Rabu, 24 Juli 2024

Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran

Puncak Piramid Si Punggung Naga, Bondowoso | IG/Adisusanto10-bukalapak.com

Entahlah, mimpi apa aku semalam! Kekhawatiran yang kupendam beberapa bulan terakhir, pagi ini benar-benar menjadi kenyataan!

Seperti yang aku khawatirkan sejak awal! Mereka benar-benar memilihku untuk melanjutkan tradisi "horor" legendarisnya anak-anak KKN di kampusku!

Mereka, teman-teman satu kelompok KKN-ku yang kesemuanya memang lebih senior setahun alias angkatan satu tingkat diatasku secara aklamasi memilihku menjadi koordinator desa alias kordes.

"Duuuuuh! Pasti bakalan repot ini!!! Lagian darimana juga mereka tahu aku paling junior diantara mereka?" Gumamku dalam batin sambil memasang muka sewot, saat teman-temanku menyalamiku sambil mengucapkan selamat.

Padahal aku sudah mati-matian menolak jabatan itu, termasuk dengan membiarkan rambut panjangku tergerai melebihi bahu, biar muncul kesan "nakal" dan nggak layak jadi kordes apalagi korcam!

Karena konon, memang belum ada si-gondrong yang didaulat menjadi kordes apalagi korcam dalam sejarah KKN di kampusku! Tapi sayangnya, itu tidak juga membantuku terbebas dari tradisi lama itu!

    Ini yang bikin kesel! Meskipun rambutku gondrong, mereka menyebut nggak ada kesan nakal dan serem-seremnya sama sekali, apalagi sangar-sangarnya, blass nggak ada! Malah semakin imut kata mereka... Jadi yaaaaa nggak ada yang perlu dikhawatirkan! "Ah, kenapa jadi begini ya!?"

Tradisi ini memang sudah sejak lama ada! Bahkan menurut rektor dalam beberapa artikel lamanya saat masih menjadi mahasiswa dan dosen yang pernah kubaca di arsip majalah kampus dan selalu diulanginya di setiap pidato pelepasan, termasuk saat melepas rombongan kami di halaman rektorat, konon tradisi yang menurutnya baik dan unik ini, merupakan cirikhas KKN kita dan memang sudah sejak lama eksis, bahkan jauh sebelum beliau sendiri menjalani KKN.

"Siapa saja yang 'kepagian' mengambil SKS KKN, wajib bersiap-siap untuk 'diplonco' menjadi kordes alias koordinator desa, bahkan sampai korcam alias koordinator kecamatan, jangan takut atau minder, tapi ya yang nggak gondrong rambutnya!" Kata Pak Rektor dalam sambutannya.

"Nah, yang nggak gondrong kan!!!" Seketika aku protes kepada teman-teman kelompokku dengan menatapnya satu per satu. Tapi dasar sudah pada sekongkol, mereka hanya nyengir kuda dan sebagian lagi malah nekat mengerlingkan mata sambil tersenyum genit!

Aduuuuh mana tahaaaaan kalau begini!?

Sudah menjadi rahasia umum di kampus kami, kalau "jabatan" kordes atau ketua kelompok KKN di setiap desa yang sebenarnya cukup prestisius ini, justeru dilabeli horor. Tidak hanya karena tugasnya yang seabrek-abrek, tapi juga urusannya yang sering aneh-aneh bahkan ajaib yang pastinya juga tidak mudah di sepanjang 70 hari pengabdian.

Iya juga sih! Kalau memenej urusan aktifitas pengabdian, termasuk membuat program kerja aktual untuk masyarakat yang mengharuskan bekerjasama dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, itu sih kita-kita Insha Allah bisa aja!

Tapi memenej dinamika "rumah tangga" dalam kelompok KKN, termasuk persentuhannya dengan alam, lingkungan, masyarakat sekitar berikut adat istiadat dan budayanya yang serba baru, jelas bukan perkara mudah apalagi sepele! Ini yang sering menghantuiku, hingga membuatku ragu!

    Apalagi, belum apa-apa kordesnya yang berlatar "si-bungsu" ini sudah dibilang imut-imut! Hadeeeeeh, apa nggak bikin deg-deg plas jadinya!?

Bagaiamana tidak!? Bisa membayangkan bukan, beban mental dan psikologis si "anak bungsu" ketika harus mengomando 9 orang kakak-kakak seniornya yang pasti punya ego dan rasa-rasa senioritas? Apalagi sebelumnya sama sekali tidak saling mengenal tabiat dan kebiasaan "nyentriknya" masing-masing!?

Terlebih lagi, ini dramanya di lokasi KKN yang pastinya bukanlah zona nyaman bagi semuanya, sehingga sangat berpotensi memicu beragam konflik! Nah ...lho!

Ah sudahlah! The show must go on! Yuk kita kemon sajalah! Lagian, semuanya kan memang sudah aku niatkan.

    Bismillah!

Oh iya hampir lupa! Kenalkan, namaku Bintang Satu, biasa dipanggil bintang! Aku kordes di kelompok KKN Desa Kabuaran, Bondowoso. Selain aku yang mewakili FE alias Fakultas Ekonomi, di kelompok KKN-ku ada 9 mahasiswa lain lagi yang berasal dari 9 fakultas berbeda dengan rincian 5 cewek dan 5 cowok.

Ada Ce Netty dari FKG, Kak Rina dari FH, Mbak Wahyu dari FSB, Mbak Nina dari FKU dan Kak Hani dari FMIPA. Juga ada Bang Ihsan dari Fisipol, Bang Taufik dari FKIP, Mas Agus dari Faperta dan Bang Deni dari Teknik

Kerennya! Berawal dari sebuah challenge yang aku gagas diawal pertemuan untuk menyusun menu masakan beragam yang tetap full nutrisi selama pengabdian, maksudnya sih biar kita-kitannya nggak bosan! Eh, justeru menguak sebuah fenomena unik dan luar biasa keren dalam kelompok KKN-ku. Apa itu?

    Ternyata, bukan hanya asal fakultas kita saja yang berbeda-beda, tapi juga asal-usul kampung halamannya yang ternyata se Indonesia Raya! Bisa kebayang kan bagaimana kira-kira potensi kekacauan... eh keseruannya!? He...he...he...

"Jangan lupa Soto Betawi dan sayur asam Jakarta masuk list ya!" Wanti-wanti Bang Ihsan yang asli Jaksel, agar menu kuliner  kampung halamannya nggak kelewatan dalam silabus kita

Ada juga Mas Agus, Wong Jogja yang ngelist gudeg ceker dan mangut lele, juga Bang Deni dari Donggala, Sulawesi Tengah yang merekomendasikan sup Kaledo-nya. Kebetulan di Kabuaran banyak sekali ternak domba.

"Mudah-mudahan, nanti ada juragan domba baik hati yang menyumbangkan seekor saja buat kita...he...he...he...", kata Bang Deni sambil menengadahkan tangan dan kita aminkan bareng-bareng.

Setelah itu, Mbak Nina yang dari Lamongan ngasih referensi tahu campur dan juga soto Lamongan yang memang favorit siapa saja, sedang Bang Taufik yang merantau dari Kalimantan Selatan sudah siap membawa bumbu asli Soto "Kuin" khas Banjar yang full rempah untuk obat karindangan alias obat kangen kampung halamannya di Kuin Selatan, Kota Banjarmasin.

Sementara Ce Netty yang dari Palembang dan kebetulan kebagian sebagai "manajer" logistik sudah jauh-jauh hari berjanji siap memasak tekwan dan model!

Sedangkan Kak Hani yang berdarah Minang tapi lahir dan besar di Ambon, Maluku malah sudah siap dengan berbagai olahan kuliner khas Sulawesi yang menjadi usaha keluarga besarnya di Ambon dan Mbak Wahyu yang blasteran Jawa-Sunda, merekomendasikan empal gentong khas Cirebonan, kampung halamannya.

"Kordes nggak ada rekomendasinya?!" Tanya Kak Rina "si-Manajer keuangan" alias bendahara kelompok yang sebelumnya sudah merekomendasikan untuk mencoba kuliner jagung Bose khas NTT yang pernah menjadi bagian dari masa kecilnya. "Lagian di Kabuaran jagungnya melimpah!" Katanya beralasan.

"Kordes kita ni pemakan segala, asalkan berkuah kaldu, pasti disikatnya!" Mas Agus membuka rahasia yang aku sampaikan beberapa hari lalu sebelum kita berangkat ke lokasi KKN.

Jujur, sebagai penikmat kuliner, terutama yang berbasis kuah kaldu khas nusantara, aku benar-benar terkejut sekaligus bangga dan terharu, bisa tergabung dengan kelompok KKN yang selayaknya miniatur nusantara ini. Aku sama sekali nggak pernah kepikiran bakal bertemu mereka, termasuk nantinya bisa merasakan beragam kuliner enak dari hampir seluruh pelosok Nusantara!

Tapi jujur saja, fakta ini juga semakin membuatku galau segalau-galaunya! Apa iya, aku nanti bisa jadi "Gajah Mada", mempersatukan keragaman berikut ego dari "kakak-kakak senior" yang menurutku semakin tampak nyata di depan mata, selama 70 hari di Kabuaran?

"Baiklah, aku masak Rawon spesial tetelan, buat kita semua pas 17 Agustusan nanti, mau?" Jawabku sambil menatap satu persatu semua "kakak-kakakku" yang duduk melingkar untuk meminta persetujuan mereka.

"Siap, Merdekaaaaaaaa!". Jawab mereka serempak sambil bertepuk tangan, entah apa maksudnya.

Beruntungnya, Desa Kabuaran yang berada di ketinggian khas pegunungan, mempunyai bentang alam yang luar biasa cantik! Benar-benar secantik Cece dan kakak-kakak anggota KKN-ku yang rerata memang pada mirip artis sinetron di tipi, hingga aku serasa healing saja sehari-harinya. Suer!

Padahal jujur saja, sebelumnya kami sempat under estimate dan ilfill lho dengan Desa Kabuaran ini, karena kami benar-benar tidak mempunyai informasi sedikitpun tentang desa ini!

Lho kok bisa!? Lokasi KKN kami yang ditetapkan sejak awal dan sudah kami survey sebelumnya, mendadak diganti tanpa alasan dan pemberitahuan, tepat di hari H, pas rombongan kami sudah berada di kantor Kecamatan untuk pelepasan oleh Pak Camat!



Celakanya, Desa Kabuaran sebagai pengganti, sepertinya saat itu juga tidak siap menerima kedatangan rombongan kami. Terbukti, beberapa kali lokasi posko kami dipindah, juga dengan alasan yang tidak jelas, sebelum akhirnya kami ditempatkan di rumah tamu sederhana milik keluarga Haji Hasan.

Jadinya bisa ditebak! Plan program kerja dan segala tetek bengek yang sudah kami persiapkan jauh-jauh hari benar-benar tidak terpakai! Duuuuh apa kabar komandan...!? Eh, si anak bungsu!?

    Beruntungnya, lingkungan di posko kami, milik juragan sapi dan tembakau ini, sungguh memanjakan kami dengan view sekitar yang selayaknya villa untuk berlibur.

Selain dikelilingi kebun tembakau dan jagung dengan kontur berundak berlatar hutan pinus yang hijau menyegarkan, view sungai berbatu-batu raksasa di samping rumah dengan gemericik airnya yang jernih menenangkan, benar-benar sangat memanjakan dan ini sangat membantu psikis kami, terutama aku untuk lebih rileks dan fokus.

Belum lagi keunikan-keunikan alam Kabuaran yang hijau dan asri yang semakin membuatku tidak bisa melupakan kebesaranNya, hingga akhirnya aku dan teman-teman merasa lebih nyaman dan tenang mengabdi.

Salah satu keunikan Kabuaran yang jarang dimiliki tempat lain adalah banyaknya sumber mata air yang tersebar di sembarang tempat dan dimanfaatkan warga untuk berbagai kebutuhan.

Upsss! Ini juga yang awalnya membuat kami terkaget-kaget dan kegelian sendiri, ketika nggak sengaja sering terlihat orang mandi di balik rumpun bambu atau di balik pepohonan, bahkan di balik bebatuan raksasa di berbagai titik saluran air yang mengalirkan air begitu jernih, dingin dan segar.

Memang, masih menjadi tradisi banyak warga masyarakat di Kabuaran yang memanfaatkan kesegaran dan kebersihan air yang serasa keluar dari kulkas ini langsung dari sumber mata airnya. "Lebih fresh" katanya, he...he...he...!

Awalnya sih kami risih juga dengan cara mandi di sumber air apalagi di sungai terbuka yang jika pagi dan sore lebih mirip pemandian umum itu, tapi setelah menemukan tips dan triknya, kami semua justeru ketagihan dengan sensasinya...he...he...he...

    Satu lagi! Kalau pagi hari atau sorenya cerah tanpa kabut, puncak gunung piramid, bagian dari Gunung Argopuro di Bondowoso yang juga dikenal sebagai punggung naga itu akan terlihat jelas eksotisnya dari teras posko.

Pemandangan romantisnya nggak bakalan habis meskipun setiap pagi dan sore dinikmati terus sambil nyeruput teh hangat atau kopi nashitel, juga pisang goreng kesukaanku. Apalagi ditemani sama wajah-wajah segar Cece dan kakak-kakak yang sebelas-dua belas saja sama bidadari. Duh... speechless dah si bungsu!



Tapi sedihnya, kami lebih speechless lagi ketika harus bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan sayangnya, baru saja kami menyadari hal krusial ini ketika Haji Hasan, pemilik rumah untuk posko menyapa kami untuk pertama kalinya, "dherremma kabarra?"

Kami lupa! Tidak satupun diantara kami yang bisa, apalagi fasih berbahasa Madura, bahasa ibu masyarakat Kabuaran. Memang, secara umum kita masih bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa isyarat, tapi faktanya seringkali terjadi mis komunikasi.

Kami khawatir situasi ini akan menimbulkan kesalahpahaman dan menjadikan niatan kami untuk selalu berusaha menjujung langit Kabuaran, ketika memijak buminya menjadi kacau balau.

Terbukti! Gara-gara masalah bahasa ini, belum apa-apa Kak Nina yang wajahnya mirip artis Vonny Cornelia itu sudah "ketiban sampur", mendapatkan tanda cinta dari penggemar rahasianya yang tiba-tiba datang melamar dengan membawa mas kawin beberapa ekor sapi jenis Brahman, hanya beberapa hari setelah kami tinggal di posko.

Deg! Kami bersepuluh, terutama saya, serasa meriang tiba-tiba, ketika mendapati situasi ini. Terlebih ketika Kak Nina yang awalnya cengar-cengir mempunyai penggemar rahasia, akhirnya merasa ketakutan juga mendapatkan "apresiasi" mendadak begini.

Beruntung, semuanya berakhir baik setelah Pak Kades, Pak Camat, Pak Kapolsek bahkan sampai Kepala KUA setempat turun tangan untuk rembugan bersama. Hingga akhirnya, kami semua juga sepakat untuk memperbaiki bahasa Madura kami dengan berbagai cara yang kita bisa secara intensif.

Sejak itu, kami tidak hanya mengirim perwakilan saja untuk bersilaturahmi ke masyarakat, termasuk saat menghadiri setiap ada acara kampung, seperti pengajian rutin di masjid, yasinan, rapat RT, ronda malam, sampai hajatan warga, tapi full team!

"Khusus untuk ronda malam, saya minta perwakilan adik-adik KKN yang laki-laki saja yang ikut, itupun nanti jaganya di pos Kantor desa saja" Begitu Pak Amsari, Kades Kabuaran membuka pembicaraan dengan kita, terkait keinginan kami terlibat dalam aktifitas warga di malam hari tersebut.

"Karena ronda malam di desa kita ini berpotensi bahaya, bukan ronda seperti di tivi yang hanya keliling-keliling kampung. Ini karena masih maraknya sindikat maling sapi bersenjata yang masih saja menargetkan aksi di Kabuaran". Lanjut Pak Kades, masih dengan campuran bahasa Madura dan Indonesia yang terdengar cukup unik di telinga saya.

"Itu juga sebabnya, aktifitas adik-adik KKN di sini saya batasi, maksimal sampai jam 9 malam saja dan setelahnya tidak boleh keluar dari posko, apapun yang terjadi, kecuali ada hal darurat. Kalau semua berjalan dengan baik, Insha Allah semua aman dan akan baik-baik saja". Begitulah, satu persatu akhirnya Pak Amsari membuka kotak Pandora Kabuaran.

Waaaaah, ini yang namanya KKN versi ngeri-ngeri sedap mas bro! Akankah nanti Kabuaran berbagi pengalaman-pengalaman seru lainnya kepada kami?



Berada di ketinggian Kabuaran pada musim kemarau antara April sampai September merupakan waktu terbaik untuk mengabdi, sekaligus menikmati alam yang sedang dingin dan bagus-bagusnya.

    Jadi, pengabdian kami mulai akhir bulan Juli sampai September, momentumnya pas! Terutama jika ingin lebih banyak mengeksplor dan mengabdi di kampung-kampung di bagian atas Kabuaran yang mempunyai pemandangan super keren dan memang lebih didominasi oleh perkebunan tembakau dan jagung, juga peternakan sapi, kambing dan domba daripada pemukiman warga.

Meskipun begitu, di kampung atas ini juga ada fasilitas sekolah dasar negeri yang masih aktif dimanfaatkan untuk belajar mengajar, hanya saja tradisi masyarakat di lingkungan kampung atas ini lumayan unik, kalau musim panen tembakau tiba, biasanya anak-anak akan meliburkan diri untuk membantu orangtuanya panen tembakau, hingga sekolahnya tutup total. Lhaaah!?

Tidak hanya itu saja! Uniknya lagi, panen tembakau dan jagung yang saat ini tinggal menghitung hari, akan menjadikan 4 kampung di Kabuaran, termasuk di kampung atas semuanya lebih hidup dari biasanya.

Bila malam tiba, selain tetap waspada pada aktifitas maling sapi yang masih saja merajalela dan meresahkan masyarakat, warga juga wajib terus berjaga di kebun-kebun mereka dari serangan koloni babi hutan yang tidak kalah mengerikannya.

Semalaman suntuk, bunyi-bunyian harus dibunyikan terus-menerus untuk menghalau koloni babi hutan yang jika kita lengah tidak membunyikan bunyi-bunyiannya sesaat saja, mereka bisa datang dan menyerbu beramai-ramai untuk menghabiskan sehektar kebun jagung, hanya dalam hitungan menit saja. Ngeri kan!?

    Menariknya, meskipun begitu, masyarakat Kabuaran sama sekali tidak berniat untuk melukai apalagi membunuh kawanan babi hutan ini, karena menurut keyakinan komunal mereka, jika ada babi yang terluka apalagi terbunuh, maka koloni mereka akan semakin besar dan beringas menyerang apa saja sampai ke rumah-rumah di kampung.

Karenanya, untuk bisa menjaga kebun jagung secara efektif, diperlukan kerjasama yang baik antar masyarakat, terutama antar pemilik kebun jagung dan tradisi tua yang telah dilestarikan secara turun temurun ini telah terbukti bermanfaat, tidak hanya untuk menghalau sekaligus mengusir babi hutan semata, tapi juga menjadi media silaturahmi antar warga secara intensif dan efektif.

Nah, salah satu "senjata" paling ampuh untuk mempererat silaturahmi warga saat jaga malam di kebun, masyarakat Kabuaran mempunyai tradisi hidangan khas, unik dan ikonik yang sepertinya sulit untuk di temukan di tempat lain, yaitu kopi tubruk pahit yang ada asem-asem-nya khas kopi Arabika Kabuaran, pisang goreng, jagung rebus dan tembakau tambeng. Khusus di malam Jumat, Bu Haji Hasan membekali kami ayam bakar pedas dan sebakul nasi.

"Kopi kita ini jenis Arabika yang kita tanam di diatas" kata Bang Zul, bungsu Haji Hasan yang hampir tiap malam mengajak kami, anak-anak KKN yang gentle secara bergantian untuk begadang di kebun jagung miliknya bersama beberapa warga lainnya.

"Nah, kalau si-Tambeng, ini yang paling spesial dari Kabuaran! Kalau sudah nyicip yang ini, dijamin nggak bakalan lagi mau beli sigaret merek pabrikan yang harganya mahal-mahal itu", promosi Bang Zul sambil menunjukkan komoditi tembakau rajang super paling mahal dan paling dicari ini dengan bahasa Indonesia campur Madura.


Memang sih, produk tembakau rajang yang beraroma madu ini bisa dibilang istimewa dari awalnya!

Bagaimana tidak!? Menurut Bang Zul, konon untuk mendapatkan tembakau tambeng yang artinya bandel ini, bibit tanaman tembakau super ini sudah harus mendapatkan treatment khusus sejak dari kecil. Salah satunya "diinjeksi" dengan cairan madu murni secara berkala, begitu juga pada saat penanganan pasca panen, hingga citarasa manis madu tembakaunya yang benar-benar spesial menjadi buruan penikmatnya dari segala penjuru dunia.

"Ngok...ngok, ngok...ngok!" Tiba-tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh terdengar koloni babi yang mulai mendekat diikuti suara berisik langkah kaki-kaki mereka.

Tidak mau mengambil resiko, saya dan Bang Taufik yang kali ini menemani Bang Zul di kebun, langsung menarik tali kekang di tiang pondok yang seketika mengeluarkan bunyi-bunyian riuh dan berisik, hingga membuat koloni babi hutan yang mendekat langsung terkaget dan lari tunggang langgang menjauh tak karuan arah.

Mendengar suara khas kawanan babi hutan yang panik berikut gemuruh suara larinya, ternyata memicu reaksi adrenalin tubuh kami, hingga kami semakin segar dan tidak lagi terkantuk-kantuk.

"Itu masih biasa! Tadi yang datang hanya beberapa babi yunior yang baru belajar saja". Kata Bang Dzul santai sambil menikmati tingwe si-Tambeng dalam-dalam.

"Serius Bang, sebanyak itu baru yuniornya saja!? Dari mana abang tahu!?" Tanyaku penasaran.

"Suara mereka! Kalau Babi senior yang sudah pengalaman, mereka lebih tenang dan tidak terlalu ribut, tapi tiba-tiba habis saja jagung sekebun!" Kata Bang Dzul sambil nyengir memperlihatkan giginya, masih sambil menikmati tingwe si-Tambeng dalam-dalam.

"Baru tahu, ternyata babipun juga perlu belajar, bahkan perlu juga praktek lapangan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya", Bang Taufik menggumam sendiri sambil geleng-geleng kepala dan senyum-senyum sendiri pula, tanda keheranan dan ketakjubannya pada pengalaman pertamanya di serang babi yang baru belajar mencari kehidupan!

    "Oiya, aku baru ingat! Jangan-jangan, kawanan beberapa babi muda yang malam-malam sering nampak dan terdengar riuh di pinggir sungai, samping posko kami juga dalam tahapan belajar!? Luar biasa babi-babi ini, rajin juga mereka belajar ...he...he...he...".

Mengenang  Abang, Mas, Cece dan Kakak-kakak Kelompok KKN "Bhinneka Tunggal Ika" Desa Kabuaran, Bondowoso di Medio 90-an.

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN
Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN












Tidak ada komentar:

Posting Komentar