Sabtu, 25 Juni 2022

Di Jepang Saya Melihat Islam, Tapi Tidak Melihat Muslim!

 

Budaya Bersih, Rapi dan Indah di Jepang | goodfon.com

"Di Jepang Saya Melihat Islam, Tapi Tidak Melihat Muslim!"

Begitulah pernyataan Ustadz Rahman dalam sebuah majelis tausiah dan diskusi ba'da Subuh di salah satu sudut masjid di komplek perumahan kami di Kota 1000  Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Sudah pasti, pernyataan ustad muda yang baru saja menamatkan pendidikan doktoralnya di salah satu universitas terkemuka di negeri matahari terbit itu memantik rasa penasaran sekaligus berhasil mengumpulkan kesadaran kami semua, jamaah Subuh yang tadinya masih ada yang terkantuk-kantuk.

Bahkan menurut sang ustadz, ternyata fakta fenomenal terlihatnya cahaya Islam, tanpa adanya terlihat muslim (baca : umat Islam) tidak hanya ada di Jepang saja, tapi ada di banyak negara yang uniknya justeru bukan negara yang secara tradisional identik atau punya latar belakang Islam.

Artinya bukan tidak mungkin di sebuah kawasan tertentu, bisa negara, propinsi, kabupaten, kecamatan sampai di kampung-kampung  yang jelas terlihat muslimnya, banyak lagi! Tapi Islamnya justeru tidak tampak! Nah lho ...

Shalat di Masjid Jami Banjarmasin | @kaekaha

Islam Tanpa Muslim

Trigger pembuka tausiah dan diskusi pagi dari si ustad diatas, sepertinya terinspirasi dari ungkapan cendekiawan Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905)

"Dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-lslam wa lam ara-al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-'arobi, roaitu al-muslimiin, wa lam aro al-lslam"yang maknanya adalah "Aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam".

Ungkapan Muhammad Abduh diatas didasari pengalamannya selama tinggal di Prancis, negeri sekuler di belahan Eropa yang warganya sangat disiplin, ramah dan humble, juga lingkungannya tampak begitu rapi, bersih dan teratur, sangat berbeda dengan Mesir, tanah kelahirannya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. 

Ternyata, ungkapan si ustad memang bukan isapan jempol semata! Seperti ingin membuktikan ungkapan Muhammad Abduh, Scheherazade. S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University  pada 2010-2014  melakukan penelitian sosial dengan tema "How Islamic are Islamic Countries?" level negara.

Dan hasil penelitiannya benar-benar menunjukkan fakta unik  sekaligus mengejutkan. Dari total 208 negara yang diteliti, ternyata justru negara-negara yang tidak identik dengan Islam yang menempati posisi teratas sebagai negara yang Islami. 

Lantas dimana posisi negara-negara yang secara tradisional identik dan juga mempunyai latar belakang keIslaman yang kuat? Uniknya, sebagian besar negara-negara yang secara tradisonal berlatar belakang Islam, justeru justeru menempati posisi bawah. Sekedar informasi, Arab Saudi di posisi ke-131 dan Indonesia di posisi 140.

 

Umat islam sedang Beribadah Shalat Ied di Jalanan | @kaekaha

Pelajaran dari Indeks Kota Islami

Khusus di Indonesia, Maarif Institut sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada dunia keislaman, keindonesiaan dan kemanuasiaan juga melakukan penelitian yang kurang lebih mirip dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Scheherazade. S Rehman dan Hossein Askari, tapi dengan ruang lingkup penelitian hanya di Indonesia.

Penelitian bertajuk Indeks Kota Islami yang dilakukan pada awal 2016 tersebut, juga menghasilkan sebuah konklusi yang tidak jauh berbeda dari hasil penelitian tim dari The George Washington University diatas, dimana kota-kota dengan indeks Islami teratas justeru bukan kota atau daerah yang secara tradisional identik atau mempunyai kultur keIslaman yang diakui secara umum.

Dan yang paling menarik adalah fakta terpilihnya Kota Denpasar di urutan ke-3 teratas sebagai Kota Islami, meskipun fakta terpilihnya Kota Yogyakarta dan Bandung yang masing-masing menempati posisi pertama dan kedua, juga tidak kalah menarik perhatian.

Seperti kita ketahui, ketiga kota diatas kecuali Denpasar yang memang paling unik, karena mayoritas penduduknya justeru beragama Hindu, mayoritas penduduk Kota Yogyakarta dan Bandung sama-sama beragama Islam, tapi secara umum bukanlah kota yang dikenal identik dengan Islam. Jika Jogja dikenal sebagai kota pariwisata, kota pelajar dan juga pusatnya perdaban budaya Jawa, maka Bandung sebagai kota fashion, musik dan industri.

Memang, temuan data yang termasuk unik sekaligus mengejutkan dalam penelitian ini, sifatnya tetap debatable. Artinya, siapapun yang berkepentingan dan mempunyai kompetensi, tetap bisa menguji sekaligus mengkaji validitas hasil penelitian tersebut.

Bermaaf-maafan Berpelukan | bandbajabarat.com

 

Saatnya Ber-muhasabah

Tapi apapun itu, fakta dibalik ungkapan Muhammad Abduh, hasil penelitian Scheherazade. S Rehman-Hossein Askari dan juga hasil penelitian Maarif Institut yang mempunyai benang merah, jelas sebuah warning, sebuah kode keras untuk umat Islam. Sudah saatnya umat Islam melakukan otokritik sekaligus ber-muhasabah,  introspeksi diri! 

Menurut ustad Rahman, hasil penelitian ini semakin menunjukkan bahwa Islam sebagai way of life sepertinya masih sebatas retorika di lingkungan orang Islam sendiri, sebagian besar dari kita menurut beliau masih memahami Islam sebatas ritus belaka.

Padahal sejak 14 abad yang lalu, menurut beliau Islam sudah hadir sebagai guidance book versi komplit untuk seluruh umat manusia. Melalui Rasulnya Muhammad SAW, sosok manusia paling sempurna yang pernah diciptakan-Nya, sosok yang sarat suri tauladan bagi seluruh umat, Islam diturunkan sebagai  way of life yang komprehensif.
 
Secara gamblang dan detail, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari yang paling umum seperti tematik ibadah, muamallah, dasar-dasar sains sampai hal-hal kecil seperti cara melepas sandal dan urutan memotong kuku sampai adab ketika menemukan uang di jalan.

Memang, kita tidak bisa memastikan darimana asal-muasal budaya disiplin, ramah, humble juga perilaku hidup bersih, rapi dan tentunya etos kerja yang luarbiasa itu bisa melekat di masyarakat Jepang atau Perancis seperti ungkapan Muhammad Abduh diatas, tapi yang jelas Islam telah mengajarkan itu semua sejak ribuan tahun silam dan faktanya, itulah yang menjadi dasar kesuksesan negeri-negeri tersebut menjadi negeri yang maju di segaa bidang.

Umat Islam | @kaekaha

 

Otokritik dan Islam KTP

Menurut Ustad Rahman, otokritik paling relevan dalam menyikapi hasil penelitian-penelitian diatas, muaranya adalah fakta kita yang sedang dalam krisis identitas, karena semakin menjauh dari keteladanan Rasulullah SAW. 

Jangankan meneladani sifat-sifat mulia Rasulullah SAW yang kita kenal, seperti siddiq, amanah, fathanah dan tabligh, sekarang kita justeru merasa asing  atau jangan-jangan malah antipati dengan istilah-istilah bahasa Arab yang maknanya adalah jujur, bisa dipercaya, cerdas dan menyampaikan tersebut. Iya apa iya?

Sekarang kita seperti lupa atau tepatnya melupakan mulianya akhlak Rasulullah yang bersumber dari Alquran, seperti disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, ketika seorang Hisyam bin Amir bertanya kepada Aisyah RA, tentang akhlak Rasulullah yang dijawab beliau "Akhlak Rasulullah adalah Aquran".  Maknanya, sifat-sifat mulia Rasulullah diatas merupakan bagian dari akhlak Alquran.

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. 

(Al Ahzab : 21)

Nah menurut Ustad Rahman, jika kita semakin jauh dari sumber keteladanan yang akhlaknya bersumber dari Alquran tersebut, bisa dipastikan kita juga akan semakin jauh dari Alquran-Alhadis dan itu sama saja dengan semakin jauh dari Islam itu sendiri. Inilah yang akhirnya memunculkan fenomena unik yang sering kita kenal sebagai Islam KTP. 

Bagaimana mungkin kita dekat dengan Alquran-Alhadis dan meneladani Rasulullah, tapi tetap tidak melaksanakan syariat yang dituntunkan beliau. Itu artinya, kita masih tidak jujur, tidak amanah, tidak cerdas dan kalau sudah begitu bagaimana kita mau saling menasihati dalam kebaikan.
 

Padahal sifat jujur, amanah, cerdas dan tanggap saling menasihati dalam kebaikan merupakan modal dasar atau bekal utama untuk menjadi sosok (muslim) dewasa yang berakhlak, bertanggung jawab dan berintegritas. Inilah kuncinya! Inilah yang menjadikan bangsa Jepang, Prerancis atau mungkin Singapura bisa maju pesat dan jauh lebih superior.  Wallahu A'lam Bishawab

Semoga Bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai, 

Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

Ini artikel ke-4 dari total 12 artikel khusus Ramadan 2022 yang terpilih menjadi pemenang utama event Samber THR 2022 di Kompasiana dengan hadiah uang tunai sebesar 3 juta rupiah dan artikel ini tayang di Kompasiana pada 13 April 2022  jam  16:32 WIB (klik disini untuk membaca).

Poster Pengumuman Pemenang | Kompasiana.com

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar