Minggu, 19 Juli 2020

Saatnya Mengembalikan Jakarta sebagai Kota Air Terindah

 
Lansekap Kota 1000 Sungai,  Banjarmasin | @kaekaha

Banjarmasin Sister City Jakarta

Antara Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan dan Kota Jakarta di ujung barat Pulau Jawa terbentang jarak lebih dari 900 km, tapi tahukah anda jika diantara keduanya mempunyai kemiripan bahkan keidentikan yang menjadikan keduanya layak bersanding menjadi sister city alias kota kembar.

Seperti layaknya "saudara kembar", usia kedua kota "tua" inipun hanya terpaut 1 (satu) tahun saja. Tanggal 22 Juni 2019 yang lalu Jakarta berulang tahun ke-492, sedangkan Banjarmasin 24 September 2019 berulang tahun ke 493, alias setahun lebih tua.


Sebagai saudara kembar, wajar saja jika keduanya mempunyai hubungan batin yang sangat kuat, begitu pula ketika sampai saat ini Jakarta terus dihantui oleh Banjir dan kelangkaan air tanah, wajar dan tidak ada salahnya jika kemudian Jakarta merasa perlu belajar kepada saudara tuanya Banjarmasin, terkait upayanya menjadi kota ramah air sekaligus kembali kepada takdir alaminya sebagai "kota air".


Sebagai kota yang sama-sama terletak di dataran rendah, Banjarmasin dan Jakarta mempunyai fakta topografis yang sama. 

Sebagian besar ketinggian permukaan wilayah daratan keduanya berada dibawah permukaan air laut dan secara kontinyu terus mengalami penurunan sehingga membentuk kantong-kantong air (ruang biru) di daratan, karenanya Banjarmasin dijuluki sebagai Kota 1000 Sungai, sedang Jakarta kedepannya bisa menjadi Kota 1000 Rawa.

Bedanya, di Banjarmasin kantong-kantong air ini lazim di kenal masyarakat sebagai rawa-rawa, sungai, Anjir, handil, saka, tatah dan lainnya yang sampai sekarang masih bisa kita lihat baik wujud maupun manfaatnya bagi masyarakat Banjar.

Ruang Biru di Banjarmasin dengan Sawah dan Perumahan diatasnya | @kaekaha

Sedangkan di Jakarta, kantong-kantong air yang ada sepertinya tinggal situ dan sungai saja, sedangkan "daerah biru" berupa rawa-rawa sepertinya banyak yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan hanya meninggalkan nama depan " rawa" di depan nama kawasan tersebut, seperti rawa buaya, rawa badak,  rawa bebek, rawa mangun dll.

Uniknya, dua kota kembar yang sama-sama segera menyandang nama "mantan ibu kota" ini ternyata mempunyai catatan sejarah masalah lingkungan yang sama sekali tak sama alias jauh berbeda, khususnya terkait bencana banjir.

Seperti kita ketahui, Prasasti Tugu jejak peninggalan Kerajaan Tarumanegara diabad 5 sudah mengabarkan adanya banjir di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jakarta, begitu juga di jaman pendudukan dan penjajahan belanda di abad 17.
Artinya, banjir merupakan masalah klasik Kota Jakarta yang belum juga ada jalan keluarnya sampai detik ini !

Bagaimana dengan Banjarmasin? 

Ini bedanya! Secara logika Banjarmasin harusnya tidak jauh beda dengan Jakarta, menjadi langganan banjir! Tapi faktanya, sejauh ini tidak ditemukan catatan ataupun fakta sejarah musibah banjir terjadi di Banjarmasin, pun sampai detik ini. 

Kok bisa?

Sepertinya beberapa kearifan lokal masyarakat suku Banjar terkait budaya air inilah jawabannya.
Masyarakat Banjar sebagai penduduk asli Kota Banjarmasin dikenal mempunyai kedekatan budaya yang sangat kuat dengan perairan darat, baik sungai maupun rawa.

Kedekatan  keduanya selama berabad-abad melahirkan budaya unik dan khas yang sekarang kita kenal sebagai budaya sungai, yaitu entitas budaya yang menjadikan lingkungan sungai dan perairan darat lainya sebagai urat nadi kehidupan yang dalam perjalanannya melahirkan tradisi cara/pola hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia di lingkungan perairan darat yang berlaku secara turun temurun.

Bagian dari Budaya Sungai khas Banjarmasin | @kaekaha

Budaya Sungai inilah, kunci utama Kota Banjarmasin yang 24 September 2019 ini akan merayakan hari jadi yang ke-593, sampai setua itu Alhamdulillah tidak pernah tersentuh banjir!

Tidak hanya itu! Budaya sungai juga menjadi katalis utama masyarakat Banjar secara turun-temurun  terus "peduli" untuk melestarikan cirikhas kotanya sebagai kota ramah air dengan terus melahirkan berbagai kearifan lokal berbasis lingkungan sungai dan perairan darat lainnya.
Buktinya?
Meskipun beberapa dekade tetakhir arah pembangunan di banua lebih berorientasi "daratan" yang secara tidak langsung mengajak untuk "memunggungi" sungai, tetap saja tidak bisa membuat masyarakat Kota Banjarmasin sepenuhnya menjadikan sungai sebagai "halaman belakang"
Terbaru, walikota Banjarmasin justeru meluncurkan slogan baru sebagai pentahbisan Kota Banjarmasin sebagai kota air, yaitu Banjarmasin kota sungai terindah (di dunia).

Ironisnya, menurut Yu sing, Arsitek dan pengamat perkotaan dari Studio Akanoma Bandung, justeru rendahnya kepedulian masyarakat Jakarta akan lingkunganya inilah pangkal dari masalah lingkungan di Jakarta.

Banjarmasi Kota Sungai Terindah | @kaekaha


Berikut ini "produk budaya"  turunan  dari budaya sungai khas masyarakat Banjar yang diyakini membantu terbwntuknya ekologi Banjarmasin sebagai kota ramah air dan sekaligus membebaskannya dari bencana banjir,

Satu. Teknologi Kanal khas Banjar

Pada budaya masyarakat Banjar dikenal ada tiga jenis tingkatan saluran air buatan atau kanal, yaitu 
  1. Anjir/Antasan, semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.
  2. Handil/Tatah, semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu.
  3. Saka, merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi. 
Beragam teknologi kanal khas buatan Urang Banjar di atas mempunyai ragam fungsi yang sangat penting bagi masyarakat.
Selain untuk kepentingan irigasi pertanian serta sebagai prasarana transportasi,  kanal-kanal tersebut juga berfungsi sebagai penampung dan penyalur air  pada saat air sungai pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air serta menghindari banjir di kota.
Bahkan beberapa diantaranya juga berfungsi  sebagai "kanal perlindungan" untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi benteng sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas (sekarang Masjid Sabilal Muhtadin).
Menurut Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, kanal berupa  Anjir, Handil dan Saka betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem irigasi orang Banjar.

Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar membuat kanal berbagai ukuran merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan tingkat peradaban yang mereka miliki sebagai bukti nyata keramahan pada alam lingkungannya, dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut.

Sejak ratusan tahun yang lalu Urang Banjar sudah mampu membangun kanal yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan dan alat sangat sederhana yang disebut Sundak, yaitu alat yang terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran lebar 20 cm dan panjang 35 cm.

Ini yang membedakannya dengan kanal-kanal di Jakarta yang dibuat sejak jaman Belanda dengan paradigma lebih untuk "mengeringkan Jakarta" dengan cara mempercepat lalulintas "air bah" kiriman dari hulu menuju laut untuk menghindari banjir yang menurut Yu Sing, sesuatu yang mustahil.

Masyarakat Banjar, sejak dulu  menyadari daerahnya sebagai  kawasan pasang surut dimana daratannya sama tinggi atau bahkan lebih rendah dari permukaan air laut, untuk mencegah meluapnya air karena naiknya debit air sungai kiriman dari hulu, masyarakat Banjar lebih memilih untuk memperluas penampang dan penampung air permukaan dengan cara membuka kanal atau saluran-saluran air buatan berbagai ukuran yang bisa menghubungkan antar sungai, antar kanal, antar rawa atau bahkan antar sungai, kanal dan juga rawa sekaligus.
Cara kerjanya, jika air kiriman dari hulu sungai berlebih maka air tidak serta merta membanjiri Kota, tapi terdistribusi ke berbagai kanal buatan yang juga terhubung dengan kawasan retensi atau resapan, bahkan sampai ke selokan-selokan perumahan.
Begitu juga sebaliknya, jika debit air sungai turun atau surut maka "air lebih" di kanal bisa kembali mengisi sungai.

Teknologi kanal ala urang Banjar ini diyakini lebih efektif mencegah banjir, daripada kanal yang difungsikan sebagai "jalan tol" untuk membuang air bah ke laut yang secara logika jelas mustahil untuk daerah pasang surut seperti Banjarmasin dan jakarta.

Paradigma teori ini sesuai dengan yang dilakukan Jepang, khususnya saat membangun Stadion Yokohama yang dilengkapi dengan sistem multipurpose retarding basin bagi Sungai Tsurumi.

Tampak Belakang Rumah Panggung di Banjarmasin | @kaekaha

Dua, Rumah Panggung

Berbeda dengan rumah panggung di daerah pedalaman Kalimantan lainnya yang biasanya untuk mengantisipasi serangan binatang buas, maka rumah panggung di Kota Banjarmasin dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi daerah resapan meskipum pemukiman warga terus menjamur dan menutup sebagian besar "ruang biru" yang tersebar di seluruh penjuru kota Banjarmasin.
Kalau anda pernah ke Banjarmasin dan melihat deretan ruko atau rumah-rumah berarsitektur modern dengan halaman semen atau material padat lainnya di kiri-kanan jalan,  jangan salah! Semua bangunan itu sebenarnya rumah panggung
Kalau tampak depan, biasanya bangunan-bangunan itu mirip layaknya bangunan di tanah keras biasa seperti di Pulau Jawa, karena bagian depan/halaman memang diperbolehkan diurug tapi tidak untuk bagian belakang. Jadi kalau melihat tampak belakang, baru kelihatan cirikhas bangunan rawa berupa rumah panggung dengan kaki-kaki terbuat dari kayu ulin atau beton.

Untuk mengawal dari sisi legalitas kearifan lokal khas masyarakat Banjar yang satu ini, Pemerintah Kota Banjarmasin juga membuat payung hukum berupa  Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 14 tahun 2009 tentang Bangunan Panggung. 

Harapannya, dengan adanya payung hukum ini, kelestarian budaya sungai dan perairan darat berikut berbagai kearifan lokal khas banua ini tidak hanya menjadi milik serta tanggung jawab suku Banjar semata, tapi menjadi milik serta tanggung jawab semua warga Kota Banjarmasin yang realitanya memang seperti miniatur nusantara.

Untuk Jakartaku, Jakarta kita! Memang tidak mudah  untuk kembali menjadi Kota yang ramah air, tapi semua masih mungkin! 
Semua harus bergandeng tangan, bahu-membahu, bersama-sama menjadikan Jakarta sebagai Kota Air Terindah di dunia! Mau...?
Selain terus belajar dengan saudara tua Banjarmasin, Jakarta harus aktif bergerak dan kreatif  berinovasi  menambah atau setidaknya mengoptimalkan penampang "ruang biru" yang ada, selain itu menurut  Yu Sing ada beberapa hal yang dari sekarang bisa dikerjakan Jakarta,
  1. Normalisasi sungai dari sampah dan juga betonisasi yang menyebabkan hilangnya vegetasi tepian sungai, sehingga menyebabkan langkanya air tanah dan penurunan permukaan tanah.
  2. Menambah dan merenovasi RTH denggan konsep rain garden, taman didesain memiliki porositas yang tinggi dengan ketinggian lebih rendah dari jalan agar bisa menyerap air sebanyak mungkin, baru lebihnya dialirkan ke sungai. Selain bisa mengisi kekosongan air tanah, strategi ini juga bisa meminimalisir sedimentasi sungai.
  3. Menambah Biopori sebagai media optimalisasi resapan air ke dalam tanah.



Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 11 September 2019   09:42 dan terpilih menjadi salah satu dari total lima pemenang bersama dalam rangka lomba blog bertema "Aku dan Air, Menabung Air Hujan, Memanen Manfaat" Hasil kerja sama antara Kompasiana dengan Pemerintah DKI Jakarta dan Bank DKI dengan hadiah sebesar 5 juta untuk lima orang pemenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar