Rabu, 27 Mei 2020

Kampanye Test Buta Warna Sejak Dini


Bisa baca tulisan di kaos ? | @kaekaha

Di Indonesia, buta warna dan penyandang buta warna sepertinya harus berjuang sendiri mencari identitas dan proporsinya dalam bergelut dengan kehidupan. Masih banyak diantara kita yang tidak atau belum menyadari bahwa buta warna begitu penting dalam hidup dan kehidupan, bahkan dalam beberapa situasi posisinya menjadi “penentu” bagi perjalanan hidup seseorang dalam memilih jalan kehidupan.

Di dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, buta warna sepertinya jatuh dalam ranah pribadi (private) sehingga semua konsekuensi yang muncul sebagai akibat menyandang buta warna jarang ter-ekspos keluar, akibatnya gaung buta warna dan berbagai permasalahan yang mengikutinya sering luput dari perhatian masyarakat bahkan Negara yang seharusnya punya tanggung jawab atas pemberdayaan potensi seluruh rakyatnya, termasuk penyandang buta warna. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya sistem terpadu yang diterapkan oleh pihak berwenang (pemerintah)dalam upaya memetakan potensi anak-anak Indonesia sejak dini sebagai salah satu element guna menyusun blueprint manajemen sumber daya manusia Indonesia kedepan.

Dalam kehidupan sehari-hari penyandang buta warna biasanya tidak akan tampak berbeda dengan manusia normal lainnya. Mereka tetap bisa berinteraksi bahkan beradaptasi dengan baik dalam lingkunganya, yang membedakan adalah kemampuan individual dalam menganalisa dan mengenali warna, terutama untuk warna-warna turunan yang sifatnya tidak fullblock.

Berangkat dari pengalaman pribadi yang sangat menyakitkan karena “tidak terduga” menyandang buta warna, mengakibatkan saya “salah memilih cita-cita”. Sejak kecil saya bercita-cita ingin menjadi dokter dan sepanjang perjalanan hidup saya sudah saya persiapkan sesempurna mungkin untuk meraih cita-cita tersebut. Tapi sayang, kenyataan harus berkata lain, karena divonis menyandang buta warna saya harus merelakan cita-cita besar saya untuk menjadi dokter sirna lewat begitu saja justeru ketika satu kaki saya sudah menjejak dunia impian saya itu,. Padahal sejak kecil saya sudah membangun tekad dan menyusun langkah guna merengkuh cita-cita untuk menjadi dokter. Sedih dan kecewa sudah pasti! Tapi yang paling menyedihkan bagi saya adalah kenapa kelainan bawaan (keturunan) yang terpaut sex itu baru sekarang terdeteksi? Kenapa tidak dari dulu, sehingga saya bisa menyesuaikan arah cita-citadan kemungkinan jalan hidup yang sesuai dengan kondisi saya. Kalau sudah begini, ibarat nasi sudah menjadi bubur! Waktu yang sudah berlalu tidak bisa di putar kembali. Semua harus saya mulai dari nol lagi, sehingga memerlukan perencanaan ulang yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya yang hasilnya masih tanda tanya besar.

Dari diskripsi singkat kisah diatas, saya bertekat untuk melakukan “sesuatu” bagi bangsa Indonesia, terutama bagi masyarakat pinggiran dan menengah kebawah yang masih minim akses informasi. Jangan sampai “tragedi” yang saya alami terulang pada generasi emas Indonesia selanjutnya. Jangan sampai potensi besar yang ada tidak di manage dantidak mempunyai arah yang jelas ujungnya.
Saya ingin mengkampanyekan sekaligus action lapangan perlunya tindakan “test buta warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk anak-anak Indonesia secara bertahap. Tahapan kerjanya, dengan memperkenalkan seluk beluk kelainan buta warna dan test buta warna mandiri dengan memamaki alat test Ishihara manual maupun digital. Untuk tahap awal saya akan membuat area pilot project di Daerah Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan daerah tempat tinggal saya dengan sasaran anak SD kelas 4,5 dan 6. Saya pilih kelas 4,5 dan 6 karena saya anggap sudah cakap mengenali angka dan huruf (test ishihara tenisnya mengenali angka atau huruf dalam lembaran piring warna) plus sudah bisa diajak untuk berkomunikasi verbal dengan baik.Sebenarnya saya berharap, ide dan upaya saya mengkampanyekan perlunya tindakan “test buta warna sejak dini”, gratis tanpa dipungut biaya untuk anak-anak Indonesia ini mendapat apresiasi dari pemerintah melalui dinas terkait (pendidikan, kesehatan dan sosial) dan atau LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan manusia. Harapannya suatu saat bisadijadikan agenda wajib oleh pemerintah. sehingga legalitas proses dan hasil dari project ini lebih valid, diakui, bisa dipertanggung jawabkan dan yang terpenting bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan. Tapi kalaupun apresiasi itu tidak ada, tidak menjadi soal karena prinsipnya test buta warna bisa dilakukan secara mandiri dan project kampanyeini pada dasarnya justeru membantu tugas dan kewajibanpemerintah yang mungkin terlewatkan.

Untuk masalah biaya dan pendanaan, saya akan mencari donatur dan sponsor independent termasuk LAZIS untuk ikut serta membantu. Pengeluaran terbesar mungkin terserap untuk pengadaan software dan hardware alat test Ishihara yang harganya sekitar dua jutaan rupiah tapi bisa dipakai untuk selamanya. Untuk personil, pada prinsipnya sudah banyak teman-teman relawan yang siap untuk turut terjun ke lapangan setiap saat.

Menyandang butawarna memang takdir yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Sedih, galau, menyakitkan mungkin sesuatu yang wajar bagi penyandangnya. Tapi ingat, menyandang buta warna bukanlah akhir segalanya, tapi justeru awal dari segalanya. Percayalah saudaraku, pasti ada rencana Allah yang Maha Dahsyat dibalik ini semua.

Mari berbagi harapan dengan saudara-saudara kita yang menyandang buta warna. Semoga semua langkah dan usaha kita menebar kebaikan di muka bumi Allah, mendapat ridha dan restu-Nya. Amin.


Artikel ini juga bisa dibaca di Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar