Rabu, 27 Mei 2020

Waduuuuh! Mata Anakku Minus 7, Silinder Pula!



Bagai disambar geledek! Aku hanya bengong ketika Dr Muhammad Ali Faisal, M.Sc, Sp M yang duduk dihadapanku  menjelaskan hasil pemeriksan mata anakku, si-Raihan. "Maaf Pak, saya sudah mencoba dengan semua alat tes dan hasilnya  tetap sama. Anak Bapak minus 7 dan ada silidernya!"

Waduuuuh! Dugaanku tepat! Sebenarnya aku sudah curiga dengan gelagat ini. Cara Raihan memandang obyek benda di depannya berbeda dengan adik dan teman-temanya, aku perhatikan setiap melihat obyek benda yang relatif kecil atau jauh dia selalu memicingkan mata beberapa saat dan menurut tukang ojek langganan yang tiap hari mengantar dan menjempunya sekolah, dari jarak 2 meterpun si Raihan tidak mengenalinya kalau dia tidak mengeluarkan suara untuk memanggilnya.

Aku jadi teringat kejadian 25 tahun yang lalu, persis seperti Raihan saat ini ketika duduk di bangku SMP kelas 1. Saat itu aku juga divonis oleh dokter mata dengan vonis yang sama! Mataku minus dan ada silindernya, hanya saja minus mataku waktu itu tidak separah si-Raihan yang sampai angka 7. Saat itu mataku "hanya" minus 3. Akibatnya, sejak saat itu aku harus memakai kacamata sebagai alat bantu untuk memperjelas penglihatanku.

Sedih rasanya saat itu! Gara-gara memakai kacamata, selain tersiksa karena adanya benda asing yang menempel sekaligus membebani hidung (sering menyebabkan kantuk berat) aku harus meninggalkan banyak kegiatan yang menjadi hobby beratku, terutama hobby olahraga ketangkasan yang telah lama aku tekuni, yaitu Bulutangkis dan Sepakbola! 

Pukulan paling berat adalah pupusnya harapan mendapatkan beasiswa untuk belajar sekaligus berlatih bulutangkis di salah satu klub Bulutangkis terkenal milik sebuah perusahaan media nasional ternama dari Surabaya yang sedianya sudah ada di depan mata. Beasiswa belajar bulutangkis itu tidak datang dengan sendirinya, tapi kudapatkan dengan perjuangan plus kerja keras. Aku memenangi PORSENI di level SD akhir 80-an. Sayang, semuanya tinggal mimpi. Tekad, niat dan angan-anganku suatu saat nanti bisa membela merah putih di ajang Piala Thomas, All England dan turnamen bergengsi lainnya harus kututup rapat-rapat. Sayonara bulutangkis!

"Terus gimana baiknya dok?" Tanyaku, melanjutkan pembicaraan dengan Dr Muhammad Ali Faisal, M.Sc, Sp.M

"Untuk terapi matanya, ya harus pakai kacamata sesuai ukuran, tidak boleh stres dan biasakan melihat atau memandang obyek yang jauh terutama yang berwarna hijau!"

Saat itu aku membayangkan betapa tersiksanya si-Raihan nanti kalau harus memakai kacamata yang sangat tebal. Terus bagaimana dengan hobi main bolanya? apakah bisa mengikuti jejak si Edgar david, mantan punggawa timnas Belanda yang tetap bisa bermain bola dengan memakai kacamata khusus?

"Selain itu, gaya hidup dan pola asupan makanan juga harus dirubah! Raihan suka membaca dan main game pakai gadget atau komputer? Suka membaca sebenarnya bagus, cuma cara membacanya harus benar dan untuk main gadget atau komputer, sebaiknya  mulai sekarang harus dibatasi, selain karena jarak mata dengan layar yang relatif dekat, radiasi dan spektrum warna warna pada gadget dan komputer ditengarai bisa menjadi katalis atau mempercepat laju bertambahnya angka minus pada mata." sedangkan untuk asupan makanan, perbanyak makan sayuran seperti brokoli, wortel, bayam, tomat dll." Dr. Faisal menjelaskan panjang lebar.

Secara garis besar, mata minus (rabun jauh/myopia) bisa terjadi karena garis keturunan dan aktifitas melihat jarak dekat yang intensitasnya terlalu lama, seperti membaca dengan jarak yang dekata atau main game dengan media gadget atau komputer. Sedangkan mata silnder (Astigmatisma) lebih banyak disebabkan karena gaya hidup yang salah, seperti membaca dan melihat obyek benda dengan fokus dari samping atau miring atau sambil tidur-tiduran.

Memang harus diakui, kemajuan teknologi, khususnya smartphone seperti dua sisi mata uang. Disatu sisi memberikan banyak kemudahan, tapi disisi lain bila tidak disikapi secara benar dan bijaksana, pasti akan membawa dampak negatif yang sangat merugikan.

Sekarang, dengan kenyataan harus memakai kacamata tebal (meskipun tidak seberat dulu, karena sudah ada yang berbahan dasar plastik), aktifitas Raihan jadi terbatasi, memang hobinya membaca dan main game tetap bisa berlanjut, tapi hobinya main bola, praktis sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Entah dengan cita-citanya kelak?


Artikel ini juga bisa dibaca di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar