Rabu, 27 Mei 2020

Semakin mengecilnya Pengendara Sepeda Motor di Jalan Raya



Bapak atau ibu polantas. Tolong ditindak anak-anak SMP yang bawa sepeda motor. Jumat, 30 Oktober 2009 sekitar pukul 11.00, anak-anak berbaju sasirangan biru berboncengan tiga orang tanpa helm, ngebut. Nabrak pengendara sepeda, lalu lari arah tembus Jalan Sultan Adam. Mereka pasti tidak ada SIM kan? Kok bisa bebas”. Demikian petikan SMS dengan judul ”Bisa Bebas” dari pembaca Bpost dalam rubrik Layanan Publik hari Rabu, 4 Nopember 2009. 

Sedangkan pada tanggal 5 Nopember 2009 pada rubrik yang sama dengan judul ”Razia Anak-anak”, isinya kurang lebih sama dengan petikan pesan pertama diatas, yaitu kekhawatiran masyarakat sehubungan dengan semakin banyaknya pengendara kendaraan bermotor khususnya sepeda motor dibawah umur berkeliaran di jalan raya, khususnya di Banjarmasin dan sekitarnya.
 
Membaca pesan terbuka yang ditujukan kepada jajaran kepolisian khususnya unit lantas diatas, mengingatkan penulis pada kliping berita BPost edisi 8 Maret 2008 yang berjudul “Polantas Diterjang Pengendara Motor” dimana diberitakan seorang petugas kepolisian yang sedang bertugas di Jl. S.Parman ditabrak dengan sengaja oleh pengendara sepeda motor sampai kaki kanannya patah, yang mengejutkan ternyata penabrak polisi ini adalah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama atau SMP yang mungkin sedang panik karena terjebak dalam operasi rutin yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

Ini fakta dan benar-benar terjadi! Patut kita pertanyakan sebenarnya, bagaimana mungkin anak-anak dibawah umur (indikator dari baju seragam yang dipakai) ini bisa mengendarai sepeda motor dengan bebas di jalan raya?. 

Berita terbaru yang sangat menghebohkan, datang dari Abdul Qadir Jaelani atau Dul anak dari musisi Ahmad Dhani yang mengalami kecelakaan mobil di Tol Jagorawi tengah malam beberapa hari yang lalu, selain menewaskan 6 (enam) orang, yang tak kalah mengejutkan adalah usia si Dul yang baru13 (tiga belas) tahun. 

Bagaimana bisa, semua ini bisa terjadi? Anak yang baru berusia 13 tahun, tengah malam bisa berkeliaran dengan mobil di jalan tol Jagorawi? 

Di Banjarmasin, Coba perhatikan waktu pagi (berangkat sekolah), siang/sore (pulang sekolah) atau mungkin setiap saat, dengan mudah kita akan menemukan pengendara sepeda motor beseragam sekolah berkeliaran di jalan raya. 

Kalau berseragam abu-abu putih mungkin kita sudah biasa! Tapi kalau yang mengendarai sepeda motor itu berseragam biru putih atau bahkan merah putih itu yang sangat luar biasa. 
 
Memang, memiliki dan mengendarai sepeda motor adalah hak masing-masing individu, tetapi untuk mengendarai di jalan raya atau jalanan umum ada aturan hukumnya. 

Seperti yang kita ketahui dan pahami selama ini, syarat utama mengendarai sepeda motor di jalanan umum secara hukum jelas, harus memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang diterbitkan oleh kepolisian, dimana untuk mendapatkannya ada beberapa syarat dan tahapan proses yang harus dijalani.

Syarat yang harus dipenuhi diantaranya adalah usia,minimal 16 tahun (di UU terbaru direvisi jadi 17 tahun) untuk pemohon SIM C, 17 tahun SIM A dan 20 tahun untuk SIM B1/B2 (PP No.44/93 Pasal 217 ayat 1). Berbicara usia, coba kita berkalkulasi. Secara umum usia sekolah anak SD (seragam umum, warna merah putih) adalah 7 – 12 tahun, artinya untuk mendapatkan SIM jelas belum bisa karena tidak memenuhi syarat. Sedangkan untuk SMP (seragam umum, warna biru putih)13 -15 tahun, untuk SMA (seragam umum, abu-abu putih) 16 – 18 tahun. 

Kesimpulannya, jangankan untuk anak SD dan SLTP, untuk anak SLTAyang baru kelas 1 (satu) - pun syarat umur ini masih belum tentu terpenuhi yang artinya mereka belum berhak mengendarai sepeda motor dan kendaraan bermotor lainnya di jalanan umum. 

Syarat selanjutnya adalah “tes tulis” untuk mengetahui wawasan dan pengetahuan tentang ke-lalu lintasan dan etika berkendaraan di jalan raya, setelah itu diteruskan dengan “tes praktik”, yaitu praktik mengendarai sepeda motor baik melalui simulasi dalam arena test yang sudah disediakan oleh pihak kepolisian maupun tes mengendarai di jalan raya yang sebenarnya, dimana fungsi test ini adalah untuk mengukur sejauh mana kualitas skill, wawasan, etika dan yang terpenting pemahaman terhadap semua aturan dan peraturan lalulintasdalam mengendarai kendaraanbermotor, khususnya sepeda motor. 
 
Pertanyaanya sekarang, apakah pengendara sepeda motor dibawah umur yang sering terlihat melenggang di jalanan umum di Banjarmasin ini sudah melalui tahapan-tahapan diatas sebelum mereka memutuskan untuk mengendarai sepeda motornya di jalan raya? 

Logikanya pasti tidak!! (Hipotesa ini didukung oleh surat terbuka seorang ibu kepada kepolisian melalui ”Layanan Publik”-nya BPost Sabtu, 15 Agustus 2009 lalu yang intinya memohon dibuatkan dispensasi pembuatan SIM masal untuk anak SMA kelas 1 yang masih dibawah 16 tahun dan syukurnya surat itu ditanggapi dengan cerdas dan tepat oleh pihak kepolisian beberapa hari kemudian di rubrik dan media yang sama) Karena dari screening administratif (umur), mereka sudah dipastikan gugur karena belum memenuhi syarat ketentuan usia 16 tahun ( pengendara seragam biru putih dan merah putih), kecuali ada manipulasi data oleh pemohon pada saat mengajukan aplikasi permohonan penerbitan SIM di kepolisian. 

Kalaupun ada kemungkinan “main mata” dengan oknum petugas kepolisian dalam menerbitkan SIM, pastinya pihak kepolisian juga tidak akan ceroboh denganmeloloskan anak SD atau SLTP untuk mendapatkan SIM. Lantas? Apapun alasannya, tidak ada satupun pembenaran yang membolehkan anak- anak dibawah umur untuk mengendarai kendaraanbermotor di jalan raya. 
 
Memang, kalau kita berbicara skill dalam mengendarai sepeda motor,umur bukanlah satu-satunya parameter, hal ini bisa kita lihat pada event balapangokart, roadrace, grasstrack atau motocross dimana dengan mudah kita mendapati anak-anak dibawah umur dengan tangkas dan lincahnya menunggangi mobil atau sepeda motor. 

Boleh jadi skill mereka mengendarai mobil atau sepeda motor diatas kemampuan orang dewasa umumnya. Tapi ingat!!! mereka mengendarai sepeda motor di tempat khusus (baca : sirkuit) bukan di jalanan umum, sehingga memungkinkan untuk tidak bersentuhan dengan hukum. 

Disamping itu, kesiapan mental dan psikis anak-anak ini untuk berinteraksi secara benar di jalanan raya masih sangat diragukan. Kliping berita BPost edisi 8 Maret 2008 diatas, semakin memperkuat hipotesa bahwa untuk berinteraksi di jalanan tidak cukup hanya berbekal skill mengendarai kendaraan bermotor saja! Tapi juga memerlukan kesiapan mental dan psikis yang memadai. 

Insiden dalam berita tersebut secara jelas menunjukkan belum siapnya mental dan psikis si-penabrak untuk berinteraksi lebih jauh di jalanan, apalagi jika harus berurusan dengan hukum (baca : Kepolisian), sehingga dalam merespon sesuatu yang dianggap masalah anak-anak cenderung mengedepankan jiwa kanak-kanaknya yang pragmatis, spontan, insidental dan cenderung emosional tidak berpikir logis dan komprehensif. 

Situasi ini bila tidak “disentuh” secara benar dan proporsional justeru akan membahayakan mereka dan semua individu yang ada dalam lingkaran interaksi yang si anak, tentunya ini akan merugikan banyak fihak.

Banyaknya pengendara kendaraan bermotor di jalan raya yang terindikasi dibawah umur, adalah indikasi sebuah penyimpangan, keteledoran dan kelalaian yang harus segera disikapi dengan benar oleh semua pihak yang berwenang dan berkepentingan, selain jelas melanggar hukum juga sangat beresiko besar karena membahayakan diri sendiri dan pengguna jalan raya lainnya. 

Disini diperlukan kontrol dan ketegasan ekstra dari orang tua di rumah, lingkungan sosial dan tentunya pihak berwajib (kepolisian) dilapangan, karena keberadaan regulasi (Undang-undang lalu lintas, Peraturan pemerintah, dll) yang sudah ada masih belum mampu menjadi “alat” yang ampuh untuk pencegahan preventif kepentingan dimaksud. 

Untuk para orang tua, disadari atau tidak dengan memberikan ijin putra-putrinya mengendarai sepeda motor apalagi dijalan raya jelas telah menjerumuskan putra-putrinya dalam bahaya fragmentasi jalanan yang semestinya belum saatnya mereka hadapi. 

Untuk kontrol masyarakat, memang harus diakui, kecenderungan individualistis yang semakin menjadi-jadi dalam masyarakat urban sekarang ini, menyebabkan minimnya interaksi sosial dalam lingkungan masing-masing sehingga mengakibatkan terjadinya proses pembiaran terhadap berbagai penyimpangan nilai dan perilaku sosial yang terjadi dan ujung-ujungnya, kontrol sosial jadi lemah bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali. 

Sementara itu, untuk pihak berwajib selaku pemegang otoritas dalam pengaturan lalulintas jalan raya harus tegas, cermat, cepat tanggap dan terus membangun kreatifitas guna menciptakan terobosan-terobosan inovatifyang efektif dan efisien untuk memberikan edukasi ke-lalulintasan secara tepatguna kepada seluruh lapisan masyarakat demi terciptanya interaksi berlalulintas yang aman, nyaman, tertib dan teratur. Jangan sampai ada lagi korban berjatuhan di jalan raya hanya karena semakin “mengecilnya pengendara kendaraan bermotor di jalan raya”!!!

Artikel ini juga bisa di baca di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar