Mudik "Nyepur" Semakin Asyik dengan Literasi Cantik nan Unik Khas Stasiun Madiun! | @kaekaha |
Setiap perjalanan adalah pelajaran yang setiap fragmen-nya selalu meninggalkan catatan arif kehidupan, guru terbaik untuk bekal perjalanan berikutnya, sekaligus kenangan yang akan menjadikan perjalanan penuh warna dan makna.
Serasa Deja Vu dengan "Gelora Cinta Pertama"
Sejak merantau ke Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Jalur mudik alias pulang kampung saya dan keluarga menjadi lebih panjang dan tidak lagi hanya mengandalkan moda transportasi darat saja seperti sebelum-sebelumnya, tapi juga mulai mengudara dan kadang-kadang juga memanfaatkan transportasi laut.
Jika sebelumnya, saat saya harus bertugas hingga menjadi warga pinggiran Kota Pudak, Gresik dan Kota Udang, Sidoarjo saya hanya perlu menuju ke Stasiun Kereta Api Sidoarjo untuk memulai mudik menuju kampung halaman di Kaki Gunung Lawu, begitu juga saat saya masih mbujang dan menetap di Kota Tembakau, Jember dan Kota Apel, Malang untuk tugas belajar, maka sekarang rangkaiannya semakin panjang dan perlu perencanaan yang lebih matang!
Baca Juga Yuk! "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun
Tapi saya enjoy aja kok! Sebagai penikmat jalan-jalan dan juga perjalanan, saya selalu mempunyai angle asyik untuk menikmati setiap perjalanan yang saya lakukan, termasuk di setiap perjalanan mudik ke kampung halaman tiap tahunnya, meskipun tidak harus menjelang lebaran atau Hari Raya Idul Fitri saja.
Terlebih lagi, kalau kalau perjalanan daratnya, menggunakan si ular besi alias kereta api sebagai moda transportasinya. Tahu kenapa?
Stasiun Barat Sebelum di Bangun Ulang. Tampak Latar Belakang Rumah-rumah Penduduk Kampung Kami | @kaekaha |
Setidaknya ada dua alasan aktual dan faktual yang menjadikan saya paling mudah menikmati perjalanan darat dengan menggunakan kereta api, yaitu alasan komunal dan alasan personal.
Bagi saya dan keluarga, bahkan juga masyarakat di kampung halaman saya, bepergian naik kereta api merupakan sebuah keniscayaan! Alasannya sederhana, karena akses transportasi darat paling mudah, murah dan pastinya yang paling familiar di kampung kami ya hanya kereta api saja, bukan yang lainnya!
Penyebabnya, karena keberadaan jalur kereta api Jakarta-Banyuwangi yang membelah kampung kami menjadi dua bagian, utara dan selatan! Plus bangunan stasiun kereta api tua bersejarah yang ada di sisi selatan lajur-lajur rel kereta api sepanjang ribuan kilometer itu.
Baca Juga Yuk! Coba Deh, Setidaknya Sekali Seumur Hidup, Mudiknya Naik Kereta Api!
Seperti yang saya tuliskan dalam artikel Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik, di Kampung kami memang berdiri stasiun kereta api tua dan bersejarah yang sejak awal lebih dikenal dengan nama Stasiun Barat, sebuah nama unik yang diambil dari nama kampung kami.
Tapi, sejak 2019 stasiun kelas 3 yang menjadi "urat nadi" alias akses utama moda transportasi bagi masyarakat di sekitarnya ini resmi berganti nama menjadi Stasiun Magetan yang diadaptasi dari nama kabupaten yang menjadi induk kampung kami.
Inilah alasan komunal saya, keluarga dan juga orang-orang di kampung saya, selalu memilih kereta api, sejauh apapun setiap perjalanan daratnya! Karena menikmati setiap jengkal perjalanan dengan kereta api, selalu menghadirkan sensasi selayaknya "gelora cinta pertama!"
Maklumlah ya, karena memang kereta api inilah "cinta pertama kami". Dialah yang pertama membawa kami kemana-mana untuk mengenal dunia! Kedekatan kami dengan kereta api berikut semua pernak-perniknya pernah saya spil dalam artikel Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya. Silakan klik kalau ingin ikut merasakan vibes-nya.
Lalu Lintas Kereta Api di Stasiun Barat, Magetan, Jawa Timur | @kaekaha |
Mudik "Nyepur" Memang Semakin Asyik!
Sejak merasakan nikmatnya merantau dengan klimaksnya yang sering kita sebut sebagai "mudik" alias pulang kampung di pertengahan dekade 90-an yang diawali karena tugas belajar di Kota Tembakau, Jember dan Kota Apel, Malang dilanjut dengan bekerja di Kota Pudak, Gresik dan Kota Udang, Sidoarjo hingga akhirnya harus melanglang buana ke berbagai pelosok Pulau Kalimantan dan juga nusantara kita, sudah ada puluhan armada kereta api yang pernah mengantar saya melanglang buana.
Mulai dari Kereta Api (kelas ekonomi) Argopuro yang sampai medio 90-an menjadi satu-satunya kereta api yang melayani rute saya, Madiun-Jember dengan harga yang sangat murah, hanya 4000-an saja, sebagai bagian dari rute regulernya Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta-Ketapang, Banyuwangi.
Uniknya, nama KA Argopuro akhirnya harus berganti menjadi KA Sri Tanjung, konon agar tidak rancu dengan kereta api baru dengan nama depan Argo-argo lainnya, seperti Argo Bromo dan Argo Gede yang saat itu diproyeksikan untuk kelas Eksekutif. Dari segi harga dan fasilitas, tentu saja KA Argopuro dan KA Sri Tanjung relatif sebelas-dua belas saja!
Selanjutnya, di akhir era 90-an lahirlah KA Logawa yang melayani penumpang dari Purwokerto menuju Ketapang, Banyuwangi dan sebaliknya. KA Logawa ini menurut saya cukup unik! Karena di awal peluncurannya menyisipkan satu gerbong kelas bisnis tepat diantara lokomotif dan rangkaian gerbong kereta dibelakangnya yang semuanya kelas ekonomi.
Untuk jalur Malang-Madiun, saya biasa nyepur naik KA Matarmaja, itu lo kereta api kelas ekonomi yang asal namanya merupakan akronim dari 4 nama kota yang dilaluinya, yaitu Malang, Blitar, Madiun, dan Jakarta.
Tentu saja, saya tidak akan bisa lupa kenangan indah bersama teman-teman mudik rame-rame dari Jember menuju Madiun dan Malang-Madiun PP alias pergi pulang, berjejalan dengan penumpang lainnya sampai di WC gerbong yang baunya arum jamban, juga godaan pedagang asongan yang menjual beragam makanan dan minuman tradisonal yang selalu menggoda. Duh romansa ngangeni yang kedepannya nggak mungkin lagi berulang!
Perjalanan mudik saya bersama KA Argopuro, KA Sri Tanjung dan juga KA Logawa yang penuh dengan warna-warni kenangan suka dan duka, detailnya pernah saya diskripsikan dalam artikel Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Tahun 90-an dan "Si Angger" dan Khayalan Tingkat Tingginya dalam Romansa Berkereta Api. Silakan klik kalau ingin ikut menikmati keseruannya.
Setelah bekerja sesaat setelah lulus tugas belajar, saya mulai merasakan empuknya kursi kereta api di gerbong-gerbong kelas bisnis dan eksekutif saat melanglang buana, termasuk saat mudik, seperti KA Sancaka, Gajayana, Kartanegara dan beberapa lainnya. Dari sinilah saya bisa merasakan sendiri berlakunya sanepa atau pepatah Jawa yang begitu masyhur, rega nggawa rupa.
Rega nggawa rupa yang secara bebas bisa dimaknai sebagai "harga menentukan kualitas" ini merupakan konsekuensi dari keberadaan kelas-kelas dalam gerbong kereta api. Semakin tinggi kelas dalam gerbong penumpang, tentu saja akan berbanding lurus dengan kualitas layanan dan juga harga yang harus dibayar oleh penumpang.
Sama seperti dengan pengalaman duduk di bangku kelas ekonomi di sepanjang dekade 90-an, pengalaman duduk di gerbong-gerbong kelas "premium" mulai awal 2000-an sampai saat ini juga terus memberikan pengalaman nyepur dengan sensasi asyik dan pastinya dengan angle yang berbeda.
Mudik "Nyepur" Memang Semakin Asyik! | @kaekaha |
Menariknya, dari pengalaman nyepur selama beberapa dekade ini, tanpa saya sadari ternyata saya menjadi saksi sejarah dari proses evolusi dan transformasi kereta api Indonesia yang selayaknya prinsip Kaizen yang progresif dan terukur terus berbenah dan berusaha memperbaiki dan menyempurnakan diri untuk memberikan pelayanan terbaik kepada penumpang.
Jujur, beberapa waktu yang lalu saya benar-benar dibikin tengsin oleh KA Logawa "Economic Stainless Steel New Generation" dengan rangkaian kereta ekonomi premiumnya yang serasa lebih mewah dari kelas eksekutif era 90-an!
Karenanya, ekspektasi saya yang awalnya hanya ingin bernostalgia menikmati aura KA Logawa 90-an dengan menikmati nasi pecel pincuk daun dan minuman es sinom dari pedagang asongan yang biasa naik ke gerbong, langsung saya buang jauh-jauh begitu melihat rangkaian gerbong KA Logawa yang gagah dan modern.
Baca Juga Yuk! Legenda Hantu Lampu dan Kisah "Pak Juril", Hulu Keselamatan Perjalanan Kereta Api
Apalagi ketika memasuki gerbongnya dan melihat penampakan interiornya yang berkesan mewah dan sangat modern dengan pintu geser elektrik, tampilan PIDS (Passenger Information Display System) digital yang canggih dan informatif, juga desain kursi canggih yang bisa diputar dengan sudut sandaran yang juga bisa diatur senyaman mungkin. Sangat bermanfaat! Ada lagi?
Tentu saja, keberadaan stop kontak dan USB charger, juga toilet dengan kelengkapan foot washer, wastafel dan hand dryer yang di KA Logawa era 90-an jelas-jelas tidak pernah kita temukan. Sayonara KA Logawa era 90-an!
Oiya satu lagi! Ini yang paling membuat saya bahagia bisa mudik ke kampung halaman dengan kereta api Logawa terbaru, yaitu keberadaan kereta makan dan tentuya mushala yang bisa dimanfaatkan untuk salat tepat waktu meskipun dalam perjalanan. Alhadulillah (BDJ14525)
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 14 Mei 2025 22:35 (silakan klik disini untuk membaca)
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar