkannya dengan hutan belantara sekaligus barrier untuk kawanan monyet liar dan pagar alami berupa tebing yang diatasnya merupakan jalan raya beraspal hotmix di sebelah kiri. Pastinya cantik, unik dan juga menarik!

Guide Map "Komplek" Kampung Karuhun | @kaekaha!

Setelah kesan pertama yang begitu menggoda, malam pertama di Kampung Karuhun mengantar saya ber-azam alias bertekad kuat dalam hati, untuk menjelajahi seluruh bagian Kampung Karuhun selepas Subuh esok hari sebelum agenda acara di hari kedua dimulai pada  jam 07.00 WIB. 

Oiya hapir lupa, artikel ini merupakan sekuel atau tulisan kedua dari travel story saya di Sumedang, khususnya catatan selama stay di Kampung Karuhun. Naaah, kalau ingin mengetahui latar awal dari artikel ini, boleh lah klik dulu dan baca untuk menemukan keseruan-keseruan  artikel pertamanya, "Mbediding", Serunya Membeku Bersama di Ketinggian Kampung Karuhun, Sumedang Selatan. Gratis! He...he...he...     

Sekembali dari Subuhan berjamaah dengan beberapa teman di musala berdinding bambu sederhana yang lokasinya hanya beberapa langkah  dari Bale bambu atau Barak Awi tempat saya dan peserta lelaki lainnya nge-camp, pintu dan semua jendela barak yang kita buka menjadikan udara super segar dengan aroma floral yang begitu segar langsung memenuhi ruangan barak.

View Salah Satu Kolam Renang dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Hijaunya Menyegarkan Mata dan Fikiran | @kaekaha!

Dari jendela Barak Awi, angle terbaik landscape bagian depan Kampung Karuhun yang menyajikan view cantik kebiru-biruan beberapa kolam renang yang konon setiap week end dan hari libur selalu penuh dengan pengunjung yang berlibur itu langsung masuk dalam bidikan kamera yang sejak kemarin sore memang sudah "gatal" ingin mengabadikan sudut-sudut menawan Kampung Karuhun.

Setelah puas membidik beberapa spot terbaik bagian depan Kampung Karuhun yang sepagi itu sudah sanggup membuat mood saya jauh lebih baik dan lebih bersemangat, seorang diri saya turun dan keluar dari komplek eco wisata yang ternyata sangat luas ini. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk mengeksplor sisi luar Kampung Karuhun, terutama jalan raya beraspal hotmix yang menuju ke arah perkebunan teh Margawindu.

Setelah melewati gerbang utama di bagian depan yang tepat di sebelah kirinya, gemericik suara aliran Sungai Cihonje tidak henti-hentinya memberikan nuansa natural yang sangat otentik itu, saya mengambil jalan ke kanan dan langsung berjalan mengikuti kontur jalan menikung yang langsung menanjak itu. 

    

Jalan Aspal Menuju Perkebunan Teh Margawindu dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Hijaunya Menyegarkan Mata dan Fikiran | @kaekaha!

Keren! Itulah kesan yang saya dapat meskipun hanya sanggup menyusuri jalan sekitar 500-an meter saja, karena kiri-kanan jalan selepas Kampung Karuhun, semuanya masih berjajar pepohonan yang cukup lebat, selayaknya tepian hutan. Tidak heran jika dinginnya udara pagi disini masih terasa menggigit dan aroma floralnya yang segar itu lo, sensasinya bikin fresh jiwa dan raga, meskipun sisi misteriusnya tetap saja masih berasa!

Baca Juga Yuk! Jalan Sunyi "Panahan Kasumedangan" Menolak Punah  

Sekembali ke gerbang utama, saya tidak belok kiri menuju Barak Awi, tapi langsung menuju ke arah belakang ke pintu gerbang Camping Ground dan beberapa destinasi budaya juga wahana-wahana permainan lainnya yang menurut informasi, masih sejauh beberapa ratus meter lagi ke arah belakang mengikuti aliran Sungai Cihonje yang suara riak airnya sanggup menghadirkan sensasi alami yang menenangkan dan menyenangkan.

Jalanan Menuju Campng Ground dan Wahana Lainnya di Kampung Karuhun | @kaekaha!

Sambil terus membidik dan juga merekam beberapa spot terbaik di bagian belakang Kampung Karuhun yang semakin menjauh semakin berasa sensasi jungle-nya itu, saya terus menyusuri tepian Sungai Cihonje. Saking banyaknya spot cantik yang tersaji di sepanjang jalur, menyebabkan langkah saya melambat, karena khawatir ada yang terlewatkan. Kang sayang! He...he...he...

Baca Juga Yuk! Senandika Esok Hari, Mengudap "Legitnya Madu" Ubi Cilembu di Kota Buludru, Sumedang  

Sendirian menyusuri blok demi blok destinasi eco wisata dengan konsep yang berbeda-beda tapi semuanya mengerucut pada tematik utama yang sama, yaitu selaras dengan alam yang selepas terbit fajar saat itu tetap berasa sunyi, hening dan menyisakan udara dingin yang ditingkahi riuahnya kicauan burung dan juga sesekali suara tonggeret dari kejauhan, menjadikan me time yang sempurna! 

Disini saya mebuktikan, Hipotesis biofilia-nya Edward O. Wilson memang benar dan akan selalu aktual! Inilah me time yang benar-benar menyegarkan mata, hati dan juga fikiran. Amunisi terbaik untuk berliterasi, menulis dan membukukan catatan potensi pariwisata Sumedang.

Karuhun Bridge alias jembatan karuhun | @kaekaha!

Benar-benar surprise, ketika mata, hati dan fikiran berasa lebih fresh dari sebelum-sebelumnya, tetiba waktu serasa sangat lambat berputar. Ternyata begini ya, rasanya harmoni hidup berdampingan dengan alam yang masih utuh secara ekosistem dan ini semua mengingatkan saya pada masa kecil, saat tinggal di kaki Gunung Lawu, Jawa Timur, kampungnya ibu saya.

Kerennya, di tempat ini juga ada saung budaya yang pada momen-momen tertentu menjadi destinasi pertunjukan berbagai kesenian tradisional khas Sunda yang sudah pasti sangat otentik dan menghibur. Sebuah kolaborasi pelestarian alam dan budaya dalam satu lansekap yang sangat menarik dan bermanfaat. 

Jujur, saat itu saya membayangkan betapa menariknya, menyusuri Sungai Cihonje menjelajahi wahana alam Kampung Karuhun sambil diiringi permainan ensemble alat musik sunda, semisal degung atau kolaborasi cantik kacapi suling yang syahdunya bisa menenangkan itu! 

Honai, Rumah Adat dari Suku Dani, Papua Pegunungan di Kampung Karuhun | @kaekaha!

The show must go on, penjelajahan berlanjut! Melewati Karuhun Bridge alias jembatan karuhun, jembatan besi yang di desain kekinian dan instagrammable yang melintang diatas Sungai Cihonje tiba-tiba terlihat sekawanan lutung atau monyet bergelantungan di pepohonan di seberang sungai. Untungnya mereka hanya diam dan termangu melihat saya.

"Bismillah, peace ya mon!" Doa saya dalam hati sambil mempercepat langkah melanjutkan penjelajahan menuju kawasan etnik nusantara menyajikan diorama sasaungan, perkampungan etnik khas masyarakat Sunda dan juga Rumah Honai, rumah adat Suku Dani di Papua Pegunungan dan Papua Tengah. 

Memang belum banyak keragaman budaya nusantara, khususnya rumah adat berikut kelengkapannya yang dihadirkan di area ini. Tapi kehadiran dua model cottage atau tempat menginap berbahan alami ini sebagai sebuah awalan, tentu sebuah ide yang sangat bagus dan patut mendapatkan apresiasi.  Semoga saja, kedepannya akan semakin banyak lagi "perwakilan" rumah adat dari belahan nusantara lainnya yang hadir.

Diorama Sasaungan, "Komplek" Perkampungan Khas Sunda di Kampung Karuhun | @kaekaha!

Khusus untuk area di Sasaungan atau komplek  perkampungan khas Sunda vibes Sunda-nya memang berasa banget sih! 

Selain penampakan cottage dengan desain khas Sunda berbahan kayu yang begitu unik dan cantik yang berjajar rapi, di area ini juga dilengkapi dengan saung khusus yang memperlihatkan suasana dan juga penampakan dapur tradisional khas Sunda berikut perabotan keluarga tradisonal baheula khas keluarga Sunda yang sepertinya sudah jarang dipakai di jaman kiwari.

Selain bale-bale bambu yang khas, ada juga lesung tua yang terbuat dari kayu pohon utuh sepanjang lebih dari tiga meteran yang mirip perahu dari Papua, ketel atau panci kastrol yang biasa dipakai untuk masak nasi liwet, aneka jenis dandang berbahan tembaga dengan bentuk yang unik dan pastinya berkesan jadul banget berikut tungku tanah tradisional yang terlihat sesekali masih dipakai. (BDJ17825)  

Bersambung...   

Kelengkapan Perabotan Dapur Baheula di Kampung Karuhun | @kaekaha!


Semoga Bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 17 Agustus 2025   14:45 (silakan klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

"Mbediding", Serunya Membeku Bersama di Ketinggian Kampung Karuhun, Sumedang Selatan

Cottage Berbentuk Rumah-rumah Kayu Tradisional di Kampung Karuhun | @kaekaha

Sinar sang surya mulai memudar terangnya ketika mobil SUV yang membawa rombongan kami mulai merayapi jalan perkampungan di kawasan Sumedang Selatan yang semakin menyempit dan kiri-kanannya lebih didominasi oleh tegakan pohon-pohon lumayan besar dan rapat yang mejadikan lingkungan sekitar terlihat lebih gelap selayaknya di tepian hutan dari pada perkampungan penduduk.

Tentu saja, kami berlima yang memang datang dari luar Pulau Jawa plus sepasang driver dan nara hubung kami yang ternyata juga "orang asing" yang tentu saja tidak familiar dengan kawasan di Selatan Sumedang ini, mulai gelisah dan celingukan ke kanan dan ke kiri, hingga sesekali harus bertanya sama warlok alias warga lokal yang sesekali terlihat melintas di jalanan yang sunyi.

Maklum, perjalanan sejak pagi dari titik kumpul di Bandara Soekarno Hatta kok sepertinya nggak nyampe-nyampe ya? Semakin lama malah menguras stamina dan logika, terlebih lagi setelah petunjuk map alias peta dari Mbah Gugel  yang menjadi andalan kami sejak awal keberangkatan entah kenapa jadi sering error. 

Apalagi, konon di hutan-hutan seputaran Summedang masih sering ditemukan macan kumbang yang berkeliaran dan sering juga diantaranya menyerang ternak warga. Waduuuuuh!  

Bagian Depan Lansekap Kampung Karuhun di Sumedang Selatan dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Menyegarkan dan Selalu tampak Misterius | @kaekaha

Suasana scary semakin menguat ketika rintik hujan dan kabut tipis perlahan turun di ambang senja yang semakin temaram itu. Bersyukurnya, ditengah-tengah kegalauan kami saat itu, tiba-tiba dari arah tikungan yang menanjak di depan kami muncul truk molen "bongsor" pengangkut adukan semen cor yang sepertinya baru saja selesai mengantar sekaligus membongkar muatan adukan semennya di kawasan atas yang menurut info awal memang ada beberapa destinasi wisata, termasuk kebun teh.

Itu artinya kita tidak salah jalan! Berarti ini memang jalanan aktif untuk menuju destinasi wisata Kampung Karuhun yang akan menjadi "rumah" sekaligus ruang pingit bagi kami, sekitar 20-an peserta event literasi kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Sumedang dengan penerbit Bitread dari Kota Bandung dalam rangka penulisan buku (profil) pariwisata Sumedang.   

Baca Juga Yuk! Tetirah, Menepikan Diri di Antara Pesona "Sumedang Grote Moskee"

Betul juga dugaan kami, ternyata tidak jauh dari tikungan menanjak itulah Kampung Karuhun, destinasi wisata unik dengan konsep eco green park yang memadukan keindahan alam, edukasi, dan budaya itu berada yang ditandai dengan sebuah bangunan beraksen bebatuan alam sederhana dengan papan identitas bertuliskan Kampung Karuhun di tengahnya.


Cantiknya Lansekap Kampung Karuhun di Sumedang Selatan dengan Latar Hutan Hujan Tropis yang Menyegarkan dan Selalu tampak Misterius | @kaekaha!

Kesan pertama sih cenderung biasa saja! Hanya sedikit merasa ajaib aja, di tengah-tengah kesunyian dan keheningan di dalam kepungan pepohonan yang tumbuh mengikuti kontur tanah berbukit-bukit, khas diorama hutan hujan tropis yang selalu menyejukkan dan pastinya juga misterius, bisa ada destinasi seperti ini?

Tapi semua berubah 180 derajat setelah secara perlahan rombongan kita mulai memasuki "perkampungan" di tengah hutan di Selatan Sumedang ini. Selain disergap oleh udara yang lumayan dingin, dari pintu masuk kita sudah disuguhi orkestra alam yang begitu ikonik dari samping kanan kami, yaitu gemericik air di antara bebatuan gunung yang menjadi lansekap sungai Cihonje dengan airnya yang jernih. 

Baca Juga Yuk! Jalan Sunyi "Panahan Kasumedangan" Menolak Punah

Begitu memasuki komplek "perkampungan" apalagi kalau melihat bagian depan lansekapnya dari Barak Ali, yaitu tempat menginap bergaya barak untuk rombongan besar seperti kami yang posisinya memang paling tinggi diantara kamar-kamar lainnya, bagian depan ini keren banget view-nya. Birunya kolam renang yang bersih serasa kontras dengan lingkungan sekitarnya yang dominan hijau menyegarkan khas ekosistem hutan.

Beberapa hari kedepan, kita akan nge-camp  disini untuk berliterasi. Siang hari, kita akan menyebar ke berbagai destinasi budaya dan wisata di segala penjuru Sumedang, sedang malam harinya kita mendiskusikan semua hasil "buruan" dengan stakeholder dan juga para praktisi dalam kelas santai di aula terbuka di tengah udara dingin mbediding, sampai tengah malam. Asyik!  

Ramah-tamah Sekaligus Saling Berkenalan di Pembukaan Acara di Mala Pertama |  @kaekaha!

Malam harinya atau malam pertama di Kampung Karuhun, agenda selepas Maghriban kita adalah ramah tamah dan saling kenal antar 25 peserta, pihak penerbit dan juga perwakilan dari Dinas Pariwisata Pemkab Sumedang. Menariknya, karena kita semua memang diwajibkan untuk membawa makanan khas daerah masing-masing, maka semakin serulah cerita pembukaan acara literasi kita di Kampung Karuhun.

Baca Juga Yuk! "Negeri Bedil" Cipacing, Etalase Kreativitas Kelas Dunia di Sudut Kota Tahu Sumedang

Bagaimana tidak, selain menu makan malam nasi liwet Sunda yang disajikan secara lengkap dalam paket nampan, kita juga bisa icip-icip beragam makanan dan minuman, bahkan juga snack dan buah-buahan khas nusantara lainnya seperti Amplang dari Banjarmasin, Bakso Aci, Bipang Jangkar dari Pasuruan,  kopi Buhun dan kopi Cap Naga dari Bogor, Sawo Citali, Seblak, Tutug oncom, Ubi Cilembu dan banyak lagi yang lainnya. 

Sayangnya, saya lupa asal daerah dan juga nama-namanya! He...he...he...

Paket Nasi Liwet Khas Sunda untuk Makan Malam | @kaekaha!

Malam-malam di ketinggian Kampung Karuhun, dinginnya, mbediding-nya itu asyik banget lo! Mbediding-nya masih sebelas-duabelas sama kampung halaman ibu saya di kaki Gunung Lawu dan memang membuat tidur malam tambah nyenyak, apalagi setelah seharian, bahkan sampai tengah malam berjibaku dengan literasi yang capeknya ternyata sangat menyenangkan. 

Sayangnya, mungkin karena jam biologis badan saya terlanjur terbentuk untuk selalu bangun dan biasanya tidak bisa tidur lagi setelahnya lewat jam 3-an pagi, secapek apapun hingga senyenyak apapun tidur saya di Barak Ali, nikmatnya lelap di Kampung Karuhun ternyata tetap bisa dikontrol kok. Alhamdulillah.

Baca juga Yuk! Senandika Esok Hari, Mengudap "Legitnya Madu" Ubi Cilembu di Kota Buludru, Sumedang

Ternyata, saya tidak sendirian lo bangun pagi-pagi! Bahkan di jam segitu sudah ada teman-teman lain yang sudah dan sedang mengantre untuk mandi, padahal ketika saya coba sentuh air mandi dari kran yang menurut penuturan penjaga, airnya langsung dari sumber air gunung itu ternyata dinginnya seperti es! 

Show must go on! Akhirnya saya juga ikutan challenge mandi di pagi buta yang ternyata serasa deja vu dengan rasanya mandi pagi buta di kampung ibu saya. Sayangnya, tubuh saya sudah 2 dekade lebih beradaptasi dengan iklim panas khas dataran rendah Kota Banjarmasin yang nggak ada dingin-dinginnya. Jadi ya, seketika serasa membeku ketika air sedingin es itu menyentuh permukaan kulit. Sepertinya inilah serunya mbediding ehmembeku dalam arti yang sebenarnya. (BDJ9825)

Bersambung...

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 10 Agustus 2025   06:25 (silakan klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN