Kamis, 25 Oktober 2018

Koronologi Sejarah Berdirinya Kota Banjarmasin


Kota Banjarmasin, Ibu kota propinsi Kalimantan Selatan selain dikenal dengan julukan “Kota 1000 Sungai, Kota 1000 Damkar” juga telah lama dikenal sebagai salah satu kota perdagangan tua di nusantara bahkan dunia. Keberadaan kota tua Banjarmasin yang menurut sejarah telah ada sejak abad XVI, juga mempunyai peran vital sebagai pintu masuk utama bagi mobilisasi dan distribusi barang dan manusia dari dan menuju pedalaman Pulau Kalimantan.

Diawal berdirinya, Kota Banjarmasin tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Kesultanan Banjar, pemerintahan berbasis agama Islam pertama di Pulau Kalimantan di bawah kepemimpinan Sultan Suriansyah, Sultan beragama Islam pertama di tanah Banjar. 

Sebelum Kesultanan Banjar berdiri di abad XVI,  wilayah hilir sampai muara Sungai Barito merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Daha yang pusat pemerintahannya di daerah Nagara, sekarang masuk wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Saat itu, kerajaan Daha yang berafiliasi pada agama Hindu dipimpin oleh Maharaja Sukamara yang tak lain adalah kakek dari Sultan Suriansyah kecil yang saat itu masih bernama Pangeran Samudera. 

Ornamen buah manggis khas Kesultanan Banjar ( Foto : @kaekaha)

Maharaja Sukamara mempunyai 4 (empat) orang anak, yaitu 3(tiga) laki-laki Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung dan Pangeran Bagalung, serta seorang anak perempuan/putri, yaitu Putri Intan Sari atau Putri Galuh, yang kelak dikenal sebagai ibu kandung dari Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah. 

Dari hikayat tutur masyarakat Banjar disebutkan, pada suatu masa kerajaan Daha mengalami perpecahan akibat sebuah kontroversi yang disebabkan oleh wasiat sang Maharaja Sukamara. Wasiat Maharaja Sukamara kepada anak-anak dan cucunya ini berisi pesan penting terkait suksesi kepemimpinan Kerajaan Daha jika dirinya wafat. 

Isi wasiat sang maharaja menjadi kontroversi ketika, ternyata Sang Maharaja memilih cucunya, Pangeran Samudra putra dari  pasangan Putri Galuh dan Menteri Jaya sebagai penerus suksesi kepemimpinan di Kerajaan DAHA.

Artinya, wasiat ini tidak sesuai dengan tradisi kerajaan yang sudah berlaku sejak lama, dimana pewaris tahta seharusnya adalah putra mahkota atau putra laki-laki tertua atau bisa digantikan oleh saudara laki-laki lainnya bila anak tertua tidak menghendaki. 
Atang atau pagar kayu ulin dengan ukiran khas Banjar (Foto : @kaekaha)


Berbeda dengan sang putra mahkota, Pangeran Mangkubumi yang tidak keberatan dengan wasiat ayahnya, sang adik Pangeran Tumanggung dan Pangeran Bagalung menentang titah kontroversif ayahnya. 

Alhasil, saat Maharaja Sukarama benar-benar meninggal, kontroversi internal kerajaan ternyata masih belum menemui titik temu. Suasana dalam istana memanas. Situasi ini dibaca oleh Arya Trenggana, punggawa kerajaan yang masih setia dan bersimpati kepada Pangeran Samudera yang saat itu masih kecil dan belum memahami masalah perpecahan dalam keluarga besarnya, karena saat itu Pangeran Samudera diperkirakan masih berusia kurang dari 10 tahun. 

Karena merasa jiwa Pangeran Samudera terancam, Arya Trenggana menyarankan agar Pangeran Samudera meninggalkan istana secepat mungkin. Dengan berbekal makanan, pakaian secukupnya, dan alat tangkap ikan, akhirnya Pangeran Samudera meninggalkan istana melalui jalur sungai dengan menggunakan jukung (perahu khas suku Banjar). 



Ada beberapa versi, episode perjalanan Pangeran Samudera pasca keluar dari istana Kerajaan Daha, Intinya, Pangeran Samudera akhirnya berjumpa dengan Patih Masih, penguasa di perkampungan Kuin. Patih Masih mengenali Pangeran Samudera. Singkat cerita, Atas dukungan patih lain dan rakyat, Patih Masih mengangkat Pangeran Samudera menjadi raja Kerajaan Banjar, melepaskan diri dari Kerajaan Daha.

Saat itu, Kerajaan Daha dipimpin Pangeran Tumanggung. Ia menggantikan kakaknya, Pangeran Mangkubumi, yang tewas dibunuh. Mendengar Pangeran Samudera masih hidup dan menjadi Raja Banjar, Pangeran Tumanggung langsung menyatakan perang dengan kerajaan baru yang dipimpin oleh keponakannya itu.

Dalam peperangan tersebut Pangeran Samudera mengalami kekalahan dan akhirnya meminta bantuan kepada Kerajaan Demak. Saat itu, pihak Kerajaan Demak dibawah kepemimpinan Sultan Trenggono, Raja Ketiga dari Kerajaan Islam yang berpusat di daerah Demak Bintoro itu menyanggupi, dengan syarat Pangeran Samudra dan seluruh rakyatnya bersedia memeluk Islam setelah perang usai.
Dermaga Sungai Masjid Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha)

Setelah syarat diterima oleh Pangeran Samudra, akhirnya Sultan Trenggono benar-benar mengirimkan pasukan perang ke wilayah Banjarmasin dibawah komando seorang Panglima perang yang juga seorang mubaligh bernama Khatib Dayyan, yang konon beliau merupakan keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati.

Peperangan akhirnya benar-benar terjadi dan kemenangan akhirnya berpihak kepada Pangeran Samudra. Selain atas ijin Allah, berkat kepiawaian diplomasi Khatib Dayyan, akhir dari perang saudara ini berakhir baik. Pangeran Tumenggung, akhirnya mengakui Pangeran Samudra sebagai raja Kerajaan Banjar. Artinya, Kerajaan Banjar secara resmi telah berdaulat dan  resmi berpisah dari Kerajaan Daha. 

Peristiwa bersejarah ini diperkirakan terjadi pada tanggal 24 September 1526 yang akhirnya kelak diabadikan sebagai hari jadi Kota Banjarmasin. 

Masjid Sultan Suriansyah (Foto : @kaekaha)

Sesuai dengan janjinya kepada Sultan Trenggono, raja Demak yang membantunya dalam peperangan. Dibawah bimbingan Khatib Dayyan, Pangeran Samudera dan seluruh rakyatnya akhirnya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. 

Konsekuensinya, untuk keperluan beribadah sholat 5 waktu berjamaah di lingkungan istana, akhirnya Sultan Suriansyah memprakarsai berdirinya Masjid pertama yang didirikan di tanah Kalimantan ini, yaitu sebuah masjid yang sekarang kita kenal dengan nama Masjid Kuin atau Masjid Sultan Suriansyah. 

Selamat Ulang tahun ke 592 Kotaku tercinta, Kota 1000 Sungai, Kota 1000 Damkar, Kota 1000 Masjid, Kota 1000 Langgar ... Banjarmasin Bungas!


Referensi :
Disusun dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar