Rabu, 27 Mei 2020

Menyingkap Selimut Kabut Asap



Kabut asap, mungkin frase kata yang paling banyak menghiasi pemberitaaan media massa sepanjang triwulan ketiga tahun 2009 ini. Media lokal, nasional bahkan internasional ramai-ramai memberitakan dengan sudut pandang serta versinya masing-masing. 

Secara garis besar semua menyoroti luasnya dampak sosial, ekonomi, kesehatan dan terlebih ketidakberdayaan terutama pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan bencana laten lingkungan yang telah menimbulkan efek domino kesegala lini kehidupan masyarakat terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dua pulau endemik penyebab sekaligus korban terparah bencana selimut kabut asap. 

Setelah pemberitaan sedikit mereda selama bulan Ramadhan (mungkin karena fokus pemberitaan bergeser) dan seiring turunnya hujan lokal buatan dibeberapa kota di Pulau Kalimantan, sekarang selimut kabut asap kembali menyelimuti bumi Kalimantan dengan intensitas ketebalan yang berbeda-beda untuk masing-masing kota sekaligus meramaikan kembali pemberitaan di media massa. 

Sejak selimut kabut asap merambah sampai negeri tetangga sepanjang 2005-2006, pemerintah dan masyarakat sebenarnya tidak tinggal diam dan terus mengupayakan pengendalian secara maksimal terhadap masalah selimut kabut asap ini melalui berbagai cara.  

Action pemerintah melalui semua perangkatnya dari tingkat pusat sampai daerah memang ada bahkan mungkin sudah maksimal, tapi memang masih belum efektif dan efisien! Pemerintah dan masyarakat kita tidak mau belajar dari pengalaman! Pepatah ”Pengalaman adalah guru yang terbaik” tidak pernah benar-benar dipahami dan diaplikasikan dalam konteks yang sebenarnya! 

Bangsa ini sepertinya mudah lupa dan melupakan! Mudah-mudahan saja selanjutnya tidak ter-lupakan. Untuk kejadian (baca : bencana) laten yang sekian tahun selalu terulang dan terulang lagi dengan intensitas, siklus, bahkan kemungkinan penyebab yang selalu sama, mestinya tidak harus berlarut-larut dan terulang-ulang terus seperti sekarang ini. 

Dengan didukung peralatan modern dan canggih seperti satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) 19 (AMSC) dan berbagai peralatan yang dimiliki oleh stasium BMKG plus SDM yang sudah terlatih dipadu padankan dengan data-data terdahulu yang akurat, rasanya mustahil bencana laten ini tidak bisa diprediksi dan diatasi dengan cara yang efektif dan efisien. Ingat, ”keledai tidak akan jatuh untuk kedua kalinya di tempat yang sama” .

 
Ada satu logika linier yang mungkin membantu pada tahapan identifikasi. ”Tidak ada asap tanpa api dan tidak ada api tanpa ada yang memulai”. Memulai disini berarti memulai membakar, dari skala kecil sampai besar, dari semak dan ilalang sampai plastik dan bahan berbahaya lainnya. 

Untuk permasalahan yang kita hadapi, pembakaran lahan-lah yang menjadi tersangka utama! Pembakaran semak-semak dan ilalang untuk membuka lahan baru memang sudah menjadi tradisi di banua kita, bahkan sebagian sudah menjadi tradisi adat dan (dalam intensitas dan skala terkendali) dikategorikan sebagai salah satu ”kearifan lokal” semula memang diijinkkan bahkan mungkin dianjurkan (di Kalimantan Tengah pernah diatur dalam Peraturan Gubernur, walaupun akhirnya di cabut lagi) karena selain murah dan cepat, diyakini akan memberi dampak positif pada kesuburan tanah, tapi memang sudah menjadi tabiat manusia untuk lupa dan terlena yang ujung-ujungnya intensitas dan skala pembakaran tidak lagi dikontrol. 

Celakanya, kondisi ini diperparah oleh daya dukung lingkungan yang tidak lagi memadai karena telah jauh ter-degradasi sehingga, menyebabkan ”kearifan lokal” ini menjadi boomerang yang melukai dan menyakiti tidak hanya individu yang menjadi subyek pembakaran lahan saja, tapi hampir semua peradaban disekitarnya ikut terlukai lahir dan batin. 

Seharusnya ini yang menjadi fokus utama garapan pemerintah! Mindset dan mitos masyarakat terhadap pembakaran lahan harus dirubah sekaligus diberi solusi teknologi tepat guna yang memungkinkan untuk diterapkan (kalau metode ini sudah pernah dijalankan dan belum membuahkan hasil maksimal, mungkin strategi pendekatan dan intensitas activity-nyaperlu dimodifikasi dan ditingkatkan lagi). 

Misalnya, dalam membuka lahan selama ini masyarakat menggunakan metode tebang bakar(slash and burn) harus diberi pengertian, arahan dan kalau perlu pelatihan sekaligus contoh aplikatif langsung praktek dilapangan menjadi tebang dikomposkan (slash and char). (Fadly H. Yusran, Ketidakarifan lokal yang Merugikan Tanah) Metode ini masuk akal dan relatif mudah untuk diterapkan baik dalam skala individual maupun massal.

Memang, untuk mengubah mitos dan mindset komunal bukan perkara mudah, memerlukan bukti nyata dan contoh riil yang masuk akal, aplikatif dan kalau bisa murah. Upaya (hulu) ini jelas memerlukan waktu tapi hasilnya pasti jauh lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan aktifitas fisik (upaya hilir) dilapangan (memadamkan api) yang tidak ada batasan ruang dan waktunya, kasihan teman-teman pemadam kebakaran! Memang aktivitas di hilir ini ”dapat dilihat” kerjanya tapi untuk hasil? tunggu dulu!
 
Ada ungkapan, tidak akan ada maling mengaku maling, yang ada adalah maling teriak maling. Berangkat dari ungkapan ini, memang susah menangkap maling-nya karena maling biasanya selalu memperbaharui strategi maling-nya sebelum beraksi, atau kasarnya maling selalu lebih pintar dari petugas.

Tapi untuk permasalahan pembakaran lahan ini, sebenarnya logika linier-pun bisa memprediksi siapa-siapa yang punya potensi (ini bukan berparasangka buruk, tapi bicara statistik khususnya probabilitas) untuk menjadi pembakar tanpa harus tuding sana sini yang ujung-ujungnya bisa menjadi fitnah.



Apapun dan siapapun yang potensial menjadi pembakar inilah yang harus diarahkan dan diberdayakan dengan benar. Intinya, 

Pertama. Titik fokus pemerintah harus dibalik! Prioritas pertama adalah mengubah pola pikir masyarakat sebagai hulu dari permasalahan, baru diikuti tindakan hilir (memadamkan kebakaran, membagi-bagi masker, menyiagakan puskesmas dll) bila diperlukan.  

Kedua Diperlukan koordinasi dan sinergi yang benar-benar nyata, kuat dan akurat diantara semua pihak, baik badan atau lembaga apapun yang memang punya kewenangan dan tanggung jawab terhadap permasalahan ini.

Jujur, bila membaca dan memperhatikan pemberitaan di media, masyarakat tambah bingung. Faktanya begitu banyak lembaga atau badan yang muncul! Sekilas kelihatan camuh, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mengurusi masalah ini? Kepada siapa sebenarnya masyarakat harus mengadukan bila terjadi kebakaran dilahannya? Berapa nomor telepon darurat yang bisa dihubungi setiap saat?

Di media, semua memberi uraian, pandangan dan analisa yang luar biasa bagusnya, tapi itu semua belum bisa mengurai kegelisahan dan kegundahan masyarakat! Atau, jangan-jangan justru membuat masyarakat takut, gelisah dan pesimis menghadapi ekstrim-nya hari-hari yang akan dilalui.

Banyaknya badan atau lembaga yang muncul ke permukaan tapi minim koordinasi plus simpang siurnya pola sinergi menyebabkan terjadinya tumpang tindih wewenang, tanggungjawab dan pekerjaan (birokrasi terlalu panjang dan berbelit) yang ending-nya pekerjaan jadi tidak fokus dan tidak tuntas (mudah-mudahan ini bukan salah satu sumber tidak tuntasnya masalah selimut kabut asap).

Disini diperlukan sosialisasi yang intensif, tepatguna dan berkelanjutan oleh pihak yang berwenang, agar masyarakat juga ikut memahami fungsi dan peran masing-masing lembaga dimaksud sehingga kedepannya tidak ada kesalahan connect akibat miss communication dan miss understanding.

Selimut kabut asap terlanjur jadi laten dan telah berhasil melumpuhkan mobilitas kehidupan di banua. Stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat terganggu, daya dukung lingkungan terhadap kehidupan semakin jauh terdegradasi dan kemilau intan banuaku seperti lagu Arif Maulana tidak lagi terlihat. Mudah-mudahan sedikit berpikir berbeda dengan itikad yang benar bisa menjadi inspirasi dan berkah untuk kebaikan banua-ku, Banjarmasin Bungas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar