Bisa baca tulisan di kaos? | @kaekaha |
Penting, Tes Buta Warna Sejak Dini (Presiden, Menteri Pendidikan dan Menteri Sosial wajib baca!)
Buta
warna adalah kelainan pada organ mata yang disebabkan oleh
ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap spektrum warna
tertentu yang disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan. (wikipedia). Intinya, pada penyandang kelainan buta warna, organ mata tidak bisa membedakan jenis warna-warna tertentu.
Di Indonesia, masalah buta warna memang belum menjadi trending topic, bahkan
masih terkesan asing atau tidak familiar, sehingga luput dari perhatian
masyarakat luas bahkan pemerintah yang semestinya sangat berkepentingan
bahkan seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin hak-haknya sebagai
warga negara yang sah. Sayang, selaku pengemban amanat Undang-Undang
Dasar 1945 yang jelas-jelas wajib menjamin hak-hak warganya untuk
mendapatkan pendidikan, kelangsungan kehidupan, pekerjaan, terbebas dari
diskriminasi, dll. Pemerintah telah “lalai” untuk menjamin hak-hak
warga negaranya yang menyandang buta warna.
Penggalan cerpen berjudul “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” di bawah ini, memberi gambaran singkat “kelalaian” pemerintah menjamin hak-hak warga negaranya yang menyandang buta warna.
======================================================================
“Untuk penjelasan resmi dan disposisi lengkapnya, silakan anda datang ke bagian humas dan kemahasiswaan di Kantor pusat”.
Tamat sudah angan-anganku, mimpiku, cita-citaku untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku.
Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku, kini harus ku akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya.
Terlebih lagi, semua berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna!
“Untuk penjelasan resmi dan disposisi lengkapnya, silakan anda datang ke bagian humas dan kemahasiswaan di Kantor pusat”.
Tamat sudah angan-anganku, mimpiku, cita-citaku untuk memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku.
Cita-cita yang sudah kubangun dan kuperjuangkan sejak kecil, mimpi indah yang selalu kujaga sepanjang waktuku, kini harus ku akhiri justru ketika sebelah kakiku sudah menapaknya.
Terlebih lagi, semua berakhir oleh sebab yang sama sekali aku tidak tahu hal ihwal-nya….buta warna!
========================================================================
Sistem pendidikan di Indonesia belum memberikan akses tes buta warna sejak dini sebagai
bagian dari perencanaan pendidikan jangka panjang yang tentunya sangat
berkorelasi dengan akses kehidupan masa depan warga negaranya. Entah apa
alasan pemerintah sampai detik ini belum juga memberi akses dimaksud!?
Padahal, ternyata status “tidak buta warna” menjadi syarat mutlak untuk melanjutkan pendidikan tinggi berbasis eksakta dan untuk berkarir di kemiliteran dan hampir semua kedinasan milik pemerintah.
Seperti kisah dalam cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)”
diatas. Tokoh Bintang yang digambarkan sebagai seorang anak yang punya
prestasi pendidikan diatas rata-rata secara akademik, mempunyai
cita-cita menjadi seorang dokter dan demi meraih cita-citanya Bintang
selalu berusaha menjaga semangat dan memperjuangkan cita-citanya dengan
berusaha keras belajar, belajar dan belajar. Tapi sayang, mimpi tinggal
mimpi. Cita-cita Bintang untuk menjadi dokter harus dikuburnya
dalam-dalam, karena buta warna! Sebuah kelainan pada organ mata yang
sebelumnya sama-sekali tidak diketahuinya dan celakanya, ternyata
“status” sebagai penyandang buta warna adalah catatan angka mati alias haram
untuk diterima di jalur pendidikan eksakta termasuk didalamnya ilmu
kedokteran yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Yang paling
menyakitkan dan menggoncang jiwanya adalah kenyataan bahwa informasi
status sebagai penyandang buta warna baru diketahui setelah secara
akademik Bintang dinyatakan lulus tes di Fakultas Kedokteran.
Dari kisah diatas, mungkin kita bisa membayangkan apa yang tengah
dirasakan oleh seorang Bintang dan tentunya keluarga besarnya!? Bukan
hanya perasaan dan uang yang telah dikorbankan Bintang dan keluarganya
tapi satu lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu “waktu”. Tidak mungkin
waktu diputar kembali untuk merevisi “cita-cita” baru! Sementara untuk
berpindah haluan kepada cita-cita yang lain, tentu juga bukan tidak
beresiko dan pasti bukan perkara yang mudah!
Bintang telah “salah” memilih cita-citanya! Karena takdirnya sebagai penyandang kelainan buta warna plus
kelalaian pemerintah dalam menjamin hak-hak warga negara yang
menyandang buta warna, karena ketiadaan akses perencanaan dan pemetaan
potensi untuk pendidikan anak-anak Indonesia sejak dini, khususnya tes buta warna!
Kalau boleh berandai-andai,
seandainya sistem pendidikan di Indonesia memberlakukan test buta warna
sejak dini, tentu fenomena si Bintang dan Bintang-Bintang lainnya akan
berbeda akhir ceritanya!. Tentu si-Bintang sadar diri dan tidak akan memaksakan dirinya
untuk membangun cita-cita menjadi dokter bila sejak dini dia mengetahui
kalau dirinya menyandang buta warna. Sehingga energi yang ada bisa
disalurkan lebih efektif untuk membangun harapan dan cita-cita lain yang
sesuai dengan statusnya sebagai penyandang buta warna, dengan begitu
kerugian material maupun nonmaterial bisa dihindari sejak dini pula.
Bagaimana pemerintah?
Test buta warna sejak dini untuk anak-anak
Indonesia tidak hanya diperlukan oleh para orangtua sebagai dasar untuk
membantu merencanakan dan menentukan arah jalur pendidikan dan masa
depan yang sesuai dengan potensi yang dimilki oleh si anak, tapi
sebenarnya juga penting untuk pemerintah. sebagai dasar pemetaan potensi
anak-anak Indonesia, generasi penerus yang kelak pasti akan menerima
estafet kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara di masa mendatang
dengan cara yang lebih efektif dan efisien, sekaligus untuk menyusun blueprint jangka panjang manajemen sumber daya manusia Indonesia
Coba
bayangkan! Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi
emas bangsa ini yang bernasib sama seperti Si-Bintang yang salah memilih
cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar!
kehilangan banyak generasi emas, generasi potensial yang seharusnya bisa
diberdayakan dengan benar.
Berangkat dari kisah tragis diatas! Saya menyarankan (sekali lagi) kepada para orang tua dan perusahaan penyedia rencana pendidikan mengawali perencanaan pendidikan putra-putri kita dengan fitur
tes buta warna, lebih dini lebih baik! Jangan sampai putra-putri kita
bernasib tragis seperti fenomena si-Bintang, rugi waktu, biaya dan
tentunya kesempatan.
Sekarang memang bukan waktunya untuk berandai-andai. Show must go on! Jangan terlalu berharap pemerintah akan secepatnya mengulurkan tangan untuk “ngurusi” masalah nasib penyandang buta warna, karena masih banyak masalah lain yang lebih penting untuk diurus oleh pemerintah!? Sekarang bola panas telah bergulir! Harapan terbesar untuk menggantikan peran dan fungsi pemerintah untuk “ngurusi” pemetaan potensi (baca : test buta warna sejak dini) anak-anak Indonesia tertuju pada lembaga atau perusahaan penyedia layanan rencana pendidikan. Ini merupakan tantangan sekaligus peluang besar bagi perusahaan penyedia layanan rencana pendidikan .seperti AXA Mandiri. Selaku pioneer operator perencanaan pendidikan di Indonesia, tentu AXA Mandiri tidak akan menyia-nyiakan peluang emas ini. Dengan melengkapi program rencana pendidikan yang sudah ada dengan tes buta warna sejak dini, tentu akan meningkatkan nilai tawar dan nilai jual program rencana pendidikan
produk AXA Mandiri di mata konsumen, karena. nilai manfaat yang didapat
konsumen semakin lengkap dan bermanfaat. Sehingga kedepan, potensi
besar yang dimiliki anak-anak Indonesia bisa dipantau, dipetakan dan
kelak bisa diberdayakan secara tepat sesuai dengan jalur kemampuan dan
keahliannya masing-masing. Bagaimana AXA Mandiri?
Rencana Pendidikan Bukan Hanya Merencanakan Masalah biaya/Keuangan Saja!
Program perencanaan pendidikan anak
di Indonesia, sejauh ini masih dipahami secara sempit oleh masyarakat,
secara umum hanya diidentikkan dengan pengelolaan biaya/keuangan sebagai
persiapan kebutuhan pendidikan anak kita di masa yang akan datang.
Padahal, kalau dikembalikan kepada makna asal dari dua kosakata pembentuknya, seharusnya perencanaan pendidikan
tidak cukup hanya berhenti sampai dititik itu saja, tapi mencakup semua
aspek yang berkaitan dengan pilihan jalur pendidikan yang akan di bidik
sebagai pilihan untuk pendidikan anak secara menyeluruh.
Hal ini bisa dipahami, karena istilah perencanaan pendidikan dipopulerkan oleh industri asuransi yang fokus usahanya memang mengelola uang. Paradigma lama ini seharusnya sudah di-upgrade oleh perusahaan asuransi sebagai penyedia program rencana pendidikan, mengingat semakin kompleksnya dinamika sosial masyarakat kita.
Mulai sekarang, seharusnya penyedia layanan rencana pendidikan wajib memberi edukasi
kepada masyarakat, lebih dari sekedar wacana pengelolaan uang atau
biayanya saja. Tapi juga memberi informasi dan telaah yang komprehensif
mengenai semua hal yang berkaitan dengan rencana pilihan jalur pendidikan anak-anak kita. Jadi perannya tidak hanya sebagai finance advisor tapi menjadi healing Advisor bagi keluarga yang mempercayakan rencana pendidikan putra-putrinya kepada mereka.
Rencana Pendidikan, adalah “Terapi Manajerial” Bagi Keluarga Indonesia
Bersentuhan dengan program rencana pendidikan produk
dari perusahaan keuangan entah perbankan atau asuransi, sebenarnya
bukanlah kebutuhan mutlak bagi para orang tua, posisinya sebagai katalisator atau
yang mempercepat dan memperkuat proses pengelolaan.
Sejatinya setiap
keluarga apapun latar belakangnya, sadar atau tidak pasti sudah
menjalankan konsep dasar perencanaan pendidikan bagi putra-putrinya. Kenapa begitu? Inti dari topik perencanaan pendidikan adalah tata kelola atau seni mengelola atau istilah kerennya adalah manajemen pengelolaan.
Berbicara manajemen berarti bicara seni dan naluri.
Jadi sudah menjadi naluri bagi orang tua untuk bertanggung jawab dalam
mengelola segala hal yang berhubungan dengan kelangsungan kehidupan
tumah tangganya, termasuk disini adalah masalah pendidikan anak
tercinta.
Hanya saja, karena pengaruh budaya, lingkungan sosial dan
adanya keterbatasan wawasan, pengetahuan, pendidikan, serta akses
informasi pada masing-masing individu keluarga sering menyebabkan
terjadinya inkonsistensi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), Pengarahan (Directing) dan Pengawasan (Controlling) dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengakibatkan banyaknya terjadi kegagalan dalam prosesnya.
Untuk itulah kehadiran produk perencanaan pendidikan dari
perusahaan yang kredibel dan terpercaya sagat diperlukan untuk membantu
menjaga kualitas, stabilitas dan kontinyuitas proses manajerial potensi
keuangan dalam keluarga kita, khususnya dalam hal manajemen pembiayaan
kependidikan bagi putra-putri kita.
Dengan standar operasional kerja
(SOP) yang baku, terstruktur dengan jelas serta terprogram dengan baik plus bisa dipertanggungjawabkan sangat diperlukan untuk mendukung dan memperkuat
proses kinerja manajerial dalam keluarga yang sudah atau sedang
berjalan, karena mau-tidak mau, bisa-tidak bisa ketika kita sudah
terikat perjanjian kerja sama, kita tetap dibawa untuk mau dan bisa
mengelola pembiayaan asuransi pendidikan untuk anak kita, sehingga
keberlangsungan pendidikan putra-putri kita kedepannya Insha Allah akan lebih terjamin.
** Cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)” termuat dalam Kumpulan cerpen religi "Cahaya Hidayah di Langit Senja" terbitan FAM Publishing, 2013
Artikel ini juga bisa dibaca di Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar