“Kota seribu
pengemis”, mungkin julukan itu sekarang ini layak disematkan di kotaku,
Banjarmasin! yang bermotto “Bungas” yang konon maksudnya cantik rupawan,
kontradiktif memang….tapi itulah kenyataannya! Bungas dengan tebaran bunga-bunga trotoar di setiap penjuru kota. Pengemis berikut tandem-nya, gelandangan yang biasa disingkat gepeng
memang tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan, kehadirannya seperti
pepatah lama yang menjadi simbol perjuangan para pejuang di jaman
kemerdekaan “Patah satu tumbuh seribu”, sungguh menakjubkan. Masalah gepengmemang bukan masalah endemik
di kota Banjarmasin saja, berita dari berbagai media menyebutkan hampir
semua kota menengah besar di seluruh Indonesia mengalami hal serupa dan
yang membingungkan, semua pejabat pemerintahan di masing-masing kota
meng-klaim kalau wilayah kotanya tak lebih sebagai “wilayah kerja” saja bagi para gepeng, artinya mereka itu bukan warga setempat alias pendatang yang datang untuk “bekerja” sebagai gepeng.
Lantas dari mana mereka datang? Gepeng
bukan siluman dan sejenisnya tapi manusia juga, logikanya kalau memang
mereka pendatang kehadirannya pasti bisa dipantau! Sehingga kehadiran
dan pertumbuhannya juga bisa diantisipasi oleh pemerintahan daerah
masing-masing. tapi kenyataanya seperti di Banjarmasin keberadaan gepeng tumbuh subur layaknya jamur di musim hujan, terlebih di bulan Ramadhan seperti sekarang, semua simpang jalan dijejali oleh berbagai jenis gepeng dan yang lebih memprihatinkan sebagian besar sangat sangat tidak layak bekerja sebagai gepeng meminta belas kasihan, belakangan ada sinyalemen kalau para gepeng ini
ada yang mengkoordinir, bahkan koordinatornya-pun juga sudah ketahuan
dan pernah ditangkap! Tapi kenapa semuanya seperti angin lalu, berhembus
dan lenyap begitu saja tidak berbekas Apa sebenarnya yang terjadi??
Media nasional dari Surabaya (Jawa Pos) terbitan Kamis, 12 Juni 2008
mempublikasikan investigasi terhadap jaringan gepeng yang
beroperasi di Surabaya yang omset perbulannya mencapai puluhan juta
rupiah (jauh melebihi gaji buruh pabrik di Surabaya yang lembur terus
menerus selama 1 bulan tanpa istirahat, bayangkan!) bahkan pimpinan
jaringan tersebut sebut saja Cak To yang konon lahir dan besar dari keluarga pengemis itu sudah mempunyai kendaraan dinas berupa Honda CRV kinclong,
dua sepeda motor Honda Supra Fit dan 4 (empat) buah rumah yang dibangun
di Semarang, Surabaya dan Madura yang kesemuanya didapat dari hasil
mengemis! Bagaimana generasi muda tidak mudah terserang mental miskin
jika melihat fakta ini? Karena ternyata mengemis lebih menjanjikan dari
pekerjaan terhormat lainnya! Satu hal lagi, fakta ini menunjukkan bahwa
keberadaan jaringan gepeng itu benar adanya dan tidak menutup kemungkinan di kota kita, Banjarmasin bungas.
Perlakuan kepada gepeng di jalanan memang menjadi dilema dan
selalu menjadi pro dan kontra di masyarakat, bahkan bagi sebagian
kalangan akan menjadi pertaruhan pada keyakinannya (selama tidak
melanggar hukum dan norma yang berlaku kita tidak bisa melarang orang
lain untuk berkeyakinan sekaligus mengaplikasikan keyakinannya
dimaksud). Semisal keyakinan bahwa “tangan diatas (baca : memberi) jauh lebih baik daripada tangan dibawah (baca : menerima)”
apalagi di bulan suci Ramadhan seperti sekarang ini dimana semua
perbuatan / amalan baik, diyakini umat Islam akan mendapatkan imbalan
(baca : pahala) yang berlipat-lipat, sehingga saat ini menjadi waktu
yang tepat untuk menempatkan “tangan diatas”. Sayangnya keyakinan
“tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah” itu justeru
dimanfaatkan secara keliru oleh sekian orang yang tidak bertanggung
jawab, mereka justeru berpikir “kalau semua tangan diatas (memberi) lantas siapa yang akan di bawah (menerima)” logis juga bukan! Tapi dalam perjalanannya makna “tangan dibawah” telah bergeser dari “menerima” menjadi “meminta” ini yang jadi masalah, karena kata “meminta”
sifatnya adalah kata kerja aktif sehingga ini akan menarik ruang bawah
sadar untuk meng-aplikasikannya dalam alam sadar sebagai aktifitas yang
aktif (baca : pekerjaan) juga,
Ini jelas tidak bisa dibenarkan, mengeruk
keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya meskipun harus melanggar
berbagainorma-norma kehidupan bermasyarakat. Kenapa bisa begitu? Banyak
faktornya! Untuk masalah yang satu ini mungkin kita bisa belajar pada
Pemprov DKI JAYA, yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan piranti hukum
untuk mengantisipasi masalah gepeng, dan aplikasi pemberian sanksinya tidak hanya kepada gepeng saja tapi juga kepada siapapun yang tertangkap basah sedang memberikan apapun kepada gepeng, karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Bagaimana dengan Banjarmasin? Saya sepakat dengan pemikiran Cak Nun dalam bukunya “Jejak Tinju Sang Kiai”, yang intinya “memberi tanpa diminta itu lebih gentleman daripada memberi ketika diminta”, betul nggak?
Untuk membantu pihak berwenang dalam menentukan skala prioritas kebijakan yang akan diambil dalam menangani problematika “gepeng” secara cepat, tepat dan akurat. Klasifikasi diskripsi gepeng secara sederhana (bisa dimodifikasi atau disempurnakan sesuai dengan kebutuhan) berikut mungkin bisa membantu, pertama jadi gepeng karena memang tidak punya sumber daya fisik, psikis, mental dan ekonomis yang memadahi, kedua mempunyai sumber daya fisik memadahi tapi tidak mempunyai kesehatan psikis, mental serta ekonomis yang memadahi dan yang ketiga relatif mempunyai sumber daya fisik, psikis dan ekonomis yang cukup memadahi hanya saja semuanya tertutup oleh mental miskin dan budaya instan yang sekarang begitu kuat mencengkeram peradaban manusia. Diantara ketiga jenis gepeng diatas yang perlu mendapat perhatian porsi tinggi adalah jenis kedua dan ketiga karena keduanya menyimpan bahaya laten berupa virus mental miskin yang sangat mudah untuk menular
dan menjangkiti siapapun dalam situasi sosial ekonomi seperti sekarang
ini dan biasanya mereka ini masih dalam usia yang sangat produktif. Dari
sini simpul kedua mulai terurai, dengan alat identifikasi yang relatif
sederhana (sekali lagi!bisa dikembangkan lebih lanjut!) ini diharapkan
peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kedepannya
benar-benar memperhatikan keamanan dan kenyamanan masyarakat banyak.
Sebagai reaksi atas tumbuh dan berkembangnya “gepeng” yang
kian mengkawatirkan, MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumenep Madura
mengeluarkan fatwa haram untuk “pekerjaan mengemis”.Latar belakang
keluarnya fatwa haram ini didasari oleh maraknya praktik kerja mengemis
yang semakin tidak terkendali dan sudah tergolong dalam KLB (Kondisi Luar Biasa) alias
sudah akut sehingga perlu terapi kejut yang sesuai dengan dosisnya dan
satu yang terpenting mengemis tidak ada dalam ajaran agama Islam. Ini
logis dan masuk akal, sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan
kesadaran mental dan spiritual masyarakat sumenep khususnya, apalagi
kultur masyarakat sumenep dan Madura secara umum konon sangat taat dan
patuh pada seruan ulama. Contoh dari Sumenep Madura, rasanya patut juga
untuk diapresiasi dan didiskusikan lebih lanjut oleh semua pihak terkait
di kota kita tercinta! Banjarmasin Bungas.
Artikel ini pernah terbit di halaman Opini, Banjarmasin Post tanggal 16 September 2009 dengan judul "Gelandangan dan Pengemis" dan juga bisa dibaca di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar