Senin, 27 Februari 2023

Cerita Ibu Tentang Kisah Bapak dengan Pakaian "Mahalnya"

Pakaian-pakaian Mahal | @kaekaha

"Jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan?"

Quote kalimat bijak diatas tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita, betul? Tapi, sepertinya banyak diantara kita yang tidak menyadari jika kalimat diatas, terlahir ke dunia dengan sukses justeru karena merespon tingkah kita yang cenderung selalu mati gaya, hingga hilang rasa (bijaksana) ketika harus berhadapan dengan orang lain yang menurut persepsi kita sendiri punya sesuatu yang (serba) "lebih" dari yang kita punya!?

Hayooooo...! Iya apa iya?

Its OK! Jangankan kita, faktanya  seorang Jack Ma saja, milyuner pendiri "raksasa" e-commerce asal negeri Tirai Bambu, Alibaba Grup juga pernah mengakui situasi sulit tersebut dan mengabadikannya melalui sebaris kalimat  (motivasi) asyik nan unik yang sepertinya akan terus aktual sampai kapanpun meski sedikit nyelekit ya he...he...he...


Baca Juga :  Dahsyatnya Pesugihan "Gulo Abang" Mbah Marni
 

"Kalau kamu tidak punya uang, kata-kata motivasimu akan terdengar seperti kentut. Tapi, kalau kamu memiliki banyak uang, kentutmupun bisa memotivasi orang".

Kenapa Jack Ma?

Kita semua juga tahu, bagaimana latar belakang faktual kehidupan  bos Alibaba Grup yang terlahir dari keluarga miskin nan papa ini. Kisah suksesnya membangun semua bisnisnya benar-benar dari bawah- dari nol, sarat dengan kisi-kisi sukses yang menginspirasi masyarakat dunia, .

Itu artinya,  quote kalimat "nyelekit-nya" di atas bukan sekedar gimmick semata, bukan sekedar saduran olah kata  dari para pujangga peracik kata, tapi memang original! Hasil kristalisasi dari sebuah proses perjalanan panjangnya mengarungi  kehidupan. Bagaimana menurutmu?


Kisah Kami!

Keluarga besar kami, khususnya dari jalur bapak, lebih banyak tinggal di komplek-komplek perumahan pabrik gula peninggalan Belanda yang sebagian besar dibangun  pada abad ke-19 di berbagai daerah di Indonesia, terutama di seputaran kawasan ex-karesidenan Madiun, Jawa Timur yang kelak dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan.

Sudah menjadi rahasia umum, pada masa kejayaannya di era 1980-an sampai pertengahan 1990-an, ada semacam stereotip atau anggapan unik terhadap penghuni komplek yang berkembang di masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar komplek perumahan pabrik gula yang dulunya juga menjadi tempat tinggal para ekspatriat yang konon sebagian besar juga dari Belanda tersebut.

Entah bagaimana dan dari mana asal muasalnya, masyarakat memberi label penghuni komplek yang  memang hanya diperuntukkan bagi karyawan di level middle sampai top  management tersebut sebagai golongan masyarakat high class yang super tajir. 

Uniknya, sebagai salah satu penghuni "sejak dini",  saya justeru sama sekali tidak menyadari situasi ini, sampai suatu hari di usia menjelang remaja saya, ada kejadian unik sekaligus mengharukan di rumah kami yang menurut saya relevan dengan kalimat "nyelekit" Jack Ma diatas dengan realitas kehidupan kita.

Ini Kisahnya!

Pada suatu pagi menjelang lebaran di awal 90-an, Yu Sumi, rewang atau ART di rumah tiba-tiba menangis kejer. Usut punya usut, ternyata Yu Sumi menemukan jam tangan bapak terendam dalam bak cucian baju bersama beberapa pakaian lainnya. Yu  Sumi yang  merasa teledor tidak memeriksa secara teliti semua pakaian yang akan direndamnya, sangat khawatir harus mengganti jam tangan bapak  yang menurut perkiraan beliau pasti sangat mahal, mana situasinya mau lebaran pula!

Demi mendapati Yu Sumi yang nampak begitu bersedih, akhirnya ibu menjelaskan kepada Yu Sumi kalau harga jam tangan bapak tidak semahal yang Yu Sumi kira dan yang terpenting, ibu juga menyebut, Yu Sumi tidak perlu mengganti jam tangan bapak , tapi kedepannya memang wajib lebih berhati-hati  lagi ketika tengah beraktivitas.

Menurut ibu, untuk urusan "pakaian", termasuk  jam tangan dan pernak -pernik lainnya yang bersifat aksesoris, bapak mempunyai prinsip unik dan menarik yang konon, bapak adopsi dari pengalaman saat beliau menjadi "pelaut" alias awak kapal dagang yang berlayar sampai ke sejumlah pedalaman pulau kalimantan, jauh sebelum bapak memutuskan untuk mengikuti jejak kakek, berkarir di industri gula.

Karena tertarik cerita ibu tentang kisah  bapak dengan pakaian-pakaiannya tersebut, saya yang tadinya hanya penasaran dengan suara tangis Yu Sumi yang nggak biasanya, jadi ikut duduk di samping ibu yang sedang menenangkan Yu Sumi.

Masih menurut ibu, dulu saat masih muda bapak juga suka dengan barang-barang branded, baik dari hasil membeli sendiri di kota-kota pelabuhan saat kapal sandar, maupun hasil barter ataupun pemberian dari para kolega. Uniknya,  semua berubah setelah beberapa kali bapak harus mengalami kejadian unik yang kelak benar-benar merubah pola pikir beliau, terkait aksesoris yang biasa kita kenal sebagai "pakaian".

Kehidupan sebagai awak kapal dagang pada era awal 70-an yang lebih banyak berlayar ke pedalaman Pulau Kalimantan via jalur sungai, menjadikan orang-orang seperti bapak layaknya manusia kelas pekerja lainnya yang lebih sering dilihat sebagai masyarakat kelas dua atau bahkan kelas tiga baik secara ekonomi maupun sosial.

Menurut bapak, seperti yang di ceritakan ibu kepada kami, pada posisi sosial dan ekonomi saat itu, akan sangat mubazir alias tidak ada manfaatnya jika bapak mengikuti nafsunya hanya untuk show on alias untuk gaya-gayaan, bahkan untuk investasi sekalipun dengan menggunakan "pakaian-pakaian" bermerek yang tentunya juga jauh lebih  mahal.

Karena, tidak ada satupun orang di sekitar beliau yang mengenali barang branded yang dipakainya. Kalaupun beliau "terpaksa" harus mengatakan dengan jujur  tentang barang-branded yang beliau pakai (biasanya pas mau menjualnya), tetap saja orang-orang disekitar mereka tidak akan pernah percaya!

Seperti kisah beliau waktu mau menjual kacamata dan sepatu ORI dari Amrik hadiah dari para kolega  karena perlu uang, tidak ada satupun  keluarga, teman, sahabat, termasuk tetangga kiri kanan yang percaya. Sedih dah pokoknya!

Tidak hanya itu,  "pakaian-pakaian mahal" itu ternyata juga membuat hidup bapak yang relatif nomaden karena harus berlayar menjadi tidak tenang. Bagaimana tidak, kemungkinan pakaian-pakaian itu diminati oleh "si panjang tangan" sangat terbuka! Sementara, bapak juga sadar diri tidak punya banyak stok pakaian.

Sejak momentum itu, bapak lebih memilih gaya hidup baru dengan pakaian-pakaian biasanya. Selain menyesuaikan dengan lingkungan sosial-ekonomi saat itu, bapak juga bisa gonta-ganti pakaian pada waktunya dan yang terpenting bisa hidup lebih tenang tanpa rasa was-was dan prasangka buruk pada "si panjang tangan".

Meskipun begitu, prinsip ini tidak serta-merta menjadikan bapak anti dengan barang-barang bermerek yang original dan tentunya berharga relatif mahal lho ya! Karena untuk "pakaian-pakaian" tertentu, seperti jam tangan dan sepatu yang memang tidak perlu gonta-ganti per-periodenya, beliau selalu lebih memilih yang bermerek dengan alasan lebih berkualitas dan tentunya tahan lama.

Semoga bermanfaat,

Salam matan Kota 1000 Sungai,

Banjarmasin nan Bungas!


Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 28 Oktober Mei 2022  jam  22:34 WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasiana Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



Tidak ada komentar:

Posting Komentar