Minggu, 23 Maret 2025

Qatar Airways "Kepingan Puzzle" Terakhir dari Misiku Ke Baitul Maqdis?

Masjidil Aqsha di Jerusalem, Palestina | detik.net.id 

“Tempat yang layak dijadikan tujuan safar hanyalah tiga masjid. Yaitu; Masjid Ka’bah, Masjidku (masjid Nabawi) dan Masjid Iliya (masjidil Aqsha).” HR. Muslim no. 2476

Hadits dari HR. Muslim no. 2476 diatas,  menjadi inspirasi utama saya untuk menyusun skala prioritas sekaligus strategi untuk bisa jalan-jalan sampai ke berbagai destinasi wisata idaman di manca negara. 

Sebagai bentuk ketaatan saya kepada Rasulullah SAW, yang menyebut hanya Masjidil Haram (Kota Makkah), juga Masjidil Nabawi (Kota Madinah) yang keduanya berada di Saudi Arabia, plus Masjidil Aqsha (Kota Al Quds atau Baitul Maqdis) di Palestina sebagai tempat yang layak dijadikan sebagai tujuab safar atau perjalanan, maka sayapun merasa perlu untuk menjadikan ketiga masjid berikut seisi kota tempatnya berdirinya sebagai prioritas perjalanan luar negeri saya.

Baca Juga Yuk! Berusaha Melazimkan Setiap Detik Waktu Kita Bernilai Ibadah

Saya meyakini, Rasulullah SAW pasti mempunyai alasan yang kuat hingga mengeluarkan pernyataan yang ternyata juga terekam dalam beberapa nomor hadits sahih yang berbeda dengan periwayatan berbeda pula. Itu maknanya, isi hadisnya penting, karena bisa jadi disampaikan Rasulullah beberapa kali kepada sahabat yang berbeda-beda dan di waktu yang berbeda-beda pula. Wallahu a'lam. 

Lantas Apa nggak boleh, kita umat Islam safar ataupun jalan-jalan selain ke tiga tempat yang direkomendasikan Rasulullah SAW diatas?

Kalau saya memahaminya, boleh saja kita safar ke tempat wisata atau destinasi apapun di luar negeri selain 3 tempat yang disebut Rasulullah dalam hadits diatas, tapi! Ya ada tapinya ya! Bagi saya skala prioritas tetap berlaku! 

Maksudnya, saya akan berusaha semaksimal mungkin yang saya bisa dan mampu untuk ber-safar  ke 3 tempat rekomendasi Rasulullah SAW dulu, sebelum bercita-cita apalagi merancang perjalanan ke destinasi lain di dunia. 

Jadi, untuk sementara destinasi lain selain

Kabah di Msjidil Haram, Makkah, Saudi Arabia | @kaekaha

Alhamdulillah, karena safar ke Masjidil Haram (Kota Makkah), juga Masjidil Nabawi (Kota Madinah) yang keduanya berada di Saudi Arabia sudah saya gugurkan "sunahnya" karena Allah SWT sudah berkenan mengundang saya menjadi taumnNya beberapa tahun silam, maka dalam skala prioritas list safar saya praktis hanya menyisakan satu perjalanan sunah, yaitu ke Masjidil Aqsha di Palestina.

Tahukah anda, ternyata sisa satu safar ini justeru yang paling berat! Entah apa istilah yang paling pas dan tepat untuk menggambarkan situasinya ya! 

Selain fakta Al Quds atau Baitul Maqdis kawasan tempat Masjidil Aqhsa berada yang masih dalam kontrol ketat pendudukan Israel, sehingga situasi keamanannya yang tidak stabil, faktanya waktu, biaya dan tentunya tenaga menjadi faktor lain yang ikut menentukan edisi terakhir dari trilogi perjalanan sunnah ini.  

Baca Juga Yuk! Lho Mbah, Arah Kiblat Sholatnya Kok ke Arah Barat?

Kebetulan sudah beberapa kali apply bersama tour travel yang biasa melayani perjalanan sampai tembus ke Masjidil Aqhsa, tapi sayangnya kalau tour travel berbasis perjalanan ibadah muslim biasanya sudah dibundling dengan umrah ke Makkah dan Madinah, sedangkan bagi saya sunnahnya perjalanan ke sana sudah gugur dan saya ingin perjalanan yang fokus dan ekonomis.

Sedangkan kalau tour travel berbasis perjalanan ibadah non muslim meskipun tujuan sama ke Al Quds atau Baitul Maqdis, bisa dipastikan tidak akan pernah ada jadwal ke Masjidil Aqhsa-nya. Terus gimana dong?

Bercengkerama di Pelataran Masjidil Nabawi di Madinah, Saudi Arabia | @kaekaha

Saya sudah beberapa kali melakukan pedekate dengan tour travel wisata berbasis perjalanan ibadah muslim yang juga biasa melayani perjalanan ke Baitul Maghdis. Memang ada paket perjalanan ke Baitul Maqdis yang nggak bundling dengan umrah yang biasanya menggunakan maskapai Qatar Airways, tapi paketnya biasa dibundling dengan paket perjalanan ke Mesir dan Jordania.

Bahkan beberapa juga di tambah dengan perjalanan ke Turki dan beberapa daerah di seputaran negeri-negeri di jazirah Arab lainnya, yang secara budaya ternyata juga mempunyai spesifikasi otentik yang berbeda-beda walaupun secara sekilas semuanya terlihat sama saja.

Baca Juga Yuk! Belajar dari Ketekunan dan Kejelian Nini Menabung Emas Demi Berhaji yang Lebih Murah dan Berkah

Masalahnya, untuk perjalanan opsi ke-2 Masjidil Aqhsa atau Al quds yang bundling Mesir dan Jordania, tujuan awalnya pasti Mesir atau Jordania dulu baru masuk Palestina via dua negara yang berbatasan langsung dengan wilayah pendudukan Israel itu. Walah, kalau begitu sunahnya gagal dong! He...he...he... Itulah yang jadi masalahnya kawan, kalau saya masih kekeuh dengan prinsip saya. 

Jalan keluarnya sih sepertinya tetap sabar, terus berusaha dan tetap fokus berdoa, mudahan segera dimampukan untuk bisa menjadi tamuNya Allah SWT lagi di Masidil Haram dan Masjidil Nabawi, setelahnya baru ke Baitul Maqdis tempat berdirinya komplek Masjidil Aqsha. Tempat yang setiap hari saya mimpikan, bisa salat dan bersujud di dalamnya.(BDJ23325)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 23 Maret 2025  jam 22:50 (silakan klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Sabtu, 22 Maret 2025

Mie Ayam Mas Jono

Mie Ayam Mas Jono | @kaekaha

Hari pertama puasa Ramadan di Kota Banjarmasin diwarnai dengan turunnya hujan hampir sepanjang hari, bahkan sesaat sebelum kumandang azan Maghrib yang tinggal beberapa menit lagi, gerimis agak tebal masih mengguyur bumi.

Wajar jika seharian ini, suhu udara kota berjuluk 1000 Sungai ini lebih dingin dari biasanya, hingga jalanan yang biasanya ramai juga terlihat lebih lengang dari biasanya.

Saat itulah dari ruas arah luar kota jalan A. Yani terlihat penjual mie ayam dengan gerobak becaknya yang berwarna biru tetap menerobos gerimis pelan-pelan seperti merayap di jalanan yang menghubungkan seluruh ibu kota provinsi di Pulau Kalimantan itu.

Baca Juga Yuk! Keluarga Gado-gado dan "Kompromi Uniknya" dalam Menu Sahur dan Berbuka

Terlihat basah kuyup, pengayuh pedal gerobak mie ayam itu mengarahkan gerobaknya masuk ke halaman Masjid Munawaroh, masjid terbesar di seputaran kilometer 7, tidak jauh dari komplek pasar tradisional paling terkenal di Kalimantan Selatan, Pasar Ahad, Kertakhanyar.

Setelah memarkir gerobak mie ayamnya di pojok tempat parkir yang tidak jauh dari tempat wudhu, Mas Jono, sesuai dengan tulisan di gerobaknya "Mie Ayam Mas Jono", mengeluarkan sarung dan baju Koko dari tas hitam yang disimpannya dalam lambung bawah gerobak. 

Seperti banyak musafir yang lewat di jalan A. Yani lainnya, Mas Jono sepertinya mau mengikuti buka puasa bersama, agenda rutin bulan puasa di masjid tua yang memang populer di kalangan musafir yang kebetulan lewat di ruas jalan depan masjid, sekalian menjalankan ibadah salat Maghrib berjamaah setelahnya.

Mie Ayam Mas Jono | @kaekaha


Sudah menjadi rahasia umum se-Banjaran, kalau masjid yang buka 24 jam ini punya tradisi buka puasa bersama sebagai syiar Ramadan yang sudah tergolong legendaris. Salah satunya karena menu buka puasanya yang selalu menghadirkan kuliner Banjar bahari alias kuliner tradisional Banjar jaman dulu. 

Seperti menu hari ini yang kabarnya menghadirkan menu katupat batumis ditemani dengan seiris wadai hamparan tatak, sebiji kurma medjool dan segelas teh panas. Sedaaap!

Selesai buka puasa dan menjalani semua rangkaian ibadah salat Maghrib, Mas Jono langsung menuju gerobak mie ayamnya di parkiran. Betapa terkejutnya Mas Jono, begitu mengetahui gerobaknya acak-acakan dan yang bikin shock, setelah di periksa ternyata tabung gas melon miliknya di bagian bawah gerobak yang terkunci dan juga modal uang recehan untuk kembalian lenyap dari tempatnya.

Baca Juga Yuk! Semua Menang, Semua Senang di "War Takjil" Pasar Wadai, Banjarmasin

"Astaghfirullah, pripun kula sadeyan manawi gas kula dipundut tiyang, Ya Allah?" (Astaghfirullah, bagaimana saya jualan, kalau gas saya dicuri orang, Ya Allah!) Sambil menundukkan wajah, sekaligus menengadahkan tangan keatas, dengan suara berbisik, sepertinya Mas Jono sedang mengadu kepada Tuhannya, Rabb yang Maha Melihat dan Mengetahui.

Saat itulah, kaum masjid atau marbot masjid yang hendak mengambil wudhu kembali melihatnya dengan sedikit penasaran, apalagi setelah melihat sebagian kelengkapan gerobak mie ayam Mas Jono yang berantakan.

Hingga berikutnya tersiarlah kabar ke semua jamaah masjid, termasuk WA grup, telah terjadi pencurian tabung gas dan uang kembalian milik pedagang mie ayam di halaman parkir, berikut foto Mas Jono di samping gerobak yang berantakan.

Gerobak Mie Ayam | @kaekaha

Di tengah rasa cemas terhadap nasib dagangannya, Mas Jono tetap berusaha untuk tenang dan tetap tegar. Dalam diam, hatinya tidak henti-hentinya berdoa minta jalan keluar kepada Sang Khalik, diantara darasan istighfar yang terus mengalir dari bibirnya.

Tiba-tiba Mas Jono malah kembali menuju ruangan dalam masjid menemui kaum masjid dan menghitung jumlah jamaah tersisa yang sepertinya sengaja bertahan untuk itikaf sampai datangnya salat Isya dan sesaat kemudian pihak masjid mengumumkan bahwa sebelum salat Isya akan ada hidangan mie ayam gratis, jadi jamaah diminta untuk tetap bertahan.

Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan

Ternyata, dibantu oleh tim marbot dan dapur masjid dengan gas melonnya, entah darimana idenya, tiba-tiba Mas Jono malah kepikiran untuk menyedekahkan mie ayamnya yang ada kepada jamaah masjid yang masih bertahan untuk itikaf. Bisa dimakan ditempat atau dibungkuspun juga bisa!

Alhamdulillah, sekitar seratusan porsi mie ayam akhirnya ludes juga! 

Setelah selesai salat Isya yang dilanjut dengan salat tarawih dan witir, Mas Jono sudah hendak mengayuh pedal gerobak becaknya untuk pulang, ketika dua bapak-bapak, tiba-tiba mendatangi dan bermaksud untuk memesan mie ayamnya untuk acara buka puasa di kantornya masing-masing keesokan harinya, masing-masing sebanyak 250 dan 300  bungkus, dibayar tunai saat itu juga.

Selain itu ada juga beberapa orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang meminta nomor hape Mas Jono, siapa tahu besok-besok pesen mie ayam juga dan yang paling bikin Mas Jono bingung adalah ketika ada bapak-bapak setengah baya yang mengaku ingin membeli resep mie ayamnya berapapun harganya!

"Beli resep? Serius pak? Resepnya biasa saja Pak! Bapak saya ajari sampai bisa juga nggak papa pak, lha wong saya juga diajari teman saya gratis, jadi nggak usah beli!"  Kata Mas Jono polos.

Siap Dibungkus  | @kaekaha


"Serius, mie ayam Mas Jono ini enaknya otentik lo, bertahun-tahun sudah saya mencari citarasa mie ayam seperti ini kemana-mana untuk restoran saya di Jakarta, tapi nggak ketemu juga!"

Eh iseng-iseng tadi salat Maghrib di sini kok malah dapat gratisan mie ayam terenak yang pernah saya makan!" Urai si bapak setengah baya.

"Sudah, sebut saja Mas Jono mau berapa!? Atau mau mobil? Atau mungkin mau haji dan umrah sama keluarga?"

"Saya bayar sekarang juga, cash!" Kata si bapak dengan air muka yang meneduhkan tapi jelas terlihat keseriusannya.

Seperti orang kaget, Mas Jono yang nggak menyangka bakal secepatnya ini dibalas Allah SWT, tiba-tiba menitikkan air mata sambil mengucap rasa syukur kepadaNya.

Baca Juga Yuk! Menyambangi Acil Wati di "Pencerekenan" Ladang Rezeki Sekaligus Amalnya

"Bapak beneran!?" Tanya Mas Jono berusaha meyakinkan diri.

"Lo ya beneran mas! Ayo sebut saja minta berapa? Atau minta apa?" Jawab si bapak balik.

"Bolehlah pak saya salat istikharah dulu sama minta pendapat isteri dulu?" Tanya Mas Jono kepada si bapak.

Oh silakan mas, silakan! Tapi kalau bisa hari ini juga ya keputusannya. Karena nanti malam saya balik ke Jakarta pakai pesawat terakhir.

Setelah beberapa saat minta waktu,"kata isteri saya, bolehlah pak saya minta umrah saja sama isteri dan juga sama teman saya yang mengajari saya bikin mie ayam ini?" Tanya Mas Jono berharap!

"Alhamdulillah", Ucap si bapak sambil mengacungkan dua jempolnya kearah Mas Jono. (BDJ22325)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

 

Cerpen ini juga tayang di Kompasiana pada 22 Maret 2025 jam  22:44  (silakan klik disini untuk membaca)


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN




 

Serunya "Mudik Hijau" Serasa Berpetualang Menuju Hulu Sungai Barito

Bus Sungai Pancar Mas II

Bus Air dan Budaya Sungai

Setiap daerah di Indonesia selalui mempunyai tradisi unik sebagai bentuk adaptasi terhadap spesifikasi alam dan lingkungan yang menjadi tempatnya bertumbuh dan berkembang hingga membudaya menjadi identitas komunal dari entitas budaya yang sedari awal menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari mereka.

Salah satunya yang sangat menarik adalah tradisi dan budaya sungai dan rawa yang masih eksis dan berkembang menjadi identitas masyarakat di Pulau Kalimantan, terutama Suku Banjar. 

Salah satu produk budaya sungai dan rawa Urang Banjar yang sangat unik adalah alat transportasi sungai tradisional berukuran cukup besar yang berfungsi sebagai angkutan umum dengan trayek antar kota antar propinsi (AKAP) yang kelak dikenal sebagai bus air atau buas sungai.

Pesisir Sungai Barito yang Sekilas Lebih Mirip Laut Daripada Sungai | @kaekaha

 Sesuai namanya Bus Air, kapal kayu yang beberapa dekade silam pernah merajai jalur transportasi sungai AKAP Banjarmasin (Kalimantan Selatan)-Muara Teweh (Kalimantan Tengah) sejauh 400-an km ini sampai sekarang masih menjadi pilihan transportasi warga, terutama yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Barito.

Baca Juga Yuk! "Basambang" di Rawa-rawa, Bersama Julak Mamutiki Iwak

Sayangnya, karena semakin bagusnya pembangunan infrastruktur darat berupa jalan raya berikut armada bus dengan kemampuan daya jelajah dan daya angkut yang lebih efektif dan efisien (katanya!?) menjangkau kota-kota antar propinsi, dari sekian banyak bus air yang dulu pernah lalu lalang menjadi moda transportasi andalan masyarakat, kini hanya menyisakan satu saja bus air yang masih eksis beroperasi.

nfo Perjalanan Kapal di Beranda Lantai 2 | @kaekaha

I

Bus Air Pancar Mas II Sang Legenda

Di Kalimantan, ternyata tradisi mudik atau pulang kampung tidak hanya menjadi domain dari angkutan darat dan udara yang selama ini selalu menjadi pengisi berita utama di seputaran cerita mudik di berbagai media, karena di sepanjang alur Sungai Barito yang membentang sejauh hampir 1000 km itu masih ada bus air yang melayani trayek umum antar kota antar propinsi. 

Satu-satunya bus air yang sampai sekarang masih aktif menyusuri trayek umum antar kota antar propinsi yang menghubungkan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan berbagai kota di sepanjang jalur pelayaran Sungai Barito, seperti Marabahan (Kab. Barito Kuala), Buntok (Kab. Barito Selatan) sampai ujungnya di Kota Muara Teweh (Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah) adalah KM Pancar Mas II.

Baca Juga Yuk! Coba Deh, Setidaknya Sekali Seumur Hidup, Mudiknya Naik Kereta Api!

Kapal dengan spesifikasi panjang 29 meter, lebar 7,5 meter dan tinggi 7 meter, kapal yang dibangun dengan konstruksi dari kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang legendaris ini, sanggup mengangkut 110 penumpang dan 80 ton barang dalam sekali jalan 2 X 24 Jam menuju hulu atau Muara Teweh dan 1 hari atau 1 x 24 jam plus 1 malam atau 12 jam untuk tujuan sebaliknya atau ke arah hilir/muara di Banjarmasin.

Daya tampung penumpang yang setara 2 bus darat, ditambah daya angkut kapal untuk barang yang setara 4 truk fuso itu, jelas sangat efektif membantu menghapus jejak karbon dari total 6 kendaraan darat dimaksud, seandainya jalan konvoi menuju arah dan tujuan yang sama. Betul?

Di era kejayaan transportasi air di Sungai Barito pada dekade 1970 sapai 1990-an,  KM Pancar Mas tidak sendirian berlayar di Sungai Barito, tapi ada beberapa kapal seperjuangan seperti KM. Sumber Barito, KM. Kembang Indah, KM. Barito Agung, KM. Lutfi Arufah dll yang menemani. Sayang armada kapal yang lain lebih dulu pamit dari jalur pelayaran dan lebih memilih untuk memarkir kapalnya dengan berbagi alasan.

View Sungai Barito dari Beranda di Lantai 2

"Mudik Hijau" ke Hulu Sungai Barito

Excited! Itulah yang yang saya rasakan ketika sepupu isteri saya mambawai (mengajak;bahasa Banjar) saya bulik kampung alias mudik ke kampung halamannya di Muara Teweh, Kalimantan Tengah sesaat sebelum lebaran beberapa tahun silam melalui jalur Sungai Barito. Bagimana tidak, serasa mimpi saja, akhirnya saya ada alasan untuk bisa naik kapal kayu legendaris Sungai Barito yang tersisa itu.

Apalagi setelah merasakan sendiri bagaimana sensasinya! Jujur, saya sampai merasa kesulitan untuk membedakan trip pelayaran dari Banjarmasin-Muara Teweh ini, berpetualang atau bulik kampung?

Baca Juga Yuk! Masjid Sultan Suriansyah "Mesin Waktu" Menuju Sejarah Berdirinya Kota Banjarmasin

Pastinya, sensasi bulik kampung  dengan armada bus air berbahan kayu ulin legendaris dan satu-satunya yang masih tersisa di jalur  tradisional Sungai Barito ini "aroma" petualangannya jauh lebih terasa daripada sekedar perjalanan menuju kampung halaman pada umumnya. Jadi benar-benar serasa my trip my adventure.

Berlayar melawan arus menuju  hulu Sungai Barito selama full dua hari dua malam dengan KM. Pancar Mas II yang penampakan arsitekturnya lebih mirip rumah kayu yang kental nuansa Banjarnnya itu, seperti sedang mengikuti program liveshow-nya discovery channel atau national geographic dan sejenisnya. Naaah seru kan!?

View dari Jendela Kapal | @kaekaha

 

Jalan-jalan ke Muara Teweh, Ibu Kota Kabupaten Barito Utara sebenarnya sudah beberapa kali saya lakukan, bahkan sejak saya masih bekerja di perusahaan consumer goods dulu, hanya saja semuanya menggunakan armada darat dan sesekali armada udara. Nah kalau menggunakan jalur sungai Barito, ya baru sekarang ini!

Sebagai informasi, untuk perjalanan dengan bus darat atau otobus, perjalanan Banjarmasin-Muara Teweh ini memerlukan waktu tempuh paling lama sekitar 15 jam, sedangkan untuk penerbangan Banjarmasin (BDJ) ke Muara Teweh (HMS) memerlukan waktu sekitar 55 menit saja. Jauh banget ya dengan kapal yang sampai 2 hari!?

Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan

Kami memulai petualangan dari Dermaga Banjar Raya, pelabuhan tempat tambat KM. Pancar Mas II yang lokasinya masih di dalam Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas, tidak jauh dari pelabuhan Tri Sakti yang juga sama-sama terletak di tepian Sungai Barito, salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Kalimantan dan juga Indonesia yang sekilas memang lebih terlihat seperti laut daripada sungai.

Selama berlayar dua hari dua malam, kita bisa berinteraksi langsung dengan kearifan budaya sungai khas Urang Banjar "bekerja" mewarnai beragam kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi pattern sosial budaya masyarakatnya secara umum. Pengalaman tak terlupakan Ini pasti akan ngangeni, bagi saya dan siapapun yang ikut dalam perjalanan luar biasa ini!

Bagian Dalam Lantai 2 Kapal | @kaekaha

Di sepanjang perjalanan, kami lebih banyak melewati hutan belantara dari pada perkampungan penduduk, tidak heran jika di tempat-tempat tertentu kru kapal ada juga yang sambil maunjun alias mancing ikan dengan cara-cara tradisional yang unik tapi efektif menarik ikan ke kapal! 

Selain itu, di sepanjang perjalanan kita serasa berada di dunia lain, karena sinyal smartphone lebih banyak blankspot-nya sehingga kita seperti putus hubungan dengan dunia luar, wajar  jika komunikasi seluler menjadi salah satu "barang mewah" dalam perjalanan ini. Tapi hikmahnya, kita jadi sering ngobrol dan bercengkerama dengan banyak orang baru, "keluarga" kita selama di perjalanan selama 2 hari.

Uniknya, kru kapal sudah hafal di titik-titik mana saja sinyal seluler akan muncul berikut kualitas dari masing-masing operatornya yang biasa muncul berbeda-beda di setiap jengkal perjalanan. 

Tidak hanya view alam di luar kapal saja yang menggoda, sajian miniatur Indonesia pada proses interaksi "keluarga baru" di dalam kapal, merupakan fragmentasi kehidupan khas nusantara cerminan bhinneka tunggal ika terbaik yang pernah saya lihat secara langsung dengan mata kepala saya sendiri.

Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan

Meskipun didominasi oleh Urang Banjar dan masyarakat Suku Dayak Bakumpai yang kebetulan memang identik dengan Urang Banjar, (terlihat dari bahasa dan dialek yang digunakan), ternyata di dalam kapal juga banyak berisi perantau dari Pulau Jawa dan Sumatera. Rata-rata  mereka menuju stockpile atau camp tambang Batubara yang ada di sepanjang kiri-kanan sungai di kawasan pedalaman hulu Sungai Barito.


Mudik Seraasa Berpetualang | @kaekaha

Selain itu, dari obrolan saya dengan beberapa penumpang selama perjalanan, akhirnya saya ketahui ternyata di dalam kapal juga banyak saudara-saudara kita masyarakat suku Dayak dan uniknya, mereka berasal dari sub-suku Dayak yang berbeda-beda, sehingga secara budaya mereka juga berbeda dan ini biasanya paling mudah terdeteksi dari bahasanya.

Uniknya lagi, ternyata perbedaan bahasa ibu di antara beberapa orang dari sub-suku Dayak ini menyebabkan mereka tidak bisa saling berkomunikasi dan ternyata sebagai jalan tengahnya, mereka justeru menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa komunikasi diantara mereka. Ini yang baru saya tahu! 

Baca Juga Yuk! Hampers Bakul Purun untuk "Green Ramadan" yang Lebih Berkah

Jadi menurut mereka, ternyata bahasa Banjar sejak lama menjadi bahasa pengantar komunikasi  sekaligus bahasa persatuan semua sub-suku Dayak yang bagana (mendiami;bahasa Banjar) di sepanjang DAS Barito. Pantas saja, di dalam kapal saya lebih sering mendengar percakapan dalam bahasa Banjar dari pada yang lain, hingga saya mengira di dalam kapal kebanyakan Urang Banjar dan Urang Dayak Bakumpai yang secara tradisi dan budaya relatif mirip.

Sungguh, "mudik hijau" menuju hulu Sungai Barito ini memang benar-benar serasa petualangan yang komplit! Tidak hanya bisa menikmati keindahan alam liar khas Kalimantan di sepanjang perjalanan saja, tapi juga kearifan lokal yang menghidupi dan juga tradisi budaya masyarakat Kalimantan yang saling melengkapi.  Terima kasih Kalimantan, terima kasih Indonesia! (BDJ21325) 


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 21 Maret 2025  jam 21:26 (silakan klik disini untuk membaca)

 





 

Kamis, 20 Maret 2025

Coba Deh, Setidaknya Sekali Seumur Hidup, Mudiknya Naik Kereta Api!

 

Yuk Mudik Naik Kereta Api | @kaekaha


Setiap perjalanan adalah pelajaran, begitulah saya selalu memaknai setiap jengkal langkah dalam perjalanan saya dan setiap fragmen-nya adalah  catatan arif kehidupan, guru terbaik untuk bekal perjalanan berikutnya, sekaligus  kenangan yang akan menjadikan perjalanan penuh warna dan makna. 


Romansa Mudik 90-an

Ritual pulang kampung atau juga kita kenal sebagi mudik saat menjelang lebaran, sudah menjadi tradisi unik tahunan khas masyarakat Indonesia yang disebut-sebut sebagai pergerakan manusia secara bersama-sama terbesar dalam sejarah modern. Bagaimana tidak, setiap tahunnya ada jutaan manusia yang berbondong-bondong menggunakan berbagai moda transportasi untuk mudik.

Baca Juga Yuk! "Bengkel Ramadan", Sebulan Perawatan untuk Setahun Kejar Setoran

Selayaknya ikan salmon yang selalu pulang ke tempat ditetaskan sebelum bertelur dan akhirnya mati, para perantau yang telah meninggalkan kampung halaman sekian lama ini juga ingin berkumpul dengan keluarga di kampung halaman untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri, setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa Ramadan. 

Sebagai perantau, saya merasakan kronik perjalanan terbaik yang sanggup memberikan catatan arif kehidupan paling komplek dan masih terekam dengan jelas dalam ingatan sampai saat ini adalah fragmentasi perjalanan pulang kampung alias mudik di sepanjang era 90-an. 


Sejak mendapatkan tugas belajar di Kota Tembakau di ujung timur Propinsi Jawa Timur, pertengahan 90-an, kereta api atau orang-orang kampung kami di kaki Gunung Lawu di Ujung barat Propinsi Jawa Timur menyebutnya sebagai sepur, menjadi transportasi utama di setiap saya harus pulang dan pergi.

Maklum, sebagai angger alias anak gerbong yang sebagian kisahnya pernah saya tuliskan dalam artikel Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya dan "Si Angger" dan Khayalan Tingkat Tingginya dalam Romansa Berkereta Api
kedekatan saya dan sebagian besar orang di kampung kami dengan si ular besi,  menjadikan kami merasa lebih aman dan nyaman kemana-mana dengan naik sepur

Baca Juga Yuk! Keluarga Gado-gado dan "Kompromi Uniknya" dalam Menu Sahur dan Berbuka

Setidaknya ada 3 nama sepur yang pernah mengantarkan saya untuk pulang dan pergi alias PP selama saya tugas belajar, yaitu KA Argopuro, KA Sri Tanjung dan KA Logawa dengan harga tiket untuk rute Madiun-Jember yang berjarak sekitar 400 km, saat itu seharga 4000-an rupiah dengan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan. murah bukan?

Menikmati perjalanan pergi-pulang dengan sepur selama hampir 5 tahun, jelas merekam tidak sedikit peristiwa memorable yang terjadi di sepanjang perjalanan. Baik kisah sendiri maupun kisah-kisah beramaian dengan teman-teman dan juga orang-orang di seputarnya, 


Mudik Berkereta Api 90-an

Bagi yang pernah muda di era 90-an dan suka jalan-jalan apalagi nyepur alias naik kereta, pengalaman mudik dengan kereta api bukan hanya sekedar duduk manis dan menikmati perjalanan saja, tapi sebuah kronik sarat perjuangan yang selalu memicu naiknya adrenalin. Ngeri-ngeri sedap alias tegang-tegang nikmat kalau bahasa saya!

Tantangan pemicu adrenalin sudah dimulai sejak war ticket. Membeli tiket untuk mudik lebaran, waktunya mepet, untuk kelas ekonomi pula, ini bukan perkara mudah! Ini benar-benar perang beneran untuk ikut antriam panjang di loket stasiun, bahkan bisa sampai tengah malam dan itupun belum tentu dapat tiketnya, tidak jarang tiket sudah ludes sebelum sapai giliran tiba. Kalau sudah gini wajib sabaaar!

Baca Juga Yuk! Mengaktifkan Fitur LOGIKA untuk Ramadan Hemat Finansial Sehat!

War berikutnya adalah saat mau masuk kereta. Mendekati hari H lebaran, biasanya kereta sudah penuh sesak sejak di pintu masuk. Jadi untuk masuk ini juga memerlukan perjuangan ekstra, apalagi kalau anggota keluarga yang dibawa banyak, begitu juga dengan barang bawaaanya, alamat susah untuk bisa masuk dengan lancar. 

Beberapa kali dalam perjalanan mudik, saya melihat sendiri seorang suami yang terpisah gegara sang istri tidak bisa ikut naik gerbong atau sebaliknya, sering juga menemui barang bawaaan tidak terangkut karena nggak bisa tembus masuk pintu gerbong karena penuhnya penumpang. Entah bagaimana urusan selanjutnya!?


Dalam situasi mudik mendekati hari H lebaran, biasanya orientasi penumpang memang bukan lagi pada tempat duduk, karena bisa masuk gerbong dan bisa terbawa kereta ke tempat tujuan saja sudah Alhamdulillah! 

Untuk yang satu ini saya juga punya pengalaman ngeri-ngeri sedap yang semestinya nggak boleh terjadi dan nggak boleh diikuti, yaitu hanya satu kaki saja yang bisa masuk kereta, sedang satu kakinya lagi dan sebagian badan masih di luar. Hadeeeeh...

War berikutnya adalah untuk mendapatkan tempat duduk yang representatif apalagi untuk kelas ekonomi yang saat itu konsepnya memang siapa cepat dia dapat, meskipun untuk situasi tertentu, seperti penumpang anak-anak dan orang tua tetap sering mendapati empati dari penimpang lain. 

Tapi tetap saja, yang masuk belakangan probabilitas dapat kursinya adalah nihil. Apalagi sudah banyak penumpang-penumpang yang berdiri atau malah duduk-duduk menggelar koran atau tikar di lorong-lorong antar kursi penumpang yang menandakan jatah kursi kosong memang sudah habis. 

Baca Juga Yuk! Hampers Bakul Purun untuk "Green Ramadan" yang Lebih Berkah

Kalau kereta sudah berjalan, jangan kaget kalau tiba-tiba berlalu-lalang banyak pedagang asongan dengan beragam dagangannya yang muncul entah dari mana! Mereka biasa menawarkan penganan-penganan ngangeni seperti pecel pincuk, nasi campur, gorengan dan lain-lainnya.

Kalau sudah begini, semua tempat di dalam gerbong kereta semuanya ya representatif, termasuk dalam toilet yang dalam posisi normal hanya dipakai untuk buang hajat. tapi kalau sudah full ada saja yang nekat berdesak-desakan di dalamnya. "Tiada rotan akarpun jadi", katanya!


Naik Kereta Api | @kaekaha

Transformasi dan Inovasi Kereta Api Indonesia

Romansa mudik berkereta api yang ngeri-ngeri sedap atau tegang-tegang nikmat di era mudik 90-an seperti yang saya rasakan dulu memang tinggal kisahnya saja, tapi tetap akan menjadi kenangan indah nan seru yang  tak terlupakan, karena setiap jengkal langkah saya dalah pelajaran! Terima kasih KAI telah menghadirkan salah satu kenangan paling seru dalam kehidupan kami!

Sekarang, berkat rangkaian transformasi dan inovasi besar-besaran di perusahaan perkeretaapian plat merah ini, ternyata memberi pengaruh signifikan terhadap wajah transportasi kereta api sekarang yang lebih maju dan berkelas!

Pemanfaatan teknologi berperan strategis terhadap peningkatan pelayanan kepada penumpang, menjadikan pulkam alias mudik dengan nyepur sekarang jauh lebih mudah dan praktis! Beli tiket, sekarang bisa dulakukan dengan secara online kapan saja dan darimana saja hanya dengan beberapa klik di mobile aplikasi terbaru PT KAI yaitu Access by KAI

Dengan Access by KAI semua drama yang berpotensi menimbulkan kegaduhan saat akan mudik dijamin tiadak akan ada lagi. Digitalisasi infrastruktur pertiketan akan mempermudah dan memperlancar perjalanan mudik ke kampung halaman.

Aplikasi pengembangan dari KAI Access yang hadir dengan tampilan yang lebih fresh juga fitur yang lebih lengkap ini mempunyai  Beberapa keunggulan seperti, Booking tiket lebih fleksibel, Reschedule & Refund tiket yang jauh lebih mudah,  E-Boarding Pass atau tiket digital, info  real time perjalanan dan kehadiran fitur Last Minute Booking.

Kereta Api Sedang Meluncur | @kaekaha

Itu artinya, tidak ada lagi war  untuk masuk gerbong apalagi war untuk dapat kursi tempat duduk , karena setiap penumpang pasti mendapatkan nomor kursi,  hingga kekhawatiran nggak kebagian kursi sampai harus menggelar tikar untuk duduk di lorong nggak bakalan terjadi. Jadi sejauh apapun perjalanan tetap bisa dinikmati semaksimal mungkin.

Kerennya lagi, dengan e-boarding tidak perlu lagi nyetak tiket pakai kertas karena semua sudah digital, termasuk fitur untuk memantau jadwal keberangkatan, perjalanan, dan bahkan keterlambatan  kereta secara real-time. Semua informasi benar-benar tersedia di ujung jari, memberi rasa aman dan nyaman selama perjalanan.

Baca Juga Yuk! Menyambangi Acil Wati di "Pencerekenan" Ladang Rezeki Sekaligus Amalnya

Tidak hanya itu, kenyamanan mudik berkereta api sekarang juga menyasar pada fasilitas dalam gerbong yang jauh lebih manusiawi dan bersahabat, seperti fasilitas AC, kursi yang lebih empuk juga toilet yang semua fiturnya bisa dioperasikan dengan baik plus adanya layanan makanan dan hiburan di dalam kereta yang membuat perjalanan semakin menyenangkan.

Jadi, perjalanan bersama kereta api saat ini tidak hanya sekedar duduk manis hingga sampai tujuan semata, tapi juga tentang sebuah perjalanan sarat pelajaran dan pengalaman berharga yang lebih menyenangkan!

Jadi, coba deh, setidaknya sekali seumur hidup, mudiknya pakai kereta api! 

Rasakan kenyamanan dan keamanan yang menjadi prioritasnya! 

Selanjutnya terserah anda...(BDJ21325)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 21 Maret 2025  jam 04:11 (silakan klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Senin, 17 Maret 2025

Hampers Bakul Purun untuk "Green Ramadan" yang Lebih Berkah

 

Hampers Bakul Purun untuk "Green Ramadan" yang Lebih Berkah |@kaekaha 

Setiap entitas budaya di seluruh pelosok nusantara pasti mempunyai produk budaya yang menjadi ciri khas yang akhirnya menjadi semacam trade mark ataupun identitas yang melekat dan dikenali secara umum oleh masyarakat luas. Wujudnya bisa sangat beragam, salah satunya bisa jadi dipengaruhi kondisi alam dan lingkungannya.

Begitu juga dengan masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang dikenal luas dengan budaya sungai atau rawa-nya, karena sebagian luas wilayahnya yang memang berupa ekosisten rawa. Hal menjadikan bayak produk budaya masyarakat suku Banjar yang berbasis pada hasil sungai atau rawa. 

Salah satunya yang sedang naik daun adalah produk kerajinan tas tangan atau kantongan tradisional serbaguna berbahan dasar sejenis "rerumputan" yang unik, cantik, tahan lama dan pastinya ramah lingkungan yang biasa disebut sebagai bakul Purun.

Baca Juga Yuk! "Basambang" di Rawa-rawa, Bersama Julak Mamutiki Iwak

Merujuk pada namanya "bakul purun", bahan untuk membuat tas tangan tradisionalnya Urang Banjar ini adalah tanaman purun, khususnya jenis  purun danau (Lepironia articulata Retz), yaitu tumbu-tumbuhan sejenis rumput-rumputan yang masih keluarga dekat dari rumput teki-tekian yang habitat aslinya di rawa-rawa atau di tepian danau.

Pemanfaatan tanaman purun dalam tradisi budaya masyarakat Banjar, tidak hanya diolah menjadi bakul purun saja tapi juga diolah menjadi berbagai macam kerajinan tangan cantik nan estetik yang sudah pasti bernilai ekonomi lumayan tinggi sebagai pernak-pernik souvenir, seperti tikar, topi, hiasan dinding, kotak tisu, bahkan juga sedotan.

Bakul purun, tas tangan atau tas jinjing serbaguna berbahan alami hasil kerajinan tradisional khas Banjar ini sangat lekat dengan aktifitas sehari-hari Urang Banjar, jauh sebelum kantongan plastik atau tas kresek yang terlanjur menjadi bagian dari budaya pop masa kini hadir dan akhirnya begitu kuat mencengkeram peradaban kehidupan kita semua.

Bakul Purun |@kaekaha

 

Sayangnya seiring dengan perjalanan waktu, bakul purun lebih identik sebagai wadah jintingan atau tas bawaan acil-acil (bibi-bibi;bahasa Banjar) para pedagang di pasar atau setidaknya ibu-ibu yang hendak berbelanja ke pasar, juga amang-amang (paman;bahasa Banjar) yang pergi maunjun atau memancing untuk wadah ikan atau jualan tapai (tape;ahasa Banjar) keliling. 

Saat itu, secara kultural bakul purun seperti terdegradasi ke level titik terendah, sulit naik kelas untuk bersaing dengan produk tas plastik ataupun produk kerajinan yang mirip-mirip, sejenis dan serupa yang datang entah dari mana. . 

Beruntung, seiring dengan tren isu seputar lingkungan yang akhir-akhir ini gaung dan pengaruhnya terhadap beberapa kebijakan publik mulai terasa membaik, berpengaruh terhadap  kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian alam, terutama terkait penggunaan kantongan plastik.

Seperti mendapatkan berkah dari kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang berangsur terus membaik, bakul purun sekarang selayaknya gadis cantik yang sedang ranum-ranumnya, siapapun ingin datang untuk memetiknya. 

Baca Juga Yuk! Bisa Kok "Nggak Nyampah" Sejak dalam Pikiran, Ini Caranya! 

Sekarang, banyak Urang Banjar yang sudah kembali tersadar, kembali pulang kepada alam dan memulai lagi untuk  memanfaatkan bakul purun sebagai kearifan lokal warisan leluhur yang tidak kalah cantik, unik, ekonomis, praktis dan tentunya tetap bisa dipakai untuk ngeksis ini!

Fenomena ini menemukan momentumnya, ketika instansi-instansi pemerintahan  dan juga perusahaan-perusahaan di Kalimantan Selatan kembali menggunakan kantongan tradisional tahan lama ini untuk kemasan pembagian daging kurban dan juga bingkisan ramadan ataupun lebaran, sejak beberapa tahun terakhir.

Hampers Ramadan Bakul Purun | @kaekaha

 

Menariknya lagi, sejak itu juga banyak penjual hampers dan parcel di seputaran Kalimantan Selatan yang mulai mengemas barang-barang untuk bingkisan ramadannya dalam bakul purun dan mulai meninggalkan keranjang berbahan rotan yang juga semakin mahal dan susah ditemukan lagi. Ini kabar baik yang patut disyukuri oleh semua pihak! 

Derasnya pesanan bakul purun sudah pasti akan menggerakkan ekonomi masyarakat dari hulu seperti petani purun sampai ke hilir, yaitu perajin dan penjual kerajinan bakul purun. Kerennya, sekarang bentuk dan ukuran bakul purun juga semakin variatif dan terus berkembang, tidak terpatok pada produk osrisinilnya saja. 

Pesanan dalam bentuk costumize alias pesanan khusus dengan dimensi ukuran dan juga bentuk yang biasanya lebih khusus dan personal, sehingga menjadi jauh lebih ekslusif, sepertinya semakin digemari oleh masyarakat. Meskipun, secara detail ciri unik dan estetik khas  kerajinan tangan tradisional tetap dipertahankan.

Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan

Tren pemanfaatan bakul purun sebagai upaya untuk ikut menjaga kelestarian alam sekaligus melestarikan kearifan lokal,  budaya luhur asli warisan leluhur, sejak beberapa tahun terakhir juga mulai populer di lingkungan  komplek tempat saya tinggal di pinggiran kota 1000 Sungai untuk berbagai keperluan, termasuk untuk hampers Ramadan kali ini.

Luar biasanya, ternyata multiplayer effect dari kembalinya kita-kita menggunakan bakul purun dalam berbagai aktifitas sehari-hari, terbukti tidak hanya membantu mereduksi sampah plastik, sekaligus melestarikan keberadaan kantongan serbaguna nan tahan lama alias tas tradisional super keren itu saja lho!

Tapi juga ikut memberdayakan perekonomian masyarakat lokal di sepanjang rantai pasok bakul purun berjalan plus ikut melestarikan ekosistem tanaman purun danau di sekitar rawa-rawa lebak yang  juga menjadi "rumah" bagi ikan dan berbagai satwa endemik rawa-rawa lainnya untuk berkembang biak dan bertumbuh. Keren kan!?

Yuk, ikutan mengemas hampers dengan bakul purun teman-teman, kita jadikan Ramadan kita kali ini sebagai green ramadan agar lebih berkah dan bermanfaat untuk kita dan seluruh alam. (BDJ17325)

Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di kompasiana pada 17 Maret 2025 jam  23:00   (Klik disini untuk membacanya)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



Rabu, 12 Maret 2025

Keluarga Gado-gado dan "Kompromi Uniknya" dalam Menu Sahur dan Berbuka

Soto Madiun Kesukaan Saya | @kaekaha


​​


Awal semua rasa,
Mulai dari suapan pertama, kunyahan pertama,
gigitan pertama, sampai jadi makanan yang disuka
...
Awal semua rasa kita hari ini, datangnya dari lidah mama
Karena dari dulu, selera kita itu dari apa yang mama suka



Pernah membaca dua bait pesan diatas? Atau mungkin pernah mendengar audionya dari media? Baiklah, kalimat-kalimat yang tersusun menjadi dua bait diatas saya dapatkan dari salah satu iklan produk consumer goods yang tayang di televisi dan jaringan internet yang biasanya memang rajin tayang di sepanjang Ramadan. Ada yang tahu?

Baca Juga Yuk! Semua Menang, Semua Senang di "War Takjil" Pasar Wadai, Banjarmasin

Tapi maaf, di sini saya tidak akan membahas iklan maupun produk consumer goods yang diiklankan dengan untaian kalimat-kalimat diatas, karena saya justeru tertarik dengan kesederhanaan dan keindahan susunan diksi dari dua paragraf diatas yang ternyata menghasilkan susunan kata yang begitu cantik dengan makna yang ternyata juga begitu dalam, bagaimana kronik selera dalam rasa terbentuk! Semua mama yang mengawalinya!

Pernah mendengar orang-orang disekitar kita atau mingkin malah saya atau anda sendiri pernah menyebut, "masakan mama atau ibu kita masakan ternikmat di dunia", hingga sanggup menciptakan sebentuk kerinduan yang tidak bisa diganti dengan apapun yang membuat seorang anak rela menmpuh ribuan kilo jarak hanya untuk mengecap kembali olahan masakan dari tangan mamanya? 

Ternyata, kalimat-kalimat yang tersusun dalam dua bait di ataslah jawaban misterinya!

Pertanyaanya, kira-kira apa yang bakal terjadi ketika dua orang anak yang sama-sama tumbuh dalam lingkungan (ibu) yang sama-sama berhasil menurunkan pattern atau patron selera rasa otentik yang sama-sama kuatnya, bahkan levelnya bukan hanya berlabel keluarga saja, tapi entitas tradisi dan budaya yang berbeda, tiba-tiba disatukan oleh ikatan perkawinan (tanpa pacaran lo ya!) yang tidak hanya mengharuskan mereka berbagi cinta dan kasih sayang semata, tapi juga berbagi rasa, selera rasa?

Soto (Banjar) Kuin | @kaekaha


Itu yang terjadi dengan saya dan isteri yang memang lahir dan tumbuh dari dua entitas tradisi dan budaya berbeda dan uniknya, ternyata  kami tumbuh dalam lingkungan yang sama-sama masih memegang aktualisasi budaya yang cukup kuat dan otentik, yaitu budaya Jawa dan budaya Banjar.

Tidak heran jika di awal-awal rumah tangga kami dulu, sering terjadi benturan-benturan akibat perbedaan tradisi dan budaya, dari yang lumayan bikin pening orang sekampung, sampai yang remeh-temeh hingga bikin semua terkekeh-kekeh. 

Uniknya, sampai sekarang, setelah 2 dekade lebih kebersamaan kami, khusus untuk urusan selera rasa ini masih harus memerlukan "deal-deal" tertentu alias kompromi agar sama-sama bisa menikmati secara paripurna, kuliner kesukaan masing-masing. Salah satu contoh riilmya adalah soal urusan baras (beras;bahasa Banjar) yang akan kita masak. 

Baca Juga Yuk! Mindfull Eating untuk Ramadan dan Kehidupan yang Sehat Penuh Berkah

Saya yang terbiasa dengan nasi dari beras jawa yang pulen dan cenderung lembek, benar-benar kelabakan ketika harus bersantap nasi dari beras Banjar yang pera dan testurnya agak keras, apalagi baras usang yang harganya justeru paling mahal se-Indonesia itu. Begitu juga sebaliknya, isteri saya mengaku seperti makan lakatan (ketan;bahasa Banjar) ketika harus makan nasi pulen dari beras Jawa. 

Ada yang tahu, kira-kira bentuk komprominya seperti apa? Isteri saya selalu mencampur dua jenis beras itu sebelum memasaknya dan hasilnya, ternyata  lahirlah jenis nasi baru yang kita sebut sebagai nasi Baja, singkatan dari Banjar-Jawa dan Alhamdulillah, sampai sekarang kami merasa cocok dan nyaman dengan nasi baja ini. Begitu juga dengan anak-anak yang akhirnya menjadi penikmat semua kuliner perpaduan olahan mamanya.

Cancangan Itik Khas Banjar | @kaekaha

Cerita deal-dealan dan kompromi-kompromian ini semakin seru kalau memasuki bulan Ramadan, tentu saja termasuk untuk urusan menu sahur dan buka puasa. 

Biasanya, kami memulai kompromi dengan kuliner-kuliner "kembar tapi tidak identik" semisal Soto, Rawon, olahan Itik atau bebek, sampai gangan asam Banjar dan jenis kuliner BAJA alias Banjar-Jawa lainnya yang terus kami eksplor referensinya, terutama yang mempunyai kembaran plus syukur-syukur kesemuanya sama-sama kita suka.

Baca Juga Yuk! "Basambang" di Rawa-rawa, Bersama Julak Mamutiki Iwak

Saya bilang kembar tapi tidak identik karena kuliner yang sebutkan diatas ada versi Jawanya dan ada juga versi Banjarnya. Uniknya, meskipun namanya sama tapi wujud dan citarasanya jauh berbeda, salah satunya ya Soto. Kalau di Banjarmasin ada Soto Banjar, di kampung saya ada Soto kampung atau ada juga yang menyebut Soto Madiun dan juga Soto Lamongan.

Terus gimana cara komprominya, apa seperti nasibnya beras yang dicampur hingga lahirlah nasi baja? Tentu saja tidak, kalau Soto Banjar dengan Soto Madiun atau Soto Lamongan dicampur, jujur saja, kami memang belum pernah melakukan trial untuk itu, tapi membayangkan saja saya sudah nggak tega! He...he...he....

Bebek Goreng Suroboyoan | @kaekaha

Kami memilih jalan kompromi yang lebih manusiawi alias tetap ramah di kantong kami untuk urusan ini. Biasanya ada 2 opsi yang wajib dipilih salah satunya melalui voting dengan suara terbanyak. Iya dong, kami tetap harus demokratis dengan melibatkan 4 jagoan kami yang lagi demen-demennya makan untuk menentukan pilihannya...he...he...he...

Opsi pertama, kalau untuk sahur kita menikmati Soto Madiun, maka untuk buka puasanya gantian menikmati Soto atau sop Banjar. Sedangkan untuk opsi keduanya, gantian menunya harian. Misalkan, hari ini kita bersantap sahur dan berbuka dengan bebek goreng Suroboyoan, maka besok baru ganti menu dengan Itik panggang khas Banjar atau cancangan itik yang citarasa rempahnya sangat menggoda. Seru kan!? 

@kaekaha Awal semua rasa, Mulai dari suapan pertama, kunyahan pertama, gigitan pertama, sampai jadi makanan yang disuka ... Awal semua rasa kita hari ini, datangnya dari lidah mama Karena dari dulu, selera kita itu dari apa yang mama suka Pernah mendengar orang-orang disekitar kita atau mingkin malah saya atau anda sendiri pernah menyebut, "masakan mama atau ibu kita masakan ternikmat di dunia", hingga sanggup menciptakan sebentuk kerinduan yang tidak bisa diganti dengan apapun yang membuat seorang anak rela menmpuh ribuan kilo jarak hanya untuk mengecap kembali olahan masakan dari tangan mamanya? Ternyata, kalimat-kalimat yang tersusun dalam dua bait di ataslah jawaban misterinya! Simak info menarik selengkapnya hanya di @kompasiana.com Bersama @kaekaha #RamadanBercerita2025 #RamadanBercerita2025Hari10 #DiariRamadanKompasiana #EveryStoryMatters #RamadanBercerita #DiariRamadan #Ramadan #MysteryChallenge #kulinerBanjarJawa #KulinerBaja #kaekaha ♬ suara asli - kaekaha

Menariknya, gara-gara deal-dealan dan kompromi-kompromian  ini, isteri saya terpacu untuk giat belajar beragam kuliner Jawa Timuran, hingga sekarang menurut validasi dari ibu saya yang juga mentornya, sudah berada di level mahir. Bahkan menurut ibu saya juga, khusus untuk masakan botok sayur dan geneman sembukan alias olahan daun kentut-kentutan olahan isteri saya sudah lebih enak dan berkarakter dari olahan ibu saya yang notebene adalah gurunya.  

Inilah cara sederhana kami bersenang-senang dengan segala perbedaan yang jelas-jelas tidak mungkin kami hindari. Keniscayaan ini terlalu indah untuk kami ingkari. Alhadulillah dengan memodifikasinya, kami bisa merajutnya menjadi keseruan-keseruan tak terduga yang menambah warna-warni kehidupan keluarga kami semakin semarak dan tentunya membuat kai semakin bahagia. Insha Allah. (BDJ12325) 

 Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di kompasiana pada 12 Maret 2025 jam  22:37 (Kik disini untuk membacanya)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN


 

Selasa, 11 Maret 2025

Masjid Sultan Suriansyah, Monumen Berdirinya Kota Banjarmasin

 

Interior Masjid Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha)

Singgah di Kota Banjarmasin, belum lengkap bila belum mengunjungi satu-satunya saksi tersisa penanda berdirinya Kota Tua Banjarmasin, yaitu Masjid Sultan Suriansyah di daerah Kuin. Monumen berupa kompleks bangungan masjid yang menurut sejarah didirikan Sultan sesaat setelah resmi diangkat menjadi pemimpin di Kesultanan Banjar.

Lokasi situs Masjid Sultan Suriansyah atau juga biasa disebut dengan Masjid Kuin ini dulunya merupakan kawasan kotaraja atau ibu kota Kesultanan Banjar yang dikenal dengan sebutan wilayah Kota Banjar Lama. Untuk menuju kesana relatif mudah, selain karena lokasinya masih di jantung kota, di dalam Kota sendiri banyak papan penunjuk arah untuk menuju lokasi masjid yang terletak di jalan Alalak Utara RT 5, Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin ini.

Masjid Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha)

Ada dua alternatif moda transportasi untuk menuju Masjid Sultan Suriansyah yang lokasinya berdekatan dengan komplek makam keluarga kesultanan di tepian Sungai Kuin ini, yaitu melalui jalur darat atau jalur sungai. 

Untuk jalur sungai, pengunjung bisa memilih menyewa kelotok dari dermaga di siring Kota atau mengikuti paket wisata susur sungai yang menyuguhkan paket mengelilingi Kota melalui jalur sungai yang  salah satu destinasi tujuannya ke Masjid Sultan Suriansyah. Untuk informasi lebih detail bisa juga cek di aplikasi Pegipegi atau kontak langsung customer service Pegipegi via telepon di 0804 1400 777 atau juga bisa via email di cs@pegipegi.com.

Baca juga : Unda-Nyawa, Ini "Lo-Gue" Versi Bahasa Banjar!

Berada di bangunan cagar budaya Masjid Sultan Suriansyah yang dilindungi negara melalui UU No.11 Tahun 2010 ini, kita seperti berada di dalam lorong waktu yang membawa kita kembali ke masa awal berdirinya kesultanan Banjar di abad 16. 

Jika tidak terlihat dan terdengar  lalu lalang mobil, sepeda motor atau juga kelotok yang lewat di jalan raya/sungai depan masjid, maka arsitektur kuno masjid, berikut eksterior dan interior masjid yang dibangun dengan kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri)  ini benar-benar akan menghadirkan suasana Banjarmasin dimasa lampau.

Pintu utama (Foto : @kaekaha)

Kalau diperhatikan dengan seksama, model arsitektur Masjid Sultan Suriansyah mirip sekali dengan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah. Lho kok bisa!? Hal ini terkait dengan sejarah bedirinya Kota Banjarmasin.

Berawal  dari kehadiran Khatib Dayyan, mubaligh yang juga panglima perang Kesultanan Demak utusan Sultan Trenggono yang bertugas untuk membantu Pangeran Samudra mempertahankan diri dari serangan pamannya sendiri, Pangeran Tumanggung dari Kerajaan Daha. 

Berkat kelihaian diplomasi yang dibangun oleh Khatib Dayyan, akhirnya perang saudara antar paman dan keponamakan itu berakhir manis, keduanya berdamai dan akhirnya Pangeran Tumanggung mengakui kedaulatan Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh keponakannya, Pangeran Samudra. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tanggal 24 September 1526 yang akhirnya diabadikan sebagai hari jadi Kota Banjarmasin.

Kaligrafi berpadu motif daun jaruju (Foto : @kaekaha)

Setelah Kerajaan Banjar resmi berdiri dan Pangeran Samudera juga resmi diangkat menjadi raja, maka atas bimbingan Khatib Dayyan, Pangeran Samudera dan seluruh rakyatnya akhirnya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. 

Konsekuensinya, untuk keperluan beribadah sholat 5 waktu berjamaah di lingkungan istana, akhirnya Sultan Suriansyah mendirikan masjid pertama di tanah Kalimantan dengan referensi model, bentuk dan gaya arsitektur dari masjid Agung Demak yang diperkenalkan oleh Khatib Dayyan. Masjid itulah yang sekarang kita kenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Meskipun dibangun dengan referensi dari Masjid Agung Demak, tapi karena adanya perbedaan alam, adat istiadat dan budaya menjadikan arsitektur Masjid Sultan Suriansyah layaknya hasil “perkawinan”  antara budaya Jawa dan Banjar, sehingga di beberapa bagian memunculkan perbedaan yang signifikan dengan induknya, Masjid Agung Demak.

Atap mihrab terpisah dari atap ruang induk (Foto : @kaekaha) 

Beberapa diantaranya adalah, konstruksi panggung dengan hanya satu bangunan utama tanpa pendopo dan atap pada mihrab terpisah dari atap bangunan induk, keberadaan pataka yang tinggi menjulang di puncak meru yang lebih runcing, keberadaan Jamang/Siger di ujung pertemuan atap dan keberadaan pagar susur atau Kandang Rasi yang semuanya terbuat dari kayu ulin.

Meskipun telah mengalami pemugaran beberapa kali, keaslian struktur dasar bangunan masjid yang berdiri di area lahan seluas 30 x 25 meter dengan ukuran 15,5 x 15,7 meter dan tinggi 10 meter ini, masih terjaga sampai sekarang. Begitu juga konstruksi bangunan fisik yang secara keseluruhan terbuat dari kayu ulin  (Eusideroxylon zwageri) atau juga dikenal dengan sebutan kayu besi yang terkenal kuat dan kokoh mulai dari atap (sirap), dinding, pintu, jendela sampai lantai semuanya masih tetap utuh terjaga sampai sekarang.

pagar susur atau Kandang Rasi (Foto @kaekaha)

konstruksi kayu ulin ini, memberi kesan kuat, tua dan kuno atau orang Banjar menyebutnya sebagai bangunan Bahari. Kesan ini secara keseluruhan memperkuat posisi masjid sebagai bangunan terpenting atau bertuah bagi masyarakat di sekitarnya.

Arsitektur Masjid Sultan Suriansyah sebagaimana bangunan-bangunan kuno bersejarah lainnya, juga mempunyai sisi unik berupa simbol-simbol filosofis tertentu pada detil-detil bangunannya. 

Contoh yang paling mudah dilihat adalah jumlah pintu masjid yang totalnya ada 17 buah dan uniknya,
masing-masing pintu itu mempunyai nama sendiri-sendiri, layaknya dua masjid besar di tanah suci, Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Nabawi di Madinah.

Ornamen penghias pada dinding gebyog (Foto : @kaekaha) 

Tentu bukan sebuah kebetulan ketika jumlah pintu tersebut sama dengan jumlah rakaat shalat fardhu. Mungkin, makna lugasnya adalah agar semua rakyat Kesultanan Banjar saat itu, jangan sampai meninggalkan 17 rakaat alias sholat 5 (lima) waktu. Wallahu A'lam Bishawab.

Dibagian dalam Masjid Sultan Suriansyah, interiornya tidak jauh berbeda dengan masjid kebanyakan. Bedanya, dalam mihrab terdapat sebuah mimbar tua peninggalan Sultan Suriansyah yang terbuat dari kayu ulin yang bagian atasnya terdapat ornamen berupa pelengkung/lengkungan berhias kaligrafi arab yang berbunyi "Allah Muhammadarasulullah".

cantiknya ornamen pintu samping (Foto : @kaekaha)

Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri". Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.

Sedangkan di bawah tempat duduk mimbar terdapat undak-undakan atau anak tangga berjumlah 9 yang dihiasi dengan ukiran berupa sulur-suluran, kelopak bunga dan arabes yang distilir. 

Ditengah-tengah langit ruangan masjid, terdapat lampu gantung besar (chandelier) cantik yang berbentuk layaknya sekuntum bunga yang sedang mekar jika dilihat tepat dari bawahnya. Hiasan ini semakin memperkuat kesan klasik pada Masjid yang ruangannya terasa adem ini.

Chandelier cantik dengan latar plafon kayu ulin (Foto @kaekaha)

Dibagian kanan dan kiri mihrab terdapat pintu utama (lawang agung), masing-masing terdapat sebuah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm. 

Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia."

Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)". 

Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759).


Mihrab Sultan dan Lawang Agung berusia 5 abad (Foto : @kaekaha) 

Secara umum, selain motif kaligrafi arab, ragam hias/ornamen yang terpahat di Masjid Sultan Suriansyah didominasi oleh ragam motif ukiran khas Banjar berupa, motif flora (daun jaruju, bunga mawar dan melati, buah manggis, buah waluh dan batang sulur-suluran yang berpilin-pilin), motif fauna (stilisasi buntut ayam jago pada ragam jamang/sigar dan burung enggang pada puraka) dan motif geometris berbentuk mirip kipas  yang didominasi warna hijau dan kuning, ciri khas yang membungkus hampir seluruh ornamen yang menghiasi masjid.

Motif dan warna dominan hijau dan kuning ini menunjukkan kedekatan masyarakat Banjar dengan alam dan lingkungannya. Khusus untuk ornamen motif flora dan motif fauna, distilir dulu sebelum diterapkan menjadi ornamen hias Masjid, hal ini untuk menghindari kemusyrikkan sebab Islam melarang bentuk atau gambar menyerupai makhluk hidup.

Lantai Kayu Ulin (Foto : @kaekaha)

Keunikan lain dari masjid ini adalah keberadaan lantai kayu yang disusun dari batangan-batangan kayu ulin berbentuk persegi  berwarna hitam keabuabuan yang membentuk ornamen estetis yang unik, cantik dan terlihat kinclong dan licin bila diinjak kaki telanjang.  Melihat susunan batang kayunya yang unik, membuat kening siapapun yang melihatnya akan berkerut, betapa cerdas yang membuat pola dan menyusunnya menjadi komposisi yang sangat cantik.

Dermaga Masjid Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha) 

Masjid Sultan Suriansyah merupakan tonggak sejarah sekaligus poros dimulainya penyebaran Islam di Kalsel, bahkan di Kalimantan. Posisi ibu kota Kesultanan Banjar yang di tepian sungai memang sangat strategis menjadi basis dakwah ke pedalaman Kalimantan. 

Untuk mempermudah akses transportasi sungai, di depan Masjid atau di tepian sungai kuin yang dipisahkan oleh jalan raya beraspal terdapat dermaga tua yang dibangun beriringan dengan bangunan utama masjid Sultan. Hanya saja, kondisi dermaga memang sudah mengalami renovasi. Sekarang kondisi dermaga sudah terlihat lebih  modern, karena sudah dilapisi oleh keramik putih.

Jembatan Tua Kayu Ulin (Foto : @kaekaha)

Sedangkan di sisi sebelah kanan masjid, terdapat jembatan kayu ulin yang usianya konon juga setua bangunan Masjid Sultan yang dicat dengan warna dominan hijau dan kuning,  senada dengan warna cat Masjid Sultan dan dermaga tua di sampingnya. Cantik banget pooknya! 

Nah.....! Sebentar lagi libur akhir tahun dan libur tahun baru segera tiba! Pegipegi yuk! Jelajahi tempat wisata keren di Banjarmasin. Nggak usah bingung, pakai aja aplikasi Pegipegi semua beres! Mau cari tiket pesawat ke Banjarmasin, cari hotel atau cari info terkait tempat wisata di Banjarmasin? Semua ada...

Yuk! Kutunggu ya di Banjarmasin...

Artikel ini juga tayang di kompasiana pada 27 Oktober 2018 jam  14:11 (Kik disini untuk membacanya)




Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha)