|
Sate Gule "Kongklengan" Pak Min Brengos | @kaekaha |
Dulu, sewaktu saya kecil, kira-kira umur 10 tahunan lah ya pada medio 80-an, saya sering diajak almarhum Mbah Kakung alias kakek laki-laki saya, andok atau makan di warung-warung makan yang menyajikan menu-menu kesukaan beliau.
Paling
sering, kalau nggak di warung Soto ya di warung sate-gule kambing yang
keduanya sama-sama kuliner berkuah kaldu dengan citarasa khas Mediunan,
sebuah entitas sub-budaya Jawa di seputaran ex-karesidenan Madiun,
sebuah area “abu-abu” yang terletak di ujung barat Jawa Timur dan
berbatasan langsung dengan Jawa Tengah. Ini yang unik!
Posisinya yang terletak di antara dua arus besar budaya, menjadikan tradisi dan budaya di kawasan ini cukup unik, termasuk dengan beragam varian kulinernya yang secara faktual
menjadi "serupa tapi tak sama" dengan dua entitas kawasan di
sebelah-sebelahnya, Jawa Timuran dan Jawa Tengahan. Tak apalah "lain
ladang lain pula belalangnya! Begitu juga lain lubuk lain pula ikannya!
Itulah miniatur Nusantara, Indonesia kita semua!
Mengendarai Simplex, pit lanang
atau sepeda ontel kebanggaan beliau, saya biasa dibonceng di belakang
saat menuju warung-warung yang konon sudah menjadi langganan beliau
sejak masih muda tersebut. Bahkan menurut Mbah Kakung, di warung sate-gule juga beliau sering mengajak (alm) Mbah Uti, isteri beliau, hangout sewaktu masih pacaran, di sela-sela gerilya angkat senjata melawan penjajah belanda. Wauuuuuuw co cuiiiiit!
|
Ubarampe Penjual Sate-Gule "Kongklengan" | @kaekaha |
Sate-Gule Kongklengan
Khusus untuk warung sate-gule kambing, setidaknya ada dua warung yang menjadi langganan kami, yaitu warung sate-gule “kongklengan”
yang lokasinya masih di kampung kami dan satu lagi di kampung sebelah
yang pemiliknya konon masih berkerabat dengan pemilik Sate-gule kongklengan.
Baca Juga : Icip-icip Aneka Bubur Manis dari Banjarmasin
Aslinya, nama resmi dari warung sate-gule legendaris di kampung kami ini adalah Sate-Gule Pak Min Brengos, tapi uniknya justeru dikenal secara luas sebagai warung sate-gule “Kongklengan” karena lokasinya yang sangat dekat dengan perlintasan kereta api yang di kampung kami memang diberi nama kongklengan, sebuah nama yang dinisbatkan pada bunyi klong-kleng klong-kleng dari pos penjaga perlintasan kereta api, sebuah pertanda dan peringatan kereta api yang akan lewat.
Jadi memang tidak ada hubungannya dengan tengkleng atau rima berakhiran kleng-kleng yang lainnya!
Lokasi
warung sate-gule ini dengan konklengan memang hanya sepelemparan batu
saja, begitu juga dengan Stasiun Kereta Api Barat atau sekarang lebih
dikenal sebagai Stasiun Magetan yang pernah saya ceritakan dalam artikel
berjudul “Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik” dan juga puisi “Tentang Stasiun Kereta yang Pernah Menyimpan Degup Jantung di Dada”.
Baca Juga : Menikmati "Citarasa Pulang Kampung" di Mie Ayam Solo Mas Sidik
Mengunjungi
kedai sate-gule yang sekarang sudah dikelola oleh generasi ke-3 yang
dipertegas dengan spanduk di bagian dalam warung yang berbunyi "Sate
Gule Kambing - Anak Pak Min Brengos" ini, kita akan disambut oleh ublik raksasa yang lebih mirip dengan obor di bagian depan luar warung.
|
"Anak Pak Min Brengos", Generasi ke-3 | @kaekaha |
Ada cerita unik dibalik ublik
raksasa ini. Selain sebagai penanda warung sedang buka dan masih ada
stok, lampu tradisional ini juga pengingat bagi generasi anak-cucu Pak
Min Brengos yang dulu memulai usaha jualan sate-gule ini dengan cara
dipikul berkeliling kampung dengan ublik raksasa ini sebagai penerangan sekaligus teman di sepanjang jalan.
Baca Juga : Selada Banjar, "Kuliner Anomalis" Beraroma Eropa Bercita Rasa Banua
Bahkan menurut Mbah Kakung
yang kenal baik dengan Pak Min Brengos, jualan sate-gule keliling
dengan cara dipikul dengan beban puluhan sampai ratusan kilo ini, konon
juga menjadi ujian mental dan kesungguhan bagi anak-cucu Pak Min Brengos
yang baru akan memulai jualan sate-gule, sebelum mereka membuka warung
atau kedai yang manggon atau menetap! Yah, intinya sih jas merah alias jangan sekali kali melupakan sejarah!
|
Gentong atau Tempayan Wadah Gule | @kaekaha |
Memasuki warung sate-gule saat ini, memang ada sedikit lay out
ruangan yang berubah jika dibandingkan dengan era 80-an, walupun pusat
energinya tetap sama, yaitu seperangkat pikulan untuk jualan sate-gule
keliling, dengan gentong untuk kuah gule di kanan dan kontainer
“tradisional” untuk wadah ubarampe jualan sate-gule di kiri si ibu penjual. Nah ini juga baru! Dulu penjual sate-gule tidak ada yang perempuan, termasuk cantrik atau pembantunya, semua laki-laki.
Baca Juga : Berburu "Bebek Kaki Lima", Menikmati Romantisme Kuliner Jalanan Legendaris Nusantara
Dulu, pembeli hanya disediakan lincak
atau kursi panjang dari bambu dengan setting melingkar di kiri-kanan
dan depan pikulan dan penjualnya tanpa meja. Jadi cara makannya, kita
hanya menggunakan tangan kiri untuk menyangga piring yang berisi nasi
dan kuah gule panas. Woooooow!
Sekarang, selain lincak di
depan penjual yang masih dipertahankan, juga ada kursi dan meja di
depan dan belakang penjualnya. Selayaknya warung makan pada umumnya.
|
Sajian Sederhana Gule Kambing "Kongklengan" | @kaekaha |
Meskipun
masuk wilayah Jawa Timur, tapi olahan gule kambing khas daerah ini
tidak seperti kuliner Jawa timuran lainnya yang cenderung bercitarasa
asin-pedas, tapi tidak juga ada manis-manisnya selayaknya olahan kambing
ala Jawa Tengahan.
Baca Juga : Tergoda Sajian "Cuanki Jalanan" Asli dari Kota Garut
Begitu juga gambaran citarasa olahan gule kambing di Kongklengan yang seharinya, konon mengabiskan minimal seekor kambing ini. Citarasa bumbunya dari dulu menurut saya memang cenderung soft,
tapi tidak dengan aromanya! Karena aromanya gule yang harum dan gurih,
menjadikan warung sate-gule ini bisa terdeteksi dari jarak puluhan
bahkan ratusan meter dan semuanya tetap dipertahankan sampai detik ini!
|
Selamat Ulang Tahun ke-15 ya Kompasiana | dok. kompasiana |
Saya juga menyebut sate-gule di sini orisinil
karena penampakan sajiannya yang relatif minimanalis dan sederhana
masih saja "menyimpan" citarasa istimewa yang tetap dijaga dan terjaga
sampai detik ini. Kerennya, indra perasa saya yang telah berpuluh-puluh
tahun “njajah desa milangkori” alias berkelana ke beberapa negeri yang
jauh dan tentunya berbeda bahkan bisa jadi besilang rasa dengan budaya
kulineran khas Mediunan masih saja bisa mengenali sedapnya!
Karena
saya tumbuh bersama-sama dengan citarasa gule ini, wajarlah jika saya
menyebutnya sebagai gule paling orisinil, paling enak sedunia dan yang paling cocok dengan lidah saya.
Sepiring
nasi hangat dengan keratan daging kambing berwarna kuning cream yang
senada dengan kuah yang menggenangi sisi luar nasi plus taburan
irisan bawang merah segar dan juga daun jeruk jelas akan sanggup
membuat siapapun menelan ludah ketika mencium aromanya yang khas.
|
Lalapan Cabe Hijau untuk Makan Gule | @kaekaha |
Uniknya
lagi, untuk mendapatkan rasa pedas, sajian sate-gule disini dari dulu
tidak menyediakan sambal khusus, tapi hanya “lalapan” cabe hijau segar
dengan ukuran gede-gede, mirip cabe untuk makan gorengan. Kerennya, cabe-cabean segar dan renyah ini boleh dilalap semampunya oleh penikmat sate-gule. Naaaah sedap bukan?
Begitu
juga dengan sajian satenya, tidak ada sambal kacang seperti sajian
sate-sate di daerah lainnya. Disini sate juga disajikan secara
seerhana-minimalis dengan kecap manis, irisan bawang merah dan sedikit
rajangan daun jeruk segar saja. Tidak ada juga irisan kubis, tomat dan
juga teman-temannya. Tapi jangan tanya soal rasanya ya!
|
Sate Kongklengan | @kaekaha |
Sedapnya Beda dan Selalu Ngangeni!
Olahan gule merupakan versi masyarakat Jawa untuk kuliner gulai yang
identik dengan Pulau Sumatera, khususnya di lingkungan masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat. Bedanya, kalau menyebut gule di Jawa
biasanya hanya identik dengan gule kambing saja, maka gulai dari
sumatera mempunyai varian lebih banyak seperti gulai ikan, gulai cumi,
gulai otak, gulai daun singkong, gulai nangka dan lain-lainnya.
Sebagai
kuliner kesukaan para tetua di keluarga kami, sudah sewajarnya jika
gule kambing juga menjadi favorit saya dan juga keluarga besar kami.
Fakta ini menjawab sebuah hipotesa dalam sebuah iklan produk bumbu masak
di TV yang menyebut bahwa "selera kita dari lidah ibu". Bener juga ya!
Saya baru tersadar, sepertinya dari ajakan Mbah Kakung ini juga, awal
mula saya begitu suka dengan kuliner berkuah kaldu .
Baca Juga : Sepiring Lodeh Terong Buatan Ibu dan Pelajaran Tanpa "Katanya" yang Sarat Makna
Sudah
sejak lama, sate-gule kambing menjadi sajian acara dan hajatan dalam
keluarga besar kami. Bedanya gule kambing rumahan ala kami dengan gule
kambing yang dijual di luaran, seperti sate-gule Kongklengan
ada pada citarasanya. Kami yang dalam keseharian terlanjur terbiasa
dengan kuliner dengan citarasa dasar asin-pedas, maka biasanya olahan
sate-gule di keluarga kami juga cenderung asin-gurih yang tentunya jauh
lebih nendang. Mau tahu resep rahasia keluarga kami sekaligus cara
membuatnya!?
Yuk langsung praktek saja, mudah kok!
Bahan :
1 kg daging kambing, biasanya kami campur jeroan
Bumbu asar :
500 ml santan
15 siung bawang merah
10 siung bawang putih
5 butir kemiri
1 ruas kunyit
2 ruas lengkuas
2 sdt ketumbar
1 sdt merica
1 sdt jintan
Secukupnya garam dan gula
Secukupnya air untuk merebus daging
Baca Juga : Mencicipi Legitnya Tapai Gambut yang Melegenda
Bumbu daun :
Secukupnya sereh
Secukupnya daun jeruk
Secukupnya daun salam
Cara memasak :
1. Cuci bersih daging dan jeroan kambing, potong-potong sesuai selera lalu rebus sampai empuk dan sisihkan.
2. Haluskan semua bumbu halus, lalu tumis sampai wangi.
3. Masukkan bumbu halus, bumbu daun dan penyedap pada panci rebusan daging lalu aduk rata.
4. Tuangkan santan dan masak hingga mendidih. Lakukan koreksi rasa sesuai kebutuhan.
5. Angkat dan sajikan.
@kaekaha
#kulinernusantara
#indonesianheritage
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sungai,
Banjarmasin nan Bungas!
|
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |