Masa Muda Metallica | Metallica.com |
Saya benar-benar serius menggemari musik, bahkan pernah berangan-angan ingin hidup dari dunia musik sejak takdir sebagai penyandang "buta warna" akhirnya terungkap saat melakukan daftar ulang di salah satu fakultas berbasis eksakta paling favorit dan paling populer di salah satu Universitas Negeri di Jawa Timur.
Peristiwa itu, sempat membuat saya benar-benar "setengah mati"! Bagaimana tidak, karenanya, cita-cita besar yang saya bangun dan jaga kaonstruksinya sejak saya kecil harus saya relakan lepas dari genggaman, bahkan ketika satu tangan dan kaki saya sudah menggenggam dan menginjaknya.
The show must go on! Beruntung, Allah SWT memberi saya hobi yang akhirnya ikut berperan menjadi salah satu aktifitas yang membantu saya untuk tetap hidup dalam kewarasan sampai saat ini, yaitu bermusik.
Akhirnya, sejak "banting setir" belajar di dunia non eksak atau tepatnya ilmu manajemen, karena semua penyandang "buta warna" yang diterima di fakultas eksak, saat itu "wajib" migrasi ke fakultas non eksakta, kalau masih mau melanjutkan "belajar" di universitas negeri pilihan, "nafsu" bermusik saya semakin menggila.
Beruntung (yang kedua, ya!), di kelas yang awalnya terasa asing (soalnya setiap hari belajar keilmuan yang saya tidak punya dasarnya sama sekali ...he...he...he...) akhirnya saya bertemu dengan "musisi-musisi" hebat yang saat itu sama sekali tidak terendus oleh pencari bakat ha...ha...ha...! Dengan merekalah, akhirnya saya mengaktualisasikan semua gejolak jiwa muda yang saat itu sedang setrong-setrongnya dengan membentuk band.
Skid Row | pinterest.com |
Namanya juga sedang terobsesi dengan gaya-gaya musisi rock dan metal di
era awal 90-an, seperti Guns N' Rosses, Metallica, Megadeth, Poison,
Skid Row, Motley Cruem, Deff Leppard, Bon Jovi dan lain-lain atau kalau
dari Indonesia ada Power Metal, Grass Rock, Whizz Kid, Boomerang dan
sebagainya, kami pun juga tidak ketinggalan untuk melakukan personal branding sebagai rocker.
Rambut
gondrong, celana jins agak belel, kaos hitam dengan gambar-gambar
musisi idola (tapi biasanya, dikamuflasekan dengan hem flanel
kotak-kotak kalau pas jam kuliah, apalagi kalau dosennya killer!) dan
sepatu but merk caterpillar aspal.
Lumayan! Usaha personal
branding ala kami ini ternyata menjadi sarana promosi efektif yang
awalnya sama sekali tidak kami sadari. Kami benar-benar baru
menyadarinya, ketika tiba-tiba, diminta untuk mengisi acara-acara di
kampus, termasuk wawancara dengan wartawan-wartawan media kampus untuk
penerbitan majalah dan tabloid kampus.
Semuanya memang gratis
alias kami tidak mendapatkan materi apa-apa, tapi inilah momen dimana
saya merasakan kembali kelahiran saya di dunia (yang baru!).
Uniknya, saat itu kami mengalami sendiri pergeseran selera musik dunia, hingga kami pernah merasa saltum alias salah kostum!
Tampilan personal branding kami yang berkiblat pada musisi-musisi metal dan hardrock yang diawal 90-an menguasai panggung musik dunia, seperti rambut gondrong, kaos hitam, celana jin belel, sepatu but dan pernak-pernik aksesori pendukung lainnya, tiba-tiba serasa nggak pas lagi dengan musik yang kaim mainkan.
Memang, kami saat itu lebih suka memainkan musik alternatif yang cenderung nge-punk ala-ala Mudhoney yang berisik dan berenergi tapi tetap menawarkan hingar-bingar melodi yang relatif mudah dinikmati.
Mudhoney yang Nggak Ada ngerock-nya! | subpop.com |
Uniknya lagi, meskipun sama-sama memainkan musik keras, tapi "tongkrongan" anak-anak alternatif saat itu sudah berbeda jauh dengan eranya Om-om Metallica atau GN'R.
Mereka rata-rata sudah tidak tampil dengan rambut gondrong lagi, bahkan banyak diantaranya yang tampil dengan gaya rambut "klimis" ala pegawai kantoran, bahkan cepak layaknya tentara.
Tidak hanya itu, mereka juga banyak yang memakai setelan hem berkerah, bahkan juga berlengan panjang dengan kancing tertutup sampai leher, plus celana rapi layaknya anak sekolahan dan tidak ketinggalan sepatu kets yang sama sekali jauh dari kesan sangar apalagi formal. Pokoknya unik banget!?
Selain branding dari sisi kostum atau pakaian, kami juga biasa mem-branding referensi musik kami dengan musik-musik alternatif yang saat itu mulai benar-benar menyerbu blantika musik Indonesia. Selain mulai banyak project dari major label yang berusaha menjual kompilasi band-band alternatif lokal, saat itu berbagai festival band, terutama yang di kampus-kampus, sebagian besar juga mengusung tematik rock alternatif.
Green Day | altpress.com |
Selain berusaha mendapatkan materi langsung album-album band alternatif dari negeri asalnya, kami juga terus mengeksplor sekaligus memperkaya harmoni sound-sound unik dan kreatif, roh dari musik rock alternatif .
Tidak heran jika kemudian dalam musik alternatif, muncul sound-sound yang tidak hanya unik dan kreatif semata, tapi terkadang juga aneh dan tidak lazim dalam berbagai komposisi lagu-lagunya.
Dari sinilah, secara tak terduga akhirnya kami bisa mengetahui "rahasia dapur" yang bisa dibilang paling rahasia yang menjadi salah satu instrumen influencer sekaligus sumber kreatifitas masing-masing teman personil band kami dan yang paling menarik,.
Bahkan, membuat kami sediki shock adalah ketika kami akhirnya mengetahui kalau gitaris kami yang tampilannya paling ngerock diantara kami, ternyata penggemar berat band-band pop semacam Kahitna dan Kla Project.
Luar biasanya, level sebagai "penggemar berat"-nya juga dilengkapi
dengan penguasaannya dalam memainkan melodi lagu-lagu dari dua grup band
yang termasuk legend di Indonesia tersebut, plus koleksi lengkap
kaset-kaset albumnya yang tersusun rapi diantara barisan kaset band-band
rock dan metal dalam dan luar negeri koleksinya.
Jujur, fakta
ini awalnya membuat kami (terutama saya!), benar-benar bingung lho! Kok
bisa penggemar berat Kahitna dan Kla Project yang ngepop bisa (menjiwai)
secara sempurna karakter rocker tulen, dengan tampilan yang super
gahar!? Apakah ini salah satu indikator keberhasilan sebuah personal branding?
Setelah berproses, dalam perjalanannya barulah kami (lagi-lagi, terutama saya!), bisa memahami bagaimana masing-masing individu diantara kami bisa mendapatkan referensi bermusiknya secara alami.
Sehingga justeru memperkaya perbendaharaan "sound-sound unik" di kepala dan hati masing-masing yang kelak sangat bermanfaat untuk berkreatifitas sekaligus mengembangkan diri, termasuk didalamnya untuk personal branding musik rock alternatif ala kami.
Termasuk saya sendiri, yang akhirnya juga terdeteksi oleh taman-teman, mempunyai kedekatan influencer bermusik dari beragam alat musik tiup yang sejak kecil memang kebetulan diperkenalkan oleh bapak saya.
Menurut teman-teman, ini terlihat dari cara saya memainkan instrumen drum atau bass yang cenderung "terus bergerak" alias terus berimprovisasi ala memainkan harmonika.
Bahkan sampai sekarang, saya memang benar-benar menikmati permainan David Mann, Kenny G, Dave Koz, Sadao Watanabe dan lain-lain, juga harmoni dari Acid Jazz sampai smooth Jazz yang tentunya bertolak belakang dengan hingar bingar musik yang biasa saya dan kami mainkan dulu.
Bahkan kemudian, saya juga tertarik dengan musik nasyid ala Raihan dan Rabbani, etnomusik ala campursari, sape Dayak dan musik panting khas Banjar! Nah loooo, semakin nggak connect kan? He...he...he...
Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Artikel ini juga diposting di Kompasiana pada 20 Juni 2021 12:43 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar