Walaupun selalu menjadi pro dan kontra,
keputusan pemerintah kembali membuka kesempatan pencari kerja untuk
mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) setiap
tahun , dirasakan bak angin surga yang menyejukkan oleh beberapa
kalangan.
Mengingat begitu besarnya angka pengangguran (terdidik) di
Indonesia, situasi ini memang sangat masuk akal. Magnet bernama Pegawai
Negeri Sipil atau PNS memang tidak akan pernah lekang oleh waktu,
kehadirannya seperti gulaan yang manis dan harum yang selalu
sanggup untuk mengundang siapapun untuk menghampiri dan berusaha untuk
mengecapnya.
Situasi ini cukup wajar, mengingat status PNS sekarang bisa
dijadikan jaminan stabilitas hidup yang relatif bisa diandalkan. Dengan
jam kerja yang relatif ”fleksibel”, gaji untuk golongan IIA nol dinas
(setara SLTA) sebesar Rp. 1.714.100,- plus berbagai tunjangan yang masih mungkin diterima dalam bentuk uang ataupun natura
lainnya.
Coba bandingkan dengan sektor swasta, dengan jam kerja yang
amat sangat ketat (bahkan dilapangan kecenderungannya melebihi waktu
kerja normatif) 8 jam/hari, UMP Kalsel 2013 (hanya) Rp. 1.337.500,- yang
dalam aplikasi riilnya belum tentu diberlakukan secara benar oleh semua
perusahaan di wilayah Kalsel plus masih dan selalu dibayangi
oleh PHK atau kemungkinan lain yang tidak bisa diprediksi.
Gambaran ini
memang membalik kenyataan situasi sepuluh tahun silam yang selalu
mengidentikkan PNS terutama guru sebagai sosok yang selalu identik
dengan pengabdian dan penderitaan khususnya secara ekonomi.
Berbicara
tentang pegawai negeri, sebenarnya banyak hal menggelitik bahkan
mengganjal yang mungkin selama ini terlewatkan dari perhatian kita.
Sejatinya apa dan siapa sosok pegawai negeri itu? Kenapa magnetnya
begitu kuat? bahkan konon sanggup menembus batas-batas rasional dan
berbagai norma kehidupan!.
Secara
umum, selama ini kita terbiasa mengidentikkan pegawai negeri sama dengan
pegawai negara atau aparaturnya negara kurang lebih begitu. Berangkat
dari identikisasi tersebut sekaligus mengutip pendapat
budayawan Emha Ainun Nadjib dalam naskah ”Bambang Gembelengan Alias Tak
Ada Negara di Pasar Turi” (Kompas, 2008), secara filosofis antara negeri
dan negara itu jauh berbeda. Negara jelas statusnya menurut konstitusi,
tapi ”negeri” sangat tidak jelas.
Kata negeri domain dari budaya bahkan
sebenarnya bahasa puisi, sehingga konsekuensi logis-nya pegawai negeri
(mestinya) tidak jelas posisinya dalam hukum? tapi di Indonesia baik
dalam pemahaman konstitusi maupun di alam pikiran rakyat umumnya, hal
itu belum atau tidak dibedakan! Hal ini mungkin sebanding dengan kata
negara dan pemerintah yang selama ini kita pahami kurang lebih sama.
Tenyata menurut Pipit Rukhiyat Kartawijaya seorang negarawan yang juga
pakar PEMILU Indonesia, ada pebedaan yang mendasar dan sangat serius
antara negara dan pemerintah. Negara adalah aplikasi dari otoritas
rakyat sedangkan pemerintah itu adalah pelaksana yang digaji untuk
menjalankan otoritas rakyat
Memang
benar, penggunaan kata negeri memang lebih banyak muncul dalam karya
sastra seperti opera, teater, sajak, dongeng dan lain-lain dan sangat
jarang terdengar atau mungkin memang tidak tepat bila digunakan sebagai
kata untuk fungsi formal dan yuridis. Tidak ada penyebutan negeri
Indonesia, negeri Amerika Serikat, negeri Afrika Selatan atau negeri
Jerman yang ada adalah negeri impian, negeri dongeng, negeri diatas
awan, negeri kurcaci dsb.
Begitu pula sebaliknya tidak ada penyebutan
negara kangguru, negara singa, negara matahari terbit, negara paramullah
atau negara petro dollar yang ada adalah negara Libya, negara Suriname,
negara Perancis, negara Pakistan dsb.
Dari fakta diatas, penggunaan
kata ”negeri” pada frase kata ”pegawai negeri” untuk menjelaskan
statusnya sebagai pegawai yang dipekerjakan dan digaji oleh negara
sepertinya memang tidak tepat. Kalau kita konsisten, seharusnya pegawai
negara bukan pegawai negeri karena yang mempekerjakan dan menggaji
mereka adalah negara bukan negeri.
Lantas
siapa sebenarnya jatidiri pegawai negara (sampai detik ini masih
disebut pegawai negeri) itu sebenarnya? Dalam Atmosfir demokrasi seperti
yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan jargon dari
rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, maka suara rakyat adalah suara
Tuhan.
Posisi rakyat secara struktural adalah yang tertinggi, tapi jelas
mustahil 220 juta orang Indonesia semuanya menempati posisi struktural
tertinggi (baca ; presiden) maka selanjutnya diadakan pemilu untuk
memilih wakil rakyat, kemudian para wakil rakyat itulah yang memilih dan
memilah beberapa orang yang ”dibayar” untuk mengurusi semua yang
diperlukan oleh rakyat dalam sebuah tatanan bernama negara.
Pengurus
keperluan rakyat ini diurutkan dari yang paling atas disebut Presiden
sampai yang paling bawah Pak Lurah dan Pak Sekdes, merekalah yang
disebut pegawai negara. Dari diskripsi diatas jelas siapa sebenarnya
”pegawai negara” itu! Presiden dan seluruh jajaran pejabat birokrat pada
hakekatnya adalah abdi rakyat alias PRT atau ”pembantu rumah tangga”
rakyat. Karena rakyat yang membayarnya, menyediakan kantor, rumah dinas,
kendaraan dan semua kelengkapannya untuk menjalankan tugas termasuk
biaya perjalanan dinas dan biaya asuransi diri.
Semua pasti sepakat,
yang membayar adalah bos dan yang dibayari adalah karyawan atau buruh.
Rakyat yang membayari berarti juragan dan pegawai negara berarti buruh.
Jadi, pejabat presiden, apalagi menteri yang ”pembantu” presiden,
gubernur, Bupati, camat sampai lurah bukanlah orang nomor satu di
wilayah kerjanyanya masing-masing, yang nomor satu yang tertinggi adalah
rakyat.
Mereka para pejabat negara itu sejatinya adalah Pembantu Rumah
Tangga penduduk diwilayahnya! Maka sudah seharusnya rakyat dihormati!
Rakyat tetap bisa hidup dan cari makan tanpa adanya lurah atau presiden
sekalipun, tapi walikota atau gubernur bahkan presiden sekalipun ada dan
bisa menjadi ada hanya karena ada rakyat!
Dengan bermain logika linier seperti diatas, jati diri PNS bisa dijelaskan posisi dan kedudukannya secara logis dan fair.
Mudah-mudahan diskripsi sederhana ini bisa menjadi bahan perenungan dan
pertimbangan bagi siapapun yang sudah atau masih ingin mengecap
manisnya gulaan bernama Pegawai Negara Republik Indonesia yang
ternyata menyimpan sejuta ironi dan beban pertanggung jawaban secara
vertikal maupun horisontal yang cukup berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar