Jumat, 10 Mei 2024

Nasi Kuning Cempaka dan Misteriusnya Tragedi di Pagi Subuh

Nasi Kuning | @kaekaha

Jalanan Kota 1000 Sungai, kotaku Banjarmasin nan Bungas, masih belum benar-benar "terbangun" ketika ban belakang sepeda motor yang kunaiki tiba-tiba terasa liar dan...

"Ups, miris pulang ucusnya!" Gumamku dalam hati, sambil turun dari kendaraan untuk memeriksa kondisi ban  belakang. Di sisa keremangan pagi, kutemukan ada kepala paku  yang sedikit menyembul keluar di sela-sela motif kambang ban yang nyaris tak lagi tampak karena memang sudah lama mengaspal.

"Walaaaaaah!" Gumamku dalam hati, sambil celingukan kesana kemari bermaksud mencari-cari bala bantuan, siapa tahu ada tukang tambal ban super rajin di sekitar sini yang sudah buka di pagi yang masih setengah buta ini. 

Sambil mencoba mencabut paku yang sepertinya lumayan panjang dan agak berkarat hingga lumayan sulit juga dicabut dengan tangan kosong, aku juga mulai komat-kamit berdoa, mudahan ada orang baik yang mau dan bisa menolongku atau setidaknya bisa memberi solusi. 

Saat itu juga aku berjanji dalam hati, kalau ada orang baik yang menolongku, aku rela memberikan jatah sarapan spesial kesukaanku dan juga keluarga besarku, nasi kuning cempaka yang baru saja kubeli untuk...

Belum selesai aku berandai-andai, eeeeh entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari arah belakang.

"Kenapa pak?"  Sapa seorang ibu-ibu yang sepertinya baru saja pulang dari shalat berjamaah Subuh di masjid, karena selain masih memakai mukena putih yang  baunya lumayan harum, beliau juga membawa bungkusan bubur ayam Banjar, menu kuliner khas dan legendaris yang biasanya dibagikan untuk sarapan pagi khusus bagi jamaah di Masjid Raya, Banjarmasin.

 "Miris bu!" Jawabku sambil menunjuk ke arah ban belakang sepeda motorku.

"Itu, di higa warung katupat Kandangan ada tukang tambal ban, biasanya Bang Amat sungsung buka!" Ujar si ibu sambil menunjuk ke arah deretan bangunan warung  sejauh kira-kira lima ratusan meter dari tempat kami berdiri saat ini.

Mendapat informasi yang sangat berharga disaat  seperti sekarang, jelas membuatu senang bukan kepalang. Karenanya, tanpa menunggu lama, aku langsung pamitan sama sidin untuk langsung menuju ke tukang tambal ban dimaksud dan tidak lupa dengan janjiku,  sebelum berpisah  kutawari sidin nasi kuning cempaka milikku.

"Terimakasih! Kada usah gin, aku juga handak nukar nasi kuning cempaka lauk  ampadal kesukaan anakku. Ini ada jua bubur ayam...", jawab Sidin sambil memberi isyarat untuk pamit dan meninggalkanku.

Begitu sidin menyeberang jalan, aku langsung mahirit kendaraanku menuju ke tempat tukang tambal ban yang ditunjukkan sidin tadi.

"Alhamdulillah...! Lega rasanya, sidin memang sudah buka!" Teriakku dalam hati, ketika aku sampai di depan lapak tukang tambal ban yang sepagi ini sudah buka dan memang terlihat paling terang diantara deretan warung-warung di sebelahnya.

Kulihat seseorang yang sepertinya pemilik lapak tambal ban itu, mungkin beliau Bang Amat seperti yang disebut ibu-ibu yang tadi memberi tahu tempat ini, sedang menata ruang kerjanya dengan masih memakai baju koko lengkap dengan sarung dan songkok unik khas Banjar yang terbuat dari akar jangang.

Beliau tampak khidmat sekali dengan aktifitasnya, mempersiap diri untuk memulai sebuah "dimensi ibadah" yang lain, bekerja menjemput rejeki dari-Nya, sampai sama sekali tidak menyadari kehadiranku di depan lapaknyaSetelah melihatku, sidin langsung tersenyum dan langsung menghampiriku untuk  menyalami, sekaligus mempersilahkanku duduk di bangku kayu di ujung ruangan.

Setelah berganti dengan pakaian kerjanya, cuttle pack berwarna cerah yang terlihat cukup bersih, dengan cekatan sidin langsung, mengatur posisi sepeda motorku dan langsung beraksi mempertontonkan skill   kerja khas tukang tambal ban yang sepertinya cukup berpengalaman, cepat dan akurat. Wiiiih keren ini mah...

Tanpa banyak bicara, tapi tetap saja tersenyum renyah ketika tahu aksinya terus kuperhatikan dengan seksama, menjadikan pekerjaan Sidin sangat efektif dan efisien. 

Sebenarnya, dari penampilan Sidin,  jam buka yang sungsung, penampilan "ruang kerja" berikut lay out penataan perabot dan juga peralatan kerja yang rapi jali, aku meyakini kalau tukang tambal ban di hadapanku ini memang tukang tambal ban yang profesional. Pernah nemu yang begitu gaes?

Ditengah-tengah lamunanku, aku dikejutkan kemunculan anak kecil sekira dua atau tiga tahunan yang menghambur ke arah Bang Amat dengan membawa guling kucel yang sepertinya menjadi partner tidurnya.  Anak kecil yang keluar dari  bilik kecil di belakangku duduk itu langsung memeluk Bang Amat dan sepertinya merengek-rengek minta sesuatu.

"Baaaaah Iham angen mama. Ke rumah mama yu bah, Ilham andak asi uning auk padal...!"

Lamunanku langsung ambyar dan seperti terbius untuk terus mengikuti semua tingah polah si bocah yang sepertinya bernama Ilham tersebut. Terlebih setelah si bocah secara sayup-sayup menyebut nasi kuning cempaka lauk ampadal. Aku baru ingat dengan misi awalku keluar rumah selepas subuh pagi tadi, membeli nasi kuning cempaka, salah satu kuliner legendaris  di kota 1000 Sungai  untuk sarapan kami sekeluarga.

"Anak pian kah ini bang!?  Tanyaku pada Bang Amat,  tapi mungkin karena sedang asyik menenangkan si-kecil, sepertinya Bang Amat tidak begitu mendengar pertanyaanku. 

"Iya sayaaang! Insha Allah setelah ini, kita ke tempat mama dan  terus sarapan nasi kuning cempaka lauk ampadal kesukaan pian!" Hibur Bang Amat kepada si bocah yang sepertinya memang anaknya tersebut, sambil melirik ke arahku.

Tapi anehnya, sekelebatan aku melihat bulir air mata di sudut mata Sidin yang sepertinya sengaja ditahan agar tidak terjatuh. Melihat "drama" di hadapanku, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang telah terjadi di dalam keluarga Bang Amat.

"Ilham guring-lah di kamar, hari masih gelap nak!" Sepertinya Bang Amat agak kewalahan juga menenangkan Ilham. Beruntung, setelah Bang Amat berhasil meyakinkannya untuk segera ke tempat mamanya  setelah pekerjaan selesai, membuat tangis Ilham reda dan mau masuk lagi ke dalam bilik untuk mahadangi pekerjaan abahnya selesai.

Sepeninggal Ilham, Bang Amat terlihat langsung menyeka buliran air mata yang mulai turun membasahi pipinya.

"Memang mama Ilham tinggal dimana Bang?" Tanyaku pelan sambil jongkok di samping Sidin, tapi demi melihat situasi yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja ini, sebenarnya aku ingin menyudahinya dengan mundur untuk kembali duduk ke bangku kayu dan membiarkan drama ini menjadi milik mereka berdua saja.

Tapi...

"Mama Ilham, baru saja meninggal dunia dua hari yang lalu Pak, kasian Ilham Pak, dia sekarang pasti bingung, tidak ada lagi yang menyuapinya sarapan nasi kuning cempaka lauk ampadal kesukaannya". Dengan mata yang berkaca-kaca, Bang Amat akhirnya menceritakan peristiwa mengerikan yang menyebabkan kematian Mama Ilham. Sampai disini aku hanya bisa diam dan benar-benar dibuat terduduk kembali di kursi kayu itu.

"Pagi itu setelah shalat Subuh, Mama Ilham berniat membeli Nasi kuning Cempaka kesukaan mereka sekeluarga, terutama  Ilham yang mempunyai favorit lauk ampadal. Tapi nahas, dalam perjalanan pulang ban belakang sepeda motor yang dinaiki bocor dan saat sidin memeriksa ban, tiba-tiba ada mobil yang melaju tidak terkendali menghantam Sidin hingga terpental beberapa meter dan akhirnya meninggal di tempat".

"TKP kecelakaan hanya beberapa meter saja dari pintu keluar masjid raya yang berjarak sekitar setengah pal alias lima ratusan meter dari sini". Bang Amat menjelasan detail TKP sambil tangannya menunjuk ke arah yang kurang lebih sama dengan lokasiku kebocoran ban tadi.

Karenanya, tiba-tiba aku teringat dengan rangkaian kejadian yang kualami pagi ini. Ibu-ibu bermukena putih misterius itu, kebocoran ban sepeda motorku dan nasi kuning lauk ampadal itu, "kenapa semua seperti ada benang merahnya!?  Astaghfirullah, Jangan-jangan...?" Batinku dalam hati.

"Apakah waktu kecelakaan, Mama Ilham juga  masih memakai mukena putih?" Tanyaku sedikit penasaran kepada Bang Amat.

"Bagaimana bapak bisa tahu?" Tanya Bang Amat kepadaku dengan tampang keheranan penuh tanda tanya, sementara detak jantungku yang semakin kencang setelah mendengar jawaban Bang Amat, membuat keringat dingin tiba membasahi tubuhku. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, Astaghfirullah....

###


Mengenang petugas kebersihan jalan kota yang pagi tadi (5/12-2022) selepas Subuh, menemui ajal setelah tertabrak mobil di depan RRI Banjarmasin. Semoga semua amal ibadahnya diterima Allah SWT dan keluarga yang di tinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan. Amin.


Kosakata Banjar :

ampadal : ampela, rempelo
bulik : pulang
guring : tidur
handak : mau
higa : samping
kambang : bunga
mahadangi : menunggu
mahirit   :  menuntun
miris : bocor
nukar : beli
pian : kamu, anda
pulang : lagi, kembali
sidin :  beliau
sungsung : dini, pagi-pagi, cepat
ucus : ban


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar