Selasa, 10 Mei 2022

Perjalanan Banjarmasin-Manado, Serunya Menapaktilasi Bentang "Lebar Nusantara"

 

"Bintik-bintik" Kapal-kapal Tongkang di Muara Sungai Barito Tampak dari Udara | @kaekaha

Bentang Nusantara

Perjalanan udara dengan menggunakan pesawat terbang atau jenis moda transportasi udara lainnya, memang sebuah keniscayaan bagi masyarakat Indonesia yang hidup tersebar di berbagai pulau besar maupun kecil yang totalnya mencapai 17.508, hingga kelak negeri kepulauan yang disatukan oleh lautan ini, juga dikenal sebagai nusantara.

Moda pesawat terbang, memang lebih efektif dan efisien menjadi "jembatan" bagi mobilisasi masyarakat untuk menyeberang, menuju ke berbagai wilayah kepulauan nusantara yang total luasnya mencapai 5.193. 250 km2, dengan sisi panjang  terbentang dari Pulau Benggala, Aceh Besar-Aceh di bagian barat sampai ke Muara Rotasi, Merauke-Papua di bagian timur dan juga sisi lebar dari utara ke selatan atau dari Pulau Rondo di Sabang-Aceh sampai ke Pulau Pamana, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.

Terbang dengan Boeing 737-900 ER Singgah di Bandara Sultan Hasanudin, Makassar | @kaekaha

Jarak sisi panjang nusantara dari titik paling barat di Pulau Benggala sampai ke Muara Rotasi di titik paling timur (berdasar garis bujur) yang mencapai sekitar 5.000-an kilometer, tentu akan memakan waktu tempuh yang sangat lama jika menggunakan moda transportasi selain pesawat udara.

Begitu juga untuk waktu tempuh sisi "lebar nusantara", dari titik terluar paling utara di Pulau Rondo, Aceh sampai ke Pulau Pamana, NTT di selatan (berdasar garis lintang) yang mencapai sekitar 1.800 kilo meter.

Kira-kira bagaimana ya rasanya menapaktilasi sisi panjang nusantara sepanjang 5000 km ataupun sisi lebarnya yang sepanjang 1800-an km?

Memang sih, moda pesawat terbang dari segi biaya atau ongkos jauh lebih mahal jika dibanding dengan moda transportasi lain, semisal kapal dan atau moda transportasi laut lainya untuk bisa menyeberangi lautan menuju daerah-daerah lain di pelosok nusantara, tapi dari segi waktu tempuh tetap saja pesawat terbang masih yang terbaik.

View Sesaat Setelah Meninggalkan Bandara Sultan Hasanudin, Makassar. Cantik ya!? | @kaekaha


Untuk itulah, distribusi barang dan beragam komoditas bulky lainnya ke seluruh Indonesia, sepertinya menjadikan moda transportasi laut sebagai pilihan wajib dan sebaliknya, moda transportasi udara lebih dominan untuk mobilisasi manusia atau barang-barang tertentu.

Inilah yang mengusik rasa penasaran dan keingintahuan saya sejak dulu, kira-kira bagaimana sensasi rasa menjelajah nusantara, menapaktilasi sisi panjang dan lebar nusantara, baik menggunakan jalur darat, laut maupun udara!?
 

Terlebih lagi, sejak saya menyadari nusantara ini memang luas, sangat kaya raya dan mempunyai beragam keragaman yang sangat beragam (... nah lho!). Dari sinilah, sejak saat itu lahir sebuah klangenan menjelajahi nusantara, suatu saat nanti! Termasuk menapaktilasi  sisi panjang dan lebar nusantara, baik menggunakan jalur darat, laut maupun udara, sambil "menikmati" beragam keragaman yang ada di dalamnya!


Sesaat Sebelum Landing di Bandara Syamsoedin Noor, Banjarmasin di Banjarbaru. Cantik juga ya!? | @kaekaha


Beruntung dan Gayung yang Bersambut!

Pepatah Jawa madhep manteb ati karep  yang kurang lebih bisa dimaknai sebagai kesungguhan atau keseriusan, Insha Allah akan mempertemukannya dengan hal baik yang salah satunya adalah kesuksesan atau keberhasilan, sepertinya cukup relevan dengan tekad saya untuk keliling Indonesia atau paling tidak terus berusaha menjelajahi daerah baru di nusantara dan bagaimana semesta mendukungnya serta bagaimana Allah SWT mengabulkannya.

Gayung-pun bersambut! Sejak aktif menulis di berbagai media dan platform, terlebih lagi di Kompasiana, sedikit demi sedikit jalan untuk menjelajahi nusantara mulai menemui titik terang. Walaupun kelilingnya dengan sistim nyicil dan tidak benar-benar "keliling" ya! He...he...he...kalau keliling-keliling beneran bisa pusing yak!

Alhamdulillah, kalau di total-total sudah lebih dari  sepuluhan kali  saya menjelajahi (ada juga sih yang lebih tepat disebut megunjungi saja ...he...he...he...)  daerah-daerah di Indonesia tanpa biaya alias gratis dari hasil menulis. Menariknya, separuh diantaranya dari Kompasiana lho! Terima kasih ya  Kompasiana...

Teraktual adalah perjalanan saya beberapa hari yang lalu ke Destinasi Super Prioritas (DSP) Likupang di Minahasa Utara, Sulawesi Utara untuk menghadiri acara International Conference : Likupang-North Sulawesi, Discover The Hidden Paradise pada 7-11 Maret 2022, sekaligus mengeksplorasi hampir semua kekayaan potensi pariwisata di Likupang yang luar biasa cantik! Hasil kerja sama Kompasiana dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.



Pembicara dan Materi International Conference : Likupang-North Sulawesi, Discover The Hidden Paradise | Kemenparekraf.ri

He...he...he...Banyak sekali lho, sisi unik dan menarik dari perjalanan saya ke Likupang-Minahasa Utara via Manado ini. Perjalanan udara dalam negeri ala "estafet" ini, selain menjadi yang terlama dan terjauh yang pernah saya lakukan, juga melibatkan bandar udara terbanyak dalam sekali jalan, yaitu 4 (empat) bandara sekaligus yang juga mengharuskan saya transit di dua tempat.

Tahukah anda, kalau tiga dari empat bandara di empat kota dan propinsi berbeda tersebut, ternyata secara administratif tidak terletak di kota yang sejauh ini identik sebagai lokasi bandara tersebut ... dan ini yang menurut saya paling keren! Ternyata oh ternyata, perjalanan udara saya dari Banjarmasin ke Likupang ini total jaraknya telah melebihi total jarak dari sisi lebar nusantara lho!

Walaupun secara faktual tidak melakukan perjalanan napak tilas dari titik paling utara Indonesia di Pulau Rondo-Aceh ke Pulau Pamana, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur di bagian selatan atau sebaliknya yang bentang jaraknya berdasarkan garis lintang adalah sekitar 1.800 kilo meter, tapi secara faktual saya juga melakukan perjalanan parsial dari tengah ke selatan, lanjut ke utara dengan total jarak lebih dari 2.000 km dan itu artinya perjalanan saya telah melebihi bentang jarak sisi lebar nusantara.

Alhamdulillah, tentu saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan, sekaligus pengalaman yang menurut ukuran saya, termasuk luar biasa ini. Diperjalankan-Nya saya dalam perjalanan bersejarah ini, jelas semakin meyakinkan saya akan "besarnya" nusantara, berikut segala ke-bhinneka-an yang ada didalamnya dan yang tidak kalah penting, fakta bagaimana kita semua memang berusaha menjaganya tetap tunggal ika.

Yuk intip keseruan saya menapaktilasi bentang "lebar" nusantara! Meskipun baru menemukan secuil keragaman faktual nusantara, mudah-mudahan memicu semangat anda semua untuk ikut menjelajahi panjang dan lebar nusantara lebih serius dan lebih intens lagi! Semoga...

Salah satu sudut Bandara Syamsoedin Noor | @kaekaha

Bertemu Orang "Jaton"

Hujan deras disertai dengan angin yang cukup kencang, mengguyur Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas, melepas kepergian saya dari rumah menuju Bandar Udara Internasional Syamsudin Noor Banjarmasin di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, sesaat setelah shalat Subuh berjamaah di Masjid bubar, pada Senin pagi (7/3).

Beruntung, sesampai di terminal baru Bandara yang baru diresmikan dua tahun silam tersebut, hujan mulai reda walaupun masih meninggalkan sebagian mendung hitam di atas langit Kota Idaman, Banjarbaru yang beberapa hari lalu juga baru saja menerima mandat sebagai Ibu Kota baru Propinsi Kalimantan Selatan, menggantikan Kota Banjarmain.

Di pintu masuk, saya bertemu dengan 3 orang "teman baru" yang juga akan terbang menuju Manado. Ternyata, ketiganya yang berasal dari Kota Manado, Pulau Talaud dan dari Bolaang Mongondow ini, juga baru saling kenal di bandara. Masing-masing mengaku bekerja di pertambangan Nikel dan batubara yang berbeda-beda, di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.  

Menariknya, setelah berkenalan, betapa excited-nya saya, ternyata teman baru dari Bolaang Mongondow ini masih keturunan Jaton alias Jawa Tondano yang moyangnya telah terdiaspora ke Bolaang Mongondow. Bahkan namanyapun sangat njawani lho, Suratno. Tapi uniknya, tetap saja terbata-bata ketika saya ajak ngobrol pakai bahasa Jawa.

Sayangnya, saya lupa nama marga Jaton dari Mas Suratno yang seingat saya juga terdengar sangat njawani yang tentunya tidak sekedar sebagai pengingat trah-nya, sebagai pewaris darah para pejuang sekaligus darah Jawa sebagai pengikat kekerabatan dengan leluhurnya semata, tapi juga sebagai bukti adanya komunikasi, akulturasi, sampai toleransi faktual antar masyarakat di nusantara.

Dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung, sebuah ungkapan toleransi yang berkeadlian. Toleransi yang tidak melebihi kewajiban dan tidak mengurangi haknya masing-masing sebagai anak bangsa.


Membincang orang Jaton tentu segaris dengan menyebut entitas Jawa gambut  di Kalimantan Selatan dan Tengah, Pujakesuma di Sumatera atau Jamer alias Jawa Merauke di Papua atau komunitas  hasil silang budaya lainnya di seluruh pelosok nusantara yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Iniah Indonesia!  

Sayangnya lagi, obrolan kami terputus setelah kami mendapatkan tempat duduk berjauhan saat di pesawat yang akan mengantar kami ke Bandara Juanda Surabaya. Sayang sekali ya, padahal saya sudah antusias dan ingin sekali menggali informasi tentang semua seluk beluk Jaton langsung dari sumbernya. Semoga ada sumur diladang ya Mas Ratno, biar kita bisa numpang mandi...


Aktifitas Bandara Juanda | @kaekaha





Arai dan Masker Warna Hijau

Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo merupakan bandara yang paling sering terlibat dalam perjalanan udara saya, jadi kalau transit di Juanda, selalu serasa pulang kampung saja. Homy banget!

Maklum, orang Jawa Timur! Meskipun telah dua dekade menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Tapi tetap saja, catatan Bandara juanda sebagai bandara pertama kali tempat saya naik pesawat terbang, hingga berikutnya hampir tiap tahun selalu mudik melalui bandara komersil yang selokasi dengan pangkalan militer Angkatan Laut ini.
 

Oya, ada kisah dramatis dan nggemesi lho, saat saya transit di Juanda kali ini. Disini, saya janjian ketemu sama Arai, teman baru" lagi, kompasianer dari Kota Apel, Malang yang juga akan ikut terbang ke Manado.

Kami memang sudah berkomunikasi sejak sehari sebelumnya dan janjian ketemu di sekitar gate 13 atau di sekitar Bakso Pak Djo.
Sayang, meskipun tidak begitu banyak orang yang duduk-duduk di sekitar gate 13, ternyata kok ya tidak mudah menemukan Arai dengan ciri-ciri yang sebelumnya telah dirincinya via WA, baju hitam, rambut dikuncir dengan kuncir hijau dan pakai masker hijau.

Setelah muter-muter dan beberapa kali memutar-mutar badan sambil menyapukan pandangan ke seluruh penjuru area gate 13, tapi tetap saja tidak menemukan sosok Arai. Soalnya yang bajunga hitam ada beberapa, sedangkan yang maskeran hijau sama kuncir rambut hijau nggak ada satupun yang kulihat.

Akhirnya saya suruh Arai berdiri. Walaaaaah ternyata dia ada di depan saya agak nyerong kekanan sedikit. "Lho Rai... lha kuncir sama maskermu kan putih, kok katamu ijo?"  Protes saya sama Arai. Sementara Arai-nya senyum-senyum kebingungan...

Nah... ternyata  disini mis-nya! Saya lupa bilang kalau saya buta warna parsial yang kebetulan jatuh di warna-warna hijau dan turunannya. Jadi kalau melihat warna hijau yang bukan warna dominan, seperti hijaunya daun, apalagi di dalam ruangan yang minim cahaya matahari, maka saya tidak akan bisa mendeteksinya...nah lho!

Oya, jika anda ingin berbagi kisah, curhat atau sekedar ingin tahu tentang buta warna, apalagi ada pengalaman buruk di masa lalu, bolehlah hubungi saya via media "percakapan" Kompasiana atau bisa juga melalui email yang ada di biofile  akun Kompasiana saya ya.

 
 
Mushalla di Ruang Tunggu

Cuaca sedang kurang baik ketika pesawat yang membawa kami dari Surabaya sebentar lagi landing  di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar di Maros. Tapi meskipun begitu, pesawat tetap bisa mendarat dengan mulus di landasan yang terlihat basah oleh air hujan.

Kami tiba dan transit di Makassar selepas memasuki waktu shalat Dhuhur.  Setelah melewati semua prosedur transit, semua penumpang "jurusan" Manado langsung mengarah ke gate 1, pintu menuju garbarata paling ujung dan disinilah surprise luar biasa yang benar-benar sanggup menenangkan jiwa itu saya temukan. Apa itu?

Entah saya yang dolane kurang adoh (mainnya kurang jauh) atau memang hanya ada di Bandara Sultan Hasanuddin saja, ada mushalla atau masjid dalam versi yang sedikit lebih kecil benar-benar dibangun dengan desain layaknya masjid, lengkap dengan interior dan eksterior berornamen Islami yang letaknya hanya sepelemparan batu dari gate 1.

Sehingga, selain dari jauh mudah dilihat dan dikenali sebagai tempat untuk shalat, semua penumpang yang waktunya tidak mepet dan ingin melaksanakan shalat bisa dengan mudah, tenang dan aman untuk mendirikannya.


Pesawat yang Membawa Kami ke Manado dengan Latar Alam yang Mempesona | @kaekaha


Manado, Kami Dataaaaaaang!

Alhamdulillah, setelah hampir mendekati separuh hari melakukan perjalanan dari titik awal di Kota Banjarmasin, akhirnya saya dan tentunya juga Arai, landing juga di Kota Manado, sesaat sebelum sang surya benar-benar sampai di peraduannya.

Setelah beberapa ratus meter keluar dari pintu pesawat, tidak jauh dari area pengambilan bagasi yang juga tidak terlalu jauh dari pintu keluar, kami langsung diminta untuk melakukan tes swab antigen yang pastinya harus antri lumayan panjang, karena jadwal kedatangan kami di Bandara Sam Ratulangi tidak sendirian, tapi hampir berbarengan dengan beberapa penerbangan lainnya.

Alhamdulillah! Hasil tes swab antigen saya dan Arai ternyata negatif. Padahal awalnya sempat ketar-ketir juga, karena sepertinya ada yang hasil tes swab-nya negatif lho...

Negatif, hasil swab antigen di Manado | @kaekaha

Karena kedatangan saya dan Arai sudah ditunggu-tunggu oleh panitia dan juga rekan kompasianer lain yang lebih dulu sampai, karena agenda sore ini ternyata langsung "tancap gas" menuju ke Tomohon, makanya kami langsung bergegas menuju pintu keluar untuk segera bertemu dengan orang-orang hebat dan luar biasa dari beberapa kota di Indonesia.

Tapi...

Kenapa teman-teman kompasianer yang sudah menunggu kami di dalam mobil hanya ber-enam saja, ber-delapan dengan kami!? Bukankah seharusnya ada delapan, bersepuluh dengan kami!?

Bukankan Saya dan Arai, kloter terakhir yang seharusnya mendarat di Manado!?

Terus, siapa dua kompasianer lagi yang belum hadir atau malah memang nggak jadi berangkat ke Manado? Melewatkan Likupang "the hidden paradise"?

Hayoooo penasaran yaaaa!?

Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 29 Maret 2022  jam  06:40 WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar