Sabtu, 26 Oktober 2024

"Si Angger" dan Khayalan Tingkat Tingginya dalam Romansa Berkereta Api

"Si Angger" dan Khayalan Tingkat Tingginya dalam Romansa Berkereta Api | @kaekaha

Angger, Si Anak Gerbong

Di dalam tradisi tutur masyarakat Jawa di lingkungan kampung halaman kami, di seputaran ujung barat Jawa Timur, kosa kata angger, yang pengucapan suku kata ger di bagian belakangnya sama seperti cara kita mengucapkan suku kata ger pada kata burger, mempunyai dua makna berbeda, yaitu setiap dan atau asal (-asalan).  

Memang ada satu lagi kata angger yang kami kenal dengan penulisan yang sama, tapi cara membaca suku kata ger di belakang berbeda, tidak lagi sama seperti saat mengucap ger pada kata burger, tapi ger-nya sama atau identik dengan ber pada saat kita mengucap ember yang artinya adalah anak laki-laki atau panggilan sayang untuk anak laki-laki.

Tapi maaf, kata angger yang saya maksudkan dalam judul di atas  tidak ada hubungannya secara langsung dengan ketiga makna leksikal dari kata angger yang sebenarnya di atas. Saya sebut hubungannya tidak langsung, karena dalam tematik ini keduanya hanya dihubungkan oleh subyek yang sama, yaitu anak-anak yang biasanya suka angger alias suka asal! He...he...he... betul?  

Angger yang saya maksudkan di sini adalah identitas komunal kami, saya dan teman-teman masa kecil saya yang lahir dan besar (kebetulan) di lingkungan kereta api atau tepatnya stasiun kereta api yang bagi sebagian orang mungkin dianggap tidak layak untuk tempat tinggal, sekaligus sebagai ruang tumbuh kembang bagi kami, anak-anak 80-90an saat itu.

Baca Juga Yuk! Kronik Nostalgia Anak-anak Kereta: Kereta Api dan Ragam Budaya yang Dibentuknya

Tapi maaf, anggapan itu sepertinya tidak sepenuhnya berlaku bagi kami! Angger yang terbentuk sebagai akronim dari frasa anak gerbongidentitas kami anak-anak yang sehari-harinya memang lebih sering berinteraksi dengan dunia perkeretaapian, termasuk menjadikan beragam gerbong kereta api sebagai tempat bermain dan bereksplorasi, tidak hanya meninggalkan sebuah romansa yang begitu indah untuk dikenangkan.

Tapi juga memicu keingintahuan kami pada banyak hal, terutama pada dunia jalan-jalan dan teknologi transportasi kereta api yang pada gilirannya juga merangsang "khayalan-khayalan tingkat tinggi" kami kepada segala atribut kereta api yang biasa kami sebut sebagai sepur itu.

Stasiun Barat Sebelum di Bangun Ulang. Tampak Latar Belakang Rumah-rumah Penduduk Kampung | @kaekaha

Romansa di Stasiun Barat 

Kalau anda pernah naik kereta api, khususnya yang melewati jalur Solo-Madiun atau Solo-Surabaya, dari arah barat atau dari arah Solo, di antara perjalanan Stasiun Geneng di Kabupaten Ngawi dan Stasiun besar Kota Madiun, cobalah tengok ke sebelah kanan! Di situlah anda akan menemukan Stasiun Barat. 

Stasiun kecil kelas 3 yang sekarang lebih dikenal sebagai Stasiun Magetan yang ternyata punya peran sejarah lumayan besar dan signifikan dalam perang Pasifik/Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War) tahun 1937-1945 yang berakhir dengan luluh lantaknya bumi Hiroshima dan Nagasaki ini, terletak persis di tengah kampung tempat saya lahir dan dibesarkan. Lingkungan inilah yang membentuk akronim angger alias si anak gerbong, identitas kami saat itu. 

Baca Juga Yuk! Stasiun Barat dan Sejarah Keterlibatannya dalam Perang Asia Pasifik

Sebelum Stasiun Barat dibangun ulang pada tahun 2015 dan berganti nama menjadi Stasiun Magetan, apalagi di era kanak-kanak kami di era 80-90an, komplek Stasiun Barat masih sangat terbuka dan bisa diakses siapa saja, juga kapan saja. Dari situlah, kami anak-anak akhirnya juga terbiasa bermain-main di lingkungan stasiun.

Gapeka 2011 di Stasiun Barat, Magetan, Jawa Timur |@kaekaha

Dari interaksi kami dengan lingkungan Stasiun Mbarat, cara kami menyebut Stasiun Barat ini, bisingnya lalulintas kereta api tidak lagi menjadi gangguan berarti bagi kami, tapi justru selayaknya alarm alami yang setiap waktu mengingatkan kami pada pentingnya mengatur waktu, termasuk pertanggung jawabannya. 

Baca Juga Yuk ! Legenda Hantu Lampu dan Kisah "Pak Juril", Hulu Keselamatan Perjalanan Kereta Api

Tidak hanya itu, uniknya kami juga terbiasa hapal dengan gapeka alias grafik perjalanan kereta yang menjadikan kami hapal tidak hanya nama kereta yang lewat saja, tapi juga asal dan tujuan akhir kereta, bahkan kebiasaan langsir atau antrian lewat jalur kereta di Stasiuan Barat, berikut waktu tunggunya. keren kan!

Lalu Lintas Kereta Api di Stasiun Barat, Magetan, Jawa Timur | @kaekaha

Adoh-adohan Numpak Sepur

Dari sinilah, kami jadi mengetahui estimasi perjalanan naik kereta api secara presisi, hingga kami para angger saat itu menjadi berani jalan-jalan ikut kereta api sampai ke stasiun-stasiun yang relatif lumayan jauh bagi anak-anak SD, seperti ke Kota Madiun, Kertosono dan Nganjuk, juga Geneng dan Walikukun yang masuk di kabupaten tetangga, Ngawi.

Bahkan, ketika usia kami semakin bertambah menuju remaja, jangkauan perjalanan kami dengan kereta api semakin jauh. Tidak lagi menuju ke stasiun-stasiun sekitar saja tapi mulai menjauh. Di usia-usia awal remaja atau seumuran anak-anak SMP itu, kami sudah punya challenge yang full adrenalin, yaitu adoh-adohan numpak sepur alias jauh-jauhan naik kereta api dari Stasiun Barat yang biasa kami lakukan pas di hari libur.

Baca Juga Yuk! "Kereta Apiku" dan Orang-Orang Nekat di Balik Berdirinya Pabrik Sepur di Madiun

Inilah awal kami mengenal perjalanan kereta api yang lebih jauh dan lebih komplek, hingga berhasil menyentuh stasiun-stasiun besar di beberapa kota besar seperti Stasiun Wonokromo, Stasiun Gubeng, hingga stasiun Kota Surabaya yang justeru lebih dikenal masyarakat sebagai Stasiun Semut yang kesemuanya berada di Kota Surabaya. Hah, Surabaya?

Barisan Gerbong Pengngkut Barang/Batu kricak di Stasiun Barat, Magetan | @kaekaha

Tidak hanya itu! Kami tidak hanya menuju kearah timur saja untuk challenge, adoh-adohan numpak sepur ini, tapi juga menuju ke arah barat. Dari situlah, kami jadi tahu yang namanya Stasiun Jebres dan juga Stasiun Balapan Solo yang diabadikan oleh maestro lagu-lagu campursari, (alm) Didi Kempot menjadi lagu hits hingga menjadikannya semakin terkenal. 

Sepertinya dari momentum inilah, jiwa petualangan saya yang sampai detik ini masih terus berusaha mewujudkan cita-cita keliling Indonesia, mulai bertumbuh dan bersemi.

Dalam fragmentasi perjalanan yang lebih jauh itulah, kami baru menyadari kalau naik kereta api itu bukan hanya sekedar naik dan terbawa gerbong sampai ke tempat tujuan semata, tapi juga bagaimana mendapatkan kenyaman dan keamanan selama perjalanan hingga memunculkan beragam khayalan tingkat tinggi kami saat itu, demi kenyamanan perjalanan kami dan juga penumpang lainnya.

Khayalan-khayalan para angger saat itu jelas tidak jauh dari khayalan untuk memenuhi kebutuhan dan hasrat kami sebagai anak-anak saat itu, seperti membayangkan seandainya di dalam gerbong penumpang ada rental buku komik, buku cerita atau majalah anak-anak. Bahkan kami juga sering berandai-andai, kalau dalam perjalanan kereta api jarak jauh ada alat permaianan seperti catur, halma, ular tangga, karambol dan lain-lainnya, tentu kami tidak akan menghabiskan waktu dalam perjalanan dengan bengong yang nggak jelas!.  

Tidak hanya itu, seandainya di gerbong kereta itu ada tempat bermain untuk anak-anak, juga sound hiburan lagu-lagu agar tidak ngantuk sekaligus mengurangi kebisingan atau bahkan warung gerbong yang tidak hanya jualan nasi atau makanan berat saja, tapi jualan snack atau makanan dan minuman ringan lainnya. Tentu asyik ya!

Satu lagi! Seandainya dinding-dinding kereta api (terutama bagian dalam) tidak polosan, tapi diberi ornamen yang menarik entah ornamen batik, komik, teka-teki silang atau apa saja, tentu penumpang juga tidak buru-buru kepingin tidur kalau duduk lama-lama di kursi dalam perjalanan panjangnya. Bagaimana menurut anda?

 

Anak-anak dalam Gerbong Kereta Api sedang Menikmati Perjalanan | @kaekaha

Thesis perlunya kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan panjang dengan kereta api, ini semakin saya rasakan ketika saya harus merantau ke Kota Tembakau di ujung timur Jawa Timur untuk tugas belajar

Karena secara tradisi alat transportasi paling familiar di kampung kami adalah kereta api, jadinya minimal 3 kali dalam setahun, saya juga melakukan perjalanan Madiun - Jember dengan menggunakan Kereta Api kelas ekonomi, yaitu  Argopuro jurusan Jogjakarta-Banyuwangi yang belakangan diganti dengan Kereta Api Sri Tanjung jurusan Jogja-Banyuwangi yang kemudian rutenya sempat bertambah panjang menjadi Purwokwerto-Banyuwangi.

Saya meyakini, setiap perjalanan adalah pelajaran, begitulah saya selalu memaknai setiap jengkal langkah dalam perjalanan saya, kemana saja. Setiap fragmen-nya adalah  catatan arif kehidupan, guru terbaik untuk bekal perjalanan berikutnya sekaligus sebentuk kenangan yang sepertinya sulit untuk saya lupakan. Begitu juga setiap pengalaman saya berkereta api, progresnya selalu semakin baik!

Itu juga yang terjadi selama kurang lebih 5 tahunan di akhir 90-an menjadi pelanggan tetap kereta api. Beragam pengalaman menarik dan berharga selalu saya dapatkan di setiap perjalanan saya bersama kereta api. Detail lengkap romansanya silakan baca pada artikel saya yang berjudul "Lorong Waktu Menuju Elegi Mudik Tahun 90-an"

Semuanya menjadikan khayalan-khayalan tingkat tinggi saya saat masih menjadi angger dulu, semakin menjadi-jadi. Apa itu?


"Mboten Pareng Udud", Literasi Kreatif Bernafaskan Kearifan Lokal di Stasiun Madiun | @kaekaha

Menjadikan Stasiun dan Kereta Api Agen Literasi

Sebagai mantan angger alias anak gerbong yang bertahun-tahun ikut merasakan perkembangan layanan kereta api yang memang terus membaik dari waktu ke waktu dan kebetulan, sekarang saya merantau di luar pulau Jawa hingga relatif jarang sekali naik kereta api labi. 

Tapi, karena pekerjaan mengharuskan saya keliling dari satu daerah ke daerah lainnya di seluruh Indonesia, hingga mengharuskan saya sering bepergian dengan berbagai moda transportasi, termasuk sesekali kereta api juga pesawat udara, mengharuskan saya tetap update terhadap isu-isu transportasi publik teraktual.

Karenanya, wajar jika saya juga sering mengkhayalkan banyak hal terkait komparasi antara kereta api dengan pesawat terbang. Sudah pasti bukan head to head terkait soal tingkat kenyamanan ataupun keamanannya, tapi lebih kepada spiritnya untuk terus memberi pelayanan dan kebermanfaatan yang terbaik kepada pengguna jasanya yaitu para penumpang dan juga berbagai individu yang ada di sekitarnya. 

Salah satunya yang paling menarik perhatian saya adalah langkah-langkah maju dan strategis pengelola bandara dan juga pesawat terbang yang semakin serius, rapi dan masif menjadikan aset-asetnya sebagai media literasi yang aplikatif dan tepat guna untuk mengenalkan beragam topik edukasi aktual, sekaligus mempromosikan kekayaan alam dan keragaman budaya nusantara. Bahkan beberapa di antaranya juga menyediakan ruang untuk instalasi seni yang menawan dan pastinya sangat menghibur.

Ilustrasi Seni Budaya Dayak di Bandara SAMS Sepinggan Balikapapan | @kaekaha

Ini juga khayalan saya untuk kereta api dan stasiun-stasiun kereta di seluruh Indonesia! Saya berharap suatu saat nanti, semua aset PT KAI bisa menjadi agen literasi yang bermanfaat luas untuk memperkenalkan sekaligus mempromosikan materi kekayaan alam dan keragaman budaya nusantara lebih detail dan inklusif, sesuai dengan daerah atau lokasi stasiunnya masing-masing.

Tentu Stasiun Madiun, Stasiun Barat dan stasiun-stasiun lain di Daop 7 Madiun,  akan semakin cantik seandainya pada dinding-dinding kosongnya dibranding dengan ilustrasi kekayaan alam dan budaya khas di wilayah Karesidenan Madiun, seperti ornamen batik ciprat khas Magetan atau mungkin ilustrasi kesenian Reog Ponorogo seperti yang dipajang di dinding ruang tunggu Bandara Juanda, Surabaya. 

Baca Juga Yuk! Inspirasi Cantik dari Bandara Kalimarau dan SAMS Sepinggan

Tidak kalah menarik juga, jika sajian Tepo Pecel, Brem Madiun, Dawet Jabung atau bahkan satwa Merak hijau khas Madiun ikut ditampilkan, selayaknya Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan yang memajang beragam hewan dilindungi dan juga aneka tarian, senjata dan juga alat musik khas Suku Dayak di dinding-dinding Bandara, sehingga terlihat semakin artistik dan tentunya bermanfaat.

Instalasi Seni di Bandara Soekarno Hatta | @kaekaha

Bahkan, saya kira juga tidak kalah bagus seandainya di Stasiun dipasang foto-foto raksasa tentang cantiknya destinasi wisata Telaga Sarangan yang ikonik atau juga destinasi wisata sejarah paling ikonik seperti Benteng Pendem atau Benteng Van de Bosch di Ngawi, persis dengan Bandara Sam Ratulangi di Manado yang dengan bangganya memajang eksotisnya surga bawah air Bunaken. Yuk KAI! (BDJ231024)


Semoga Bermanfaat!

Salam Matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 23 Oktober 2024 jam  22:32 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka mengikuti lomba menulis topik "Cerita Manis Perjalanan di Kereta" bersama Didiek Hartantyo Dirut PT. KAI Mudahan menang ya!


Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN



 

"Berselancar" di Kompasiana, Berkeliling Indonesia, Mengabadikan Indahnya Keragaman Nusantara

"Berselancar" di Kompasiana Sampai Juga ke Pulau Lihaga, Sulawesi Utara | @kaekaha

Happy Sweet Sixteen Kompasiana! 

Hari Selasa, 22 Oktober 2024 yang hanya tinggal beberapa hari lagi, Kompasiana kita, rumah digitalnya Kompasianer dari seluruh dunia ini akan merayakan hari lahirnya yang ke-16. 

Itu artinya, tanggal keramat itu juga menandai user generated content platform alias platform blog rame-rame terbesar di Indonesia dan dunia ini mulai memasuki fase remaja yang semestinya akan semakin menarik dan menggoda siapa saja. Happy sweet sixteen ya, Kompasiana! 

Uniknya, tanggal keramat harlahnya Kompasiana ini, ternyata hanya berjarak 8 hari saja dengan harlah saya sebagai kompasianer, yaitu tanggal 30 Oktober. 

Bedanya, kalau edisi 2024 kali ini Kompasiana akan merayakan sweet sixteen alias sudah memasuki fase remaja enam belas tahunan, sedangkan saya sepertinya baru berada pada fase pra remaja deh, sweet eleven!

sweet eleven! | Screenshoot Kompasiana.com

Sweet Eleven? Sebelas tahun? Sebelas tahun "ngompasiana", ngapain aja?

Iya ya, nggak berasa lho! Tiba-tiba sudah sebelas tahun saja saya bersimbiosis mutualisme dengan Kompasiana. Naaah keceplosan jadinya! Terbongkar deh rahasia awet muda saya, eh maksudnya awetnya hubungan saya dengan Kompasiana. 

Sedari awal, saya memang lebih suka menyebut hubungan saya dengan Kompasiana sebagai simbiosis mutualisme. 

Sebuah konsep hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan yang terinspirasi dari dua atau lebih organisme berbeda yang di alam liar ternyata bisa berkolaborasi, bekerjasama saling melengkapi dalam sebuah harmoni demi eksistensi bersama dalam kehidupan.


Konsep hubungan seperti inilah yang sepertinya terus menuntun saya untuk terus berkarya, berliterasi dan bertumbuh bersama Kompasiana hingga saat ini, setelah sebelas tahun berlalu. 

Baca Juga Yuk! Saatnya Memunculkan Kategori "Article of The Year" di Ajang Kompasianival 

Konsep Simbiosis mutualisme ala saya sih sederhana saja, intinya situasi saling membutuhkan yang kita bangun wajib didasari dengan dua hal, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, dengan begitu Insha Allah kita tidak akan saling menutup mata dan akan saling menghargai!

Saya yang selalu terobsesi dengan artikel-artikel sosial budaya atau juga folklore bergaya ensiklopedik khas koran Kompas di akhir pekan atau terbitan Sabtu-Minggu yang evergreen, selalu berusaha semaksimal mungkin menghadirkan karya artikel yang otentik dan monumental di akun Kompasiana saya. 

Buku-buku yang Beranak-Pinak yang Akan Terus Menginspirasi | Screenshoot Kompasiana.com

Saya selalu berusaha melahirkan karya artikel yang tidak hanya enak untuk dibaca saja, tapi juga seorisinil dan sekomprehensif mungkin agar senantiasa evergreen alias tidak akan basi atau kadaluarsa yang Insha Allah akan selalu memberi pengetahuan dan pengalaman baru pada pembaca. 

Harapannya, saya, artikel saya dan Kompasiana kelak bisa sama-sama evergreen juga dan bisa terus sama-sama memberi manfaat kepada banyak kepentingan.

Tapi, maaf masih ada tapinya ya! Mungkin karena di setiap artikel saya biasa memerlukan riset dan ilustrasi foto yang otentik plus semaksimal mungkin harus karya sendiri, mengakibatkan saya tergolong kompasianer yang kurang produktif. 

Terbukti, sampai sweet eleven alias sebelas tahun ngompasiana, deposit artikel saya masih saja di angka 700-an, itupun tematiknya mix alias campur dan beragam. Tidak hanya tema sosial budaya dan turunannya, khususnya folklore Urang Banjar yang terlanjur menjadi trademark saya. 

Tapi tak apalah, terpenting artikel-artikel itu terus memberi warna yang indah pada ruang-ruang ekletik dalam bilik-bilik estetik di dalam rumah besar bernama Kompasiana. 

Mudah-mudahan keragaman warna yang turut disusunnya dalam rumah besar kita menjadikannya berumur panjang, selalu menginspirasi dan terus memberi guna serta manfaat. Amin.

Kisah Madam atau Merantau Urang Banjar | Screenshoot Kompasiana.com

Dinamika "Ngompasiana"

Semua berawal dari passion saya pada tema-tema sosial budaya atau juga folklore yang terus bertumbuh, apalagi setelah bertemu dengan salah satu job kerja saya di perusahaan consumer goods nasional yang mengharuskan saya dan tim berkutat, mempelajari profil sosial budaya dari masyarakat di setiap daerah baru yang dibidik untuk ekspansi market share

Bisa membayangkan bagaimana antusiasnya saya?

Kebetulan, karena saat itu saya bertugas di Regional Officer Kalimantan yang berpusat di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan dan fokus dari target kita memang menjadi leader di Pulau Kalimantan, maka saat itu saya dan tim secara intensif terus bergelut dengan profil sosial budaya masyarakat Pulau Kalimantan (saat itu) di 4 Provinsi.

Tidak hanya dengan terjun langsung alias jalan-jalan di daerah-daerah target saja, kami juga bergelut dengan data dari berbagai sumber, termasuk artikel-artikel dari berbagai media, salah satunya dari Kompas Grup yang di dalamnya sudah pasti ada Kompasiana. 

Dari sinilah, akhirnya saya mengenal "user generated content platform" terbesar di Indonesia dan dunia ini untuk pertama kalinya, hingga kelak, akhirnya merasa pas menjadikannya sebagai pelabuhan dari sebagian besar dokumentasi "perjalanan spiritual" saya di ranah sosial dan budaya. 

Konten Video Pasar Terapung di Kompasiana | Screenshoot Kompasiana.com

Dari "berselancar" di Kompasiana, saya mengenal kehidupan sosial budaya otentik masyarakat Banjar, Dayak, Kutai, Melayu dan entitas khas Pulau Kalimantan lainnya yang detailnya relatif sulit didapat di media, bahkan di media induk sekelas Kompas yang di setiap akhir pekan dikenal luas dengan artikel-artikel budaya bergaya ensiklopediknya. 

Hingga akhirnya, saya juga mengenal para pewartanya, melalui beberapa fitur komunikasi dan interaksi yang disediakan dalam situs Kompasiana, terutama Kompasianer dari Banjarmasin dan Kalimantan Selatan yang menjadi cikal bakal perkumpulan KOMBATAN alias Kompasianer Banua Kalimantan Selatan yang kelak mewadahi ruang diskusi dan berliterasi teman-teman kompasianer yang berdomisili di seputaran Kalimantan Selatan.

Kelebihan dari artikel sosial budaya di Kompasiana, sebagai citizen jounalism yang ditulis dan diwartakan oleh masyarakat pelaku dan praktisi budaya itu sendiri, jelas selayaknya info A1 yang otentik  dan ini pasti sangat bermanfaat, sangat membantu pekerjaan saya dan tim saat itu. 

Kompasianer senior dari Banua Banjar yang sekarang relatif sangat sulit untuk ditemukan karya-karya terbarunya, seperti  Bang Imi Suryaputera, Bang Andin Alfi, Pak Zulfaisal, Pak Tadjudin Noor Ganie, Pak Syarbani Haira dan budayawan-budayawan Banjar lainnya inilah, mentor sekaligus panutan saya dalam berliterasi sosio kultur Urang Banjar

Semoga "guru-guru" saya ini senantiasa diberi kesehatan, kesuksesan, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, plus tergerak untuk ngompasiana lagi! Amin.

Artikel Kawin Badadiaman dengan Ilustrasi Pengantin Banjar | Screenshoot Kompasiana.com

Hanya saja, ketika saya semakin jatuh cinta dengan folklore Kalimantan dan semakin intensif  mempelajarinya, seiring  proses interaksi saya dengan lingkungan yang juga semakin intensif, saat itulah saya justeru menemukan fakta menarik, yaitu masih banyaknya materi pernak-pernik  folklore Kalimantan, termasuk didalamnya domain Urang Banjar yang belum terekam dan terdokumentasi dengan baik, sehingga produk literasinya susah ditemukan saat diperlukan.

Karenanya, sambil terus mempelajarinya lebih intensif lagi di sela-sela pekerjaan utama saya, bahkan salah satunya dengan menikahi gadis Banjar lho! Akhirnya saya memang merasa perlu untuk ikut memanggungkan tema-tema budaya Kalimantan, khususnya folklore Banjar dengan menuliskan artikel bertema folklore Banjar di media level nasional, terutama Kompasiana. Sampai sekarang!

Menariknya, artikel bertema budaya Banjar yang akhirnya menjadi trademark atau ciri khas saya di Kompasiana, ternyata terbukti efektif menjadi "jalan ninja" saya mendapatkan status centang biru, hingga penghargaan tahunan idaman kompasianer, Best in Citizen Journalism 2020

Itu artinya, karya artikel bertema folklore Banjar karya saya mendapatkan pengakuan serius secara resmi.


Best in Citizen Jounalism tahun 2020 | @kaekaha

Sebelas tahun ngompasiana, saya memang mendapatkan banyak benefit yang sangat bermanfaat! Tidak hanya sekedar materi, tapi juga kebanggaan dan kebahagiaan. Dari blog competition yang saya ikuti, ada beragam hadiah yang pernah saya dapat. 

Mulai dari saldo e wallet senilai 10 ribuan sampai uang cash senilai 20 juta, juga barang-barang comel mulai dari kartu mainan, snack, buku, tote bag, kaos, sampai voucher menginap di hotel, hingga smartphone dan sepeda gunung dari merek ternama. 

Baca Juga Yuk! Ada Drama di Balik Semua Koleksi Memorabilia dari Kompasiana Ini!

Masih ada lagi!  Tentu saya tidak akan pernah bisa melupakan serunya jalan-jalan ke berbagai destinasi eksotis Nusantara hadiah dari ngompasiana, terutama healing ke destinasi-destinasi keren seperti menjelajah Pulau Bali, Keliling Kalimantan Timur sampai ke Kepulauan Derawan dan tentunya saat menengok "si bayi ajaib" berjuluk the hidden paradise, DSP Likupang di Minahasa Utara. Keliling Indonesia tipis-tipis ini uenak tenan son!?


Kompasiana Blogtrip-Datsun Risers Expedition Keliling Indonesia | @kaekaha

Selain itu, ada sebentuk kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang saya rasakan, ketika karya tulisan bertema folklore Banjar yang saya tulis di Kompasiana benar-benar bermanfaat sebagai dokumentasi sekaligus konservasi data, hingga menjadi rujukan bagi siapa saja yang memerlukannya. 

Suatu ketika, saat dalam perjalanan menjemput anak-anak pulang sekolah, tidak sengaja saya mendengarkan paparan tentang kain sasirangan khas Banjar dari radio yang terpilih secara acak. Saya mengenali betul, susunan kalimat yang dinarasikan oleh penyiar perempuan bersuara merdu itu dan jantung saya seketika berdegup kencang, ketika dia menyebut nama saya, juga judul artikel yang saya tulis di Kompasiana, sebagai referensi paparannya di akhir acara. Duh rasanya saat itu....

Artikel Kain Sasirangan yang Mengudara | Screenshoot Kompasiana.com

Karena itulah, saya juga bertekad, suatu saat nanti karya tulisan bertema sosial budaya khas Urang Banjar yang saya tulis di Kompasiana bisa dibukukan dan disebar ke semua perpustakaan sekolah dan umum di Kalimantan Selatan dan Indonesia sebagai dokumentasi dan bahan bacaan, yang bermanfaat. Insha Allah.

Baca Juga Yuk! Memorabilia Kompasiana, Candu Eksklusif yang Belum Juga Ada Obatnya?

Gayung bersambut, berkat tulisan-tulisan folklore Banjar di Kompasiana yang selalu mendapat label artikel utama, seringkali saya harus "jalan-jalan" kesana-kemari untuk menghadiri undangan-undangan diskusi, kolaborasi dan lain-lainnya terkait literasi dan budaya dari beberapa elemen penggiatnya di seputaran Kalimantan Selatan, termasuk juga dari beberapa sekolah. 

Nah, khusus even yang di sekolah, biasanya pihak panitia selalu memberi titipan agar menyelipkan materi menulis di dalamnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

Keliling Indonesia Yuk! | Screenshoot Kompasiana.com

 

Kecintaan saya pada tematik sosial budaya atau juga folklore nusantara yang sudah mendarah daging, terus menuntun saya untuk menggali keragaman, kearifan dan kebersahajaan  folklore nusantara, tidak hanya berhenti pada folklore Urang Banjar dan Kalimantan saja. 

Itu juga yang mendasari mimpi saya untuk keliling Indonesia, persis seperti yang saya tuliskan di biofile  akun Kompasiana dan media sosial saya, "Ingin sekali keliling Indonesia!".

Beruntung, Kompasiana menyediakan "wahananya", sehingga asa saya untuk mewujudkannya terus membara! Setidaknya untuk pemanasan keliling Indonesia, tinggal klik saja pada pilihan kategori artikel di menu dashboard, seperti halo lokal, humaniora, nature, entrepreneur, lyfe, travel story, bahkan olahraga, video, juga fiksiana  dan yang terbaru lestari. 

Disitulah artikel-artikel favorit saya yang selalu membabar kecantikan alam serta indahnya keragaman budaya nusantara dari Sabang sampai Merauke berada, terutama artikel-artikel tentang Suku Batak berikut keindahan alam Sumatera Utara karya Prof Felix Tani dan Bang Theo Tarigan, juga kekayaan budaya Minangkabau dan  cantiknya alam Sumatera Barat karya Bang Akbar Pitopang, Pak Irwan Rinaldi Sikumbang juga Pak Merza Gamal.


Tidak ketinggalan eksotisnya adat istiadat dan juga alam Sumatera lainnya karya Ibu Hajjah Nursini Rais, Pak Buyung Nurman dan lain-lainnya.

Dari tematik tentang sosial budaya di Pulau Jawa saya paling suka cerita-cerita dari kebun dan sawahnya Mbah Ukik dan Mbak Sri Rohmatiah Djalil, ulasan real life-nya Pak Budi Susilo, Ibu Suprihati sama jalan-jalannya Mbak Isti Yogiswandani, ulasan masakannya Mbak Wahyu Sapta dan madyang-nya Pak de Rachmat Pudiyanto, juga cerita jalanan ala Mas Ikrom Zain.

Sedangkan dari Indonesia timur, saya harus angkat topi dengan bermunculannya kompasianer-kompasianer Nusa Tenggara Timur yang cukup militan mengabarkan keindahan alam dan juga keragaman budayanya, jika dulu saya selalu tertarik dengan balada petani cengkehnya Guido Tisera (Guido Arisso) yang sekarang entah dimana? 

Sekarang ada ulasan Bang Gregorius Nafanu dan beberapa kompasianer lainnya yang akan membawa kita menikmati indahnya keragaman nusantara, sekaligus mengabadikannya untuk kelestarian juga literasinya bagi anak cucu kita. (BDJ101324)


Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!

 

Artikel ini juga tayang di Kompasiana pada 13 Oktober 2024 jam  22:34 WIB (klik disini untuk membaca) dalam rangka mengikuti lomba menulis hari jadi Kompasiana ke-16 dan Alhamdulillah menjadi salah satu dari total 5 pemenang dengan reward keren berupa 2 merchandise resmi Kompasiana dan voucher Gramedia 4 x 25,000! klik disini untuk baca pengumumannya ya... 

 

Kaos, Voucher Belanja Gramedia dan Tote Bag Kompasiana Hadiah Lomba

  

Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN

 

Senin, 07 Oktober 2024

Memanggungkan Budaya, Merayakan 1 Dekade "Ngompasiana"

Kompasiana Member Card "Jadul" | @kaekaha

Hari ini, Senin 30 Oktober 2023 merupakan tanggal keramat yang menandai 10 tahun atau 1 dekade hubungan simbiosis mutualisme saya dengan Kompasiana, user generated content platform alias platform blog rame-rame terbesar di Indonesia dan di dunia. 

Alhamdulillah, tiba-tiba sudah 10 tahun aja Ngompasiana!

Menariknya, tanggal keramat "kelahiran" saya sebagai Kompasianer ini jatuhnya juga dekat banget lho sama harlah-nya Kompasiana di 22 Oktober. Hanya 8 hari saja! 

Jadi wajarlah, setiap Kompasiana berulang tahun yang sejak 2011 selalu dirayakan dengan even akbar bertajuk Kompasianival, lebarannya para Kompasianer ini serasa ikut merayakan ulang tahun saya, terlebih di Kompasianival 2014 saat Kompasiana juga merilis maskot si KRIKO dan saya dapat "hadiah" member card seperti gambar diatas dan juga Kompasianival 2020! Ada apa di Kompasianival 2020!? 

Baca Juga: Saatnya Memunculkan Kategori "Article of The Year" di Kompasianival

Mari duduk yang senyaman-nyamannya sambil ngopi-ngopi cantik juga boleh, setelah itu baca artikel sarat kenangan dan inspirasi ini sampai titik terakhir dengan hati berbunga-bunga, maka anda akan menikmatinya! Monggo dilanjut...

Tahun ini Kompasiana berulang tahun yang ke-15 dan dirayakan dengan Kompasianival edisi ke-13 tepat di ulang tahun saya yang ke-10 sebagai kompasianer. Super!

Selamat ulah tahun yang ke-15 ya Kompasiana! Semoga terus berjaya, panjang umur dan semakin bermanfaat...

Selamat Ulang Tahun ke-15 ya Kompasiana | dok. kompasiana

Ngompasiana 

Saya biasa menggelari aktivitas saya di Kompasiana sebagai "ngompasiana", sebuah adaptasi pembentukan kata kerja ala bahasa Jawa yang menurut saya, kesannya memang lebih egaliter dan penuh kehangatan. Ya... kira-kira sebelas-dua belaslah sama kosakata "ngopi" yang sekarang begitu populer dan digandrungi di seantero nusantara! 

Sebabnya sederhana saja, selain memang terinspirasi dari kopi dan ngopi, dua hal yang saya suka dan sama-sama biasa memberi saya rasa nyaman, bagi saya berinteraksi di Kompasiana itu ya seperti ngopi di warung kopi, sama teman-teman atau bahkan dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dari berbagai wilayah nusantara bahkan mancanegara. 

Ruang Kompasiana yang beyond blogging itu ya selayaknya "warung kopi", yang tidak sekadar nyaman untuk ngopi saja! Tapi juga "gayeng" untuk ngobrol apa saja melalui tulisan. Sepertinya ini juga yang menjadi alasan saya masih tetap di sini sampai detik ini!

Sehari-hari, saya paling suka ngompasiana dengan tema-tema di seputar sosial budaya. Di Kompasiana, tema ini bisa terafiliasi ke beberapa fitur kategori, seperti fiksiana, halo lokal, humaniora, nature, entrepreneur, lyfe, travel story, olahraga video dan yang terbaru lestari.

Naaah, untuk tema di luar kategori yang saya sebut di atas, sepertinya sangat jarang bahkan bisa jadi beberapa di antaranya sama sekali belum pernah saya mengunjunginya. I'm so Sorry!

Artikel Utama | Screenshot Kompasiana.com

Dinamika Ngompasiana

Jejak momen pertama kali saya ngompasiana, ditandai dengan postingan bertema lingkungan berjudul "Menyingkap Selimut Kabut Asap", sebuah refleksi terhadap musibah kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Selatan yang menyebabkan munculnya bencana baru yang tidak kalah mengerikan dan mematikan, yaitu kabut asap yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Oya, 7 artikel bertema mix yang saya posting di tahun pertama saya ngompasiana, termasuk artikel pembuka di atas, sebelumnya pernah dimuat media cetak, termasuk 1 cerpen misteri berjudul Om Sasih yang terinspirasi dari sebuah kisah nyata. 

Keren dan luar biasanya, meskipun tetap dibaca banyak orang, tapi tidak satu pun artikel saya yang tayang di 2 tahun pertama ini mendapatkan apresiasi, baik klik vote maupun komentar. Lhaaaah terus apanya yang keren dan luar biasa...he...he...he...!? 

Entahlah, saat itu saya merasa sangat sulit mendapatkan apresiasi, vote maupun komentar dan itu bukan saya saja yang merasakan, karena teman-teman Kompasianer yang saya kenal, terutama para newbie, juga merasakan hal yang sama. Sepertinya situasi sekarang sudah berbeda ya!? 

Apa iya memang begitu? Bolehlah teman-teman berbagi cerita di kolom komentar pengalamannya masing-masing.

Baca Juga : Ada Drama di Balik Semua Koleksi Memorabilia dari Kompasiana Ini!

Memang sih, saya bukan tipikal Kompasianer yang rajin dan telaten melakukan blogwalking secara rutin. Jadi ya begitulah adanya! 

Menariknya, kalau sekarang membuka postingan-postingan lama tersebut, beberapa diantaranya memang sudah ada vote-nya dari teman-teman, meskipun penampakan 12 artikel postingan saya tersebut sebenarnya saat ini justeru terlihat cukup aneh. 

Selain gambar ilustrasi utama pada postingan linimasa semuanya hilang, paragrapnya juga semakin panjang, sehingga artikel tampak polosan dan kesannya bertumpuk-tumpuk, jadi kurang menarik dan tidak nyaman untuk dibaca. Kenapa ya!?

Memorabilia Hadiah dari Kompasiana | @kaekaha

"Ngopi" yang Dibayar!

Greget saya ngompasiana menemukan momentumnya di tahun ke-3 (2015), yaitu ketika artikel saya yang bercerita tentang upaya Kota Banjarmasin membangun dan memberdayakan ruang terbuka hijau berbasis sungai memenangkan lomba blog KemenPUPR bekerja sama dengan Kompasiana dan mendapatkan hadiah uang cash yang lumayan besar plus terbang ke Pulau Bali. Inilah momen titik balik ngompasiana saya. 

Dari yang tadinya hanya ingin menikmati "ngopi-ngopi cantik" eh ngompasiana cantik maksudnya, lha kok keterusan kepingin "ngopi-ngopi yang dibayar" he...he...he.... Tapi ya kenapa tidak!? Selain menghasilkan cuan, mengikuti lomba menulis secara rutin jelas akan mengasah kemampuan menulis dan pastinya itu sangat bermanfaat. Betul!?


Gayung bersambut! Intensitas even lomba menulis di Kompasiana setelah itu juga terus meningkat dengan hadiah yang menggoda dan pastinya nggak kaleng-kaleng. Sampai disini, magnet untuk terus ngompasiana juga semakin kuat dan semangat. Alhamdulillah, hasilnya juga berbanding lurus! 

Rumusnya ternyata sederhana! Semakin sering ikut lomba menulis, maka semakin besar juga probabilitas untuk memenangkannya! 

Sekali lagi Alhamdulillah, dari memenangkan lomba-lomba ngompasiana, beragam hadiah sudah pernah saya dapatkan. Mulai saldo e wallet senilai sepuluh ribuan sampai uang cash puluhan juta, juga barang-barang comel mulai dari level kartu mainan, kaos, sampai smartphone dan sepeda gunung dari merek ternama. Keren kan!?

Baca Juga: Asal-usul Istilah "Hattrick" dan Kisahku "Tentangnya"

Tidak hanya itu! Tentu saya tidak akan pernah bisa melupakan serunya jalan-jalan ke berbagai destinasi eksotis Nusantara hadiah ngompasiana, terutama healing ke 3 destinasi keren berikut, yaitu Pulau Bali, Kepulauan Derawan dan tentunya "si bayi ajaib" berjuluk the hidden paradise, DSP Likupang di Minahasa Utara. Iki uenak tenan son!?

Asyik bukan!? Inilah alasan saya menyebut hubungan saya dengan kompasiana itu selayaknya simbiosis mutualisme yang intinya sih, sama-sama saling menguntungkan. 

Terbukti! Hasil memang tidak akan mengkhianati prroses. 

Tidak hanya itu, sejak saat itu juga saya mulai merasa perlu untuk memanggungkan tema-tema budaya, khususnya folklore Banjar dalam materi artikel saya. 

Selain temanya "saya banget"! Sejauh pengamatan saya sebagai pendatang di Banua Banjar, masih banyak juga pernak-pernik budaya Banjar yang belum terekam dan terdokumentasi, sehingga produk literasinya yang sangat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang memerlukan, termasuk bagi para pendatang sebagai bagian untuk beradaptasi, justeru sering tidak ditemukan saat diperlukan.

Suatu ketika waktu lagi menjemput anak-anak pulang sekolah, tidak sengaja saya mendengarkan paparan tentang kain sasirangan khas Banjar oleh penyiar RRI dan jantung saya langsung berdegup kencang ketika dia meyebut nama saya dan juga judul artikel yang saya tulis di Kompasiana, sebagai referensi paparannya. Duh rasanya saat itu....

Artikel bertema budaya Banjar, kelak memang menjadi trademark atau ciri khas saya di Kompasiana, meskipun sebenarnya banyak juga Kompasianer lain yang juga menuliskannya dengan maksud yang kurang lebih sama, yaitu untuk memperkenalkan beragam kearifan budaya Banjar kepada masyarakat Nusantara.

Ciri khas atau spesialisasi ini menurut saya sangat diperlukan oleh seorang penulis. Di Kompasiana spesialisasi ini terbukti menjadi "jalan ninja" saya mendapatkan centang biru dan "hadiah spesial" di Kompasianival 2020. Apa itu?

Inilah salah satu kunci eksistensi saya ngompasiana dan ini relate banget dengan hobi saya menulis ala-ala ensiklopedia yang artikelnya evergreen dan tidak ada basi-basinya.

Cita-cita saya, suatu saat nanti tulisan bertema folklore Banjar karya saya di Kompasiana bisa dibukukan dan disebar ke semua perpustakaan sekolah dan umum di Kalimantan Selatan dan Indonesia sebagai dokumentasi dan bahan bacaan, tentu akan sangat bermanfaat. Insha Allah


Pencapaian terbaik saya ngompasiana akhirnya berlabuh di tahun ke-7 atau tahun 2020. Setelah di dua edisi Kompasianival sebelumnya (2018 dan 2019) hanya ending masuk nominasi saja, akhirnya di 2020 atau setelah hattrick masuk nominasi, plakat best in Citizen Journalism akhirnya terbang juga ke Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Alhamdulillah. Terima kasih Kompasiana untuk apresiasi cantiknya.

Kerennya, Kompasianival edisi ke-10 tahun 2020 ini akan tercatat dalam sejarah sebagai kompasianival spesial lho!

Bukan karena mencatat nama saya sebagai salah satu pemenang lho ya! Tapi karena Kompasianival 2020 menjadi even lebaran para kompasianer "pertama" yang dilakukan secara daring alias online. Lhaaah pesta seperti Kompasianival kok daring!?

Pandemi Covid-19 yang saat itu sedang gencar-gencarnya menginvasi dunia menyebabkan berbagai pembatasan dan pengetatan sosial oleh pemerintah. Akibatnya, semua aktivitas masyarakat wajib lebih banyak dilakukan dari rumah saja dan even akbar Kompasianival yang pasti mendatangkan massa, terpaksa harus dimodifikasi juga, menjadi online dan ini juga berlaku di even Kompasianival tahun 2021. 


Pasang Surut Ngompasiana

Seperti layaknya "hubungan dua insan" lainnya, hubungan simbiosis mutualisme saya dengan Kompasiana juga tidak selalu mulus-mulus saja. Ada juga kok nggronjal-nggronjalnya juga! 

Salah satunya yang sampai hari ini masih saja membuat saya merasa insecure adalah nasib akun saya yang sebenarnya sudah diujung tanduk, sejak beberapa tahun lalu! Haaaa lho kok bisa? 

Memang agak unik dan ajaib juga sih! Beberapa tahun lalu, sayang saya lupa tepatnya dan hanya ingat saat itu artikel saya masih di angka 400-an. Setelah "diam-diam" dianugerahi centang biru, tiba-tiba beberapa waktu berikutnya saya juga mendapatkan SP alias surat peringatan ke-4 yang ditandai oleh terhapusnya artikel saya yang posting sehari sebelumnya dan notif pemberitahuan dari admin di media chat Kompasiana. Itu artinya, tinggal sekali saja terpeleset, maka tamatlah akun saya! Duh bagaimana nasib artikel-artikel saya nantinya?

Saya yang secara hitung-hitungan angka sebenarnya tergolong kurang produktif dalam menulis, 1 dekade ngompasiana hanya bisa menulis 650-an artikel saja! Jadi semakin insecure dengan hubungan yang sedang nggronjal ini. Sampai kapan ya status SP4 berlaku. Mungkin ada yang bisa jawab!? Jadi harus hati-hati ya!?


Bersyukurnya, Kompasiana akhirnya membuat "mainan baru" untuk sedikit mengusir kegalauan, sekaligus menambah pengalaman ngompasiana dengan cara yang berbeda, lebih seru dan asyik lagi, yaitu dengan berkomunitas di ruang temu. Ini yang akan semakin meramaikan "warung kopi" kita!

Jujur, sekarang saya tertantang untuk membangunkan lagi komunitas Kompasianer dari Kalimantan Selatan yang dikenal sebagai KOMBATAN, Kompasianer Banua Kalimantan Selatan yang sekarang sedang mati suri, hidup segan matipun tak mau meskipun sebenarnya baru sebulan yang lalu berulang tahun ke-7.

Oya bagi teman-teman Kompasianer yang merasa punya ikatan apa saja dengan Suku Banjar, Banjarmasin, Kalimantan Selatan atau Pulau Kalimantan boleh kok gabung di KOMBATAN (silakan klik di sini untuk info lebih detail) sekaligus kita sharing-sharing apa saja untuk progres pemberdayaan KOMBATAN dan juga Para-KOMBATAN, para Kompasianer Anggota KOMBATAN agar lebih berdaya guna!

Semoga Bermanfaat!

Salam matan Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!