“Kiri…kiri…..kiri…..tek….tek……tek…….tek………..tek….!!”,
teriakku sambil mengetuk pintu bis dengan koin untuk memberi tanda
kepada sopir dan kenek bis agar menghentikan laju roda bis.
“Jalan mbarat, mas?” tanya sopir bis sambil menepikan bis tepat di tempat yang kuminta.
“Nggih Pak!”, jawabku cepat tanpa menoleh lagi.
“Kaki kiri dulu mas”, teriak kondektur bus lantang kepadaku.
“Yo…i, suwun mas”, balasku.sambil melompat dari bibir pintu bis.
“Akh…..akhirnya,
sampai juga aku”, kataku dalam hati begitu kedua kakiku menginjak tanah
dengan sempurna, tepat diantara rel kereta api bekas yang dulunya
sering dilewati rankaian kereta api jenis tangki milik PERTAMINA untuk
menyuplai kebutuhan BBM ke Pangkalan TNI AU Lanud Iswahyudi, Madiun yang
sekarang ada di belakangku. Sesaat aku masih berdiri termangu menatap
lalu lalang kendaraan di jalan mbarat, pertigaan atau jalan simpang tiga yang menghubungkan kampungku dengan kota-kota disekitarnya.
Secara
umum memang tidak ada yang istimewa dari simpang tiga yang satu ini
selain fungsinya sebagai jalan penghubung kampungku dengan peradapan
kota disekitarnya, selebihnya sekali lagi mungkin tidak ada.
”Apa
kira-kira yang berubah dari tempat ini setelah delapan tahun aku
tinggalkan merantau ke Banjarmasin”, tanyaku dalam hati sambil melempar
pandangan menjelajahi satu per-satu sudut simpang tiga yang mulai
temaram diselimuti senja.
“Akh…..sepertinya tidak ada yang berubah, masih seperti dulu! Warung bakso goyang lidah
langgannanku dulu masih ada di sudut itu, mungkin hanya warna cat
dindingnyasaja yang berubah dari yang dulunya putih polos sekarang
menjadi kuning ngejreng dan yang itu, kios cobra yang dulu tersohor karena konon menjual jamu jamuan berbahan dasar organ
ular dan reptil lainnya itu, juga masih berdiri di tempatnya dengan
gambar berbagai macam reptil masih menghiasi dinding depannya, mungkin
sedikit yang berubah adalah munculnya kios-kios kecil yang menjajakan pulsa dan berbagai aksesoris handphone yang berdiri tidak begitu teratur di belakang barisan becak dan dokar yang sedang parkir menunggu penumpang di sudut sebelah kanan jalan”, batinku dalam hati.
Perlahan-lahan kenangan masa lalu akan simpang tiga jalan mbaratmenyeruak dan menyeretku ke pusaran masa lalu……….
Sampai
tiba-tiba ada tangan kekar yang mendarat mantab di pundakku, “ Raden,
Ya?”, sapanya padaku hingga membuat jantungku berhenti berdetak untuk
sejenak karena kaget dan sekaligus membuyarkan semua lamunanku.
Dengan
tergagap dan sedikit ragu, aku mencoba mengenali pemilik suara serak
dan berat yang khas itu, secara perlahan memori otakku segara berputar
untuk mencoba mengenali pemilik suara itu,
“ya…….
itu suara Om Sasih atau Muhammad Kosasih nama lengkapnya yang tak lain
adalah adik sepupu ibuku yang rumahnnya tidak lebih dari lima puluh
meter dari tempatku berdiri sekarang”, batinku.
Perlahan
kupalingkan wajahku kearah sumber suara, “Om Sasih ya?!!” Gimana
Kabarnya Om?, tanyaku kepada Om Sasih tanpa memberi kesempatan kepadanya
untuk menjawab pertanyaan pertamaku.
“Luar biasa, den! Kabarmu sendiri gimana?”,tanyanya balik.
“Ruaaaaaaaaar biasa Om!!!Candaku seperti biasa kalau ketemu sama Om Sasih.
”Kok
kurusan Om, diet ya?” candaku sambil memperhatikan sosok tua
dihadapanku yang kelihatan sedikit pucat, tidak segar dan seperti lebih
tua dari yang kubayangkan selama ini…….keadaan ini jelas berbeda dengan
sosoknya sebagai seorang prajurit TNIAD berpangkat Letnan Kolonel yang
gagah dan berwibawa beberapa tahun silam…….”ya, beberapa tahun silam
saat aku pamit mau berangkat ke Banjarmasin”, batinku dalam hati.
Sementara Om sasih hanya tersenyum mendengar pertanyaanku yang sedikit
konyol itu.
“Rahayu gimana kabarnya, Om?” tanyaku lagi, menanyakan putrinya yang juga teman sepermainanku semasa kanak-kanak dulu.
“Oh
kamu masih ingat sama Rahayu……….!? Balasnya membuat mukaku merah padam,
untung hari hampir gelap jadi tidak begitu kelihatan.
“Oya, Rahayu hari Minggu besok ini mantenan lho, pas banget kamu pulang den!”, jawab Om Sasih.
“Oh, iya to Om”, jawabku senang mendengar kabar saudara sekaligus teman mainku sedari kecil yang tomboy itu akhirnya dapat jodoh juga, meskipun saat itu dalam hatiku juga melintas satu perasaan yang cukup aneh untuk kurasakan……..
….ya
Rahayu! Nama itu pernah membuat catatan tersendiri di hatiku selain
masih saudara, teman main dan sainganku di sekolah, sebenarnya sejak
kecil kami sudah saling dijodohkan oleh orang tua kami, tapi karena
kekerasan hatiku yang ingin mencari pengalaman hidup berbeda dengan
merantau ke Kalimantan akhirnya perjodohan itu jadi tidak jelas
ujungnya, sampai pada detik ini aku mendengar si Rahayu mau menikah.
“Den, kerumah dulu yuk!” ajak Om Sasih membuyarkan lamunanku yang sedang mengembara ke masa sekolah dulu bersama si Rahayu.
“Istirahat
dulu aja dirumah sekalian sholat Maghrib, Rahayu ada juga kok disana,
kalian kan sudah lama nggak ketemu!”, tambahnya lagi.
“Maaf
Om, nanti aja deh! Rasanya nggak enak kalau sekarang mampir, badan bau
begini!” elakku dengan spontan, karena sebenarnya aku masih belum siap
untuk bertemu dengan Rahayu dalam keadaan seperti ini.
“Nah,
itu Bapak dah datang!” tambahku sambil menunjuk kearah mobil carry
merah di kejauhan yang berjalan perlahan seperti mencari sesuatu.
“Ya wis, tapi janji lho nanti kamu harus main kerumah Om yang baru yah! Pintanya sambil menepuk bahuku.
“Beres Bos”, jawabku sekenanya tanpa pikir panjang sambil hormat layaknya tentara hormat pada atasannya.
Kemudian, Om Sasih meninggalkanku sambil tersenyum………ya..senyum yang sekilas terasa getir dan……………..
“Ah…..sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja karena Rahayu ………..”, kataku dalam hati
“Upsss……rumah
baru?” Aku seperti baru tersadar akan sesuatu………”Memang Om Sasih dan
keluarganya pindah rumah…….?” Tanyaku dalam hati………
“Hmmm……nanti aja dah, cari jawabannya………”, hiburku dalam hati.
“Bapaaaaaaaaaaaaak……”, teriakku kearah mobil carry merah di seberang jalan.
“Radeeeeeen…!!!Ayo
jagoan! Cepat kesini”, teriak bapak kegirangan melihat putra sulung
kebanggaannya yang sudah sekian lama merantau ke Banjarmasin Kalimantan
Selatan, sekarang berdiri dengan gagah di hadapannya.
Sejurus
kemudian Bapak, Ibu, aku dan kedua adikku larut dalam sukacita yang
terbangun secara spontan di dalam mobil yang sedang melaju pelan menuju
ke kampungku, Karangsono! kampung halamanku! Tempat aku lahir dan
dibesarkan……………. yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari simpang
tiga jalan mbarat.
Ditengah-tengah serunya obrolan ngalor ngidul di dalam mobil itu, aku teringat kembali pertemuanku dengan Om Sasih sesaat yang lalu…………………
“O..ya, tadi raden ketemu Om Sasih…dijalan!…..kok kelihatan kurusan ya… !?Tanyaku asal pada semua yang ada.
Tiba-tiba terdengar suara menderit keras……..dan mobil seperti diberhentikan secara paksa………
Tanpa
kuduga, ternyata apa yang baru saja kusampaikan tentang pertemuanku
dengan Om Sasih tadi telah membuat keterkejutan yang luar biasa pada
semua yang ada termasuk Bapak yang terkejut sampai menginjak rem dengan
kuatnya.
“Apa??? Om Sasih….. ?????
Dimana raden ketemu?” tanya bapak kepadaku dengan mimik serius dan
masih menunjukkan rasa keterkejutan yang luar biasa.
“Yang bener mas!?” tanya adikku tidak kalah terkejutnya.
Sesaat semua diam terpaku dengan mulut terkunci dan saling berpandang-pandangan. Keadaan ini justru semakin membuatku bingung.
“Emang ada apa sih?” tanyaku sekali lagi berusaha memecah kebisuan dan kebingungan.
Setelah
sekian waktu semua terdiam dan hanya saling berpandang-pandangan,
akhirnya ibu angkat bicara, “Raden, Raden yakin dengan apa yang Raden
sampaikan tadi?!” Tanya Ibu dengan sedikit bergetar menahan sesuatu.
“Maksudnya, yakin apanya?...... Ketemu sama Om Sasih……???”, tanyaku balik.
“Iya……!!” Jawab ibu pelan.
“Ya..iyalah! Lha wong kami tadi sempat ngobrol lumayan lama…….” jawabku.
“Memangnya ada apa sih? Bingung jadinya!!” ungkapku semakin bingung.
“Raden,
sebelumnya kami minta maaf karena tidak memberimu kabar ini……” jawab
Bapak ikut angkat bicara dan mencoba untuk menjelaskan sesuatu tapi
terputus……karena ragu.
“Berita apa Pak?” Tanyaku balik
“Begini
Raden, dua minggu yang lalu …..yah..kurang lebih seperti saat inilah
….Maghrib. Om Sasih baru saja turun dari bis …….tiba-tiba dari arah
belakang terdengar ledakan keras dan diikuti oleh bis yang melaju liar
hilang kendali kearah Om Sasih……..dan……” sejenak bapak terdiam tidak
melanjutkan bicaranya…..
“kecelakaan
maut yang mengerikan itu tidak bisa dihindari………..Om Sasih meninggal di
tempat kejadian, barusan bapak juga baru ingat!........... TKP-nya
tepat ditempatmu berdiri tadi! Diantara rel kereta api bekas itu…………………
“Inalillahi Wa Ina Illaihi Rajiun………….”, jawabku spontan sambil menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku. .
“Jadi……………… !?“ Aku mencoba melanjutkan kalimatku, tapi mulut ini tak kuasa…..dan akhirnya terputus.
“Yah…..Allah
SWT, baru saja menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya kepadamu
anakku…Om Sasih juga menunjukkan rasa sayangnya padamu……..bahkan sampai
mendekati akhir hayatnya ! Perlu kamu ketahui, sesaat sebelum turun dari
bis pas hari naas itu, Om Sasih masih sempat menelpon bapak dan
bertanya tentang dirimu!! Om Sasih kangen sama kamu…..dan bertanya kapan
kamu pulang! Lagian, Rahayu sebentar lagi kan mau menikah dengan anak
buahnya semasa di Timor-Timur dulu !! Mungkin,…….. Om Sasih mau minta
ijin sama kamu …….kan Rahayu sudah dijodohkan dengan kamu……“, tutur
Bapak kepadaku perlahan-lahan.
Tanpa sadar ada air bening mengalir dari kedua celah sudut mataku………
“Astaghfirullah…………………..!!”, sahutku lirih tidak karuan rasa
Samentara itu dari luar mobil, sayup-sayup terdengar adzan Maghrib mulai berkumandang merdu.
“Pak,
dimana Om Sasih dimakamkan? Kita ke makamnya saja dulu!! Raden baru
ingat, tadi Om Sasih ngajak Raden untuk mampir dirumahnya yang baru,
selagi ada Rahayu sekalian Sholat Maghrib, katanya!”.
Semua yang mendengar ucapanku semakin terdiam dan terpaku bergulat dengan fikirannya masing-masing.
“Baiklah, kita kesana saja dulu sekalian sholat Maghrib di Musholla komplek makam!”, Jawab Bapak memecah kebisuan.
Setelah
berjalan kurang lebih sepuluh menit kami sampai di komplek makam desa
Keraton tempat jasad Om Sasih di kebumikan. Dari tempat parkir, komplek
makam ini tidak terlihat seperti komplek makam umumnya yang terkesan
angker, seram dan menakutkan. Di bagian depan di samping tempat parkir
berdiri musholla dengan arsitektur Islam modern yang cukup sedap
dipandang mata. Sekilas jamaah sholat Maghrib di Musholla ini juga cukup
ramai, mungkin karena letaknya yang strategis di pinggir jalan antar
propinsi.
”Raden ….raden…ayoturun!!! kita sudah sampai!!!” Suara Ibu menyadarkanku dari lamunan.
“Ok….!!!”
Sahutku sambil sedikit tergagap sambil beranjak turun dari mobil.
Karena ingin segera bersujud untuk melepaskan semua simpul keterbatasan
akalku sebagai manusia sekaligus memohon ampunan-Nya.
Dengan
setengah berlari aku langsung ngeloyor menuju tempat wudhu,
tiba-tiba……….Uuuups hampir saja aku menabrak seseorang yang baru saja
keluar dari toilet yang ada di sebelah kiri jalanku…….”Raaaaden!”,
Sapanya pelan seperti nggak yakin……………..
Aku
memalingkan wajah kearah sumber suara, kulihat seorang perempuan muda
berkerudung merah jambu sedang menatap kearahku seakan tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya……….
”Rahayuuu………!!”,
Teriakku tidak kalah kagetnya. Sesaat aku terpaku pada sosok Rahayu di
depanku, aku langsung ingat ajakan Om Sasih untuk mampir kerumah barunya
untuk istirahat barang sesaat sekalian sholat Maghrib selagi ada Rahayu
di sana!!! Ternyata disini rumah Om Sasih yang baru……………………badanku
langsung lemas, lunglai seperti tidak bertulang….dan…..”bruuuk!!”. Semua
jadi gelap gulita.Kompasianer Banua Kalimantan Selatan | KOMBATAN |
Cerpen ini juga bisa dibaca di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar