Minggu, 19 Juli 2020

Tradisi Jujuran, "Hadiah" untuk Meminang Gadis Banjar yang Unik dan Katanya Mahal

Pengantin Banjar | @kaekaha

Setiap daerah di Indonesia, masing-masing pasti mempunyai struktur adat istiadat dan juga tradisi budaya yang telah berurat dan berakar begitu kuat sebagai kearifan lokal yang terus dipelihara dan terpelihara dalam pranata peradaban kehidupan masyarakat di wilayah budaya masing-masing, salah satunya yang paling menarik adalah adat istiadat perkawinan.

Jika mengacu pada jumlah suku dan sub suku di Indonesia yang begitu banyak, apalagi jika dikaitkan juga dengan beragamnya agama dan kepercayaan masyarakat di Indonesia (adat dan tradisi perkawinan mempunyai keterkaitan dan keterikatan dengan agama dan kepercayaan dari pemeluknya).

Maka bisa dipastikan Indonesia juga mempunyai banyak sekali ragam adat istiadat perkawinan. Bahkan, bisa jadi jumlahnya dua atau tiga kali lipat dari jumlah suku di Indonesia.

Menariknya, seperti layaknya beragam adat istiadat dan tradisi budaya di Indonesia lainnya yang selalu mempunyai sisi unik, adat istiadat perkawinan di berbagai daerah pasti juga mempunyai keunikan spesifik.

Selain itu, adat istiadat perkawinan di masing-masing daerah bersifat khas sebagai kristalisasi dari nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama secara turun temurun yang kemudian sering kita sebut sebagai kearifan lokal.

Salah satu adat istiadat perkawinan asli Indonesia yang mempunyai kekhasan yang cukup menarik, datang dari adat istiadat masyarakat Suku Banjar yang sebagian besar berdomisili di bagian tenggara Pulau Kalimantan yang sekarang masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan.

Bagi Anda yang mempunyai calon istri Urang Banjar, di manapun domisili dan tempat tinggalnya, ada baiknya mengetahui sisi unik dari adat tradisi perkawinan khas urang Banjar ini. 

Karena dimanapun diaspora Urang Banjar, biasanya mereka tetap teguh memegang adat istiadat selama tidak bertentangan dengan adat setempat, apalagi terkait adat perkawinan. Agar Anda tidak terkejut dan tetap berpikir positif.
Salah satu sisi unik tradisi adat perkawinan masyarakat Banjar yang paling banyak mendapat perhatian khalayak adalah keberadaan tradisi jujuran, yaitu tradisi adat bahari (lama/tua) berupa pemberian hadiah atau seserahan perkawinan dalam bentuk sejumlah uang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang biasanya diserahkan secara khusus pada moment acara adat bertajuk maantar jujuran.
Tradisi ini menjadi unik karena, meskipun labelnya pemberian “hadiah” dari pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan, tapi disinilah sesungguhnya “momen” paling menentukan dari kelanjutan rencana pinangan ini.

Meskipun hadiah ini dari pihak laki-laki, tapi adat keumumannya, besaran nilainya ditentukan dari pihak perempuan dan wajib dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki yang ingin mempersunting gadis Banjar yang terkenal religius, ramah, dan santun.

Bila pihak calon mempelai laki-laki ternyata tidak mau, tidak bisa atau tidak sanggup memenuhi angka besaran jujuran yang diminta pihak perempuan, maka tidak menutup kemungkinan rencana pernikahan berikut kisah asmara yang terajut selama bertahun-tahun diantara kedua calon mempelai bisa menguap alias batal begitu saja! Woooooow, ngeri-ngeri sedap bukan?
Uniknya lagi, besaran rupiah untuk jujuran memang tidak ada rumus baku untuk menghitungnya!
Hanya saja, mindset yang berlaku umum di masyarakat Banjar adalah “Semakin besar nilai angka jujuran yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki, maka semakin tinggi juga "nilai" pengantin perempuan juga keluarganya di masyarakat”.

Hal ini sangat sesuai dengan fakta umum yang sering terjadi di masyarakat, dimana semakin tinggi status sosial, baik karena faktor keturunan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan, bahkan hingga kecantikan yang dimiliki seorang perempuan, biasanya akan berbanding lurus dengan angka jujuran yang diminta keluarga kepada pihak mempelai laki-laki.

Khusus untuk besaran angka riilnya, memang tidak ada yang benar-benar mengumumkannya secara terbuka. Tapi masyarakat umumnya bisa memperkirakannya dari kemegahan acara resepsi/pesta pernikahan, termasuk semua keperluan pernikahan atau belanja pengantin baru untuk isi kamar pengantin seperti ranjang, lemari, meja rias. 

Bahkan, banyak atau sedikit tamu yang akan diundang konon juga sangat dipengaruhi oleh besaran angka jujuran-nya.
Faktanya, saat ini rata-rata besaran jujuran yang umum terdengar di masyarakat adalah dikisaran 50-100 juta, sedangkan untuk kalangan crazy rich di Banjarmasin, angka ratusan sampai milyaran sepertinya bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Hanya saja yang perlu dicatat dan digaris bawahi! "Semua besaran angka jujuran itu layaknya bau kentut, baunya ada dan tercium tapi bentuk berikut pemiliknya umumnya tidak pernah secara jelas terlihat atau terang-terangan mengaku. Begitu juga jujuran, sejauh yang umum terjadi tidak pernah diumumkan secara terbuka, hanya kabar burung yang mengabarkan besaran angkanya".

Memang, seiring perjalanan waktu makna jujuran di beberapa tempat sudah mulai bergeser. Sekarang mulai sering terlihat di kelompok masyarakat tertentu, jujuran diposisikan sebagai alat untuk menunjukan gengsi dan derajat kehormatan keluarga di lingkungan sosialisasi masing-masing, bahkan kabarnya sudah ada yang “kebablasan” mengumumkan besaran angkanya saat resepsi perkawinan.
Disinilah jujuran sering menjadi dilema! Menjadi buah simalakama! Bahkan bisa menjadi penghambat dan penghalang niat suci dua insan anak manusia untuk menyempurnakan sunnah Rasulullah SAW untuk menikah.
Jika kita kalkulasi rata-rata pendapatan umum pemuda siap nikah di usia ideal 25 tahun, dengan rata-rata pengalaman kerja 3 tahun (asumsi, jika Strata 1 lulus usia 22 tahun) sepertinya masih terlalu jauh untuk bisa mempersiapkan jujuran minimal sebesar 50 jutaan untuk meminang sang pujaan hati, kecuali dibantu oleh keluarga.

Lantas, apa yang terjadi ketika pihak laki-laki benar-benar tidak mampu? 
Apakah kisah cinta amorita antara pemuda biasa dengan puteri cantik nan kaya raya, puteri dari konglomerat pengusaha batubara seperti kisah cinta dalam sinetron-sinetron yang berakhir bahagia bisa terjadi di Banjarmasin?

Memang! Ada yang tetap berusaha berpikir positif dengan menempatkan “kemustahilan” pada angka-angka jujuran yang terkadang justeru benar-benar muncul dari pihak mempelai perempuan, sebagai bukti keseriusan dan juga motivasi untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih kreatif lagi demi cintanya kepada sang puteri. Tapi, kalau tetap saja tidak mampu?
Disinilah kearifan dan kebijaksanaan para tetuha (yang dituakan) dari kedua belah pihak keluarga terutama dari pihak mempelai perempuan dipertaruhkan.
Opsi bagi pihak calon mempelai perempuan: 

Pertama, bisa saja tetap bersikukuh mempertahankan “angka” jujuran yang diminta, meskipun pihak mempelai laki-laki jelas-jelas tidak mampu. 
Tujuannya, selain untuk mengukur keseriusan serta kesungguhan pihak mempelai laki-laki, sebagian kalangan bahkan menjadikannya sebagai upaya untuk menjaga kehormatan keluarga pihak mempelai perempuan, bahkan ada juga yang menjadikannya sebagai "cara halus" untuk menolak pinangan pihak mempelai laki-laki. 

Kedua, membuka kemungkinan “bernegosiasi” demi kebaikan bersama. Untuk opsi kedua ini memang lebih lazim terjadi, terutama bagi keluarga yang diantara kedua belah pihak sudah saling mengenal dengan baik. 

Hanya saja, konsekuensi dari membuka kemungkinan negosiasi angka jujuran ini bagi pihak perempuan, kemungkinan besar hanya malu pada tetangga dan kemungkinan menjadi bahan gunjingan masyarakat karena angka jujuran yang akan didapat tidak sesuai dengan “kelas atau level sosial" keluarga.


Sedangkan opsi bagi pihak calon mempelai laki-laki: 

Pertama, jika benar-benar tidak mampu, tidak bisa atau tidak mau untuk memenuhi permintaan angka jujuran dari pihak calon mempelai perempuan, opsinya hanya menolak atau membatalkan pinangan saja.

Kedua, bernegosiasi. Konsekuensi risikonya mungkin terkait masalah “harga diri” dari calon mempelai laki-laki di hadapan keluarga calon mempelai perempuan dan juga lingkungan sosialisasi masing-masing. Tapi kalau demi sang ratu?

Situasi berbeda jika, dari pihak mempelai perempuan mau membuka diri untuk bernegosiasi, umumnya pihak laki-laki akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.
Kira-kira kalau Anda mengalami sendiri situasi ini, opsi mana yang menjadi pilihan Anda?
Memang sangat disayangkan, jika pernikahan sebagai jalan menuju ibadah, harus terhalang oleh nafsu gengsi belaka, apalagi kalau kedua calon mempelai sudah saling menyukai, menyayangi satu sama lain, dan sudah lama merajut kasih.

Bersyukurnya, sekarang masyarakat terlihat lebih arif, bijaksana, dan proporsional dalam menyikapi dilema jujuran yang dulunya sering menjadi buah simalakama.

Meskipun sampai detik ini masih sering terdengar anak-anak crazy rich yang mendapatkan atau memberikan jujuran dengan besaran angka yang fantastis. 

Tetapi tidak jarang juga terdengar kabar dari crazy rich lainnya yang menyerahkan sepenuhnya besaran angka jujuran semampu pihak calon mempelai laki-laki. 

Mudah-mudahan sabda Rasulullah SAW inilah inspirasinya; “Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Daud, No. 2117; Al-Hakim, 2:181-182)

Inilah keunikan sesungguhnya dari jujuran.

Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar