Rabu, 27 Mei 2020

Penting, Tes Buta Warna Sejak Dini

 
Bisa baca tulisan di kaos? | @kaekaha

Penting, Tes Buta Warna Sejak Dini (Presiden, Menteri Pendidikan dan Menteri Sosial wajib baca!)


Buta warna adalah kelainan pada organ mata yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap spektrum warna tertentu yang disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan. (wikipedia). Intinya, pada penyandang kelainan buta warna, organ mata tidak bisa membedakan jenis warna-warna tertentu.

Di Indonesia, masalah buta warna memang belum menjadi trending topic, bahkan masih terkesan asing atau tidak familiar, sehingga luput dari perhatian masyarakat luas bahkan pemerintah yang semestinya sangat berkepentingan bahkan seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Sayang, selaku pengemban amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang jelas-jelas wajib menjamin hak-hak warganya untuk mendapatkan pendidikan, kelangsungan kehidupan, pekerjaan, terbebas dari diskriminasi, dll. Pemerintah telah “lalai” untuk menjamin hak-hak warga negaranya yang menyandang buta warna.

Penggalan cerpen berjudul “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” di bawah ini, memberi gambaran singkat “kelalaian” pemerintah menjamin hak-hak warga negaranya yang menyandang buta warna.

 ======================================================================

“Iya…! Dari hasil tes dan pemeriksaan, anda dinyatakan buta warna parsial dan itu artinya….dengan berat hati harus kami sampaikan, bahwa anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran”. Dr. Kayla mencoba memberikan penjelasan lebih detail. 

“Untuk penjelasan resmi dan disposisi lengkapnya, silakan anda datang ke bagian humas dan kemahasiswaan di Kantor pusat”. 

Tamat sudah angan-anganku, mimpiku, cita-citaku untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku. 

Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku, kini harus ku akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya. 

Terlebih lagi, semua berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna!

“Iya…! Dari hasil tes dan pemeriksaan, anda dinyatakan buta warna parsial dan itu artinya….dengan berat hati harus kami sampaikan, bahwa anda tidak bisa meneruskan pilihan studi ke Fakultas Kedokteran”. Dr. Kayla mencoba memberikan penjelasan lebih detail. 

“Untuk penjelasan resmi dan disposisi lengkapnya, silakan anda datang ke bagian humas dan kemahasiswaan di Kantor pusat”. 

Tamat sudah angan-anganku, mimpiku, cita-citaku untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku. 

Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku, kini harus ku akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya. 

Terlebih lagi, semua berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna!

========================================================================



Sistem pendidikan di Indonesia belum memberikan akses tes buta warna sejak dini sebagai bagian dari perencanaan pendidikan jangka panjang yang tentunya sangat berkorelasi dengan akses kehidupan masa depan warga negaranya. Entah apa alasan pemerintah sampai detik ini belum juga memberi akses dimaksud!? Padahal, ternyata status “tidak buta warna” menjadi syarat mutlak untuk melanjutkan pendidikan tinggi berbasis eksakta dan untuk berkarir di kemiliteran dan hampir semua kedinasan milik pemerintah.

Seperti kisah dalam cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” diatas. Tokoh Bintang yang digambarkan sebagai seorang anak yang punya prestasi pendidikan diatas rata-rata secara akademik, mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter dan demi meraih cita-citanya Bintang selalu berusaha menjaga semangat dan memperjuangkan cita-citanya dengan berusaha keras belajar, belajar dan belajar. Tapi sayang, mimpi tinggal mimpi. Cita-cita Bintang untuk menjadi dokter harus dikuburnya dalam-dalam, karena buta warna! Sebuah kelainan pada organ mata yang sebelumnya sama-sekali tidak diketahuinya dan celakanya, ternyata “status” sebagai penyandang buta warna adalah catatan angka mati alias haram untuk diterima di jalur pendidikan eksakta termasuk didalamnya ilmu kedokteran yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Yang paling menyakitkan dan menggoncang jiwanya adalah kenyataan bahwa informasi status sebagai penyandang buta warna baru diketahui setelah secara akademik Bintang dinyatakan lulus tes di Fakultas Kedokteran.

Dari kisah diatas, mungkin kita bisa membayangkan apa yang tengah dirasakan oleh seorang Bintang dan tentunya keluarga besarnya!? Bukan hanya perasaan dan uang yang telah dikorbankan Bintang dan keluarganya tapi satu lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu “waktu”. Tidak mungkin waktu diputar kembali untuk merevisi “cita-cita” baru! Sementara untuk berpindah haluan kepada cita-cita yang lain, tentu juga bukan tidak beresiko dan pasti bukan perkara yang mudah!

Bintang telah “salah” memilih cita-citanya! Karena takdirnya sebagai penyandang kelainan buta warna plus kelalaian pemerintah dalam menjamin hak-hak warga negara yang menyandang buta warna, karena ketiadaan akses perencanaan dan pemetaan potensi untuk pendidikan anak-anak Indonesia sejak dini, khususnya tes buta warna!

Kalau boleh berandai-andai, seandainya sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan test buta warna sejak dini, tentu fenomena si Bintang dan Bintang-Bintang lainnya akan berbeda akhir ceritanya!. Tentu si-Bintang sadar diri dan tidak akan memaksakan dirinya untuk membangun cita-cita menjadi dokter bila sejak dini dia mengetahui kalau dirinya menyandang buta warna. Sehingga energi yang ada bisa disalurkan lebih efektif untuk membangun harapan dan cita-cita lain yang sesuai dengan statusnya sebagai penyandang buta warna, dengan begitu kerugian material maupun nonmaterial bisa dihindari sejak dini pula. Bagaimana pemerintah?

Test buta warna sejak dini untuk anak-anak Indonesia tidak hanya diperlukan oleh para orangtua sebagai dasar untuk membantu merencanakan dan menentukan arah jalur pendidikan dan masa depan yang sesuai dengan potensi yang dimilki oleh si anak, tapi sebenarnya juga penting untuk pemerintah. sebagai dasar pemetaan potensi anak-anak Indonesia, generasi penerus yang kelak pasti akan menerima estafet kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang dengan cara yang lebih efektif dan efisien, sekaligus untuk menyusun blueprint jangka panjang manajemen sumber daya manusia Indonesia

Coba bayangkan! Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini yang bernasib sama seperti Si-Bintang yang salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar! kehilangan banyak generasi emas, generasi potensial yang seharusnya bisa diberdayakan dengan benar.

Berangkat dari kisah tragis diatas! Saya menyarankan (sekali lagi) kepada para orang tua dan perusahaan penyedia rencana pendidikan mengawali perencanaan pendidikan putra-putri kita dengan fitur tes buta warna, lebih dini lebih baik! Jangan sampai putra-putri kita bernasib tragis seperti fenomena si-Bintang, rugi waktu, biaya dan tentunya kesempatan.

Sekarang memang bukan waktunya untuk berandai-andai. Show must go on! Jangan terlalu berharap pemerintah akan secepatnya mengulurkan tangan untuk “ngurusi” masalah nasib penyandang buta warna, karena masih banyak masalah lain yang lebih penting untuk diurus oleh pemerintah!?   Sekarang bola panas telah bergulir! Harapan terbesar untuk menggantikan peran dan fungsi pemerintah untuk “ngurusi” pemetaan potensi (baca : test buta warna sejak dini) anak-anak Indonesia tertuju pada lembaga atau perusahaan penyedia layanan rencana pendidikan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang besar bagi perusahaan penyedia layanan rencana pendidikan .seperti AXA Mandiri. Selaku pioneer operator perencanaan pendidikan di Indonesia, tentu AXA Mandiri tidak akan menyia-nyiakan peluang emas ini. Dengan melengkapi program rencana pendidikan yang sudah ada dengan tes buta warna sejak dini, tentu akan meningkatkan nilai tawar dan nilai jual program rencana pendidikan produk AXA Mandiri di mata konsumen, karena. nilai manfaat yang didapat konsumen semakin lengkap dan bermanfaat. Sehingga kedepan, potensi besar yang dimiliki anak-anak Indonesia bisa dipantau, dipetakan dan kelak bisa diberdayakan secara tepat sesuai dengan jalur kemampuan dan keahliannya masing-masing. Bagaimana AXA Mandiri?

Rencana Pendidikan Bukan Hanya Merencanakan Masalah biaya/Keuangan Saja!
Program perencanaan pendidikan anak di Indonesia, sejauh ini masih dipahami secara sempit oleh masyarakat, secara umum hanya diidentikkan dengan pengelolaan biaya/keuangan sebagai persiapan kebutuhan pendidikan anak kita di masa yang akan datang. 

Padahal, kalau dikembalikan kepada makna asal dari dua kosakata pembentuknya, seharusnya perencanaan pendidikan tidak cukup hanya berhenti sampai dititik itu saja, tapi mencakup semua aspek yang berkaitan dengan pilihan jalur pendidikan yang akan di bidik sebagai pilihan untuk pendidikan anak secara menyeluruh. 

Hal ini bisa dipahami, karena istilah perencanaan pendidikan dipopulerkan oleh industri asuransi yang fokus usahanya memang mengelola uang. Paradigma lama ini seharusnya sudah di-upgrade oleh perusahaan asuransi sebagai penyedia program rencana pendidikan, mengingat semakin kompleksnya dinamika sosial masyarakat kita.

Mulai sekarang, seharusnya penyedia layanan rencana pendidikan wajib memberi edukasi kepada masyarakat, lebih dari sekedar wacana pengelolaan uang atau biayanya saja. Tapi juga memberi informasi dan telaah yang komprehensif mengenai semua hal yang berkaitan dengan rencana pilihan jalur pendidikan anak-anak kita. Jadi perannya tidak hanya sebagai finance advisor tapi menjadi healing Advisor bagi keluarga yang mempercayakan rencana pendidikan putra-putrinya kepada mereka.

Rencana Pendidikan, adalah “Terapi Manajerial” Bagi Keluarga Indonesia
Bersentuhan dengan program rencana pendidikan produk dari perusahaan keuangan entah perbankan atau asuransi, sebenarnya bukanlah kebutuhan mutlak bagi para orang tua, posisinya sebagai katalisator atau yang mempercepat dan memperkuat proses pengelolaan. 

Sejatinya setiap keluarga apapun latar belakangnya, sadar atau tidak pasti sudah menjalankan konsep dasar perencanaan pendidikan bagi putra-putrinya. Kenapa begitu? Inti dari topik perencanaan pendidikan adalah tata kelola atau seni mengelola atau istilah kerennya adalah manajemen pengelolaan.

Berbicara manajemen berarti bicara seni dan naluri. Jadi sudah menjadi naluri bagi orang tua untuk bertanggung jawab dalam mengelola segala hal yang berhubungan dengan kelangsungan kehidupan tumah tangganya, termasuk disini adalah masalah pendidikan anak tercinta. 

Hanya saja, karena pengaruh budaya, lingkungan sosial dan adanya keterbatasan wawasan, pengetahuan, pendidikan, serta akses informasi pada masing-masing individu keluarga sering menyebabkan terjadinya inkonsistensi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), Pengarahan (Directing) dan Pengawasan (Controlling) dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengakibatkan banyaknya terjadi kegagalan dalam prosesnya. 

Untuk itulah kehadiran produk perencanaan pendidikan dari perusahaan yang kredibel dan terpercaya sagat diperlukan untuk membantu menjaga kualitas, stabilitas dan kontinyuitas proses manajerial potensi keuangan dalam keluarga kita, khususnya dalam hal manajemen pembiayaan kependidikan bagi putra-putri kita. 

Dengan standar operasional kerja (SOP) yang baku, terstruktur dengan jelas serta terprogram dengan baik plus bisa dipertanggungjawabkan sangat diperlukan untuk mendukung dan memperkuat proses kinerja manajerial dalam keluarga yang sudah atau sedang berjalan, karena mau-tidak mau, bisa-tidak bisa ketika kita sudah terikat perjanjian kerja sama, kita tetap dibawa untuk mau dan bisa mengelola pembiayaan asuransi pendidikan untuk anak kita, sehingga keberlangsungan pendidikan putra-putri kita kedepannya Insha Allah akan lebih terjamin.





** Cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” termuat dalam Kumpulan cerpen religi "Cahaya Hidayah di Langit Senja" terbitan  FAM Publishing, 2013

 Artikel ini juga bisa dibaca di Kompasiana





Tidak ada komentar:

Posting Komentar