Selasa, 31 Desember 2024

"Teh Es dan Teh Dingin", Sisi Unik Tradisi Ngetehnya Urang Banjar"

Teh Es, Teh Manis yang Ditambahkan Es Batu sebagai Pendingin sekaligus Penyegar. Di Daerahmu apa sebutannya, Teh Es atau Es Teh? | @kaekaha 


"Minumnya apa pian, teh es, teh dingin atau teh panas?"

Desa Mawa Cara

Sesanti berbahasa Jawa di atas, merupakan penggalan dari sesanti desa mawa cara, negara mawa tata yang makna parsialnya kurang lebih adalah setiap tempat (daerah/desa) pasti punya cara dan cirinya masing-masing (kearifan lokal). 

Sesanti ini sepertinya identik dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia yang begitu masyhur, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya! Ada lagi yang lain?

Sesanti di atas secara tersirat memberi pesan, bahwa setiap perbedaan adalah sebuah keniscayaan, rahmat dan anugerah dari Tuhan yang (diciptakan, sebenarnya untuk saling melengkapi dan) tidak bisa kita hindari.

Termasuk dalam konteks dan perspektif Indonesia kita yang memang didirikan sebagai bangsa dan negara, benar-benar di atas rajutan erat dari jalinan berbagai suku dengan keragaman tradisi dan budayanya, agama, ras dan juga golongan. 

Hingga para founding father bangsa ini merasa perlu mengaktualisasikannya dalam semboyan keren yang kita kenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika, sebaris frasa yang dikutip dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis di era keemasan Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14. Keren kan Indonesia kita!?

Teh Dingin, Perbendaharaan Frasa yang Unik dalam Tradisi Ngetehnya Urang Banjar  | @kaekaha

Itulah sebabnya, saya sangat bersyukur menjadi bagian dari negeri bernama Indonesia, karena kemanapun saya pergi ke berbagai pelosoknya, setiap jengkal tanahnya akan selalu memberi pengalaman dan pemahaman autentik, unik dan menarik yang selalu baru dan berbeda-beda.

Nah, itu juga yang seringkali saya temui dan dapati setiap kali berkesempatan mengunjungi tempat-tempat baru di berbagai pelosok nusantara, terutama dulu, saat masih aktif bekerja dengan range area proyek memang se-nusantaraPernak-pernik keseruan "kerja sambil jalan-jalan" saya ini pernah saya spill pada artikel  "Berselancar" di Kompasiana, Berkeliling Indonesia, Mengabadikan Indahnya Keragaman NusantaraSilakan klik bila ingin ikut merasakan sensasi serunya!

Salah satunya yang paling menyenangkan (setidaknya bagi saya), sekaligus paling sering bersentuhan dengan keseharian masyarakat kita adalah keragaman tradisi dan budaya kulinernya, khususon lagi budaya ngeteh-nya.

Baca Juga Yuk! Eksistensi "Sambal Banjar" Sarat Rempah di Antara Serbuan Bumbu Instan Pabrikan

Ya! Budaya ngeteh atau segala pernak-pernik tradisi minum teh yang saya maksudkan di sini tentu saja tidak hanya sekadar merujuk pada ritus minum teh-nya semata, tapi juga mencakup tahapan pemilihan bahan baku teh terbaik, tahapan pengolahannya, sampai seduhan teh terbaik ini hadir di meja, siap untuk disesap kehangatan dan juga aromanya yang menenangkan sekaligus menyegarkan.


Teh Es, Teh Manis yang Ditambahkan Es Batu sebagai Pendingin sekaligus Penyegar. Di Daerahmu Apa sebutannya, Teh Es atau Es Teh? | @kaekaha

T

Balada Ngeteh ala Urang Banjar

Memang budaya minum teh masyarakat nusantara, mungkin belum setenar budaya minum tehnya masyarakat Jepang atau Tiongkok yang literasi dan bahkan promosinya sebagai bagian dari daya tarik wisata sudah dikemas dengan baik hingga mendunia, tapi jangan salah ya! 

Jika mengacu pada kekayaan tradisi dan budaya kuliner berbagai suku-suku bangsa se-nusantara yang begitu besar, saya yakin besarnya keragaman pada ciri unik dan ciri khasnya tradisi ngeteh atau pernak-pernik seputar tradisi minum teh masyarakat Indonesia bukan sekedar isapan jempol semata! 

Terbukti, bahkan banyak daerah yang bukan penghasil teh, seperti Kalimantan Selatan dan Kota Banjarmasinnya yang berada di dataran rendah, tapi mempunyai produk teh yang populer, hingga mempunyai tradisi ngeteh yang juga autentik.

Mungkin karena minimmya literasi dan juga dokumentasi yang baik saja, hingga potensi keragaman dan kekayaan budaya ngeteh kita yang autentik masih belum terdeteksi, apalagi muncul ke permukaan sebagai destinasi pariwisata budaya dan kuliner. Salah satunya seperti yang tersurat dalam kalimat berbahasa Banjar pada pembuka artikel diatas. "Minumnya apa pian, teh es, teh dingin atau teh panas?"

Pertama kali mendengar kalimat di atas, lebih dari dua dekade silam saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan bungas! dan marasai (mencoba; bahasa Banjar) makan di warung Banjar, tentu saja saya sempat keheranan juga mendengarnya. 

Saya yang di kampung terbiasa dengan sebutan es teh, kenapa di sini jadi teh es? Terus ada juga disebut teh dingin, teh seperti apa pula itu? Apa bedanya teh dingin dengan es teh, eh teh es yang pastinya juga dingin, kan ada es batunya? 

Satu lagi, teh panas! Ini yang tidak kalah membuat saya terkaget-kaget! Soalnya saat itu setting waktunya pada ba'da Dhuhur alias saat siang bolong lho dan cuaca Banjarmasin juga sedang panas-panasnya! Kok ditawari teh panas?


Teh Es, Teh Manis yang Ditambahkan Es Batu sebagai Pendingin sekaligus Penyegar. Di Daerahmu Apa sebutannya, Teh Es atau Es Teh? | @kaekaha


Saat itu, tentu saja langsung muncul banyak pertanyaan dalam benak saya! Tapi sejurus kemudian saya tersadar, inilah nusantara, Indonesia kita kawan! Inilah salah satu bukti keragaman tradisi dan budaya ala nusantara yang memang bukan isapan jempol semata, tapi aktual dan faktual! Persis seperti makna yang terkandung dalam sesanti desa mawa cara atau lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya!   

Meskipun begitu, bukan berarti rasa penasaran saya pada ketiga jenis teh ala Urang Banjar ini hilang ditelan waktu. Justeru sebaliknya, semakin membuat rasa penasaran saya pada pernak-pernik budaya Banjar terus memuncak. Apalagi dengan beragam tradisi dan budaya kulinernya yang terus menggoda!

Memang banyak versi jawaban ketika saya menanyakan asal-usul sebutan teh es untuk es teh ala Urang Banjar ini kepada berbagai kalangan, mulai dari pemilik warung yang juga menjual teh es sampai akademisi dan budayawan Banjar. 

Ini bukan mencari tahu tentang salah dan benarnya lo ya, tapi lebih kepada menggali pemahaman masyarakat terhadap kearifan lokal yang diwarisi dan dimilikinya.

Hingga akhirnya saya menemukan tiga jawaban menarik sebagai hipotesa asal-usul frasa teh es, yaitu 

Pertama, teh es memang bahasa Banjarnya dari es teh!

Kedua, teh es itu maksudnya teh (manis) yang ditambahkan es batu ke dalamnya. Untuk maulahnya (membuat;bahasa Banjar), dimulai dari membuat teh dulu baru ditambahkan es batu dan proses ini tidak bisa dibalik, makanya sebutannya adalah teh es bukan es teh!

Ketiga, frasa teh es ini sesuai kaidah hukum DM (diterangkan menerangkan) yang dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pembeda bahasa Indonesai dan rumpun bahasa Austronesia lainnya, termasuk bahas Banjar dengan rumpun bahasa Indo Eropa yang menganut hukum sebaliknya, MD alias menerangkan diterangkan. Teh es (DM), Ice tea (MD), nah kalau es teh?

Teh Es dengan Pemanis Gula Pasir Masih Utuh | @kaekaha

Tidak hanya itu, kisah teh dingin ala ngetehnya Urang Banjar ternyata juga tidak kalah unik dan seru lho dari teh es. Kosakota dingin dalam bahasa Banjar sebenarnya mempunyai makna yang sama dengan kata dingin dalam bahasa Indonesia. Tapi uniknya, khusus untuk frasa teh dingin ala Urang Banjar ini, ternyata maksud dan maknanya bukanlah teh yang dingin, tapi teh hangat.

Dalam tradisi aslinya, kulineran ala Urang Banjar, tidak mengenal istilah atau frasa teh hangat! Jadi kalau pas makan di warung atau rumah makan Banjar, dalam daftar menunya terdapat teh dingin atau mungkin malah ditawari teh dingin langsung sama pemilik warungnya maksudnya ya teh dengan level panas yang hangat-hangat kuku bukan teh yang dingin apalagi teh yang dingin karena ada es-nya alias es teh! Nah unik bukan?

Sepertinya  sih, asal-usul frasa teh dingin ini merupakan bentuk pembanding dari level panasnya air teh panas. Jadi teh dingin ini maksudnya teh (yang lebih) dingin (dari teh panas), bukan teh yang dingin seperti merujuk pada arti kata dasar pembentuknya.  

Tidak heran jika kemudian, khusus untuk frasa teh dingin ini sering menimbulkan perdebatan karena salah tafsir. Terlebih jika salah satu pihak  diantaranya, entah pembeli atau penjualnya adalah pendatang alias non Banjar. tapi jangan kuatir karena ujung-ujungnya pasti sama-sama senyum sendiri kok, He...he...he...  

Baca Juga Yuk! Cerita Pohon Seho, Bakar Nyala dan Gendutnya Cucur Tu ur Ma'asering di Tomohon

Untuk teh panas, saya mempunyai cerita unik yang mungkin saya sendiri juga tidak akan pernah mempercayai "kabar burung" yang menyebut Urang banjar paling suka menikmati makanan dan minuman dalam keadaan serba panas, seandainya saat itu tidak melihat dan mendengar dengan indra saya sendiri, hingga akhirnya saya bisa memahami keunikan salah satu tradisi ngeteh panas ala Urang Banjar ini.

Di suatu siang yang terik khas Kota Banjarmasin yang  gerah, saya yang lagi ngadem di sebuah warung makan tradisional khas Banjar langganan saya, benar-benar dibuat keheranan oleh beberapa pengunjung di meja tepat di depan saya yang tampak sangat menikmati sajian kuliner berkuah pedas dan panas yang didampingi dengan teman minum berupa teh panas yang benar-benar panas.

Teh Es dengan Pemanis Gula Sirup | @kaekaha

 

Darimana saya tahu, air minum pengunjung di meja depan saya benar-benar teh yang sangat panas?  Saya mengetahui dari permintaan si pengunjung kepada pemilik warung, "banyu teh panasnya nang hanyar manggurak lah!" (air teh panasnya yang baru mendidih ya!)

Uniknya, menurut si pengunjung, air teh  yang dihidangkan saat itu katanya masih kurang panas! Hingga membuat kebingungan si pemilik warung, karena menurut pemilik warung, air untuk menyeduh teh itu diambil dari pamci diatas kompor yang airnya masih mendidih.

Dari sinilah, akhirnya saya mengerti dan percaya, kalau Urang Banjar juga paling suka makan dan minum serba panas yang konon, jika dinikmati dengan cara dan teknik yang benar sangat bermanfaat bagi kesehatan dan pastinya, akan membuat penikmatnya mandi keringat sekaligus terpuaskan hajatnya. 

Pantas saja, di siang bolong yang sedang panas-panasnya, saya juga pernah dirawari pilihan minuman teh panas juga saat pertama kali makan di warung makan Banjar dua dekade silam  (BDJ311224)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sunagi, Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 1 Januari 2025 jam 00:01  WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Menikmati Diplomasi Rendang di Daerah Terdampak Bencana Alam

Rendang untuk Sigi Palu dan Donggala (Grafis/Foto : tribunstyle.com)
Rendang untuk Sigi Palu dan Donggala | tribunstyle.com

Bangsa dan Negara Indonesia layaknya sebuah analogi dari badan atau tubuh kita. Jika ada bagian tubuh kita yang sakit, maka bagian tubuh yang lain juga akan ikut merasakan dampak ketidaknyamanan akibat sakit yang diderita tadi. Begitu pula sebaliknya, jika ada bagian tubuh kita yang merasakan nikmat, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakan relaksasi dampak dari rasa nikmat tadi.

Itu juga yang saat ini sedang terjadi! Disaat kabupaten Lombok Utara diguncang gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter dan berikutnya SiPa Dongga (Kota Sigi, Palu dan Donggala) Sulawesi Tengah dilanda musibah gempa bumi 7,4 scala Richter yang diikuti terjadinya tsunami dan likuifaksi (liquefaction) yang diperkirakan menyebabkan korban jiwa lebih dari 2000 orang, di sini rasa ke-Indonesiaan semua elemen bangsa seperti mendapat mementum!

Tanpa komando dan tanpa harus menunggu lama, kesedihan dan duka dari daerah-daerah terdampak bencana dahsyat diatas secara otomatis menjalar sekaligus menyengat  rasa solidaritas  seluruh elemen bangsa di seluruh pelosok tanah air Indonesia.

Serentak, berbagai bentuk bantuan dari masyarakat dalam berbagai bentuk mulai dari uang, sembako, mie instan, lauk rendang, air bersih, obat-obatan, pakaian layak pakai, BBM bahkan sampai truk, alat berat, helikopter dan pesawat terbang mengalir menuju daaerah-daerah terdampak bencana di Lombok Utara dan SiPa Dongga.

Dari berbagai bentuk bantuan yang mengalir ke daerah terdampak bencana baik di Lombok Utara maupun ke daerah SiPa Dongga ada satu bentuk bantuan yang menarik untuk disimak sekaligus dinikmati baik obyek barangnya maupun kemanfaatannya bagi masyarakat yang mengalami bencana, yaitu keberadaan olahan lauk rendang daging sapi dan ikan tuna yang dikirim langsung oleh masyarakat Sumatera Barat melalui BNPB Sumatera Barat.

Tidak tanggung-tanggung, khusus untuk bantuan ke Lombok Utara total bantuan sekitar 1 Ton dan untuk daerah SiPa Dongga, jumlahnya lebih dari 1 ton.  

(foody.id)

Rendang si-Cita Rasa Juara!

Bagi masyarakat Indonesia, olahan rendang daging (atau apapun isiannya) hasil karya dari olah cipta, rasa dan karsa masyarakat Minangkabau Sumatera Barat ini, tentu bukanlah sesuatu yang asing. Selain sangat mudah di temui, karena setiap rumah makan Padang yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia selalu menyediakan jenis masakan yang kaya rempah ini dan yang terbaru, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata baru saja menetapkan rendang dan empat jenis masakan lainnya, yaitu soto, nasi goreng, sate dan gado-gado sebagai National Food atau masakan nasional Indonesia.

Sebelumnya, dari ranah internasional. Dipertengahan tahun 2017, grup media internasinal CNN lebih dulu menetapkan rendang sebagai kuliner terlezat di dunia berdasar dari survei yang mereka lakukan kepada 35.000 pembacanya di seluruh dunia.

Selain rendang, dalam urutan 10 teratas jenis makanan paling enak sedunia versi CNN tersebut, juga menempatkan Nasi Goreng diurutan ke-2 disusul berurutan oleh Sushi (Jepang), Tom Yam Goong (Thailand), Pad Thai (Thailand), Som Tam-Papaya Salad (Thailand), Dim Sum (Hongkong), Ramen (Jepang), Bebek Peking (China) dan Kari Masaman (Thailand) di urutan ke-10.

Artinya, cita rasa serta kelezatan rendang tidak hanya sekedar bisa diterima "lidah" dunia internasional tapi sudah diakui sebagai kuliner dengan cita rasa juara.

Diplomasi Rendang

Ketika masyarakat Sumatera Barat memilih rendang sebagai "kode peduli dan empati" mewakili kehadiran mereka di berbagai daerah terdampak bencana alam di Indonesia yang kini menjadi trademark  atau ciri khas dari Masyarakat Sumatera Barat ini tentu bukan tanpa alasan, maksud dan tujuan!

Dimulai dari sumbangan ke daerah bencana tsunami di Aceh 2004 sampai ke bencana kabupaten Lombok Utara yang diguncang gempa bumi berkekuatan 7,0 skala Richter dan berikutnya SiPa Dongga (Kota Sigi, Palu dan Donggala) Sulawesi Tengah dilanda musibah gempa bumi 7,4 scala Richter yang diikuti terjadinya tsunami dan likuifaksi (liquefaction). Inilah inspirasi "nendang" dari diplomasi cantik dari si cita rasa juara, rendang!

Rendang di pilih karena telah dikenal oleh masyarakat Indonesia, tidak hanya sekedar nama dan asal-usulnya semata, tapi juga cita rasanya. Ini penting! Cita rasa "juara" rendang yang relatif bisa diterima oleh lidah seluruh masyarakat Indonesia tentu akan lebih mudah untuk menggugah kembali nafsu makan saudara-saudara kita di daerah terdampak bencana yang sedang "tidak karuan rasa", sehingga dengan bangkitnya nafsu makan diharapkan mereka akan kembali mengasup asupan yang cukup sehingga akan mengembalikan stamina dan semangat untuk terus membangun kembali masa depan.

Selain soal rasa, bahan isian untuk membuat rendang yang umumnya berupa produk hewani seperti daging sapi, ayam, telor, ikan tuna, udang dll sudah barang tentu mempunyai kandungan gizi yang baik  untuk dikonsumsi masyarakat di daerah yang terdampak bencana yang karena situasi dan keadaan biasanya hanya mendapatkan asupan gizi makanan yang sangat terbatas dan tidak berimbang.

Salah satu keunikan sekaligus kelebihan rendang adalah daya tahannya yang bisa sampai 1 bulan, meskipun tanpa bahan pengawet dan perlakuan khusus. Ini sangat penting! Keunikan dan kelebihan ini menjadikan rendang sangat cocok untuk pemenuhan asupan makanan bergizi di tengah-tengah masa tanggap darurat bencana, karena lebih praktis dan tidak merepotkan dan yang terpenting tetap enak, bergizi dan tentunya aman untuk dikonsumsi. Tidak banyak kuliner olahan yang mempunyai daya tahan lama apalagi sampai 1 bulan tanpa perlakuan khusus.

Rempah-rempah untuk memasak rendang (Foto : databisnisekonomi.com)
Rempah-rempah untuk memasak rendang | databisnisekonomi.com

Olahan rendang bisa bertahan lama antara lain karena banyaknya rempah-rempah (total sekitar 16 macam) bahan baku membuat rendang yang fungsinya tidak hanya untuk penguat cita rasa semata tapi juga berfungsi sebagai bahan pengawet alami sekaligus antioksidan.  

Rata-rata rempah yang digunakan masyarakat Minangkabau untuk memasak masakan padang, mempunyai kemampuan menghambat bakteri atau antimikroba dalam mengurai makanan sehingga masakan jauh lebih awet dibanding dengan yang menggunakan rempah sedikit.

Selain karena bahan baku, lamanya proses memasak rendang yang berisi bermacam-macam rempah tersebut juga menjadikannya sebagai pengawet alami.

Jadi, sangat tepat ketika masyarakat Sumatera Barat memilih rendang yang notabene merupakan kuliner juara untuk dikirim kepada saudara-saudara di Lombok dan SiPa Dongga sebagai "kode peduli dan empati" mereka atas musibah bencana yang menimpa, setidaknya selama masa tanggap darurat.

Dengan rendang yang bisa tahan lama, setidaknya akan membantu masyarakat di daerah-daerah terdapak bencana untuk tetap bersemangat memenuhi asupan makanan bergizi tanpa harus direpotkan untuk membuat, mengolah atau sekedar menjaga agar lauk pauk tidak rusak.

Rumah Makan Masakan Padang (Foto : @kaekaha)
Rumah Makan Masakan Padang | @kaekaha

Buah Diplomasi Rendang

Dari diplomasi rendang di daerah-daerah terdampak bencana, mungkin tidak ada yang diharapkan oleh masyarakat Sumatera Barat selain saudara-saudara di daerah bencana juga  bisa tetap makan dengan nyaman dan tenang dengan rendang Padang. Karena saya yakin, Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat  sama seperti masyarakat Indonesia lainnya yang secara tulus dan ikhlas mengirimkan bantuan ke daerah bencana  karena "ikut merasakan sakit" yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di daerah bencana.

Tapi, pepatah bijak berkata "Siapa menanam dia akan memetik" atau  "siapa yang menabur makan akan menuai". Meskipun masyarakat Sumatera Barat samasekali tidak berharap apa-apa dari bantuan rendang yang dikirimkan ke berbagai daerah terdampak bencana, tapi hukum alam seperti diskripsi dari pepatah bijak diatas pasti akan tetap berlaku! "Proses biasanya tidak akan mengkhianati hasil!" Inilah buah dari diplomasi rendang.

Tanpa disadari, selain pahala dari Tuhan yang tentunya melihat apa yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat, diplomasi rendang di daerah bencana merupakan pembuktian eksistensi sekaligus promosi gratis dari rendang sebagai salah satu hasil olah cipta, rasa dan karsa dari masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Selain itu, sekali lagi  tanpa disadari!

Secara tidak langsung pemberitaan diplomasi rendang di berbagai media merupakan promosi gratis bagi semua rumah makan Padang di seluruh Indonesia dan dunia.

Infografis tentang Rendang (Grafis : goodnewsfromindonesia.com)
Infografis tentang Rendang | goodnewsfromindonesia.com

Ketenaran olahan rendang sebagai produk dari olah cipta, rasa dan karsa dari masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, secara khusus tentu akan semakin mendekatkan komunikasi batin antara masyarakat Minang dengan masyarakat daerah-daerah terdampak bencana dan secara umum dengan seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga, pada gilirannya nanti akan tercipta harmoni diantara sesama anak bangsa karena adanya ikatan batin yang kuat yang dibangun dari rendang!

Selain memberi feedback positif untuk rendang dan masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat sendiri, kesuksesan diplomasi rendang di berbagai daerah terdampak bencana tentunya akan  menginspirasi semua elemen bangsa untuk bisa mengikuti jejak masyarakat Minangkabau dan Sumatera Barat  untuk mengeksplorasi berbagai kearifan lokal daerah masing-masing, khusunya untuk kuliner. 

Saya yakin di negeri yang kaya rempah dan mempunyai catatan ragam kuliner terbanyak di dunia seperti Indonesia, masih banyak jenis olahan kuliner daerah yang paling tidak mempunyai ketahanan (syukur-syukur juga kenyamanannya) setara dengan rendang Padang, sehingga suatu saat nanti mungkin juga bisa berdiplomasi di daerah-daerah terdampak bencana.

Paket Rendang yang siap dikirim ke daerah bencana (Foto : republika.co.id)
Paket Rendang yang siap dikirim ke daerah bencana | republika.co.id

 

Ternyata, Istriku Cemburu Berat Sama Ce Netty, Mantanku!

"Kitab Kuning" KKN | @kaekaha

"Dari serem ke sayang, dari ketawa ke bimbang"

"Kitab Kuning" KKN

Begitulah bunyi tagline lengkap dari "kitab kuning" KKN (Kuliah Kerja Nyata) alias buku project kreatif Kuliah Kerja Ngonten yang digagas Kompasiana dan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo yang di launching pada ajang Kompasianival 2024, Sabtu 2 Nopember 2024 lalu.

Dari tagline-nya yang berasa nano-nano alias rame rasanya itu, tentu para penikmat buku cerita bisa "meraba" betapa palugada-nya isi dari buku cerita tentang KKN paling lengkap yang pernah ada ini.

Bagaimana tidak, buku cerita yang sudah tersedia di store maupun online store Toko Buku Gramedia (Jabotabek) sejak 20 Nopember 2024 yang didalamnya berisi 20 karya terbaik para Kompasianer dari Sabang sampai Merauke yang naskahnya tembus dalam ajang KKN Creator Academy ini, isinya memang benar-benar mix, ada yang serem, sayang, ketawa dan bimbang lho! 

"Kitab Kuning" KKN di Rak Pajangan Gramedia, Banjarmasin | @kaekaha

Oiya, saya lebih suka menyebut "kitab kuning" KKN, buku pertama (mudah-mudahan segera disusul oleh edisi sekuelnya) dari program KKN Kompasiana ini sebagai buku cerita. Tahu kenapa?

Karena buku setebal 265 halaman ini memang memuat cerita-cerita menarik yang ditulis langsung berdasarkan pengalaman aktual dan faktual dari para penulisnya, sehingga cerita autentiknya mudah relate dengan siapapun yang membacanya.

Baca Juga Yuk! Romansa si Tambeng dan Babi-Babi Belajar di Ketinggian Kabuaran 

Karenanya, buku cerita ini bisa dijadikan bahan referensi bagi adik-adik mahasiswa yang mau KKN, bisa juga untuk nostalgila bagi yang pernah KKN, bahkan hiburan untuk mengisi waktu bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan tentunya penghiburan! 

Setidaknya ada 4 genre cerita dalam "kitab kuning" KKN ini, yaitu horor, romansa, humor dan kearifan tradisi budaya masyarakat khas Nusantara yang kesemuanya fresh from the oven! 


Berburu "Kitab Kuning" KKN

Meskipun sudah diinfokan di media sosial, "Kitab Kuning" KKN ini sudah bisa diorder secara online dan juga tersedia di store Gramedia mulai tanggal 20 Nopember 2024, ternyata pada tanggal tersebut baru beberapa Toko Buku Gramedia tertentu saja di wilayah Jabodetabek yang sudah memajangnya di rak buku.

Tidak heran jika beberapa teman di luar Jabodetabek, apalagi yang tinggal di luar Pulau Jawa belum menemukan buku cerita ini dipajang di Toko Buku Gramedia di Kotanya masing-masing. 

Baca Juga Yuk! Misteri Sepasang Kunang-kunang di Balik Halimun Kabuaran 

Begitu juga di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas, kota tua yang baru saja kehilangan statusnya sebagai ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan ini, dari 2+1 store-nya, yaitu di Jalan Veteran dan di Duta Mall plus satu lagi di Mall Banjarbaru, sampai akhir bulan November 2024 masih belum juga ada tanda-tanda buku cerita ini terpajang di rak-rak buku, termasuk di stage khusus untuk memajang buku-buku yang baru terbit alias kategori new arrival!

Tapi perburuan "kitab kuning" KKN itu akhirnya menemukan titik terang, setelah saya mendapatkan info A1 dari tetangga yang kebetulan masih sering "menjenguk" store Gramedia tertua di Banjarmasin, yaitu Toko Gramedia di jalan Veteran setelah pekan pertama bulan Desember.

"Kitab kuning" KKN di rak pajangan Gramedia, Banjarmasin| @kaekaha

Baca Juga Yuk! Koleksi Playboy yang Bikin Asoy Geboy!

Kalau mengutip ungkapan perasaan Pak Ign. Joko Dwiatmoko yang juga terlibat sebagai kontributor cerpen di "kitab kuning" KKN, seperti yang diunggah beliau di Facebook, "Bagi penulis buku meskipun baru sebatas keroyokan tapi buku sudah dipajang di toko buku keren lagi sekelas Central Park dan dari penerbit mayor terasa Wow begitu..." Nah, kira-kira seperti itu juga yang saya rasakan, kawan!

Tapi karena kesibukan, akhirnya dengan berbekal 5 lembar voucher belanja Gramedia yang masing-masing senilai Rp25.000, hadiah ulang tahun Kompasiana ke-16 kemarin, di tanggal cantik 12-12-2024 yang lalu, saya baru bisa menjemput "kitab kuning" KKN untuk pulang ke rumah! Alhamdulillah...

Menemukan dan Langsung Membawa Pulang "Kitab Kuning" KKN dari Toko Gramedia Veteran Banjarmasin | @kaekaha


Mainan Baru yang Mengasyikkan

Jujur kacang Ijo eh, jujur saja maksud saya! Menulis cerpen memang bukanlah passion saya yang sebenarnya, tapi entah kenapa akhir-akhir ini saya kok merasa nyaman ya menuliskan khayalan, fantasi, imajinasi dan yang sejenisnya itu dalam coretan-coretan naskah di lembar-lembar kerja dalam komputer maupun gawai pribadi saya.

Ternyata menulis cerpen itu asyik juga loh. Di sini, saya seperti menemukan mainan baru yang begitu mangasyikkan! Bahkan, sepertinya hanya disini saja saya bisa merasakan sensasi menjadi "tuhan" (t kecil saja ya!) yang bisa menciptakan karakter tokoh berikut perjalanan hidup dan nasibnya! 

Beruntungnya saya, momentum ini ternyata berbarengan dengan kembali semaraknya "kanal" cerpen di Kompasiana, salah satunya tentu saja efek dari komitmen komunitas pecinta cerpen di Kompasiana (PULPEN) yang secara kontinyu menyelenggarakan sayembara cerpen dengan memberdayakan cerpenis-cerpenis kenamaan di Kompasiana sebagai juri secara bergantian di setiap evennya.

Sedangkan yang menjadi gong-nya tentu saja kehadiran Kompasiana Creator Academy di program Kuliah Kerja Ngonten yang begitu jeli membidik tematik yang spesifik tapi mempunyai segmen pembaca yang sangat terbuka dan berpotensi untuk terus bertumbuh. Naaah. sepertinya ini pintu masuk terbaik saya untuk lebih intens menulis cerita-cerita pendek terbaik!

Baca Juga Yuk! Rahasia Pesugihan Tulang Belulang

Gayung bersambut! Salah satu dari total empat cerpen bertema KKN yang saya tulis berdasarkan kisah nyata KKN kampus saya di sebuah desa yang lumayan terpecil di dataran tinggi yang masih menjadi bagian dari rangkaian pegunungan Argopuro, bagian dari Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, akhirnya lolos kurasi untuk even Kuliah Kerja Ngonten.

Oedipus Complex, Ketika Cinta Tak Lagi Buta (Warna) | @kaekaha

Ternyata, Istriku Cemburu Berat Sama Ce Netty, Mantanku

Cerpen "romantis abis" berjudul Oedipus Complex, Ketika Cinta Tak Lagi Buta (Warna) di halaman 147 ini merupakan salah satu dari tiga atau empat cerpen romansa yang masuk dalam daftar isi buku cerita KKN ini. Karena variannya yang minim, kehadirannya dalam buku cerita ini memang selayaknya oase di padang pasir. 

Bagaimana tidak, dikepung oleh dominasi cerita-cerita horor KKN yang seremnya membakar adrenalin hingga mempercepat aliran darah ke jantung, memang memberi sensasi menyenangkan dan tentunya tegang yang menggemeskan lho! 

Naaah biar sedikit enjoy, lepas sejenak dari teror-teror serem yang menghantui, boleh dong lanjut dulu membaca kisah romantis habis yang sedikit "mengandung irisan bawang" di halaman 147. Ini jeda terbaik sekaligus jembatan untuk menuju kisah-kisah menarik dan menggoda selanjutnya.

Saking romantisnya, kisah cinta Bintang dan Ce Netty, koordinator desa dan wakilnya yang cinlok alias cinta lokasi selama KKN ini sempat membuat istri saya meneteskan air mata setelah membacanya lho! Katanya ada rasa sedih mendalam setelah membaca kisahnya, tapi juga ada rasa cemburiu berat yang mengaduk-aduk emosinya.

Katanya, "beruntungnya Ce Netty! Lebih dulu merasakan cinta orang yang sama-sama kita cintai. Terus gimana dong, cerita putusnya?" 

"Waduuuuh! (BDJ201224)

 Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 20 Desember 2024  jam  22:34  WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

"Horeee", Akhirnya Kami Panen Buah Matoa


Pohon Matoa (Foto : @kaekaha)
Pohon Matoa | @kaekaha

Kelengkeng Irian atau Kelengkeng Papua, begitu warga di komplek tempat tinggal saya di Banjarmasin menyebut buah Matoa (Pometia pinnata) yang bentuknya bulat lonjong seperti buah pinang dengan ukuran mirip telur puyuh yang citarasa manisnya bulat legit ini. 

Mungkin, karena pohon buah yang ciri daunnya berbentuk jorong sepanjang kira-kira 30-40 cm dengan lebar 8-15 cm dengan permukaan yang tebal dan kaku, pangkal daun tumpul dengan ujung runcing, tepinya rata dan bertulang menyirip, serta mempunyai permukaan atas dan bawah yang halus serta berlekuk kedalam pada bagian pertulangan daun ini konon tumbuh sangat subur di habitatnya diberbagai kelas hutan didaratan Papua.

Baca Juga : Hutan dalam Pohon, Ide Sederhana Menambah Pabrik O2 di Lahan Terbatas Perkotaan

Meskipun buah Matoa selalu identik dengan Papua atau Indonesia Timur, bukan berarti kita tidak bisa ikut menikmati legitnya manis buah yang masih satu keluarga (family) dengan buah rambutan ini, yaitu famili Sapindaceae

Buah Matoa sendiri, meskipun masih sangat jarang ditemukan di penjaja buah di pinggir-pinggir  jalan, tapi buah yang mempunyai citarasa nano-nan0 nan unik ini sudah mulai bisa dijumpai hampir di seluruh Indonesia, walaupun masih terbatas di supermarket-supermarket tertentu dengan harga bervariasi di masing-masing daerah, tapi rata-rata semuanya relatif mahal dibanding jenis buah-buahan yang lain. 

Pohon Matoa kami tingginya hanya sekitar4-5 meter saja (Foto : @kaekaha)
Pohon Matoa kami tingginya hanya sekitar4-5 meter saja | @kaekaha

Di komplek tempat tinggal saya di Banjarmasin, pohon buah Matoa ini bisa tumbuh sangat subur dan menghasilkan rumpun buah yang lumayan banyak. Menurut Mas Pardi, orang pertama yang menanam pohon Matoa di samping rumahnya. Pohon Matoa bisa berbuah banyak karena mengikuti percabangannya yang juga banyak. 

Jadi, jika ditanam di halaman rumah dalam komplek, Pohon Matoa yang bisa tumbuh meraksasa sampai setinggi 50 meter dengan diameter batang bisa mencapai 1 meter ini harus sering-sering dipangkas, selain agar pohon tidak tinggi menjulang dengan sering dipangkas, tumbuh cabangnya juga semakin banyak sehingga kemungkinan muncul rumpun buah juga semakin banyak.

Rumpun Buah Matoa di masing-masing Percabangan (Foto : @kaekaha)
Rumpun Buah Matoa di masing-masing Percabangan | @kaekaha

Hari Minggu kemarin merupakan momen yang kami tunggu-tunggu! Kemarin merupakan panen perdana kami atau tepatnya saya dengan Mas Pardi tetangga yang kebetulan menanam pohon Matoa hasil pembiakan biji sekitar 3 atau 4  tahun yang lalu. 

Momen panen perdana ini menjadi sedikit heboh karena buah ini masih tergolong langka di komplek kami di Banjarmasin dan kami berniat membagi-bagikan hasil panen kepada  tetangga dan orang yang kebetulan lewat di depan rumah agar ikut merasakan citarasa buah yang oleh sebagiaan orang diinterpretasikan sebagai perpaduan antara tekstur daging buah kelengkeng, segarnya buah rambutan dan harumnya buah durian ini. 

Buah Matoa jenis Papeda yang kami tanam (Foto : @kaekaha)
Buah Matoa jenis Papeda yang kami tanam | @kaekaha

Hasilnya, "Dasar nyaman banar manisnya! Buah apa ni ngarannya (Memang enak manisnya! Apa nama buah ini?)Ujar Mang Kapi, bos air mineral yang kebetulan lewat depan rumah.

"Kawakah manukar buahnya? Manisnya legit banar!" (Bisakah beli buahnya? Manisnya legit sekali!)" Ujar Julak Ali, Kaum (marbot) di Musholla kami.

"Eeeenaak...nak...enak! Agi..agi...abah agi, manis..." Kata dede Hilal yang dari tadi gak berhenti menikmati si manis Matoa.

Dedek Hilal sudah habis berapa buah Matoanya? (Foto : @kaekaha)
Dedek Hilal sudah habis berapa buah Matoanya? | @kaekaha

Fakta  Si Manis Legit dari Papua

Citarasa manis legit Buah Matoa bukan lagi menjadi rahasia masyarakat Indonesia timur atau khususnya Papua semata, segarnya buah Matoa sekarang telah menjadi tren sekaligus idola baru untuk buah meja dirumah-rumah masyarakat yang secara geografis jauh dari tanah Papua. 

Baca Juga : Banjarmasin Pagi Ini, Serasa di "Dunia Lain"

Meskipun Buah Matoa (Pometia pinnata) sejauh ini dikenal orang berasal dari Papua, tapi sejatinya Buah Matoa tidak hanya tumbuh di tanah Papua saja, Matoa juga tumbuh subur mulai dari Sri Lanka, Kepulauan Andaman, Asia Tenggara, sampai ke Papua, Papua Nugini, Fiji dan Samoa. Sedangkan di Indonesia sendiri, selain di Papua Buah Matoa juga bisa ditemukan di Sulawesi, Maluku, Jawa, Kalimantan.

Rimbunnya dedaunan pohon matua (Foto : @kaekaha)
Rimbunnya dedaunan pohon matua | @kaekaha

 

Hanya saja di masing-masing daerah atau negara di atas, Buah Matoa mempunyai julukan atau nama yang berbeda-beda satu sama lainnya. Di Papua New Guinea atau kita biasa menyebutnya dengan Papua Nugini,  buah matoa dikenal dengan sebutan “Taun”. 

Di Sumatera Utara buah ini dikenal dengan nama pakam, di Minangkabau buah ini dikenal dengan nama langsek anggang, di Jawa Barat buah ini dikenal dengan nama leungsir dan di Pulau Jawa ada yang menyebutnya dengan nama mata sapi atau kayu sapi. Selain itu di beberapa derah lainnya buah matoa juga disebut dengan ganggo, jagir, jampania, kasai, kase, kungkil, lamusi, lanteneng, lengsar, mutoa, sapen, tawan, tawang dan wusel. Artinya, buah  matoa sebenarnya juga ada di luar Papua.

Khusus di Papua sendiri, dikenal ada dua jenis matoa yang terkenal, yaitu matoa kelapa dengn ciri umum, biasanya kulit buahnya berwarna hijau dan tekstur daging buahnya kenyal dan kering. Sedangkan jenis kedua adalah matoa papeda, kulit buahnya berwarna merah keunguan, dan tekstur daging buahnya lembek dan sedikit lengket.

Rimbun daun dan buah Matoa (Foto : @kaekaha)
Rimbunnya dedaunan pohon matua | @kaekaha

Berkhasiat

Salah satu daya tarik Kelengkeng Papua ini  adalah khasiat paket komplit  yang dimiliki bagi kesehatan. Daging buah Matoa yang segar mengandung banyak sekali vitamin C dan E, bisa berfungsi sebagai antioksidan yang bisa menangkal radiasi, membersihkan  racun dalam tubuh dan meningkatkan kekebalan serta daya tahan  tubuh. 

Selain itu juga dipercaya bisa mengatasi ambeien, melancarkan peredaran darah dalam tubuh, mencegah hipertensi, menghambat pertumbuhan sel kanker dan tumor dalam tubuh, dan juga mencegah jantung koroner, mencegah penuaan dini, menyamarkan garis halus seperti keriput.

Daging Buah dan biji Buah Matoa (Foto : @kaekaha)
Daging Buah dan biji Buah Matoa | @kaekaha

Tetapi ada yang harus diingat! Buah Matoa ini juga banyak sekali mengandung glukosa jenuh, jadi mengkonsumsinya sebatas secukupnya saja ya! Karena, jika terlalu banyak bisa menyebabkan "mabuk".

Relatif Mahal

Harga rata-rata buah Kelengkeng Papua ini  di berbagai daerah memang bervariasi tapi mempunyai kesamaan pada level harganya yang tergolong mahal jika di bandingkan dengan harga jenis buah-buahan lainnya. Kenapa begitu? 

Bibit Anakan dari Biji Siap Tanam (Foto : @kaekaha)
Bibit Anakan dari Biji Siap Tanam | @kaekaha

Pertama, meskipun pohon buah Matoa ini relatif mudah ditanam dimana saja, tapi posisinya masih belum dikenal secara luas, baru sebagian masyarakat saja yang tertarik untuk menanamnya dan yang tertarik untuk menanam itupun biasanya hanya menanam 1 atau 2 batang bibit di halaman rumah dengan maksud untuk peneduh sekaligus menutup rasa penasaran dengan buah yang katanya berasal dari pedalaman hutan Papua itu.  

Kedua, pohon buah matoa ini hanya bisa berbuah satu kali dalam setahun. Mereka berbunga pada bulan Juli-Oktober, dan berbuah tiga sampai empat bulan kemudian. 

Baca Juga : Mengenal Belungka Batu, "Buah Ramadhan" Masyarakat Banjar

Ketiga, ukuran bongsor tegakan pohon Matoa yang termasuk tanaman keras ini,  di habitat aslinya tinggi rata-ratanya bisa mencapai 18 meter dan maksimal mencapai 50 meter dengan diameter maksimal mencapai 1 meter, kebayangkan bagaimana memanen buahnya? Mungkin ini juga menjadi pertimbangan sendiri, bagi masyarakat untuk membudidayakan.

***

Yuk kita tanam lagi buah-buahan lokal Indonesia, termasuk buah Matoa yang mempunyai citarasa enak, nano-nano  nan unik dan tentunya mempunyai nilai ekonomi yang sangat menjanjikan, selain itu lingkungan kita akan semakin asri, segar, menyehatkan dan menentramkan. Mari kita kembalikan negeri kita sebagai negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta lan Raharja! Dari sekarang, dari diri kita ,dan dari buah Matoa...

Lingkingan Asri Komplek perumahan kami (Foto : @kaekaha)
Lingkungan Asri Komplek perumahan kami | @kaekaha

 

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sunagi, Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 5 November 2018  jam  12:48  WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



Rabu, 18 Desember 2024

Cerita Pohon Seho, Bakar Nyala dan Gendutnya Cucur Tu ur Ma'asering di Tomohon

Tuur Ma'asering di Kota Tomohon | @kaekaha

Sang Surya sudah mulai beranjak menuju ke peraduannya ketika burung besi yang nyaris sepanjang hari membawa saya terbang bersama Arai, akhirnya landing juga di Bandara Sam Ratulangi, Manado.

Oiya, saya bertemu Arai, Kompasianer cantik dari Kota Batu, Jawa Timur itu ketika transit di Bandara Juanda, Surabaya, setelah sejak sebelum adzan Subuh, saya sudah harus stand by di Bandara Syamsoedin Noor, Banjarmasin untuk boarding penerbangan pertama pagi ini menuju Manado.

Detail penerbangan estafet dari Banjarmasin menuju Manado yang sempat transit beberapa waktu di Bandara Juanda, Surabaya dan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar ini pernah saya tulis dalam artikel berjudul Perjalanan Banjarmasin-Manado, Serunya Menapaktilasi Bentang "Lebar Nusantara". Silakan klik kalau ingin ikut menikmati sensasinya

Pembicara dan Materi International Conference : Likupang-North Sulawesi, Discover The Hidden Paradise | Kemenparekraf.ri

Blogtrip saya dan Aray, plus delapan Kompasianer lain yang berangkat dari Jakarta, Palembang dan Padang kali ini berkat kerjasama Kompasiana dan Kementerian Pariwisata dalam rangka menghadiri seminar internasional Destinasi (Pariwisata) Super Prioritas (DSP) Likupang, sekaligus melihat langsung progres pembangunan (infrastrukturnya) di Minahasa Utara dan sekitarnya.

Baca Juga Yuk! Jejak Inspiratif Dokter Marie Thomas di Antara Pesona Liang yang Membuatmu Enggan Pulang

Setelah selesai dengan urusan bagasi, saya dan Aray langsung keluar menuju rombongan yang sedari pagi ternyata sudah stand by menunggu kedatangan kami, "kloter BDJ-SUB yang paling unik!" Berangkatnya paling pagi, tapi sampainya paling sore alias paling terakhir landing di MDC alias Manado!

Benar saja, di dalam minibus berlabel "eksklusif" yang berada di area parkir bandara Internasional yang di bagian depannya terpampang sesanti Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau kita kenal sebagai Sam Ratulangi, "Si Tou Timou Tumou Tou" atau "Manusia hidup untuk menghidupkan orang lain" itu, rombongan sudah lengkap!

Kecuali..! Lho, kok ada kecualinya? Ternyata oh ternyata, ada dua Kompasianer yang ternyata terkonfirmasi nggak bisa terbang ke Manado dengan alasan yang kami tidak tahu! Mas Yan dari Palembang dan Mas Yos dari Jakarta. Duh, sayang banget ya!


Suasana dalam Mini Bus | @kaekaha

Setelah saling sapa, Mbak Icha dari EO yang mengurus kami selama di perantauan, eh di Sulawesi Utara maksudnya...he...he...he... langsung memberi saya dan Aray welcome drink, berupa air mineral ditemani sekotak nasi kuning khas Manado dari kedai ternama yang menjadi salah satu ikon kuliner nasi kuning khas Manado. Pasti tahu dong yang sering ke Manado!? 

Di dalam mini bus yang mulai menyusuri jalanan di pinggiran Kota Manado itu, saya sama Aray benar-benar menikmati nasi kuning dengan lauk suwiran ikan tuna itu. Dunia benar-benar serasa milik kami berdua yang saat itu sama-sama sedang lapar berat. Lainnya yang duduk di belakang? Ngontrak...he...he...he! 

Saat itulah, Mbak Icha tiba-tiba memberi kabar mengejutkan sekaligus menyenangkan! Ternyata, perjalanan rombongan kami tidak langsung mengarah ke salah satu hotel bintang 4 kenamaan di Manado tempat kami menginap untuk check-in dan istirahat seperti dalam break down agenda yang telah dibagi sehari sebelumnya, tapi justeru mengarah ke Kota Tomohon, tepatnya ke Tu ur Ma'asering dan semuanya tidak lepas karena adanya perintah khusus dari komandan!

Asyeeeek, ini benar-benar rejeki nomplok bagi kami. Selain tidak ada dalam agenda kunjungan, bonus halan-halan dan wawasan juga pengetahuan baru jelas sesuatu banget bukan!

Nasi Kuning Ikan Tuna dari RM. Saroja | @kaekaha

Meskipun agak kepayahan, salah satunya karena penerbangan estafet yang lumayan lama dan melelahkan, tapi kami sangat antusias dan menikmati perjalanan menyusuri ruas jalanan yang cenderung berliku, ramai tapi lancar menuju Tuur Ma'asering di Kota Tomohon senja hari itu.

Di sepanjang jalan, kami tidak menyia-nyiakan keberadaan Oom Driver yang sayangnya saya lupa mengingat namanya, kecuali nama marga beliau yang memang identik dan khas nama-nama dari Minahasa. Kepada beliau kami menanyakan apa saja yang ingin kami ketahui tentang Sulawesi Utara dari A sampai Z.

Kerennya, selayaknya seorang guide profesional, Si Oom Driver yang setengah baya ini ternyata mempunyai keluasan wawasan dan pengetahuan tentang pariwisata, juga kekayaan tradisi serta budaya masyarakat Sulawesi Utara yang diatas rata-rata. Ini yang patut dicontoh oleh semua pelaku usaha pariwisata di daerah lain nusantara! Apapun profesinya, dimanapun tinggalnya!

Menuju Tomohon | @kaekaha

Sayang, obrolan kami relatif tidak berlangsung lama, karena gelap malam yang diiringi dengan turunnya gerimis di antara kabut tipis yang tiba-tiba seperti menyelimuti sekitar kami menjadikan Oom Driver seperti kesulitan menemukan jalan menuju Tu ur Maasering yang menurutnya sudah lumayan sering beliau lewati untuk mengantar tamu. "Tapi itu siang hari!" Kata Oom Driver. Waduuuuh!

Di sepanjang perjalanan tersisa ini, suasana jalan yang sepertinya cenderung menanjak dan berliku suasananya sangat sepi dan relatif gelap gulita, hanya sesekali saja ada lampu penerangan jalan yang justeru menambah dramatis suasana. Bahkan ketika Oom Driver sempat menyebut dan menunjukkan lokasi Pasar Ekstrim Tomohon yang termasyhur itu, kami tidak melihat apapun selain siluet bangunan di sebelah kanan jalan kami.

Ditengah-tengah kepanikan berada di "dunia lain" yang memaksa kami untuk tidak bisa melihat apapun itu, tiba-tiba beberapa di antara kami malah merasa mabuk berat, eh mabuk darat ding! Perut terasa mual, kepala tiba-tiba terasa pening dan udara di dalam minibus terasa lebih pengab dari sebelumnya, hingga membuat beberapa di antara kami tidak tahan lagi menahan isi perut untuk tidak keluar. Hadeeeeeh! He...he...he...he.

Lansekap Unik dan Cantik Tu ur Ma'asering | @kaekaha

Alhamdulillah, jauh selepas azan untuk salat Isya, akhirnya rombongan kami yang telah ditunggu oleh tim dari Kementerian Pariwisata dan juga tuan rumah, pemilik Tu ur Ma'asering akhirnya sampai dengan selamat di destinasi unik yang memadukan cafe-resto dengan alam pegunungan, khususnya kebun Pohon Seho di ketinggian 1.230-an meter mdpl. 

Wooow pantas saja, ketika turun dari mini bus, kami langsung disergap dengan udara dingin yang menusuk sampai ke tulang, apalagi saat itu hembusan angin di lokasi cukup kencang. Bahkan karenanya, berisiknya gesekan daun pohon seho yang jauh diatas kami bisa dengan jelas terdokumentasi dalam video.

Baca Juga Yuk! "Orkes Gitar Mama" dan Sepenggal Kisah Konservasi ala Desa Bahoi yang Menginspirasi

Tapi fragmentasi dramatis menembus "dunia lain" saat menuju Tuur Ma'asering sekejap langsung terlupakan setelah kami langsung disambut dengan hidangan tradisional Manado yang kaya rempah dan siap santap di meja-meja saji yang memang disiapkan secara khusus di tempat khusus untuk kami yang sedang kela... ah, lagi-lagi harus jujur! Kami memang sedang kelaparan...he...he...he...

Kuliner khas Manado yang Kaya Rempah Menunggu Kami | @kaekaha

Inilah yang namanya pucuk dicinta ulam pun tiba! Peribahasa ini sepertinya paling pas menggambarkan suasana hati kami ketika kami langsung berhadapan dengan berbagai kuliner khas Manado yang sudah termasyhur dengan citarasa sedapnya yang berbalut rempah cukup tebal, terutama rasa jahenya yang strong! Seperti rica-rica sapi, ayam woku, Tuna Pedas dan lain-lainnya.

Selain main menu yang memang berhasil menggoyang lidah kami, kecuali teman-teman yang memang nggak bisa dan nggak biasa menyantap masakan pedas, kami juga dibuat terkesima dengan hidangan pencuci mulut khas Manado atau Sulawesi Utara, seperti Pisang Goroho dengan cocolan sambal roa-nya yang unik dan khas, juga cucur dan klepon gendut dengan ukuran diatas rata-rata. Semuanya berukuran jumbo gaes!

Di sini, kami juga diperkenalkan dengan saguer (di Jawa Timur disebut legen) air nira bercitarasa manis yang baru saja dipanen (belum mengandung alkohol) oleh para petani nira binaan Tu ur Ma'sering yang mengelola perkebunan pohon seho (Arenga Pinnata) yang mengelilingi cafe-resto tempat kami sekarang bercengkerama.

Cucur dan Kelepon Gendut Ditemani Pisang Goroho dengan Cocoaln Sambal Roa yang Unik dan Enak | @kaekaha

Oiya, pernah dengar cerita pohon seho? Pohon Seho (Arenga Pinnata Merr) atau mungkin kita lebih mengenalnya sebagai pohon enau atau pohon aren, dari akar hingga pucuk daunnya semua mempunyai manfaat ekonomi dan ekologi yang cukup signifikan.

Air nira atau saguer yang telah diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, pada tahun 2021 itu di lingkungan masyarakat Sulawesi Utara biasa diolah menjadi gula aren dan Cap Tikus, minuman tradisional berkadar alkohol tinggi. 

Sedangkan dari lidi tulang daun bisa dibuat sapu dan kerajinan tangan, begitu juga dari serat ijuknya yang bisa dibuat sapu, tali-temali, perekat pasangan batu-bata pada bangunan dan juga berbagai kerajinan tangan. 

Dari buahnya yang lebat bertandan, bisa diolah menjadi kolang-kaling yang full serat dan mempunyai khasiat obat, selain juga sangat sedap dijadikan campuran es ataupun kuliner tradisional lainnya. Batang dan pelepah daun Seho, biasanya dikeringkan untuk kayu api atau kayu bakar.

Tidak hanya manfaat ekonomi saja, pohon Seho juga mempunyai manfaat ekologi yang signifikan, karena perakaran serabutnya yang kuat, keras, kokoh dan dalam, dapat mencegah erosi tanah sekaligus mengikat air. 

Itulah sebabnya, manajemen Tu ur Ma'asering terus berusaha semaksimal mungkin untuk melestarikan sekaligus memberdayakan pohon seho di sekelilingnya, berikut masyarakat petani di sekitarnya yang bergantung pada tanaman yang berhabitat pada lingkungan tanah yang mengandung air melimpah ini dalam sebuah mini konservasi yang sekarang mulai banyak menarik minat masyarakat untuk berkunjung.

Pohon Seho atau Pohon Aren di Tuur Ma'asering | @kaekaha

Selain menikmati pemandangan eksotis dari dataran tinggi dan juga menikmati beragam kuliner tradisional Manado atau Sulawesi Utara, ada aktifitas unik dan otentik yang hanya bisa kita temukan dan lakukan di Tu ur Ma'asering saja, yaitu melihat langsung tahapan proses penyulingan saguer menjadi cap tikus pada instalasi penyulingan tradisional dari bambu yang panjangnya mencapai 50 meter.

Baca Juga Yuk! Cerita dari Kinunang, Desa (Wisata) Paling Utara di Pulau Sulawesi

Tapi, instalasi penyulingan ini tidak digunakan untuk produksi cap tikus secara reguler lo ya! Hanya di pakai untuk tujuan praktik atau demo kepada pengunjung yang datang ke Tuur Ma'asering dan ingin melihat secara langsung proses fisika pengolahan saguer menjadi Cap tikus secara tradisional.


Memang sih, bagi yang mau mencicipi Cap Tikus fresh from the penyulingan dengan kadar alkohol yang mencapai 80 persen tetap bisa kok, tapi segala resiko tetap saja jadi tanggungan sendiri ya! He...he...he... Termasuk, bila ingin menjadikannya sebagai oleh-oleh atau kenang-kenangan. 

Uniknya, untuk membuktikan tingginya kadar alkohol Cap Tikus disini, kita bisa mengujinnya langsung dengan tes "bakar nyala". Ini yang unik!

Cara kerjanya sangat mudah! Kita tinggal mengambil sampel dari tetesan air hasil penyulingan saguer dan dituangkan ke lantai atau media apa saja yang penting tahan api.

Setelah itu kita sulutkan api diatasnya dengan korek api hingga cairan terbakar dan mengeluarkan api biru yang pasti titik panasnya lumayan tinggi. Waaah ini sih yang namanya ngeri-ngeri sedap kali ya! (BDJ151224)


Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

Senin, 16 Desember 2024

Terpesona Baju Kulit Kayu Khas Dayak Deah di Tabalong

Baju Kulit Kayu Khas Dayak Deah (Foto : @kaekaha)
Baju Kulit Kayu Khas Dayak Deah (Foto : @kaekaha)

Kalimantan memang bumi yang penuh dengan pesona! Hutan hujan tropisnya tidak hanya diakui sebagai paru-paru dunia yang sangat berpengaruh terhadap komposisi kualitas udara yang menyelimuti permukaaan bumi, tapi juga menjadi rumah sekaligus ruang lindung dan konsevasi bagi ribuan bahkan mungkin jutaan plasma nutfah dari berbagai spesies tumbuhan atau hewan serta mikroorganisme endemik yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tentunya sangat bermanfaat bagi pembangunan nasional.

Baca Juga : Terpesona Lamin Adat "Lakeq Bilung Jau" di Kong Beng, Kutai Timur

Dari sisi budaya, hutan hujan tropis Kalimantan juga menjadi rumah sekaligus media aktualisasi dari ragam budaya anak bangsa yang tumbuh dan berkembang bersama kesahajaan alam khas hutan-hutan adat Kalimantan yang dipercaya masih menyimpan berbagai misteri.

Perjalanan panjang proses interaksi antara alam dengan budaya masyarakat Kalimantan membentuk kearifan lokal yang bersifat layaknya simbiosis mutualisma  yang saling menguntungkan. Masyarakat adat bisa memanfaatkan keragaman hasil hutan secara bijaksana dan sebaliknya, karena sentuhan "bijaksana" masyarakat adat  hutan adat bisa lebih bermanfaat dan yang terpenting tetap terjaga kelestarian dan kemanfaatannya. 

Hutan Kalimantan (Foto : @kaekaha)

Mengenal Suku Dayak Deah

Di Kalimantan Selatan, salah satu wujud nyata kearifan lokal masyarakat yang benar-benar terlihat nyata sifat simbiosis mutualisma-nya bisa kita temukan pada budaya masyarakat Dayak Deah (ada juga yang menuliskan DayakDeyah) atau Dayak Tabalong karena sebagian besar tinggal di daerah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Timur.

Selain Suku Dayak Deah, di Tabalong juga dihuni oleh beberapa sub suku Dayak lainnya, yaitu Suku Dayak Maanyan dan Lawangan. Mereka bisa hidup rukun ditengah-tengah komunitas masyarakt Banjar yang menjadi mayoritas penduduk Tabalong.

Baca Juga : Mengenal Entitas Budaya "Jawa Gambut" di Kalimantan Selatan

Menurut wikipedia Suku Dayak Deah merupakan sub suku Dayak dari rumpun Ot Danum/rumpun Barito Raya dari kelompok Dusun yang mendiami desa Gunung Riut (Balangan) dan sebagian desa-desa di kecamatan Upau, Muara Uya, Haruai dan Bintang Ara yang terletak di bagian utara, Kabupaten Tabalong, provinsi Kalimantan Selatan.

Mengenai asal-usulnya, dari budaya tutur yang ada suku ini percaya asal usul mereka merupakan hasil migrasi dari wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Timur  ke wilayah Kalimantan Selatan.

Dalam bahasa Dayak Deah Kata "deah" sendiri berarti "tidak" , maksudnya merujuk pada kebiasaan masyarakat suku Dayak Deah yang tetap teguh menyatakan dirinya sebagai suku Dayak meskipun telah memeluk agama Islam. Hal ini menjadi pembeda dengan fakta beberapa individu dari masyarakat sub suku Dayak lainnya yang biasanya lebih memilih merubah identitasnya menjadi Melayu atau Suku Banjar jika telah masuk agama Islam. 

Salah Satu Jenis Kreasi Baju Kulit Kayu (Foto : @kaekaha)
Baju Kulit Kayu Khas Dayak Deah (Foto : @kaekaha)

Sejarah panjang interaksi masyarakat Dayak Deah dengan alam-nya secara berangsur membentuk sebuah harmoni yang begitu indah dan sangat inspiratif. Dari rahim "harmoni" inilah berbagai kearifan lokal masyarakat Dayak Deah yang bersentuhan langsung dengan alam itu akhirnya terlahir, terbangun dan tetap terpelihara sampai sekarang. Salah satu kearifan lokal paling menakjubkan dari masyarakat Dayak Deah ini adalah keberadaan produk baju dari kulit kayu pohon.

Baca Juga : Menikmati Musik Panting & Soto Banjar di Tepian Sungai Martapura Banjarmasin

Saya yakin, bagi masyarakat modern yang hidup dijaman millenial seperti sekarang, dimanapun dia berada mau tinggal di desa apalagi yang tinggal di kota-kota besar, tidak akan pernah terbersit sedikitpun bisa berkreasi membuat sepotong baju dari kulit kayu!? Betul?

Beruntung, beberapa waktu yang lalu saya sempat bertemu langsung dengan salah satu pengrajin kreasi baju adat Dayak Deah dari kulit kayu, yaitu Bapak Wencen atau Wincen warga Desa Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan dalam sebuah pameran budaya bertajuk Festival Pasar Terapung 2018. 

Budayawan sekaligus pelaku seni Dayak Deah yang juga pemimpin sanggar seni Tatau Dayo ini memang punya garis keturunan dari leluhur Dayak Deah yang punya tradisi baju berbahan kulit kayu.

Bapak Wencen Menunjukkan Hasil Kreasinya (Foto ; @kaekaha)
Bapak Wencen Menunjukkan Hasil Kreasinya (Foto ; @kaekaha)

Cara Membuat Baju Dari Kulit Kayu

Menurut Pak Wincen, bahan utama pembuatan baju kulit kayu ini adalah kulit pohon Terap Hundang (Artocarpus odoratissimus), yaitu pohon yang berbuah mirip nangka tapi ukurannya lebih kecil dengan aroma buah yang wanginya kuat mirip cempedak yang biasa disebut oleh masyarakat Suku Dayak Deah dengan sebutan Kulit Kayu Deluang. Pohon yang tumbuh subur di hutan-hutan di daerah Tabalong ini masih satu marga baik dengan nangka (Artocarpus heterophyllus) maupun cempedak  (Artocarpus integer) yang dalam bahasa lokal Banjar disebut tiwadak.

Pohon Terap Lengkap dengan Buahnya (Foto : Wikipedia)
Pohon Terap Lengkap dengan Buahnya (Foto : Wikipedia)

Peralatan untuk membuat baju kulit kayu ini relatif sederhana, seperti palu dari kayu (urang Banjar menyebutnya tukul), mandau dan belayung (sejenis kapak tradisonal). Tidak semua batang pohon terap bisa dijadikan bahan pembuat baju, hanya batang pohon dengan ukuran diameter 10 cm keatas saja yang boleh dan bisa diambil kulitnya. 

Baca Juga : Ke Banjarmasin, Belum Lengkap kalau Belum...

Inilah salah satu kebijakan masyarakat adat untuk menjaga kelestarian dari pohon terap itu sendiri. Intinya semakin besar diameter kayu deluang maka akan menghasilkan lembaran kain yang lebih lebar juga, artinya baju atau produk lain yang dibuat juga akan semakin banyak. Sebagai gambaran, dengan mengambil batang berdiameter 10 cm dengan panjang sekitar 1 meter, Pak Wencen bisa membuat 1 baju.

Palu atau Tukul Kayu untuk Membuat Kain dari Kulit Kayu (Foto : @kaekaha)
Palu atau Tukul Kayu untuk Membuat Kain dari Kulit Kayu (Foto : @kaekaha)

Cara pengolahannya sebenarnya juga sederhana tapi memerlukan kecermatan dan kehati-hatian. Setelah kulit kayu deluang diambil dengan cara dikuliti secara presisi/lurus, kemudian kulit kayu dipukul-pukul menggunakan palu kayu atau tukul dengan kekuatan yang terukur secara merata sampai kulit kayu tipis dan melebar sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan dengan tekstur halus merata menyerupai kain yang siap dijahit. 

Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 1 lembar kain untuk bahan 1 baju diperlukan waktu sekitar 2-3 jam untuk memipihkannya secara sempurna. 

Kain Kulit Kayu yang siap Dijaihit (Foto : @kaekaha)
Kain Kulit Kayu yang siap Dijaihit (Foto : @kaekaha)

Potongan Kayu Terap/Deluang (Foto : @kaekaha)
Potongan Kayu Terap/Deluang (Foto : @kaekaha)

Setelah itu bahan kain kulit kayu tersebut dijemur langsung dibawah terik sinar matahari. Jika panasnya maksimal seperti cuaca siang di Banjarmasin yang panasnya memang juara diperlukan waktu sekitar 2 jam penjemuran. Setelah itu, kain di potong sesuai pola kebutuhan dan peruntukannya. 

Menurut Pak Wencen, untuk membuat satu potong baju dari desain sampai jadi, tapi tanpa finishing (memberi bordir, kancing baju, untaian manik-manik kayu dan hiasan lainnya) membutuhkan waktu sekitar 3 jam. 

Baca Juga : Banjarmasin, Kota 1.000 Pemadam Kebakaran

Untuk finshing pemberian corak adat sekaligus pemberian batas (fungsinya mirip obras pada tepi jahitan kain kayu deluang), biasanya Pak Wencen menambahkan aneka hiasan bordir/sulaman pada baju yang dibuat dengan menggunakan benang jahit biasa, kecuali ada pesanan dengan benang tertentu. 

Pada jaman dahulu, sebelum masyarakat Dayak Deah mengenal benang jahit berbahan kapas, bordiran atau hiasan sulaman pada baju memakai benang yang terbuat dari serat daun nenas.

Baju Kulit Kayu dengan Finishing Sederhana (Foto : @kaekaha)
Baju Kulit Kayu dengan Finishing Sederhana (Foto : @kaekaha)

Untuk perawatan, baju kulit kayu deluang khas dari Dayak Deah ini menurut Pak Wencen relatif mudah, yang penting jangan disimpan pada suhu dengan kelembaban tinggi, karena akan mengundang jamur yang bisa merusak tampilan original baju kulit kayu, selain itu jamur juga akan mempercepat proses pelapukan kain kulit kayu deluang ini. 

Walaupun disarankan menghindari kelembaban tinggi dan dominan, bukan berarti baju kulit kayu ini tidak bisa di cuci lho. Menurut Pak Wencen, kalau memang kotor bisa saja dicuci dengan air dan deterjen, tapi jangan terlalu sering dan cara mencucinya tidak dengan cara di kucek seperti kain pada umumnya, tapi dengan cara disikat pakai sikat dengan ujung bulu yang lembut dan  setelah itu di jemur seperti biasa. 

Baca Juga : Membangun Ruang Publik Berbasis (Budaya) Sungai ala Kota Banjarmasin

Selain dibuat baju, rok wanita, rompi atau berbagai jenis pakaian lainnya, kain dari kulit kayu pohon terap hundang atau Deluang ini bisa juga dibuat berbagai souvenir dan kerajinan tangan lainnya seperti topi, tas, dompet, kipas dan banyak lagi yang lainnya.

Tertarik untuk mencoba keunikan baju nyentrik ini!? Yuk, jalan-jalan ke Kalimantan Selatan

 Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 21 November 2018 jam  23:45 WIB (klik disini untuk membaca)

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan KOMBATAN