Bus Sungai Pancar Mas II |
Bus Air dan Budaya Sungai
Setiap daerah di Indonesia selalui mempunyai tradisi unik sebagai bentuk adaptasi terhadap spesifikasi alam dan lingkungan yang menjadi tempatnya bertumbuh dan berkembang hingga membudaya menjadi identitas komunal dari entitas budaya yang sedari awal menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari mereka.
Salah satunya yang sangat menarik adalah tradisi dan budaya sungai dan rawa yang masih eksis dan berkembang menjadi identitas masyarakat di Pulau Kalimantan, terutama Suku Banjar.
Salah satu produk budaya sungai dan rawa Urang Banjar yang sangat unik adalah alat transportasi sungai tradisional berukuran cukup besar yang berfungsi sebagai angkutan umum dengan trayek antar kota antar propinsi (AKAP) yang kelak dikenal sebagai bus air atau buas sungai.
Pesisir Sungai Barito yang Sekilas Lebih Mirip Laut Daripada Sungai | @kaekaha |
Sesuai namanya Bus Air, kapal kayu yang beberapa dekade silam pernah merajai jalur transportasi sungai AKAP Banjarmasin (Kalimantan Selatan)-Muara Teweh (Kalimantan Tengah) sejauh 400-an km ini sampai sekarang masih menjadi pilihan transportasi warga, terutama yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Barito.
Baca Juga Yuk! "Basambang" di Rawa-rawa, Bersama Julak Mamutiki Iwak
Sayangnya, karena semakin bagusnya pembangunan infrastruktur darat berupa jalan raya berikut armada bus dengan kemampuan daya jelajah dan daya angkut yang lebih efektif dan efisien (katanya!?) menjangkau kota-kota antar propinsi, dari sekian banyak bus air yang dulu pernah lalu lalang menjadi moda transportasi andalan masyarakat, kini hanya menyisakan satu saja bus air yang masih eksis beroperasi.
nfo Perjalanan Kapal di Beranda Lantai 2 | @kaekaha |
I
Bus Air Pancar Mas II Sang Legenda
Di Kalimantan, ternyata tradisi mudik atau pulang kampung tidak hanya menjadi domain dari angkutan darat dan udara yang selama ini selalu menjadi pengisi berita utama di seputaran cerita mudik di berbagai media, karena di sepanjang alur Sungai Barito yang membentang sejauh hampir 1000 km itu masih ada bus air yang melayani trayek umum antar kota antar propinsi.
Satu-satunya bus air yang sampai sekarang masih aktif menyusuri trayek umum antar kota antar propinsi yang menghubungkan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) dengan berbagai kota di sepanjang jalur pelayaran Sungai Barito, seperti Marabahan (Kab. Barito Kuala), Buntok (Kab. Barito Selatan) sampai ujungnya di Kota Muara Teweh (Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah) adalah KM Pancar Mas II.
Baca Juga Yuk! Coba Deh, Setidaknya Sekali Seumur Hidup, Mudiknya Naik Kereta Api!
Kapal dengan spesifikasi panjang 29 meter, lebar 7,5 meter dan tinggi 7 meter, kapal yang dibangun dengan konstruksi dari kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang legendaris ini, sanggup mengangkut 110 penumpang dan 80 ton barang dalam sekali jalan 2 X 24 Jam menuju hulu atau Muara Teweh dan 1 hari atau 1 x 24 jam plus 1 malam atau 12 jam untuk tujuan sebaliknya atau ke arah hilir/muara di Banjarmasin.
Daya tampung penumpang yang setara 2 bus darat, ditambah daya angkut kapal untuk barang yang setara 4 truk fuso itu, jelas sangat efektif membantu menghapus jejak karbon dari total 6 kendaraan darat dimaksud, seandainya jalan konvoi menuju arah dan tujuan yang sama. Betul?
Di era kejayaan transportasi air di Sungai Barito pada dekade 1970 sapai 1990-an, KM Pancar Mas tidak sendirian berlayar di Sungai Barito, tapi ada beberapa kapal seperjuangan seperti KM. Sumber Barito, KM. Kembang Indah, KM. Barito Agung, KM. Lutfi Arufah dll yang menemani. Sayang armada kapal yang lain lebih dulu pamit dari jalur pelayaran dan lebih memilih untuk memarkir kapalnya dengan berbagi alasan.
View Sungai Barito dari Beranda di Lantai 2 |
"Mudik Hijau" ke Hulu Sungai Barito
Excited! Itulah yang yang saya rasakan ketika sepupu isteri saya mambawai (mengajak;bahasa Banjar) saya bulik kampung alias mudik ke kampung halamannya di Muara Teweh, Kalimantan Tengah sesaat sebelum lebaran beberapa tahun silam melalui jalur Sungai Barito. Bagimana tidak, serasa mimpi saja, akhirnya saya ada alasan untuk bisa naik kapal kayu legendaris Sungai Barito yang tersisa itu.
Apalagi setelah merasakan sendiri bagaimana sensasinya! Jujur, saya sampai merasa kesulitan untuk membedakan trip pelayaran dari Banjarmasin-Muara Teweh ini, berpetualang atau bulik kampung?
Baca Juga Yuk! Masjid Sultan Suriansyah "Mesin Waktu" Menuju Sejarah Berdirinya Kota Banjarmasin
Pastinya, sensasi bulik kampung dengan armada bus air berbahan kayu ulin legendaris dan satu-satunya yang masih tersisa di jalur tradisional Sungai Barito ini "aroma" petualangannya jauh lebih terasa daripada sekedar perjalanan menuju kampung halaman pada umumnya. Jadi benar-benar serasa my trip my adventure.
Berlayar melawan arus menuju hulu Sungai Barito selama full dua hari dua malam dengan KM. Pancar Mas II yang penampakan arsitekturnya lebih mirip rumah kayu yang kental nuansa Banjarnnya itu, seperti sedang mengikuti program liveshow-nya discovery channel atau national geographic dan sejenisnya. Naaah seru kan!?
View dari Jendela Kapal | @kaekaha |
Jalan-jalan ke Muara Teweh, Ibu Kota Kabupaten Barito Utara sebenarnya sudah beberapa kali saya lakukan, bahkan sejak saya masih bekerja di perusahaan consumer goods dulu, hanya saja semuanya menggunakan armada darat dan sesekali armada udara. Nah kalau menggunakan jalur sungai Barito, ya baru sekarang ini!
Sebagai informasi, untuk perjalanan dengan bus darat atau otobus, perjalanan Banjarmasin-Muara Teweh ini memerlukan waktu tempuh paling lama sekitar 15 jam, sedangkan untuk penerbangan Banjarmasin (BDJ) ke Muara Teweh (HMS) memerlukan waktu sekitar 55 menit saja. Jauh banget ya dengan kapal yang sampai 2 hari!?
Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan
Kami memulai petualangan dari Dermaga Banjar Raya, pelabuhan tempat tambat KM. Pancar Mas II yang lokasinya masih di dalam Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas, tidak jauh dari pelabuhan Tri Sakti yang juga sama-sama terletak di tepian Sungai Barito, salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Kalimantan dan juga Indonesia yang sekilas memang lebih terlihat seperti laut daripada sungai.
Selama berlayar dua hari dua malam, kita bisa berinteraksi langsung dengan kearifan budaya sungai khas Urang Banjar "bekerja" mewarnai beragam kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang hingga menjadi pattern sosial budaya masyarakatnya secara umum. Pengalaman tak terlupakan Ini pasti akan ngangeni, bagi saya dan siapapun yang ikut dalam perjalanan luar biasa ini!
Bagian Dalam Lantai 2 Kapal | @kaekaha |
Di sepanjang perjalanan, kami lebih banyak melewati hutan belantara dari pada perkampungan penduduk, tidak heran jika di tempat-tempat tertentu kru kapal ada juga yang sambil maunjun alias mancing ikan dengan cara-cara tradisional yang unik tapi efektif menarik ikan ke kapal!
Selain itu, di sepanjang perjalanan kita serasa berada di dunia lain, karena sinyal smartphone lebih banyak blankspot-nya sehingga kita seperti putus hubungan dengan dunia luar, wajar jika komunikasi seluler menjadi salah satu "barang mewah" dalam perjalanan ini. Tapi hikmahnya, kita jadi sering ngobrol dan bercengkerama dengan banyak orang baru, "keluarga" kita selama di perjalanan selama 2 hari.
Uniknya, kru kapal sudah hafal di titik-titik mana saja sinyal seluler akan muncul berikut kualitas dari masing-masing operatornya yang biasa muncul berbeda-beda di setiap jengkal perjalanan.
Tidak hanya view alam di luar kapal saja yang menggoda, sajian miniatur Indonesia pada proses interaksi "keluarga baru" di dalam kapal, merupakan fragmentasi kehidupan khas nusantara cerminan bhinneka tunggal ika terbaik yang pernah saya lihat secara langsung dengan mata kepala saya sendiri.
Baca Juga Yuk! Menu Baru dan Keluarga Baru, "Insight" Buka Puasa Seru di Pedalaman Kalimantan
Meskipun didominasi oleh Urang Banjar dan masyarakat Suku Dayak Bakumpai yang kebetulan memang identik dengan Urang Banjar, (terlihat dari bahasa dan dialek yang digunakan), ternyata di dalam kapal juga banyak berisi perantau dari Pulau Jawa dan Sumatera. Rata-rata mereka menuju stockpile atau camp tambang Batubara yang ada di sepanjang kiri-kanan sungai di kawasan pedalaman hulu Sungai Barito.
Mudik Seraasa Berpetualang | @kaekaha |
Selain itu, dari obrolan saya dengan beberapa penumpang selama perjalanan, akhirnya saya ketahui ternyata di dalam kapal juga banyak saudara-saudara kita masyarakat suku Dayak dan uniknya, mereka berasal dari sub-suku Dayak yang berbeda-beda, sehingga secara budaya mereka juga berbeda dan ini biasanya paling mudah terdeteksi dari bahasanya.
Uniknya lagi, ternyata perbedaan bahasa ibu di antara beberapa orang dari sub-suku Dayak ini menyebabkan mereka tidak bisa saling berkomunikasi dan ternyata sebagai jalan tengahnya, mereka justeru menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa komunikasi diantara mereka. Ini yang baru saya tahu!
Baca Juga Yuk! Hampers Bakul Purun untuk "Green Ramadan" yang Lebih Berkah
Jadi
menurut mereka, ternyata bahasa Banjar sejak lama menjadi bahasa
pengantar komunikasi sekaligus bahasa persatuan semua sub-suku Dayak
yang bagana (mendiami;bahasa Banjar) di sepanjang DAS
Barito. Pantas saja, di dalam kapal saya lebih sering mendengar
percakapan dalam bahasa Banjar dari pada yang lain, hingga saya mengira
di dalam kapal kebanyakan Urang Banjar dan Urang Dayak Bakumpai yang secara tradisi dan budaya relatif mirip.
Sungguh,
"mudik hijau" menuju hulu Sungai Barito ini memang benar-benar serasa
petualangan yang komplit! Tidak hanya bisa menikmati keindahan alam liar
khas Kalimantan di sepanjang perjalanan saja, tapi juga kearifan lokal
yang menghidupi dan juga tradisi budaya masyarakat Kalimantan yang
saling melengkapi. Terima kasih Kalimantan, terima kasih Indonesia! (BDJ21325)
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 21 Maret 2025 jam 21:26 (silakan klik disini untuk membaca)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar