Senin, 24 November 2025

100 Tahun Muhammadiyah Alabio, Seabad Jejak Dakwah, Sekolah dan Napas Perubahan dari Pedalaman Kalimantan


100 Tahun Muhammadiyah Alabio, Seabad Jejak Dakwah, Sekolah dan Napas Perubahan dari Pedalaman Kalimantan (Sumber grafis : suaramuhammadiyah.id)

 

Senja di Alabio tak pernah kehilangan pesonanya. Di antara rumah panggung yang berjajar di tepi sungai dan aroma ikan gabus yang diasap di dapur-dapur warga, gema pengajian dari langgar dan sekolah Muhammadiyah masih terdengar seperti ritme lama yang belum pernah putus. 

Tahun ini, ritme itu mencapai usia 100 tahun, usia yang tak hanya menandai perjalanan organisasi, tetapi juga sejarah panjang transformasi sosial di salah satu kota tua Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang juga dikenal dengan plasma nutfah Itik Alabio, salah satu itik loka unggul nusantara.


Alabio, Kota Rawa yang Hidup dari Air, Dagang, dan Tradisi

Alabio adalah kawasan tua di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Daerah ini terkenal dengan rawa dan perairan sebagai denyut ekonomi, perdagangan tradisional yang ramai sejak masa kolonial, kerajinan anyaman purun dan usaha kecil yang diwariskan turun-temurun, budaya religius yang kuat, dengan surau dan majelis yang hidup dari generasi ke generasi.

Alabio juga menjadi titik pertemuan antara pedagang lokal, ulama kampung, serta jaringan intelektual Banjar yang sejak awal abad ke-20 sudah berinteraksi dengan pembaruan Islam dari Pulau Jawa. Lingkungan sosial-ekonomi yang dinamis inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadirnya gagasan baru berbasis keagamaan dan ketauhidan yang kelak kita kenal sebagai Muhammadiyah.


Awal Mula: Benih Pembaruan dari Tahun 1925

Jejak sejarah Muhammadiyah Alabio dimulai pada 1925, ketika arus pembaruan Islam ala K.H. Ahmad Dahlan mulai sampai ke Kalimantan Selatan. Sejumlah tokoh lokal yang pernah bersentuhan dengan gagasan modernisme Islamm elalui perdagangan, pendidikan, maupun hubungan kekerabatan, membawa pulang semangat tersebut ke Alabio.

H. M. Japeri dan H. Usman Amin disebut sebagai pendiri awal cabang ini. Di masa awalnya, kegiatan Muhammadiyah Alabio berlangsung di rumah panggung sederhana, diterangi lampu semprong, dengan diskusi-diskusi selepas Isya yang membahas pendidikan, ekonomi umat, hingga persoalan kemiskinan. 

Dakwah Muhammadiyah hadir bukan sebagai gerakan yang menggurui, melainkan sebagai upaya menguatkan struktur sosial yang sudah ada—dengan pendekatan lebih terorganisir dan berorientasi masa depan.


Momentum Awal: Konferensi, Pengakuan Resmi, dan Sekolah

Perkembangan Muhammadiyah Alabio tergolong cepat, 1926–1930 untuk Masa Pembentukan Struktur dengan rincian sebagai berikut :

  • 1926–1928: pendirian sekolah-sekolah dasar ala Muhammadiyah seperti Standaard School dan kemudian Vervolgschool met den Qor’an.

  • 1928: berdiri Wustha School setingkat sekolah menengah pertama.

  • 1929: Konferensi I Muhammadiyah Alabio, dihadiri tokoh nasional A. R. Sutan Mansyur.

  • 5 Maret 1930: Cabang Alabio memperoleh pengakuan resmi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Surat Ketetapan No. 253.

Sejak titik itu, Alabio menjadi pusat pergerakan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan sebelum menyebar ke Sungai Tabukan, Barabai, Amuntai Kota, dan Kandangan hingga akhirnya menyeberang sampai ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 


Pendidikan dan Dakwah: Wajah Muhammadiyah Alabio yang Paling Awal

Di Alabio, pendidikan menjadi poros utama dakwah. Murid-murid belajar mengaji serta pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, dan materi lainnya di ruang-ruang kelas dengan papan yang sederhana tapi bersemangat.

Beberapa di antara amal usaha penting yang lahir dari cabang ini :

1. Pesantren Nurul Amin Muhammadiyah Alabio

Dikelola oleh tokoh-tokoh lokal:
KH. Kasypul Anwar • KH. Maksum Yasin • KH. Abdul Hamid Ibrahim • Ust. Abdul Hamid Kaderi • Ust. Jailani B.

2. Panti Asuhan Muhammadiyah Alabio

Diakui sebagai salah satu panti asuhan tertua di Kalimantan.

Panti ini berdiri dari spirit Al-Ma’un: merawat anak yatim dan dhuafa. Di sinilah gagasan sosial Muhammadiyah menemukan bentuk paling konkret.

3. Sekolah-sekolah Muhammadiyah

Dirintis sejak 1920-an dan terus berkembang menjadi MI, MTs/TSM, hingga boarding school.


Alabio Hari Ini: Modern, Tapi Masih Tunduk pada Tradisi

Kota Alabio hari ini memang telah banyak berubah dibanding 100 tahun silam. Ini bisa kita lihat dari jalanan beton mulai menggantikan jalan titian, pasar-pasar modern muncul berdampingan dengan pasar terapung tradisional, remaja-remaja Muhammadiyah aktif di IPM dan Pemuda Muhammadiyah, perempuan Aisyiyah terlibat dalam pendidikan anak, UMKM, dan kesehatan.

Namun akar sosialnya tidak tercerabut. Alabio sampai detik ini masih tetap religius, tetap lekat dengan rawa dan air, dan tetap menjadikan pendidikan sebagai jalan naik kelas peradaban.


1 Abad Muhammadiyah Alabio (1925–2025): Dari Tradisi ke Abad Digital

Perayaan 100 tahun bukan sekadar seremoni, melainkan momentum membaca ulang perjalanan sejarah. Berikut kegiatan Pra-Milad 1 Abad Muhammadiyah Alabio yang puncak resepsinya berlangsung kemarin, Ahad 24/11/2025 di Alabio, 

  • Jalan sehat ribuan peserta

  • Lomba paduan suara Aisyiyah dan NA

  • Lomba balogo dan lomba asinan/pahalatan

  • Bazar 28 stan UMKM, anyaman purun, kuliner Banjar

  • Pemutaran film sejarah Muhammadiyah Alabio

  • Rencana penerbitan buku sejarah 1 abad

Acara-acara ini tidak hanya merayakan masa lalu, tapi memperlihatkan bagaimana Muhammadiyah Alabio berada dan akan terus berada di tengah denyut masyarakatnya.


Warisan 100 Tahun Muhammadiyah Alabio ?

Ada banyak warisan Muhamadiayah bagi peradaban nusantara,  masyarakat di Kalimantan, seperti  

  • struktur pendidikan yang kuat, dari dasar hingga pesantren, 
  • kesadaran sosial berbasis spirit Al-Ma’un,
  • Kader ulama, guru, pedagang, dan pemimpin lokal
  • Tradisi literasi, musyawarah, dan organisasi modern

  • Jaringan dakwah yang menjangkau desa-desa rawa

Ini bukan sekadar sejarah organisasi. Ini adalah sejarah masyarakat.


Menuju Abad Kedua: Cahaya Itu Masih Menyala

Seratus tahun Muhammadiyah Alabio memberi pesan sederhana namun kuat, bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kota kecil; bahwa dakwah bisa berjalan berdampingan dengan kearifan lokal; dan bahwa pendidikan tetap menjadi cahaya paling setia dalam menghadapi zaman.

Di Alabio di tanah rawa yang tenang dan religius, cahaya itu masih menyala, dan tampaknya masih lama akan terus bersinar. [AN]




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar