Minggu, 01 Oktober 2023

Jar Nini, Kalau Mau Nabung Jangan Nunggu Ada Uang Sisa!



Yuk Nabung.... (Foto : Koleksi Pribadi)

Kalimat petuah diatas sebenarnya saya terjemahkan dari petuah Bahasa Banjar Bahari (Petuah Bahasa Banjar Jaman dulu) yang lengkapnya sebagai berikut "Jar Nini, Kalaunya handak manabung, jangan mahadangi ada uang labihan!" Secara umum terjemahannya kurang lebih sama dengan judul tulisan diatas. 

Intinya kalau mau menabung jangan menunggu ada duit sisa dan ungkapan paninian (Bhs. Banjar ; Nenek) tersebut secara tersirat memberi petunjuk agar kita merencanakannya dari awal bukan menunggu sisa di akhir (periode) dan menurut saya petuah paninian tersebut selaras dengan logika sederhana teori ekonomi makro (tertutup) Keynes Y = C + S dimana Y = Pendapatan (income)seharusnya secara teori ekuivalen dengan C = Konsumsi (consumption)ditambah S = Simpanan (Saving). 

Jadi petuah bahari (Bhs. Banjar ; lama/kuno) paninian diatas masih mempunyai relevansi dengan budaya saat ini, khususnya sebagai metode dasar bagi logika kita untuk menggerakkan alam sadar kita untuk peduli pada perencanaan keuangan (menabung) sejak dari awal atau bisa juga diterjemahkan sejak dari muda, sejak ada uang dan atau sejak masih produktif.

Memang, logika petuah paninian dan rumus keynes diatas sebagai dasar dari pola pikir perencanaan keuangan, relatif sangat sederhana dan menyederhanakan simpul kompleksitas elemen riil perekonomian (dalam keluarga) saat ini, karena fakta dilapangan memang tidak sesederhana itu. Banyaknya faktor yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat urban sekarang ini menuntut kecerdasan sikap, mental dan perilaku efektif guna mendapatkan pola perencanaan keuangan yang lebih dinamis, efektif dan efisien. Tapi setidaknya, seperti yang saya sebutkan diatas, konsep logika petuah paninianyang selaras dengan teori keynes diatas masih mempunyai relevansi sebagai dasar pijakan kita masyarakat urban dalam upaya mengelola keuangan. Sederhananya begini,

Teori Keynes (grafis : kelasx.blogspot.co.id)

Konsep Pendapatan = Konsumsi + Menabung, merupakan sebuah rumusan untuk kondisi ideal, karena faktanya masih banyak masyarakat kita yang polanya Pendapatan = Konsumsi atau tidak bisa menabung. Lantas bagaimana solusinya agar elemen S (menabung) bisa muncul? Menurut saya, orang tidak bisa menabung ada 2 (dua) penyebabnya, yaitu

A. Karena memang benar-benar pendapatannya sangat minim atau dibawah/sama dengan kebutuhan konsumsi.

Cara uji sederhana untuk mengetahui perimbangan antara pendapatan (Y), konsumsi (C) dan tabungan (S) bisa dicoba metode atau sistem amplop, caranya sediakan amplop sebanyak jenis rincian kebutuhan. Beri identitas amplop sesuai nama jenis kebutuhannya. Setelah itu, bagi yang berpenghasilan bulanan, bisa langsung membagi penghasilannya sesuai kebutuhan masing-masing pos/amplop. Hasilnya? Tentu ada tiga kemungkinan kurang, cukup/pas dan lebih. 

B. Karena gaya dan pola hidup tanpa konsep perencanaan keuangan. 

Dari kedua penyebab gagal menabung diatas, tentu membutuhkan cara yang berbeda untuk mendapatkan threatment-nya agar bisa move onuntuk menabung. Berikut logika threatment sederhananya,

Untuk kondisi A :

1. Pada keluarga dengan pola pendapatan ini, yang pertama harus dibenahi adalah mindset atau pola pikir tentang konsep menabung. Ikuti petuah paninian diatas, maksudnya jika kita diposisi ini buang jauh-jauh pola menabung menunggu ada sisa atau kelebihan uang, karena pasti tidak akan pernah mungkin terjadi. Jadi pola pikirnya harus dibalik, kita rencanakan semua  dari awal. Kita desain ulang semuanya dengan mengidentifikasikan prioritas kebutuhan kita. Karena inti keberhasilan kita menabung bukan berapa jumlah yang kita punya, tapi sejauh mana kita cermat dan bijaksana dalam mengdentifikasi prioritas kebutuhan kita. Dengan begitu, berapapun yang kita tabung asal konsisten Insha Allah akan menuntun kita pada pola kehidupan yang lebih teratur, berimbang dan memberi manfaat.

2. Bila mindset sudah bisa dikendalikan dan diajak kompromi, tapi konsep menabung dan tabungan masih belum maksimal teraplikasi. Bisa jadi penghasilan kita memang pas, atau Y = C. Kalau ini yang terjadi, berarti kita harus segera melangkah pada threatment berikutnya. Dari skala prioritas yang sudah kita susun tentu kita bisa melihat pos-pos mana yang mungkin tidak telalu urgentsehingga bisa dikurangi atau justeru di hilangkan. Sehingga alokasi dananya bisa dialihkan sebagian atau seluruhnya untuk simpanan.

Misalkan :

Diantara pos kebutuhan kita ada pos untuk entertaint seperti jalan-jalan atau berlibur, mungkin karena pos ini kurang urgent bisa dikurangi frekuensinya, sehingga anggaran pos-nya bisa dialihkan untuk tabungan.

3. Jika strategi pada point 2 diatas tetap tidak bisa memberikan kontribusi pada elemen S (tabungan) atau ada tapi tidak terlalu signifikan, berarti  harus segera melangkah pada threatment berikutnya, yaitu dengan mencari penghasilan tambahan.

Misalkan :

Di Banjarmasin banyak pencari ikan atau biasa disebut bubuhan paunjunan(Kelompok Pemancing), yang setelah mendapatkan ikan haruan (ikan gabus/kutuk) berbagai ukuran langsung dijual ke pengepul, mungkin polanya harus dirubah. Bila hasil melimpah jangan dijual semua, sebagian di keringkan dan yang masih kecil-kecil bisa dibesarkan dalam keramba. Bagus lagi, jika ikan haruan yang didapat dijual dalam bentuk olahan jadi atau masak, sehingga memberi nilai/harga yang lebih tinggi.

Untuk kondisi B :

Sebenarnya kurang lebih sama diawalnya, mungkin akan berbeda pada threatment lanjutannya. Berikut deskripsinya

1. Pada tahap awal, mindset atau pola pikir tentang konsep hidup, khususnya perencanaan keuangan (menabung) harus di setting ulang. Logika umumnya, sebagai manusia normal, untuk menjalankan sunatullah sebagai manusia tentu kita harus berpikir lebih jauh dari langkah kita sekarang. Kita harus menata dan mempersiapkan masa depan kita dengan perencanaan sebaik mungkin sebagai bagian dari ikhtiar kita. Selebihnya biar Tuhan yang memberikan jalan takdirnya.

Perencanaan keuangan metode amplop (Foto : Koleksi Pribadi)

2. Setelah mindset sudah bisa dikendalikan, coba ikuti petuah paninian diatas dan lanjutkan dengan mengaplikasikan perencanaan keuangan metode amplop seperti diatas, tapi dengan tujuan berbeda. Kalau contoh diatas tujuannya untuk memetakan posisi keuangan kita terhadap berbagai kebutuhan, disini tujuannya lebih kepada mengikuti pola perencanaan di awal atau secara sengaja memang mengalokasikan dana untuk ditabung dari awal, bukan menabung karena ada sisa.     

Kalau metode amplop sudah berjalan secara konsisten dan dalam periode tertentu mulai terlihat ada hasil apalagi hasil yang signifikan, biasanya akan memberikan kepuasan dan biasanya lagi akan memacu untuk lebih efektif dan efisien dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sampai pada tahap ini, lebih bagus lagi jika dana tabungan yang ada dikembangkan lagi melalui berbagai instrument investasi atau bisa juga untuk berwirausaha sesuai dengan minat, keahlian atau kemampuan yang dimiliki.


Tabungan Bank Syariah (Foto ; Koleksi Pribadi)


Pernak-pernik Perencanaan di Era Modern

Menabung, dalam bentuk uang, emas atau barang dan bahan pokok sejatinya sudah menjadi kebiasaan atau budaya masyarakat kita sejak dulu. Salah satu buktinya adalah adanya petuah dari paniniandiatas. Bukti lebih konkrit kita bisa melihat keberadaan lumbung padi di desa-desa yang sampai sekarang masih banyak yang eksis atau juga kotak perhiasan untuk menyimpan emas bagi para saudagar-saudagar jaman dulu dan mungkin yang paling sering kita lihat adalah berbagai bentuk celengan yang sejak kecil tentu sudah akrab dengan kita. Ada yang berbentuk ayam jago, burung, buah-buahan, bahkan ada juga yang berbentuk rumah-rumahan. Celengan jaman dulu selain bentuknya yang unik, bahan pembuatnya juga macam-macam, mulai dari keramik kaolin, tanah liat, seng, plastic sampai kayu atau bambu. Unik ya….!?

Tradisi menabung bahan pokok di lumbung padi (Foto : lps.go.id)

Menabung, merupakan salah satu aplikasi dari perencanaan keuangan yang paling umum di terapkan oleh masyarakat. Untuk secara tradisional, biasanya masyarakat menabung uang dengan memakai media celengan, dibawah kasur, di dalam bumbung tiang rumah dari bamboo dll. Sedangkan untuk cara yang lebih modern, lembaga perbankan merupakan institusi yang paling tepat untuk menabung.

Tapi inilah fakta unik masyaraklat Indonesia! Meskipun budaya menabung pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tradisi turun temurun, tapi uniknya untuk tabungan yang sifatnya formal di lembaga perbankan sepertinya masyarakat masih belum begitu antusias. Terbukti, dari publikasi data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di tahun 2015 dari total hampir 250 juta penduduk Indonesia baru sekitar 60 juta orang yang menjadi nasabah perbankan. Artinya prosentase penduduk Indonesia yang mau menabung di lembaga perbankan baru sekitar 25%.

Memang harus diakui, sejauh ini pemahaman masyarakat terhadap institusi perbankan masih relatif terbatas. Terutama di daerah pedesaan yang minim akses, baik edukasi (pendidikan), transportasi,  teknologi maupun komunikasi. Masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang konsep legalitas, teknis perbankan apalagi perkembangan aplikasi teknologi perbankan yang semakin maju pesat.  

Kebakaran, salah satu resiko menyimpan uang di rumah (Foto : lps.go.id)

Seperti di daerah saya, sampai sekarang masih ada saja seorang juragan itik yang tidak percaya dengan keamanan menyimpan uang di bank. Boleh percaya boleh tidak! Konon menurut keluarganya, uang yang jumlahnya ratusan juta, bahkan bisa jadi sampai milyaran hanya di taruh dalam lemari brankas saja, tanpa memperhitungkan resiko keamanannya, seperti bahaya kebakaran atau perampokan. Sementara di sisi masyarakat yang lain masih muncul berbagai ironi, bank masih dianggap sebagai “rumah uang”, jadi keberadaannya dianggap hanya untuk kalangan beruang (baca : mempunyai uang) saja!

Selain minimnya akses informasi tentang dunia perbankan, penyebab lain rendahnya minat masyarakat menabubg di bank ditengarai karena sebagian besar masyarakat pada dasarnya masih belum memahami konsep menabung ala petuah paniniandiatas. Sebagian besar masyarakat masih menganggap menabung adalah menyimpan uang sisa  atau uang labihan dari biaya kebutuhan hidup dalam periode tertentu.

Disinilah, mungkin tantangan kedepan yang paling nyata bagi perbankan dan berbagai lembaga yang berkaitan dengan produktifitas dunia keuangan seperti OJK dan LPS! Sosialisasi dan edukasi berkelanjutan kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia masih sangat diperlukan.

Logo LPS (grafis : lps.go.id)

Inilah fakta ironi yang harus segera dicarikan solusinya. Masyarakat harus tahu, keberadaan berbagai produk hukum termasuk lembaga yang mengatur dan menjamin sekaligus mengawasi transaksi perbankan di Indonesia, sehingga masyarakat akan lebih terbuka dengan akses dunia perbankan, karena aspek kemanan, legalitas dan kepastian pelaksanaan hak dan kewajiban antara keduanya lebih terjamin.

Salah satu contoh lembaga yang perlu disosialisaikan kepada masyarakat lebih intensif dan berkesinambungan adalah, keberadaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebagai lembaga mandiri yang berdiri berdasar UU No. 24/2004 dengan tugas utama menjamin simpanan nasabah di bank sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.

Infografis tentang LPS (Grafis : lps.go.id)

Masyarakat harus tahu prinsip kerja LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah pada seluruh bank konvensional dan bank syariah yang memiliki izin beroperasi di Indonesia, termasuk di dalamnya bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maksimal sebesar Rp. 2 Miliar/nasabah/bank [pokok simpanan + bunga (bank konvensional) atau bagi hasil (bank syariah)]. Artinya, masyarakat atau nasabah tidak perlu khawatir uang tabungan akan hilang jika kebetulan bank tempat menabung sedang bermasalah atau bahkan berhenti beroperasi, karena LPS akan membayar simpanan tersebut dalam waktu 5 hari setelah simpanan dinyatakan layak bayar  dengan memenuhi tiga persyaratan (3T), yaitu

Syarat simpanan nasabah yang dijamin LPS (grafis : lps.go.id)

  1. Tercatat dalam pembukuan bank.
  2. Tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga yang ditetapkan LPS.
  3. Tidak melakukan tindakan yang merugikan bank, seperti memiliki kredit macet.

Anda sudah tahu?

Mempunyai akses dengan dunia perbankan di jaman sekarang sepertinya buka sebuah kewajiban lagi! Tapi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Selain fungsi utama sebagai lembaga yang akan membantu mengelola perencanaan keuangan masyarakat, baik sebagai individu maupun organisasi/kelompok dalam bentuk tabungan dengan berbagai variasi jenis dan model perencanaan didalamnya, berbagai fitur layanan perbankan seperti jasa transfer/pengiriman uang, fasilitas kredit dan produk-produk lainnya sepertinya akan semakin mempermudah proses kerja dan kinerja kita, termasuk strategi jitu kita untuk merencanakan keuangan dalam menjalani kehidupan yang penuh  dinamika kedepannya. Jadi tunggu apa lagi? Yuk menabung di Bank terbaik pilihan anda!!

 

Semoga bermanfaat!

Salam dari Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 16 Mei 2016  jam  22:08 WIB (klik disini untuk membaca)


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar