Selasa, 01 Juli 2025

Seriusan Mau Bisnis dengan Keluarga Sendiri? Ini Tips Jitunya!

Pencerekenan atau Warung Kelontong Tradisional Khas Banjar, Usaha Keluarga yang Paling Umum dalam Tradisi Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan | @kaekaha


Membangun bisnis atau usaha identik dengan sebuah perjalanan menantang yang beresiko di tempat yang asing yang memicu adrenalin, sehingga bagi sebagian orang "situasi" ini justeru memberikan sebentuk rasa puas yang bisa jadi sulit untuk sekedar dikonversikan dalam bentuk kata-kata.

Selain bisnis sendiri atau mandiri, bekerja sama dengan keluarga atau pasangan bisa menjadi alternatif membangun bisnis yang aktual dan tentunya berpotensi besar untuk lebih cepat berkembang, karena kekuatan modal serba ganda, juga sumber daya dan mimpi yang bisa jadi lebih besar. 

Hanya saja, menggabungkan "banyak kepala" meskipun itu keluarga sendiri dalam bentuk impian, visi dan juga sumber daya bersama tetaplah tidak segampang membalikkan telapak tangan, karena dinamikanya yang semakin kompleks sangat berpotensi melahirkan drama demi drama yang justeru konra produktif. Tahu kenapa?

Di satu sisi, secara faktual ada tingkat kepercayaan dan pemahaman yang mendalam, maklum calon partner usaha kita adalah orang-orang terdekat kita yang kita kenal "luar dalamnya". Tapi di sisi lainnya, dalam konteks ini, sekarang kita bukan sekedar mau piknik bersama keluarga, bukan sekedar mau bersenang-senang bersama! 

Tapi kita mau seriusan (profesional) berburu cuan dengan membangun usaha atau bisnis bersama-sama keluarga lainnya yang sudah pasti mempertaruhkan modal besar  yang bukan sekedar uang saja, tapi label bernama "keluarga"!  

Usaha Pencerekenan, Usaha Keluarga Khas Urang Banjar di Kalimantan Selatan | @kaekaha

Kita semua tahu dan pastinya paham betul! Tanpa embel-embel "bisnis" saja, potensi konflik dalam kerumitan hubungan pribadi antara anggota keluarga sangat bisa untuk memicu konflik. Apalagi ini, berusaha memanfaatkan sebuah hubungan kekeluargaan untuk "bisnis" yang ada "duitnya"! 

Nah, kalau sudah begitu, apa iya kita tidak bisa  membangun bisnis dengan keluarga sendiri, hingga kelak berkembang menjadi usaha keluarga yang meraksasa selayaknya raksasa-raksasa bisnis dunia? Sementara hubungan keluarga tetap harmonis? 

Bukankah sejarah juga mencatat, banyak bisnis keluarga yang  berhasil menemukan dan meramu keseimbangan antara semangat kekeluargaan dan profesionalisme, hingga sukses dan tetap langgeng bahkan setelah beberapa generasi meraksasa  dan menggurita ?

Jawabnya, tentu saja bisa, karena memang buktinya ada, bahkan tidak hanya satu saja, tapi banyak! Terus bagaimana caranya mereka bisa membangun usaha keluarga? Lhah, kalau mereka bisa membangun bisnis keluarga, itu artinya kita juga bisa Mas Bro dan kunci utamanya adalah dengan membangun batasan yang jelas, menetapkan komunikasi yang sehat, dan memisahkan urusan bisnis dari kehidupan pribadi.

Sesederhana itu? 

Oh tentu tidak kawan! Tiga kunci utama diatas baru semacam "kerangka besar" untuk memulai usaha berbasis keluarga yang di setiap tahapan prosesnya pasti akan memerlukan detail rundown yang berbeda-beda dengan dinamika ruang dan waktu yang pastinya juga berbeda-beda pula.

Tapi, membangun bisnis dengan keluarga atau pasangan bisa menjadi salah satu hal terbaik yang pernah kita lakukan bersama-sama, jadi kenapa tidak kita coba untuk memulainya?

Usaha Pencerekenan, Usaha Keluarga Khas Urang Banjar di Kalimantan Selatan | @kaekaha

Berikut adalah catatan strategis untuk memetakan poin-poin krusial sebagai upaya mitigasi agar bisnis keluarga bisa lebih terarah dan  sukses, tanpa harus mengorbankan ikatan kekeluargaan :

Pertama,  tentukan dan sepakati visi dan misi usaha keluarga sejak awal, agar usaha keluarga ini memiliki fondasi utama yang kuat dan kokoh untuk membuat keputusan bersama dan mengatasi setiap tantangan yang muncul.

Kedua, wajib bekerja secara profesional dengan memisahkan urusan bisnis dan keluarga. Ini mungkin terdengar klise ya, tetapi memisahkan dua aspek ini adalah kunci. 

Ketigatentukan detail peran, tugas dan tanggung jawab juga kompensasi masing-masing anggota keluarga yang terlibat dalam usaha ini, karena ketidakjelasan "job des" merupakan sumber kekacauan utama, ketika semua orang merasa memiliki hak yang sama untuk melakukan apa pun.

Keempat, komunikasikan semua hal yang berhubungan dengan usaha bersama ini secara proporsonal, terbuka dan jujur, karena komunikasi merupakan tulang punggung setiap hubungan yang sukses, termasuk dalam bisnis keluarga.

Kelima, Transparansi tata kelola keuangan, karena uang merupakan tema paling sensitif sekaligus sumber konflik utama dari semua hubungan bisnis apalagi bisnis berbasis sumber daya keluarga.(BDJ1725)

Semoga Bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 Juli 2025   22:45 (silakan klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Minggu, 22 Juni 2025

Cerita Paunjunan, Ketika Tradisi dan Hobi Bertemu Menjadi "Pekerjaan" Unik Khas Urang Banjar

Ikan Kihung Hasil Maunjun | @kaekaha
Ikan Kihung Hasil Maunjun | @kaekaha
 
Di awal-awal membangun rumah tangga dengan Galuh Banjar atau gadis Banjar lebih dari dua dekade silam, saya dan istri sempat beberapa waktu tinggal di pondok mintuha (mertua;bahasa Banjar)  indah di pinggiran Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! 

Tentu saja, perbedaan tradisi dan budaya di antara saya dan keluarga besar dari isteri yang akhirnya benar-benar bertemu untuk pertama kalinya, melahirkan warna-warni cerita yang tidak saja unik dan menarik saja untuk dikenang, tapi juga pemahaman dan pengetahuan terkait kearifan lokal masyarakat Suku Banjar yang sebelumnya tidak banyak yang saya ketahui dan pahami.

Salah satunya adalah kearifan lokal terkait tradisi dan budaya pemanfaatan bahan pangan hasil sungai dan rawa dari hulu sampai hilir yang selalu ramah lingkungan, hingga akhirnya melahirkan beragam kuliner tradisional khas Banjar yang otentik dengan citarasa organik yang unik, identik dan tentunya sangat menarik.

Setiap hari, menu-menu kuliner khas Banjar  berbahan dasar ikan air tawar tidak pernah terlewatkan dari list menu santapan kami, mulai dari sarapan, makan siang maupun makan malam yang selalu dilakukan secara bersama-sama dengan cara lesehan di ruang makan yang menyatu dengan dapur tradisional khas rumah panggung milik mertua yang dibangun dari kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri).

Ikan Haruan alias Ikan Gabus Hasil Maunjun Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha 
Ikan Haruan alias Ikan Gabus Hasil Maunjun Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha

Ikan-ikan segar seperti Iwak Haruan atau Ikan Gabus (Channa Striata) dan keluarga Channa lainnya seperti Iwak Tauman, Randang dan Kihung yang memang dikenal sebagai ikan-ikan favorit dalam tradisi kuliner Urang Banjar, juga Iwak Papuyu atau Betok/Betik (Anabas testudineus), Iwak Patin (Pangasius sp.), Sapat (Trichopodus trichopterus Pallas, 1770), Sapat siam ((Trichopodus pectoralis, Regan 1910), Walut atau Belut rawa ( Monopterus albus) dan beberapa jenis lainnya secara bergantian selalu hadir di dapur untuk dimasak. 

Ini yang akhirnya membuat saya penasaran! Dari mana ikan-ikan segar itu datang hingga sampai di dapur dan akhirnya dimasak oleh tangan dingin mertua saya menjadi berbagai jenis kuliner tradisional Banjar dengan citarasa yang tidak pernah gagal memanjakan lidah saya untuk terus bergoyang menikmati sensasi sedapnya! 

Apa iya, mertua saya memancing ikan di kolong rumah yang memang "gudangnya" ikan juga? Atau jangan-jangan, mertua saya setiap hari pergi ke pasar untuk membeli beragam jenis ikan air tawar dari sungai atau rawa yang memang melimpah di daerah kami? 

Tapi pertanyaan-pertanyaan saya itu akhirnya terjawab juga, ketika pagi-pagi selepas Subuh di akhir pekan datang amang-amang (paman-paman;bahasa Banjar) menghampiri saya di teras rumah panggung, saat saya sedang asyik membolak-balik koran pagi yang baru datang. 

 
Ikan Patin Sungai Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha!
Ikan Patin Sungai Kesukaan Keluarga Kami | @kaekaha!

Amang Ijun, orang yang kami kenal sebagai seorang paunjunan atau pemancing "profesional" itu menyerahkan se-bakul purun alias tas tradisional dari bahan rumput purun yang penuh berisi iwak haruan yang sudah disiangi (dibersihkan;bahasa Banjar) yang katanya pesanan Ma' haji, panggilan akrab mintuha bini alias mertua perempuan saya di kampung.  

Beberapa hari berikutnya, tidak sengaja giliran saya betemu dengan seorang ibu-ibu yang mengaku bernama Acil Imah (tante Imah;bahasa Banjar) yang mengantar Iwak Papuyu Sebangau atau ikan Betok hasil memancing di kawasan Sebagau Kalimantan Tengah yang memang terkenal besar-besar ikannya yang katanya juga pesanan mintuha saya.

Iwak-iwak Papuyu yang dibawa Acil Imah juga sudah disiangi, jadi tinggal dibumbui dengan bumbu-bumbu tradisional khas Banjar sesuai kebutuhan sebelum dimasak. Begitu seterusnya! Sampai beberapa kali saya bertemu dengan beberapa orang berbeda yang ternyata juga mengantar ikan-ikan pesanan mertua saya.

    Menariknya, saya baru ngeh terhadap adanya fakta unik yang sebelumnya tidak saya sadari, dibalik fakta "orang-orang berbeda yang setiap pagi mengantari ikan ke rumah". Menurut isteri saya, orang-orang berbeda ini juga mengantar jenis ikan yang berbeda juga! Tahu kenapa?

Ikan Patin Sungai yang Sudah Disiangi atau Dibersihkan | @kaekaha 
Ikan Patin Sungai yang Sudah Disiangi atau Dibersihkan | @kaekaha
 
Alam dataran rendah Kota Banjarmasin yang di dominasi oleh perairan darat berupa rawa-rawa dan sungai, telah membentuk habitus Urang Banjar yang mendiaminya sejak berabad-abad silam. Persentuhan keduanya selama itu, akhirnya melahirkan budaya sungai yang salah satu tradisi uniknya adalah maiwak atau metode mencari ikan tradisional khas Banjar yang salah satu tekniknya kita kenal sebagai maunjun alias memancing. 

Maunjun, persentuhan tradisi yang terbentuk olah uniknya spesifikasi alam khas Kota 1000 Sungai dengan hobi, hingga banyak Urang Banjar yang menjadikannya sebagai sumber penghasilan ini dalam dinamika sosial budaya kehidupan masyarakat Banjar juga terus berkembang.

Uniknya, ternyata paunjunan alias para pemancing "profesional" yang menjadikan berburu ikan dari alam dengan cara memancing sebagai profesi ini juga punya spsesialisasi atau keahlian memancing jenis ikan-ikan tertentu yang berbeda-beda. Itulah salah satu parameter saya menyebutnya sebagai profesional, selain fakta bahwa memancing ikan memang menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari.  
 
Maunjun Iwak Haruan di Rawa-rawa Belakang Rumah | @kaekaha 
Maunjun Iwak Haruan di Rawa-rawa Belakang Rumah | @kaekaha
 
Amang Ijun misalnya, karena kepiawaiannya maunjun atau memancing khusus iwak haruan terutama dengan berbagai unjunan (alat memancing;bahasa Banjar) tradisional khas Banjar, menurut mintuha saya, sejak lama sidin alias beliau ini digelari orang sekampung sebagai  rajanya haruan. 

Dari profesinya maunjun, khususnya iwak haruan, konon sidin tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari saja, tapi juga bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tidak hanya wajib belajar 12 tahun saja, tapi 2 dari 3 anaknya juga kuliah. Masha Allah!

Luar biasanya! Masih menurut kesah (cerita;bahasa Banjar) mintuha saya, Amang Ijun ini berbeda dari para paunjunan kebanyakan yang sering datang ke rumah untuk menawarkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Sidin (beliau;bahasa Banjar) tidak pernah mengeluh dan selalu menyanggupi pesanan iwak haruan dari mintuha saya dengan mengucap Insha Allah!

Tidak ada istilah Iwak Haruan langka apalagi kosong kalau memesan  sama Amang Ijun, ada terus! Bahkan ketika di pasaran Iwak Haruan memang benar-benar sedang langka, bahkan kalaupun ada harganya pasti selangit. Bisa sama atau bahkan lebih mahal dari harga daging sapi! Tahu kenapa?

Karamba Iwak Sapat dan atau Papuyu | @kaekaha 
Karamba Iwak Sapat dan atau Papuyu | @kaekaha

Ternyata, selain maunjun Haruan dan juga maiwak (mencari ikan;bahasa Banjar) dengan cara marawai, mambanjur dan juga memasang tampiray alias jebakan ikan di berbagai lokasi strategis di rawa-rawa dan tepian sungai,  Amang Ijun juga mempunyai beberapa karamba untuk pembesaran iwak haruan berbagai ukuran di kolong rumah dan rawa-rawa di sekitar rumahnya. 

Biasanya, iwak haruan hasil tangkapan sidin yang masih kulacingan alias masih kecil-kecil, minimal seukuran jempol tangan orang dewasa akan dipilih dan dipilah lagi sesuai ukurannya untuk dipelihara dalam karamba sesuai ukurannya masing-masing sampai besar dan layak untuk dijual dengan harga bersaing.

Inilah jawaban sekaligus pembeda kenapa Iwak haruan yang dijual Amang Ijun ke mintuha saya, kualitas dan harganya relatif stabil di level terbaik. Selain ikannya selalu fresh alias segar-segar, ukuran ikannya juga relatif besar-besar tapi dengan harga yang tetap bersaing. 

Oya, sekedar informasi saja! Ikan-ikan dari sungai atau rawa yang biasa kita konsumsi, beda ukuran beda pula harga per-kilogramnya. Meskipun, sama-sama Iwak Haruan, tapi yang ukurannya lebih besar harganya akan lebih mahal jika dibandingkan dengan iwak haruan yang ukurannya lebih kecil. Unik bukan? (BDJ1625)

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 Juni 2025 23:15 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-4 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya! 

Dokumentasi Kompasiana
Dok. Kompasiana
  


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

Romansa Gaji Pertama di Antara "Trisum" yang Menjadi Biangnya Bahagia!

Selama Kuliah Masih Lanjut On Air | @kaekaha
Selama Kuliah Masih Lanjut On Air | @kaekaha
 
Momen mendapatkan gaji pertama menjadi salah satu episode paling asyik dan menyenangkan dalam kronik perjalanan hidup saya, anak SMA yang awalnya hanya iseng, suka main-main ke stasiun Radio favorit, eh malah disuruh siaran dan cuap-cuapnya di udara, tiap akhir bulannya selalu dibayar!

Jujur, saat itu sebenarnya belum ada istilah kerja dan bekerja dalam kamus otak saya, apalagi bakal dapat gaji bulanan! Semuanya lebih kepada niat untuk seneng-seneng alias happy-happy aja, menyalurkan hobi musik dan bermusik saja! 

Kebetulan, stasiun radio favorit yang selalu menemani hari-hari saya, terutama malam-malam saya saat belajar sampai menjelang tidur, ternyata memang membutuhkan personil dengan kualifikasi (mix) pengetahuan, pemahaman dan skill bermusik yang ndilalah-nya kok yang plek ketiplek dengan profil saya.

Saya yang setiap hari memang selalu membayangkan serunya cuap-cuap dalam studio membahas seluk beluk dunia musik, tentu saja merasa tertantang! Beneran serasa mimpi saja, Alhamdulillah lamaran iseng saya diterima dan esoknya langsung "tancap gas" ditraining siang-malam menjadi penyiar sekaligus operator radio analog yang asyiknya memang nggak ketulungan!

img-0696-lg-jd-683729df34777c6c867f93d3.jpg
Duo Gondrong Sedang On Air | @kaekaha

Tapi tetap saja, ternyata super klimaks dari semuanya tetap euforia di akhir bulan. Terutama, saat sepulang sekolah tiba-tiba diminta Mbak Anne, senior sekaligus mentor saya saat itu untuk ke studio mengambil honor siaran, langsung ke bagian keuangan. Duuuuh rasanya itu lo! Alhamdulillah! 

Oiya, gaji (pertama) saya siaran saat itu, umumnya memang lebih familiar disebut sebagai honor ya bukan upah atau gaji. Nggak tahu juga apa asal muasalnya lebih familiar disebut sebagai honor, tapi yang jelas gaji atau honor saya saat itu perhitungannya dari total jam siaran dikalikan "tarif" siaran saya yang "koefisien" nilai angkanya biasa ditetapkan berdasar jam terbang.

    Biasanya, semakin tinggi jam terbang atau mungkin juga public figur yang sudah terkenal apalagi punya program acara di medida lain yang lebih terkenal, koefisien harga siaran per-jamnya pasti lebih mahal, bahkan bisa juga nego harga atau bahkan pakai sistem kontrak! 

Tapi situasi seperti itu jelas belum berlaku bagi saya yang saat itu masih tergolong unyu-unyu. Jangankan minta gaji, saat itu bakalan digaji saja saya nggak kepikiran! Sebabnya, diajak masuk studio saja senengnya nggak karu-karuan apalagi diajari seluk beluk siaran dan detail teknis operasional siaran radio. Maklum anak SMA yang lagi seneng-senengnya dengan dunia broadcasting he...he...he... 

Siaran dengan OS Radio yang Sudah Serba Digital, lebih Canggih dan Simpel, Mengisi Waktu Luang di Sela-sela Kesibukan Bekerja | @kaekaha!
Siaran dengan OS Radio yang Sudah Serba Digital, lebih Canggih dan Simpel, Mengisi Waktu Luang di Sela-sela Kesibukan Bekerja | @kaekaha!

Begitu tahu saya akan mendapatkan honor untuk sebulan pertama "main-main" di radio, pikiran saya hanya satu, yaitu memenuhi hasrat trisum saya! Apa itu trisum? Sebentuk metafora saya untuk jalinan tiga hal sederhana yang saat itu memang paling saya gandrungi alias saya sukai, yaitu makan bakso sepuasnya, membeli-membaca buku cerita dan melengkapi koleksi kaset album musik dari musisi-musisi kesukaan saya.

Begitu menerima amplop putih dengan logo radio yang tampak gagah dan berwibawa itu, saya langsung bergegas pulang ke rumah dan mengajak bapak, ibu dan adik saya untuk andok bakso di warung bakso kesohor, paling terkenal dan legend di kampung saya, Bakso Pak No yang sebenarnya juga langganan keluarga kami.

    Bedanya, bila biasanya setelah selesai makan, ibu yang membayar semua tagihan baksonya, maka sekarang sayalah yang membayar semua tagihannya!

Sedapnya Andok Bakso, Memupuk Kebersamaan Keluarga | @kaekaha!
Sedapnya Andok Bakso, Memupuk Kebersamaan Keluarga | @kaekaha!

Ternyata, bisa membuat bapak dan ibu tersenyum puas dan bahagia dengan hasil "main-main" eh kerja kita itu rasanya luar biasa nikmat lo mas bro! Ini yang saya baru tahu, hingga kelak membuat saya ketagihan dan terus berusaha untuk melakukannya semampu saya, tentu dengan obyek menu yang berganti-ganti di setiap akhir bulannya. Alhamdulillah!

Menyantap bakso memang menjadi salah satu kesukaan saya dan juga keluarga besar kami. Tidak heran jika tradisi andok alias makan bareng-bareng di warung bakso atau di warung apa saja, terutama di warung yang menjual makanan berkuah kaldu, bagi kami tidak hanya sekedar berburu rasa (nyaman dan kenyang) semata, tapi juga media untuk terus menjaga kebersamaan dan kekompakan.

Selain memuaskan hasrat hobi kulineran bakso, saya juga menuntaskan hasrat untuk membeli dan melengkapi "bukcer" alias buku-buku cerita kesukaan saya yaitu serial Lima Sekawan dan Lupus yang akhirnya bisa saya lengkapi semua edisinya dari hasil saya siaran di radio.

Bukcer Serial Lima Sekawan
Bukcer Serial Lima Sekawan "Menaklukkan Agen Rahasia" di Antara Koleksi Lima Sekawan dan Lupus | @kaekaha

Khusus di gaji pertama, saya beli bukcer Lupus yang berjudul "Tragedi Sinemata" dan Lima Sekawan untuk judul "Menaklukan Agen Rahasia" yang harganya saat itu receh banget sekitar 2000-an rupiah saja. Ada yang suka juga dengan keduanya?

Begitu juga dengan kaset-kaset album dari musisi-musisi kesukaan saya yang saat itu masih didominasi oleh genre musik rock dan metal berikut varian-variannya seperti hard rock, classic rock, glam rock, sweet rock, punk rock, pop rock, Psychedelic Rock hingga heavy metal, trash metal, black metal, grindcore akhirnya lahir grunge, techno rock, alternative rock, hip metal, brit pop dan lain-lainnya.

Jujur, selain memang sedang gandrung berat dengan genre musik-musik itu, tujuan saya melengkapi koleksi album kaset saya yang kelak akhirnya satu lemari penuh, juga sebagai bahan referensi untuk siaran. Karena itu juga, akhirnya koleksi album musik saya juga semakin melebar tidak hanya di genre rock dan metal saja, tapi juga merambah musik tradisional nusantara, jazz, blues hingga musik religi, bahkan musik melayu dan dangdut.

"Jabrik", Album Kedua EDANE di Antara Album The Beast dan Borneo | @kaekaha!



Untuk gaji pertama saya di 1994 itu, saya melengkapi koleksi album kaset saya juga dengan dua kaset sekaligus, yaitu album ke-2 dari salah satu band rock legendaris Indonesia, EDANE yang kebetulan memang baru saja rilis yaitu, Jabrik! Sedangkan satunya lagi album Innuendo, album studio ke 14 grup band legendaris dari Britania Raya, QUEEN yang rilis 3 tahun sebelumnya. 

Album ini terasa semakin istimewa bukan hanya karena saya dapatkan dari hasil gaji pertama saja, tapi karena album Innuendo ini merupakan album terakhir QUEEN yang dirilis semasa Freddie Mercury, sang vokalis sekaligus penulis sekaligus komposer sebagian besar lagu QUEEN masih hidup. Asyik!

Khusus untuk koleksi album kaset ini, ada kejadian unik yang sering terjadi hingga membuat saya tidak akan pernah melupakannya, yaitu ketika koleksi album kaset musik rock saya ternyata lebih lengkap dari koleksi radio tempat saya bekerja, hingga music director-nya malah sering meminjam koleksi saya.

He...he...he...

Jadi, trisum yang saat itu menjadi biang saya bahagia, sejatinya sebentuk investasi bagi masa depan saya yang saat itu, sebagian diantaranya sedang saya gambar untuk mengabadikannya dalam romansa gaji pertama, hasil iseng-iseng yang ternyata berhadiah! Alhamdulillah. (BDJ28525)

Semoga Bermanfaat


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 28 Mei 2025 22:21  (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-2 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!
 
 
Dok. Kompasiana



Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




Mak, Kenapa Mantanku Tidak Secantik Dulu Ya?

Mantanku | islamramah.co


Udara pagi bulan Juni yang lebih dingin dari biasanya menjadikan suasana pagi khas dataran rendah Kota Banjarmasin yang biasanya terasa hangat, kali ini jauh lebih mbediding. Nggak biasanya, Julak Amin yang biasanya telanjang dada setiap menarik gerobak sampah melalui jalan depan rumah, sekarang malah terlihat memakai jaket.

Tapi lamunanku soal musim mbediding segera ambyar setelah Mamak datang menghampiriku di kursi teras depan dengan secangkir kopi nashitel alias kopi panas, pahit dan kentel, sepaket sama sepiring gaguduh  pisang goreng, dua "menu" sarapan terbaikku kalau lagi pulang kampung ke Kota 1000 Sungai di tengah-tengah udara pagi yang mbediding.

Nah, seperti biasanya, mamak selalu membuat gaguduh pisang goreng dari bahan pisang menurun  alias pisang kepok yang masih mangkal atau masih setengah matang, hasil kebun di sebelah rumah yang kamarian ditebang Abah karena banyak yang dimakan tupai.

"Mat, kenapa melamun terus? Kesambet baru tahu rasa!" suara Mamak sesaat setelah meletakkan cangkir dan piring yang dibawanya ke meja didepanku.

Aku nyengir. "Enggak, Mak. Lagi mikirin kok tumbenan ya udara pagi dingin begini!"

"Ah karamput lalu! Lhah udara dingin kok dipikir, ya biar saja, dinikmati saja! Ini anugerah dari Allah SWT nang!" Balas Mamak, sambil duduk di kursi rotan di sampingku, dilanjut menyodorkan pisang goreng dalam piring bau harumnya sangat menggoda.

"He...he...he...Iya Mak!kataku sambil menggigit pisang. 

"Tadi, sepulang dari subuhan di masjid, Rahmat melihat Rina, Mak!" 

Mamak mengernyitkan dahi. "Rina yang mana? Mantanmu calon dokter gigi yang dulu sering main ke sini?"

Aku mengangguk. Rina! Nama itu masih terasa aneh di lidahku. Kami putus sekitar 15 tahun silam. Waktu itu, rasanya duniaku sudah selesai, karena bagiku langit sudah runtuh saat itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula!

Bagaimana tidak, gara-gara aku gagal masuk kedokteran umum karena ternyata menyandang kelainan buta warna, Rina! Satu-satunya definisi sempurna bagiku saat itu, bukannya mendukungku, menghiburku, tapi malah mengikuti saran keluarganya agar meninggalkanku. 

Konon, menurutnya sih alasan orang tuanya logis! Sangat beresiko memang kalau harus memaksakan menikah dengan penyandang buta warna. Kasihan nasib anak-anaknya nanti, karena kelainan buta warna yang terpaut sex bisa menurun kepada anak cucu.

"Terus kenapa?" tanya Mamak, memandangi ekspresiku.

"Aneh Mak," ujarku pelan. 

"Aku tadi lihat dia di lapak sayur dekat masjid. Sepertinya dia lagi belanja sama suaminya. Tapi... kok dia enggak secantik dulu ya, Mak?"

Mamak tertawa. Bukan mengejek sih, tapi tawa yang hangat dan penuh pengertian. "Memangnya kenapa kalau dia enggak secantik dulu? Kau masih cemburu"

"Ah mamak ni! Aneh aja Mak! Dulu kan dia cantik banget, seksi banget! Rasanya kayak, waaaaaah, ya gitulah!" Aku menyandarkan punggung ke kursi, bingung memilih diksi yang pas untuk mendiskripsikan yang ada di benakku.

"Apa dia tidak bahagia ya Mak dengan pilihan orang tuanya?" Memang, tadi aku sempat terpaku melihat Rina. Badannya jauh lebih gemuk kalau menyebut gendut serasa kurang pantas. Wajahnya yang juga lebih berisi, memperlihatkan kantung mata tipis yang tetap terlihat meskipun sekilas dilihat saja. 

Dia tampak sibuk memilih sayuran, sambil sesekali melirik suaminya yang menggendong anak balita. Keberadaan suaminya juga membuatku terkejut. Selain jauh lebih tua, kok ya juga bukan anak pak kades kampung sebelah yang dulu dijodohkan dengannya? Apa dia juga baru saja punya anak?

Mamak mengambil sepotong pisang goreng lagi. "Gini nang. Cantik itu bukan cuma soal rupa. Apalagi kalau sudah berumah tangga, menjadi seorang ibu yang punya anak. Perjuangan seorang ibu, seorang istri, itu jauh lebih berat dari sekadar menjaga penampilan."

"Maksudnya Mamak?Tanyaku penasaran.

"Dulu, waktu masih jadi pacarmu, Rina kan masih gadis. Bebannya belum sebanyak sekarang. Dia mungkin punya banyak waktu buat merawat diri, dandan, segala macam. Sekarang, dia harus mengurus rumah, suami, apalagi anak kecil," jelas Mamak lembut. 

"Coba bayangkan, dia mungkin kurang tidur karena begadang mengurus bayinya. Mungkin dia sibuk masak, bersih-bersih, mengurus kebutuhan suaminya. Tenaganya habis untuk itu semua." Mamak melanjutkan penjelasannya.

Aku terdiam, mencoba memahami penjelasan mamak. Ada benarnya juga. Dulu, yang kulihat dari Rina hanyalah kecantikan fisiknya. Aku tidak pernah membayangkan sisi perjuangannya sebagai seorang istri dan ibu setelah melahirkan, menyusui dan tetek bengek yang lainnya!

"Tapi, apa ya harus begitu mak? Baru punya anak satu kok sudah nggak terawat gitu?" Aku mencoba mengurai isi kepalaku.

"Ya kadak jua pang! Lagipula...," lanjut Emak sambil menepuk pundakku.

"Cantik itu kan relatif. Matamu dulu melihat dia cantik karena kamu sayang, kamu cinta. Lha Sekarang, kamu melihat dia beda, mungkin karena hatimu sudah tidak ada di sana. Dan dia juga sudah punya kebahagiaannya sendiri, bahagia versinya sendiri atau jangan-jangan kebencian di hatimu yang menjadikan Rina tidak secantik dulu di matamu!?" Mamak melanjutkan lagi penjelasannya.

"Mamak yakin, di mata Rina Ikam  ni juga tidak seganteng dulu! Sudah tua!" Lanjut mamak lagi sambil mencibirkan bibirnya sambil tersenyum mahuluti.

"Ah Mamaaak, ya enggaklah! Aku sudah ikhlas kok" Sambil tersipu aku mengelak.

"Nah pucuk dicinta ulam pu tiba! Tuh..." Dengan dagunya mamak menunjuk sesuatu ke arah jalan.

Ternyata, tidak seberapa lama dari obrolan saya dengan mamak, tiba-tiba Rina sama suaminya yang menggendong si kecil sambil menenteng sayur-sayuran lewat di jalan depan rumah dan yang sama sekali tidak terduga, entah karena melihatku yang sedang mudik atau karena kepingin bersilaturahmi dengan mamak, Rina mengajak suaminya mampir, menghampiri kami yang sedang duduk-duduk santai di teras.  

Masha Allah, aku akhirnya melihat kembali senyum manisnya yang tulus dan masih semanis dulu saat berbicara dengan mamak dan cara dia mengusap-usap kepala anak balitanya yang sepertinya tertidur dalam gendongan suaminya menunjukkan kasih sayang yang melimpah. Bujur banar kata mamak, Rina memang masih memancarkan kecantikannya.

"Jadi, dia tetap cantik ya mak?" tanyaku, agak malu setelah Rina dan suaminya pamit dan berlalu.

Mamak tersenyum. "Cantik itu terpancar dari hati, Nang! Kalau hatinya bahagia, kalau dia bisa menjalankan perannya dengan baik, itu jauh lebih indah dari sekadar wajah tanpa cela. Kecantikan yang sejati itu bertahan lama, tidak seperti yang cuma di luar dan suaminya pasti tahu itu!"

Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba, rasa sesak yang tadi kurasakan berganti dengan kelegaan. Mamak benar. Aku selama ini terjebak pada definisi kecantikan yang dangkal dan sepihak. Rina memang tidak secantik dulu di mataku, tapi itu karena aku melihatnya dari sudut pandang yang salah.

"Mak," kataku, memandang Mamak. "Mamak juga cantik kok!"

Mamak tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Dasar, ada maunya! Ada-ada saja kamu. Sudah, habiskan pisang gorengmu. Nanti keburu dingin."

Aku tersenyum. Sore itu, aku tidak hanya menikmati gaguduh pisang goreng buatan Mamak yang enaknya dasar endul saja, tapi juga pelajaran berharga tentang makna kecantikan yang sesungguhnya. Dan aku yakin, Rina dengan segala perjuangannya, jauh lebih cantik di mata suaminya dan anaknya daripada di mataku. (BDJ22625)


Glosarium :

Bujur banar : Bener banget
Julak  : Pakde, kakaknya bapak/ibu
Gaguduh : gorengan
Kamarian : sore
kadak jua pang  : tidak juga sih
Karamput lalu : Bohong banget
mahuluti : Mengejek
Mamak : Ibu
Nanang/Nang : Panggilan untuk anak laki-laki 


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 22 Juni 2025   20:47  (silakan klik disini untuk membaca)

Semoga Menghibur ya!


Salam matan Kota 1000 Sungai, 

Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


 

Selasa, 17 Juni 2025

Misteri Ungkapan Kata "Seger" Khas Jawa-Timuran, Saat Bertemu Kuliner Kesukaan!

Tahu Campur Lamongan | @kaekaha

 

"Sueger iki rek!"

Pernahkah anda mendengar ungkapan seger atau suueger (menurut pelafalan aslinya), dengan berbagai variasi kata pembentuk frasanya dari orang-orang disekitar anda saat mereka melihat, mencium atau mungkin sedang menyantap hidangan tertentu?

Isteri saya yang asli Galuh Banjar alias gadis Banjar yang lebih dari 2 dekade menemani saya, sering kali menanyakan arti, makna ataupun maksud dari ungkapan ini ketika saya secara spontan dan pastinya tanpa retorika mengucapkannya saat bertemu makanan-makanan tertentu kesukaan saya.

Umumnya, ungkapan singkat yang begitu khas ini diucapkan oleh masyarakat Jawa, khususnya lagi masyarakat berdialek Jawa-timuran secara spontan dan tanpa retorika (sepertinya juga tanpa sadar Lo!), terutama ketika menemukan kuliner kesukaan yang memanjakan indra, terutama indra penglihatan, penciuman dan perasa.

Karena saya lahir dan besar ber-home base di Jawa Timur, wajar dong seringkali ungkapan kata suueger ini akan spontan keluar ketika saya bertemu dengan beragam kuliner khas Jawa-timuran, terlebih lagi ketemunya di perantauan!

Terutama kuliner-kuliner berkuah kaldu kesukaan saya, seperti bakso, mie ayam, aneka sop, rawon, aneka soto, tahu campur, sate-gule, lontong kikil, lontong Kupang, lontong balap dan lainnya, meskioun sebenarnya saya menyukai beberapa kuliner non kuah kaldu, asalkan citarasanya autentik Jawa-timurnya, yaitu asin-pedes, semisal rujak cingur, bebek goreng, lodeh jangan lombok, jangan asem, trancam, pecel, sampai beragam olahan tepo atau lontong khas dari seputaran ex-karesidenan Madiun Raya.

Bahkan dalam perkembangannya, setelah dua dekade lebih juga saya menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Ungkapan "suueger" juga terucap kepada kuliner khas Banjar kesukaan saya seperti, Soto Banjar, Katupat Kandangan, Katupat Batumis, lontong tampusing dan beberapa lainnya.

Memang lebih dari sekadar kata sifat yang berarti "segar" dalam bahasa Indonesia semata, ungkapan kata "seger" yang berasal dari kosakata bahasa Jawa yang kita bahas disini, memang memiliki makna dan kedalaman rasa yang unik dan khas bagi orang Jawa, (sekali lagi!) khususnya lagi masyarakat berdialek Jawa-timuran bahkan seringkali menjadi sebuah misteri yang menarik untuk dibahas.

Lantas, apa sebenarnya yang membuat kata "seger" ini begitu istimewa dan seringkali tak tergantikan dalam kamus kulineran ala orang Jawa (-timuran) ini?

Mie Ayam | @kaekaha

 

Lebih dari Sekadar Kesegaran Fisik

Secara harfiah, ungkapan  kata "seger" disini memang merujuk pada makna kosakata dalam bahasa Indonesia, "segar" yaitu kondisi fisik yang segar, seperti buah yang baru dipetik atau minuman dingin di tengah terik matahari. 

Namun, saat diucapkan dalam konteks ini, makna "seger" disini melampaui definisi fisik tersebut. Kata ini menjelma menjadi ekspresi kepuasan indrawi yang begitu holistik.

Ketika saya atau siapapun mengatakan "suueger" setelah menyeruput kuah bakso panas dengan citarasa asin pedas, menikmati rujak manis pedas yang bikin berkeringat atau bahkan sesederhana meneguk es teh manis di siang hari, sejatinya kita tidak hanya merasakan kesegaran secara fisik dan psikis sebagai efek dari bersentuhan dengan suhu, citarasa dan juga tekstur makanan yang kita lihat hingga kita santap, tapi ada unsur lain yang turut berperan, yaitu:

Keseimbangan Rasa 

Ungkapan kata "seger" di sini seringkali mengindikasikan bahwa hidangan yang kita lihat dan santap memiliki paduan visual, aroma dan citarasa yang sempurna pada indra kita, khususnya bagi pengucapnya. Itu artinya, sensasi "seger" ini memang sangat subyektif, baik secara komunal maupun pribadi.

Efek Membangkitkan Selera 

Ungkapan kata "seger" di sini juga sering muncul ketika makanan atau minuman yang kita lihat, cium (aromanya) dan santap mampu "membangkitkan" kembali semangat atau energi yang mungkin sempat menurun. 

Serasa ada dorongan positif atau suntikan semangat yang langsung berasa setelah suapan pertama.

Kenyamanan Emosional

Bagi sebagian dari kita, makanan bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga kenyamanan emosional dan nostalgia.

Ungkapan kata "Seger" ini, sejauh yang saya alami, juga bagian dari ekspresi rasa nyaman dan kebahagiaan yang muncul karena hidangan tersebut mengingatkan pada sesuatu yang spesial, semisal masakan ibu, suasana masa kecil, atau momen-momen indah lainnya yang sudah lama tidak kita nikmati.

Aftertaste yang Menyenangkan 

Pengalaman saya lainnya, sebuah hidangan yang kita labeli "seger" ini, biasanya selalu meninggalkan jejak rasa yang bersih dan menyenangkan di lidah, tidak lengket atau membuat eneg. Ini sensasi yang membuat kita ingin terus menyantapnya, lagi dan lagi.

Bakso | @kaekaha

 

Seger Bukan Hanya "Enak" atau "Lezat"?

Kemungkinan, setelah membaca uraian diatas, akan ada yang bertanya, mengapa tidak cukup dengan mengatakan "enak" atau "lezat" saja daripada mengucap kata seger yang mungkin maknanya nggak jelas bagi sebagian orang ? 

Tentu saja tidak cukup, kata-kata "enak" atau "lezat" terlalu umum digunakan untuk memuji makanan. Namun, ungkapan "seger" yang spontan lebih spesifik dan mendalam secara taste, selain lebih ber-signature secara budaya.

"Enak" dan "lezat" lebih bersifat umum, menggambarkan cita rasa yang baik secara keseluruhan. Sementara itu, "seger" menekankan pada efek revitalisasi, keseimbangan, dan kepuasan yang didapatkan setelah mengonsumsi hidangan tersebut. 

Ini adalah kata yang menangkap esensi bagaimana makanan tersebut membuat tubuh dan pikiran merasa lebih baik, lebih hidup, dan lebih "terisi".

Coba bayangkan! Anda yang baru saja bekerja keras dan merasa lelah, kemudian saat istirahat mendapatkan  hidangan semangkuk sayur asem bercitarasa asam, pedas dan hangat ditemani sambal tomat, juga ikan pindang yang menjadi kesukaan anda!

Tentu saja, fell yang lahir bukan sekedar menangkap  rasa "enak" atau "lezat" semata, tapi juga sensasi "seger" yang holistik, karena ia tidak hanya mampu mengembalikan energi dan juga membuat tubuh terasa lebih segar, tapi juga perasaan yang lebih senang dan bersemangat.

Soto Madiun | @kaekaha

Sebuah Ungkapan Spontanitas dan Koneksi Budaya

Misteri "seger" juga terletak pada sifatnya yang seringkali spontan. Kata ini tidak diucapkan dengan paksaan, melainkan terlontar begitu saja sebagai reaksi jujur dari indra dan perasaan. Ini menunjukkan koneksi yang mendalam antara makanan, pengalaman, dan bahasa dalam budaya Jawa secara umum, maupun secara spesifik di seputar Jawa-timuran.

Wajar, karena dalam tradisi kearifan khas masyarakat Jawa, makanan seringkali menjadi sarana untuk bersilaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan bahkan untuk mengobati hati. 

Dari sini kita memahami, ungkapan kata "seger" di sini selayaknya jembatan yang menghubungkan penikmat kuliner dengan esensi dari hidangan itu sendiri, sekaligus dengan nilai-nilai budaya yang melekat padanya.

Pada akhirnya, "seger" adalah lebih dari sekadar sebuah kata. Ini adalah sebuah jendela ke dalam jiwa kuliner orang Jawa, sebuah ekspresi yang merangkum kenikmatan holistik, keseimbangan rasa, kenyamanan emosional, dan efek revitalisasi yang diberikan oleh hidangan kesukaan. 

Jadi, lain kali kalau anda mendengar ada orang yang mengucapkan kata "seger" atau suueger dalam pelafalan aslinya saat menyantap sesuatu, itu artinya dia sedang menemukan kuliner paling nikmat di dunia, setidaknya bagi dirinya sendiri! Sesederhana itu kawan! (BDJ17625)

Semoga Bermanfaat!


Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 17 Juni 2025   19:46
 (silakan klik disini untuk membaca) 

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Sabtu, 07 Juni 2025

Berawal Dari "Handilan" Lahirlah Rukem dan Rukur, Jalur Sunyi Menabung Kurban

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha
 
 
Salah satu tradisi Urang Banjar yang mencerminkan kedekatan mereka secara spiritual dengan budaya Islam yang telah mengurat mengakar dan berkelindan begitu kuat adalah tradisi Handilan, sebuah tradisi komunal masyarakat berbasis spiritual yang sampai saat ini masih sangat mudah kita temukan, terutama di kampung-kampung sampai di pinggiran kota.

Istilah Handilan diadaptasi dari kosa kata handil yang dalam bahasa Banjar berarti saluran pengairan sekunder yang menghubungkan area persawahan rawa pasang surut dengan sungai. Nah istilah ini di jadikan "nama" perkumpulan spiritual di kampung-kampung mungkin karena mempunyai filosofi yang relatif sama, yaitu saluran/jalur.

Karena, biasanya anggota dari handilan ini memang warga yang tinggal dalam satu jalur, satu gang atau satu jalan yang sama. Aktifitas utama handilan adalah serupa majelis taklim, hingga darinya kelak lahirlah kumpulan Yasinan dan juga rukem alias rukun kematian. 

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha

Kalau kumpulan Yasinan, saya yakin semua pasti sudah paham betul apa itu aktifitasnya, yaitu membaca surah Yasin setiap malam Jumat secara berjamaah. Tapi dengan rukun kematian?

Rukem alias rukun kematian adalah kumpulan warga yang mempunyai niat sama untuk saling meringankan beban anggota keluarga lain yang sedang berduka karena ada yang meninggal dunia. 

Anggota keluarga yang ditinggalkan almarhum dikondisikan untuk fokus hanya pada aktifitas ibadahnya saja, sedangkan urusan yang lain, seperti semua pengurusan jenazah, makam, sampai mengurus keperluan tamu takziah semuanya diurus oleh rukem.       

Alhamdulillah setelah syiar rukem sekarang semakin dikenal dan diterima masyarakat, bahkan semakin menjamur pertumbuhannya setelah banyak organisasi sosial kemasyarakatan, juga masjid, musholla, lingkungan RT/RW sampai Desa yang mulai tertarik mengelolanya, syiar handilan juga terus berkembang hingga salah satunya melahirkan rukur alias rukun kurban.

Sapi untuk Kurban | @kaekaha
Sapi untuk Kurban | @kaekaha

Rukur atau rukun kurban ini merupakan upaya menabung bersama-sama untuk tujuan berkurban yang dikoordinir oleh pengurus Rukem. Semua anggota rukem otomatis menjadi anggota rukur, meskipun tidak diwajibkan untuk segera menabung kalau memang belum mampu, tapi meskipun begitu tetap dimotivasi untuk terus berusaha menabung untuk berkurban sesuai kemampuan.

Sejauh ini, karena rukur ini termasuk produk budaya yang tidak ada pattern atau rumusan patronnya, maka masing-masing rukur pasti mempunyai kebijakan, aturan dan tentunya kekhasannya masing-masing. Seperti ada yang langsung memberi pilihan target kurban tahun depan, tahun depanya lagi, atau masih tahun depannya lagi.

Tidak hanya itu, pilihan juga ada pada besaran uang yang akan ditabung oleh anggota setiap periodenya, ini juga sangat memudahkan bagi semua anggota yang mempunyai keragaman latar belakang profesi dan juga penghasilannya. Inilah rukur, cara kami Urang Banjar menabung supaya tahun depan bisa ikut berkurban  (BDJ7625) 

Semoga Bermanfaat!


Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas
 
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 7 Juni 2025 22:44 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-7 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!
 
Dokumentasi Kompasiana
Dok Kompasiana
 


Banua Kalimantan Selatan  KOMBATAN |  KOMBATAN
Banua Kalimantan Selatan  KOMBATAN |  KOMBATAN
 



 

Mengelola Uang Transport, Si Kecil yang Cepat Besar Kalau Salah Urus!


Sepeda Listrik 


Uang transport atau biaya transportasi, pos pengeluaran rutin yang satu ini, sepertinya masih sering tidak masuk dalam skala prioritas manajemen keuangan untuk skala rumah tangga apalagi pribadi perorangan. Hingga lalu lintasnya di "pintu keluar" keuangan kita sering tidak terdeteksi secara akurat hingga akhirnya, boooooms! Meledak!

Karena itulah, saya lebih suka menganalogikannya sebagai "si kecil" yang lebih sering tidak dilihat hingga akhirnya terlewat, meskipun kenyataaanya seringkali "cepat besar" alias membengkak tak terkontrol secara signifikan setiap bulannya, karena kita lengah, lalai dan abai, salah urus dalam mengelolanya. 

Mungkin, karena tidak semua orang merasa bersentuhan secara aktual dengan pos biaya ini, hingga merasa tidak perlu untuk mengelolanya secara detail, selayaknya masyarakat urban yang tinggal di kota-kota satelit di seputaran kota besar yang setiap harinya harus bergantung pada sistem transportasi publik berbayar yang secanggih apapun pastinya tetap tidak mudah, tidak sederhana dan belum tentu lebih murah. 

Taksi Barabai, Angkutan Umum Legendaris di Kalimantan Selatan | @kaekaha

Nah ini dia! Mungkin menjadi hal yang aneh bin ajaib kalau ada bagian dari masyarakat urban yang sudah merasa "tua di jalan", tapi belum juga merasa perlu mengelola biaya transport sebaik mungkin, agar bisa lebih berhemat dan tidak boncos terus. Lantas bagaimana strategi sederhana untuk bisa memulai mengelola uang transport dengan baik dan mudah untuk di aplikasikan? 

Pertama, mulailah tertib data dan tertib administrasi. Caranya mudah asalkan konsisten dan dispilin! Mulai dengan mengumpulkan semua nota atau catatan pengeluaran terkait transportasi, seperti  nota bensin, ganti oli, parkir, tarif transportasi umum, hingga biaya ojol. 

Kedua, setelah semua terkumpul, biasakan mencatat semua pengeluaran dalam buku atau catatan digital untuk mengetahui totalnya. Catatatan ini penting untuk menentukan anggaran aktual dan relistis tiap periodenya. Sedangkan anggaran, kita perlukan sebagai alat kontrol batas atas faktual dari pos biaya transportasi.

Ketiga, mulai memilih dan memilah moda transportasi yang paling efektif dan efisien di setiap rute perjalanan yang kita tempuh, terutama untuk perjalanan rutin. Poin pentingnya disini adalah sebanyak mungkin melakukan komparasi rute dan biaya antar moda, termasuk opsi pemanfaatan kendaraan pribadi, seperti kendaraan listrik yang sedang aktual.

Keempat, evaluasi pos pengeluaran ini secara berkala setiap akhir periode atau akhir bulan untuk meninjau kembali efektif dan efisensinya apakah sudah sesuai harapan dan anggaran! Atau mungkin, siapa tahu ada ide baru yang lebih aktual, fresh, dan lebih menghemat tanpa harus mengurangi produktivitasnya? 

    Untuk bisa mengelola uang atau biaya transportasi dengan baik, memang memerlukan kedisiplinan, konsistensi dan kebijaksanaan yang berbasis data realistis dan aktual. Awalnya pasti terasa ribet dan merepotkan. 

Tapi kalau semuanya sudah terbiasa menjadi habitus, maka jangan kaget kalau semakin tertatanya lalu lintas pengeluaran, akan semakin mempermudah kita untuk mengelola keuangan, bentuk-bentuk penyimpangan lebih mudah terdeteksi sehingga bisa sesegera mungkin untuk dikoreksi dan dibenahi.

Dengan begitu, keseimbangan pemasukan dan pengeluaran selalu terkontrol, sehingga kita bisa berkalkulasi terhadap potensi penghematan yang nantinya bisa kita proyeksikan untuk ditabung dan atau diinvestasikan agar labih produktif dan bermanfaat. Luar biasanya, habitus ini juga berkontribusi positif pada potensi pengurangan kemacetan dan polusi udara lo! Keren kan? (BDJ5625)


Semoga Bermanfaat!


Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 5 Juni 2025 16:41 (silakan klik disini untuk membaca) sebagai tulisan ke-6 dari total 7 tulisan yang diikutkan dalam lomba menulis "Marathon Competition" dengan tema "Cerita Cuan Dapat Cuan" di Kompasiana yang disponsori oleh Pegadaian. Alhamdulillah, kita jadi salah satu dari total 5 pemenang utamanya yang berhadiah saldo e-wallet sebesar 1 juta rupiah. Cek pemenangnya di sini ya!

Dokumentasi Kompasiana
Dok. Kompasiana

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN






Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengelola Uang Transport, Si Kecil yang Cepat Besar Kalau Salah Urus!", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/kaekaha.4277/684113bcc925c46b4241d442/anggaran-transportasi-si-kecil-yang-cepat-besar-kalau-salah-urus?page=2&page_images=1